RAPBN 2026 Jadi Instrumen Pajak untuk Wujudkan “Asta Cita” Presiden Prabowo

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 akan menjadi instrumen utama untuk menjalankan delapan agenda prioritas pembangunan nasional Presiden Prabowo Subianto yang dikenal dengan Asta Cita.

Dalam tanggapan pemerintah atas Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi DPR RI, Sri Mulyani menekankan bahwa APBN bukan sekadar dokumen anggaran, tetapi wujud nyata peran negara membangun kemandirian ekonomi sekaligus melindungi rakyat.

“APBN adalah instrumen kehadiran negara untuk mewujudkan ekonomi yang tangguh, mandiri, dan sejahtera. RAPBN 2026 disiapkan untuk melaksanakan Asta Cita melalui delapan agenda prioritas pembangunan,” ujar Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR RI, Kamis (21/8/2025).

Sebagian besar pembiayaan RAPBN 2026 masih akan ditopang dari penerimaan pajak. Menkeu menekankan bahwa kepatuhan dan perluasan basis pajak menjadi kunci untuk mendukung program-program prioritas, mulai dari ketahanan pangan hingga makan bergizi gratis (MBG) bagi 82,9 juta penerima.

“Subsidi energi, insentif perpajakan untuk transisi energi bersih, hingga pembiayaan murah bagi petani dan UMKM seluruhnya membutuhkan ruang fiskal yang sehat. Karena itu, pajak tetap menjadi tulang punggung pendanaan pembangunan,” tegasnya.

Alokasi Anggaran Prioritas

Dalam RAPBN 2026, sejumlah agenda besar disiapkan dengan anggaran jumbo, antara lain:

• Ketahanan pangan Rp164,4 triliun, termasuk subsidi pupuk Rp46,9 triliun.

• Ketahanan energi Rp402 triliun, sebagian berbentuk subsidi energi dan insentif pajak transisi energi.

• Makan Bergizi Gratis Rp335 triliun.

• Pendidikan Rp757,8 triliun atau 20% dari total belanja negara, termasuk dana abadi pendidikan Rp37 triliun.

• Kesehatan Rp244 triliun, dengan jaminan layanan kesehatan bagi 96,8 juta jiwa.

• Pertahanan semesta Rp185 triliun.

• Percepatan pembangunan desa, UMKM, dan perumahan rakyat melalui pembiayaan murah dan dukungan fiskal.

Sri Mulyani menegaskan, desain APBN 2026 diarahkan agar belanja negara tidak hanya bergantung pada pembiayaan utang, melainkan lebih kuat ditopang penerimaan dalam negeri.

“Profesionalisme, integritas, dan perluasan basis perpajakan menjadi fondasi pengelolaan fiskal yang transparan. Dengan begitu, APBN mampu menjawab kebutuhan rakyat sekaligus menjaga kemandirian ekonomi Indonesia,” jelasnya. (alf)

 

MK Tegaskan Biaya Transportasi LPG 3 Kg Bukan Objek Pajak

IKPI, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa biaya transportasi gas LPG tabung 3 kilogram tidak termasuk sebagai objek pajak penghasilan (PPh) maupun pajak pertambahan nilai (PPN). Putusan ini tertuang dalam perkara Nomor 188/PUU-XXII/2024 yang diputuskan pekan lalu.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa penetapan harga eceran tertinggi (HET) LPG 3 kg yang diatur melalui keputusan gubernur, bupati, atau wali kota tidak memiliki hubungan dengan pengaturan objek pajak maupun dasar pengenaan pajak penghasilan. Pajak, menurut MK, dikenakan atas penghasilan atau harga jual, bukan pada biaya transportasi yang ditetapkan melalui keputusan kepala daerah.

“Pengaturan mengenai HET sebagaimana didalilkan Pemohon ternyata tidak memiliki keterkaitan dengan pengaturan objek pajak maupun dasar pengenaan pajak penghasilan. Biaya transportasi yang timbul berdasarkan keputusan gubernur, bupati, atau wali kota bukanlah objek pajak,” demikian bunyi putusan MK dikutip, Jumat (22/8/2025).

Kuasa hukum pemohon, Cuaca Teger, menyebut putusan tersebut menjadi peringatan bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) agar tidak memaksakan pemungutan yang tidak memiliki dasar hukum. Ia menilai Nota Dinas DJP Nomor ND-247/PJ/PJ.03/2021 yang mengaitkan HET LPG 3 kg dengan PPh menyesatkan dan seharusnya segera dicabut.

