Pemerintah Genjot Deregulasi Fiskal, Restitusi Pajak Bakal Lebih Cepat dan Sederhana

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali menegaskan komitmennya dalam mempercepat reformasi regulasi, khususnya di sektor fiskal. Kementerian Keuangan menyatakan akan menyederhanakan proses restitusi atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak, serta memangkas prosedur pemeriksaan pajak.

Langkah ini merupakan bagian dari strategi deregulasi yang tengah digalakkan guna memperkuat daya tahan ekonomi nasional, baik dari sisi dalam negeri maupun hubungan dagang internasional.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menegaskan bahwa tujuan deregulasi bukan hanya merespons tekanan dari luar negeri, tetapi didorong kebutuhan internal untuk meningkatkan efisiensi ekonomi nasional.

“Kami menderegulasi hambatan non-tarif bukan semata karena dorongan Amerika Serikat, tetapi karena kebutuhan kita sendiri untuk bergerak lebih efisien,” kata Anggito dalam konferensi tahunan Fitch Ratings di Jakarta, Rabu (7/5/2025).

Di sektor perpajakan, Anggito menyebut pihaknya terus berkomunikasi dengan para wajib pajak demi mempercepat penyelesaian administrasi fiskal. “Kami sedang mempercepat penghapusan kredit pajak dan mempercepat proses pemeriksaan agar pelaku usaha tidak terbebani birokrasi yang rumit,” ujarnya.

Pemerintah juga menyiapkan berbagai insentif fiskal lainnya. Mulai dari penghapusan bea masuk untuk barang tertentu, hingga deregulasi di sektor perdagangan, kepabeanan, dan cukai. Kebijakan ini diharapkan bisa menekan defisit perdagangan yang telah menembus angka 80 miliar dolar AS.

“Kami tengah mencari titik keseimbangan, baik melalui pengendalian impor maupun mendorong investasi dari Amerika Serikat dan negara lainnya,” tambah Anggito.

Senada dengan itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya juga telah menyampaikan rencana deregulasi fiskal. Menurutnya, penyederhanaan aturan sangat krusial dalam menjaga stabilitas ekonomi di tengah dinamika global.

“Kementerian Keuangan berkomitmen menjaga keuangan negara tetap sehat dan kredibel, sambil terus melakukan reformasi deregulasi dan debirokratisasi,” ucap Sri Mulyani dalam pernyataan pada April lalu.

Komitmen ini merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Prabowo Subianto kepada jajaran ekonomi Kabinet Merah Putih. Prabowo meminta agar regulasi yang menghambat dunia usaha segera dievaluasi dan disederhanakan, sebagai bagian dari strategi nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan tangguh menghadapi tantangan global.

Dengan langkah-langkah ini, pemerintah berharap iklim usaha di Indonesia semakin kondusif, efisien, dan adaptif terhadap perubahan ekonomi dunia. Restitusi pajak yang lebih cepat hanyalah satu dari sekian banyak reformasi yang sedang digerakkan demi Indonesia yang lebih kompetitif. (alf)

 

Indonesia Terapkan Pajak Minimum Global, Tetapi SPT GloBe Masih Tunggu Aturan Teknis

IKPI. Jakarta: Pemerintah Indonesia mengambil langkah penting dalam reformasi perpajakan global dengan mulai menerapkan pajak minimum global. Hal ini ditandai dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024, yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025.

Regulasi ini mewajibkan perusahaan multinasional untuk menyerahkan Surat Pemberitahuan (SPT) Global Anti-Base Erosion (GloBe), sebagai bagian dari upaya mencegah praktik penghindaran pajak lintas negara.

Meski regulasi induk sudah resmi diluncurkan, aturan teknis pelaporan SPT GloBe masih dalam proses finalisasi. “Aturan turunan pajak minimum global sesuai PMK Nomor 136 Tahun 2024, termasuk teknis pelaporan SPT [GloBe] masih dalam pembahasan kami,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Dwi Astuti, Rabu (7/5/2025).

Mengacu pada ketentuan dalam PMK tersebut, kebijakan ini menyasar Wajib Pajak Badan yang menjadi bagian dari grup usaha multinasional dengan pendapatan konsolidasi global minimal 750 juta euro. Pemerintah menetapkan tarif pajak minimum sebesar 15 persen.

Bila tarif efektif suatu entitas di bawah ambang tersebut, maka entitas tersebut wajib membayar top up tax untuk menutupi selisihnya paling lambat pada akhir tahun pajak berikutnya. Misalnya, kewajiban tambahan untuk tahun pajak 2025 harus dilunasi sebelum 31 Desember 2026.

Sementara itu, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa pelaporan SPT GloBe wajib disampaikan dalam waktu 15 bulan setelah tahun pajak berakhir.

Sebagai bentuk adaptasi, pemerintah memberikan masa transisi lebih longgar pada tahun pertama implementasi, yakni pelaporan tahun pajak 2025 diberi batas waktu hingga 30 Juni 2027.

Adapun detail teknis seperti format formulir, mekanisme pengisian, tata cara pelaporan, dan prosedur pembayaran SPT GloBe akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak melalui regulasi lanjutan. (alf)

 

 

DPR Apresiasi Kinerja DJP: Penerimaan Pajak 2024 Tembus Rp1.932 Triliun

IKPI, Jakarta: Komisi XI DPR RI memberikan apresiasi kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) atas kinerja impresif dalam menghimpun penerimaan negara sepanjang 2024. Hal ini disampaikan dalam rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu (7/5/2025), dan dipimpin langsung oleh Ketua Komisi XI, Mukhamad Misbakhun.

Dalam rapat yang dihadiri oleh 17 anggota legislatif dari enam fraksi tersebut, Misbakhun menekankan pentingnya peran pajak sebagai tulang punggung pembiayaan negara. Ia menggarisbawahi bahwa meski belum menyentuh target, capaian penerimaan pajak sebesar Rp1.932,4 triliun atau 97,2% dari target APBN Rp1.988,9 triliun adalah prestasi yang patut dihargai. Capaian tersebut tumbuh 3,5% dibandingkan tahun sebelumnya.

“Penerimaan pajak adalah fondasi utama keberlangsungan program pemerintah. Kinerja DJP yang berhasil menghimpun hampir seluruh target patut kita apresiasi,” ujar Misbakhun.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa kontributor utama penerimaan pajak berasal dari PPh nonmigas yang mencapai Rp997,6 triliun, setara dengan 51,6% dari total. PPh Pasal 21 menunjukkan pertumbuhan signifikan sebesar 21,1% dengan total Rp243,8 triliun. Sebaliknya, PPh Badan mengalami penurunan cukup tajam sebesar 18,1% dan hanya menyumbang Rp335,8 triliun.

Sementara itu, PPh migas menyumbang Rp65,1 triliun, turun 5,3% dibanding tahun sebelumnya. Di sisi lain, PPN dan PPnBM mencatatkan pertumbuhan kuat 8,6% dengan total Rp828,5 triliun atau hampir 43% dari keseluruhan penerimaan.

Rapat ini juga membahas perkembangan sistem inti perpajakan (core tax system) yang diharapkan dapat mendongkrak efisiensi dan transparansi dalam pengelolaan perpajakan nasional di masa mendatang.

Dengan pencapaian ini, Komisi XI mendorong DJP untuk terus berinovasi dan memperkuat strategi pemungutan pajak guna mendukung agenda pembangunan nasional secara berkelanjutan. (alf)

 

 

Jumlah Pelapor SPT Merosot, DJP Cari “Biang Kerok” 154 Ribu WP Mangkir

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah menyelidiki penyebab berkurangnya jumlah pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak pada tahun ini. Hingga akhir April 2025, hanya 14,053 juta wajib pajak (WP) yang tercatat telah menyampaikan SPT, menurun dibandingkan tahun lalu yang mencapai 14,207 juta.

Dirjen Pajak Suryo Utomo menyampaikan bahwa penurunan ini menjadi perhatian serius pihaknya. “Ada selisih sekitar 154 ribu SPT dibandingkan tahun sebelumnya, dan ini sedang kami telaah lebih lanjut,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta Pusat, Rabu (7/5/2025).

Penurunan paling mencolok terjadi pada WP Orang Pribadi, yang tahun ini hanya mencapai 12,99 juta pelapor. Jumlah tersebut lebih rendah dibandingkan tahun 2024 yang tercatat sebanyak 13,15 juta WP, atau mengalami kontraksi 1,21 persen.

Menurut Suryo, penyebabnya masih belum pasti, namun salah satunya diduga karena pergeseran jadwal pelaporan akibat libur panjang Lebaran.

Sementara itu, WP Badan justru menunjukkan tren positif. Tercatat sebanyak 1,05 juta WP Badan telah melaporkan SPT, sedikit meningkat dibanding tahun lalu yang sebesar 1,04 juta. Dengan demikian, hanya WP Badan yang mencatatkan pertumbuhan sekitar 0,49 persen.

Ia menyebut total wajib pajak yang seharusnya melaporkan SPT di 2025 mencapai 19,78 juta, terdiri atas 17,68 juta WP Orang Pribadi dan 2,09 juta WP Badan. Namun, tingkat kepatuhan pelaporan belum memenuhi target yang diharapkan.

“Angka ini penting sebagai tolok ukur kepatuhan dan kesadaran pajak. Kami akan mendalami apakah faktor teknis, sosialisasi, atau motivasi lain yang membuat sejumlah WP tidak melaporkan SPT tahun ini,” kata Suryo. (alf)

 

Coretax Dibenahi Total, DJP Targetkan Rampung Sebelum Juli 2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus menggeber perbaikan besar-besaran pada Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax). Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo memastikan, seluruh proses pemulihan dan peningkatan sistem ini ditargetkan rampung paling lambat pada Juli 2025.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi XI DPR RI pada Rabu (7/5/2025), Suryo mengungkapkan bahwa 21 proses bisnis terdampak error atau bugs sedang dibenahi. Tiga di antaranya—yakni Business Intelligence, Knowledge Management, dan Data Pihak Ketiga telah sukses diperbaiki. Sisanya, sebanyak 18 proses bisnis, tengah dikebut agar selesai maksimal sebelum akhir Juli.

“Ekspektasinya sebelum Juli selesai. Bahkan ada yang bisa lebih cepat, mungkin Mei atau Juni,” kata Suryo.

Tak hanya memperbaiki error, DJP juga menyempurnakan performa Coretax lewat penyelarasan logika aplikasi, penyesuaian konfigurasi infrastruktur, serta peningkatan kapasitas jaringan, database, dan penyimpanan data.

Sejumlah kendala yang sebelumnya dikeluhkan pengguna telah menunjukkan perbaikan signifikan. Misalnya, proses login yang sebelumnya lamban, kini dipercepat hingga hanya 0,011 detik. Masalah update profil yang dulu menimbulkan ratusan laporan error, kini hanya tersisa 18 kasus dalam rentang 1-6 Mei 2025 turun drastis dari 397 kasus pada awal tahun.

Perbaikan juga dilakukan terhadap kode otorisasi untuk tanda tangan elektronik, pengiriman OTP, hingga impersonate akun wajib pajak badan. Kasus impersonate, misalnya, anjlok dari 3.281 kasus (sampai 10 Februari) menjadi hanya 41 kasus di awal Mei.

“Alhamdulillah, progresnya luar biasa. Sistem jauh lebih stabil dan responsif dibandingkan awal tahun,” ujar Suryo.

Kapasitas bandwidth yang ditingkatkan dua kali lipat dari 9 Gbps ke 18 Gbps turut menyumbang kecepatan layanan. Contohnya, pembuatan faktur pajak kini hanya butuh 0,3 detik dari sebelumnya 9,8 detik. Pembuatan e-Bupot pun dipersingkat dari 16 detik menjadi hanya 0,434 detik.

Dengan tren perbaikan yang konsisten dan peningkatan infrastruktur yang terus dilakukan, DJP optimistis Coretax akan beroperasi optimal sesuai target. (alf)

Kejar Target Rp 2.189 Triliun, Dirjen Pajak: Tahun 2025 Jadi Ujian Nyata Reformasi Perpajakan

IKPI, Jakarta: Tahun 2025 menjadi tahun penentuan bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam mengakselerasi reformasi perpajakan. Pasalnya, target penerimaan pajak dalam APBN 2025 dipatok mencapai Rp 2.189,3 triliun melonjak 13,3% dari realisasi tahun sebelumnya.

Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, menyebut angka tersebut sebagai tantangan besar yang menuntut kerja keras, konsistensi, dan kolaborasi seluruh pihak.

“Ini bukan sekadar angka, tapi sebuah tantangan sekaligus usaha kolektif yang harus kita jalani bersama. Cerita pengumpulan penerimaan negara 2025 ini tidak bisa dijalani sendiri,” ujar Suryo saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (7/5/2025).

Untuk mencapai target tersebut, DJP telah menyiapkan lima strategi utama. Pertama, memperluas basis perpajakan lewat intensifikasi dan ekstensifikasi. Kedua, menggenjot kepatuhan melalui pemanfaatan teknologi, sinergi program bersama, dan penegakan hukum. Ketiga, menjaga kesinambungan reformasi dan menyelaraskan kebijakan pajak dengan standar global.

“Upaya ini kami lakukan bukan hanya demi target, tapi juga untuk memperbaiki sistem dan memperluas jangkauan perpajakan secara berkelanjutan,” ungkap Suryo.

Keempat, DJP juga berkomitmen memberikan insentif pajak yang lebih tepat sasaran demi menopang daya saing usaha dan mendorong transformasi ekonomi bernilai tambah tinggi. Kelima, penguatan SDM dan organisasi yang adaptif terhadap dinamika ekonomi menjadi fokus penting.

Suryo juga menekankan peluncuran sistem administrasi perpajakan terintegrasi Coretax pada tahun ini sebagai salah satu terobosan penting. “Kami ingin sistem perpajakan ke depan lebih sederhana, lebih cepat, dan lebih efisien,” ujarnya.

Hingga akhir Maret 2025, penerimaan pajak telah mencapai Rp 322,6 triliun atau 14,7% dari target. Tren pertumbuhan tercatat positif secara tahunan maupun sektoral.

“Selama ekonomi tetap bergerak stabil atau bahkan lebih baik dari bulan-bulan sebelumnya, kami optimistis tren positif ini bisa terus berlanjut hingga akhir tahun,” tutup Suryo. (alf)

 

Penerimaan Pajak Kripto dan Fintech Tembus Rp4,48 Triliun per Maret 2025

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Keuangan mencatat lonjakan signifikan dalam penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital. Hingga Maret 2025, kontribusi pajak dari transaksi aset kripto dan layanan keuangan berbasis teknologi (fintech peer-to-peer lending) telah mencapai angka total Rp4,48 triliun. Angka ini menegaskan geliat ekonomi digital yang semakin kuat dan terpantau oleh otoritas pajak.

Pajak kripto menyumbang sebesar Rp1,2 triliun sejak pertama kali dipungut pada 2022. Rinciannya, Rp246,45 miliar dikumpulkan pada 2022, disusul Rp220,83 miliar di tahun 2023, kemudian melonjak drastis menjadi Rp620,4 miliar pada 2024, dan telah mencapai Rp115,1 miliar hanya dalam tiga bulan pertama tahun ini. Dari total tersebut, Rp560,61 miliar berasal dari PPh 22 atas transaksi penjualan aset kripto melalui exchanger, sementara Rp642,17 miliar berasal dari PPN Dalam Negeri (PPN DN) atas pembelian kripto.

Sementara itu, sektor fintech memberikan sumbangan lebih besar, mencapai Rp3,28 triliun. Rinciannya, Rp446,39 miliar pada 2022, Rp1,11 triliun pada 2023, Rp1,48 triliun pada 2024, dan Rp241,88 miliar pada awal tahun 2025. Penerimaan ini terdiri dari PPh 23 atas bunga pinjaman untuk wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap (Rp834,63 miliar), PPh 26 untuk wajib pajak luar negeri (Rp720,74 miliar), serta PPN DN atas setoran masa senilai Rp1,72 triliun.

Secara keseluruhan, pajak dari sektor usaha ekonomi digital telah menghasilkan penerimaan negara sebesar Rp34,91 triliun hingga akhir Maret 2025. Kontribusi terbesar masih berasal dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang menyentuh Rp27,48 triliun, disusul pajak fintech, pajak kripto, dan pajak dari Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) sebesar Rp2,94 triliun.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, mengungkapkan bahwa hingga saat ini sebanyak 211 pelaku usaha PMSE telah ditunjuk sebagai pemungut PPN. Dari jumlah itu, 190 entitas telah aktif melakukan pemungutan dan penyetoran pajak, termasuk setoran sebesar Rp2,14 triliun pada kuartal pertama 2025.

“Angka ini menjadi bukti nyata bahwa pengawasan dan pengenaan pajak terhadap aktivitas digital mampu mengikuti laju pertumbuhan teknologi,” ujar Dwi dalam keterangannya, Rabu (7/5/2025).

Pemerintah pun terus memperbarui data pemungut pajak digital, termasuk mencatat adanya perubahan data pemungut dari perusahaan global seperti Zoom Communications, Inc. Hal ini menunjukkan komitmen berkelanjutan dalam optimalisasi penerimaan negara di tengah transformasi ekonomi digital yang pesat. (alf)

 

DPR Panggil Dirjen Pajak, Bahas Coretax dan Realisasi Penerimaan Negara

IKPI, Jakarta: Komisi XI DPR RI menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan jajaran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan untuk mengupas tuntas soal realisasi penerimaan negara serta perkembangan sistem perpajakan berbasis teknologi, Coretax.

Rapat yang dijadwalkan pukul 10.00 WIB itu baru dimulai sekitar pukul 10.58 WIB di Gedung DPR RI, Jakarta. Dipimpin langsung oleh Ketua Komisi XI, Mukhamad Misbakhun, pertemuan ini dihadiri oleh 17 anggota DPR dari enam fraksi dan dibuka untuk umum.

“Pajak adalah tulang punggung pembiayaan negara melalui APBN. Meskipun capaian realisasi penerimaan pajak tahun 2024 mencapai 100,5 persen, kita masih menghadapi tantangan besar dalam menaikkan rasio pajak,” ujar Misbakhun dalam pembukaan rapat, Rabu (7/5/2025).

Dirjen Pajak Suryo Utomo hadir bersama jajarannya untuk memaparkan berbagai langkah strategis DJP dalam mendorong optimalisasi penerimaan dan transformasi digital lewat sistem Coretax, yang digadang-gadang akan memperkuat transparansi dan efisiensi perpajakan nasional. (alf)

 

 

 

PMK 15/2025 Atur Penangguhan Pemeriksaan Pajak Jika Ada Dugaan Tindak Pidana

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025 menetapkan kebijakan baru terkait proses pemeriksaan pajak.

Pasal 23 PMK ini mengatur bahwa pemeriksaan untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dapat ditangguhkan apabila ditemukan dugaan tindak pidana di bidang perpajakan.

Penangguhan pemeriksaan dilakukan ketika Direktorat Jenderal Pajak menindaklanjuti dugaan tersebut dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka atau penyidikan pidana pajak. Pemeriksaan yang ditangguhkan berlaku untuk tahun pajak yang sama dengan tahun terjadinya dugaan pelanggaran.

PMK ini juga menjelaskan bahwa, surat pemberitahuan penangguhan wajib disampaikan secara tertulis kepada Wajib Pajak atau pihak terkait, bersamaan dengan surat pemberitahuan dimulainya proses hukum. Seluruh dokumen yang telah dipinjam selama proses pemeriksaan harus dikembalikan kepada Wajib Pajak dengan tanda terima resmi.

PMK ini juga mengatur ketentuan lanjutan pemeriksaan dapat diteruskan apabila proses hukum dihentikan karena tidak cukup bukti, peristiwa bukan merupakan tindak pidana, tersangka meninggal dunia, atau telah ada putusan pengadilan yang menyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.

Selain itu, pemeriksaan juga dapat dihentikan jika Wajib Pajak secara sukarela mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan atau melakukan pelunasan kewajiban sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Namun, apabila masih terdapat kelebihan pembayaran pajak, pemeriksaan yang sebelumnya ditangguhkan dapat dilanjutkan, dengan syarat hanya menggunakan data di luar yang telah diungkap dalam proses hukum. Wajib Pajak juga akan menerima surat pemberitahuan pemeriksaan lanjutan paling lambat lima hari kerja setelah proses hukum dinyatakan selesai.

Dengan demikian, ketentuan ini memperjelas hubungan antara pemeriksaan administratif dan proses penegakan hukum pidana di bidang perpajakan, sekaligus memberikan kerangka prosedural yang lebih transparan bagi Wajib Pajak. (alf)

 

Uplift dan Pengalihan Saham Migas Kena Pajak Final hingga 20%

IKPI, Jakarta:Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 menetapkan ketentuan terkait perpajakan bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di sektor minyak dan gas bumi. Aturan ini mengatur secara tegas pemajakan atas penghasilan lain yang diperoleh KKKS di luar Kontrak Kerja Sama utama, termasuk Uplift dan pengalihan Partisipasi Interes.

Pasal 208 PMK 81/2024 menyebutkan bahwa setiap penghasilan lain seperti Uplift atau imbalan serupa akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) bersifat final sebesar 20% dari jumlah bruto. Uplift sendiri merupakan kompensasi finansial yang diberikan kepada kontraktor dalam skema kontrak migas tertentu, yang biasanya di luar sistem cost recovery atau gross split.

Lebih lanjut, untuk penghasilan dari pengalihan Partisipasi Interes, tarif pajaknya bervariasi tergantung pada fase kegiatan. Jika pengalihan dilakukan selama masa eksplorasi, tarif final yang dikenakan adalah 5%. Namun, jika dilakukan pada masa eksploitasi, tarif meningkat menjadi 7% dari jumlah bruto.

Adapun masa eksplorasi dihitung sejak kontrak efektif sampai persetujuan rencana pengembangan lapangan pertama. Sementara masa eksploitasi dimulai setelah masa eksplorasi berakhir hingga habisnya masa kontrak.

Kebijakan ini bertujuan memberikan kepastian hukum dan perlakuan perpajakan yang adil atas aktivitas di luar kontrak utama yang dilakukan oleh para pelaku industri migas. (alf)

 

en_US