“Tindakan memajaki sesuatu yang bukan objek pajak adalah bentuk perampokan terhadap masyarakat karena tidak berdasar pada undang-undang,” tegas Cuaca Teger usai persidangan.

Sengketa ini bermula ketika DJP mengenakan PPh dan PPN atas biaya transportasi LPG 3 kg dari agen ke pangkalan. Biaya tersebut sejatinya ditentukan berdasarkan keputusan kepala daerah, bukan undang-undang. Wajib pajak yang keberatan kemudian mengajukan uji materi Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan PPN ke MK.

Meski permohonan tersebut pada akhirnya ditolak, MK menegaskan bahwa biaya transportasi tersebut bukan objek pajak. Bagi pemohon, penegasan ini sudah cukup memberi kepastian hukum.

“Amar putusan memang menolak, tetapi substansinya menegaskan bahwa biaya transportasi bukan objek pajak. Dirjen Pajak harus belajar dari putusan ini agar tidak sewenang-wenang memajaki hal-hal yang tidak semestinya,” tutup Cuaca Teger. (alf)

 

 

 

 

IKPI Jakarta Pusat Terima Piagam Wajib Pajak (Taxpayer’s Charter), Bukti Sinergi Asosiasi dan DJP

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Pusat menerima Piagam Wajib Pajak dari Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Pusat. Penghargaan tersebut diserahkan langsung Kepala Kanwil DJP Jakarta Pusat, Eddi Wahyudi, kepada Ketua IKPI Jakarta Pusat, Suryani, dalam acara Forum Konsultasi Publik di Jakarta, Rabu (20/8/2025).

Selain IKPI, sebanyak 17 wajib pajak terpilih juga memperoleh penghargaan, sehingga total penerima piagam berjumlah 18 pihak.

Diketahui, Forum Konsultasi Publik tersebut membahas pendaftaran akun dan sertifikat elektronik pada sistem CoreTax, pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat, serta sesi tanya jawab dengan peserta.

(Foto: DOK IKPI Cabang Jakarta Pusat)

Ketua IKPI Jakarta Pusat, Suryani, mengapresiasi penghargaan yang diberikan tersebut. “Kami sangat bersyukur dan berterima kasih atas penghargaan yang diberikan Kanwil DJP Jakarta Pusat. Piagam ini menjadi bukti nyata bahwa peran konsultan pajak dipandang penting dalam mendukung terciptanya kepatuhan pajak yang sehat dan berkesinambungan,” kata Suryani, Jumat (22/8/2025).

Ia menegaskan, bagi IKPI, penghargaan ini bukan hanya pengakuan melainkan juga amanah agar asosiasi cabang yang ia pimpin semakin meningkatkan profesionalisme, integritas, dan pelayanan kepada wajib pajak.

“Kami percaya, kepatuhan pajak akan lebih mudah tercapai bila ada komunikasi yang baik, edukasi yang terus-menerus, serta pendampingan yang tepat bagi masyarakat,” ujarnya.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Jakarta Pusat)

Penghargaan ini juga ia persembahkan untuk seluruh anggota IKPI Jakarta Pusat yang tanpa lelah memberikan kontribusi positif bagi dunia perpajakan. Ke depan, kami ingin terus bersinergi dengan DJP dalam menciptakan sistem perpajakan yang lebih transparan, adil, dan modern.

Suryani berharap, kerja sama yang sudah terjalin lama dengan Kanwil DJP Jakarta Pusat dapat memberikan manfaat nyata, tidak hanya bagi wajib pajak, tetapi juga bagi pembangunan ekonomi nasional. (bl)

Minyak Murah Rusia Jadi Senjata India Lawan Tekanan Tarif Trump

IKPI, Jakarta: India menjadikan minyak Rusia sebagai strategi utama untuk meredam tekanan ekonomi dari Amerika Serikat. Di tengah ancaman tarif baru yang digulirkan Presiden AS Donald Trump, New Delhi justru semakin memperkuat hubungan dagang dengan Moskow.

Menteri Luar Negeri India Subrahmanyam Jaishankar dalam kunjungannya ke Moskow, Kamis (21/8/2025), menegaskan bahwa India dan Rusia menargetkan perdagangan bilateral hingga US$100 miliar dalam lima tahun. Ia menyebut kedua negara akan memangkas hambatan tarif dan non-tarif, serta memperluas diversifikasi perdagangan, termasuk sektor energi.

“Di tengah ketidakpastian global, memiliki mitra yang stabil dan konsisten menjadi kebutuhan strategis,” ujar Jaishankar dalam forum bisnis India-Rusia.

Trump sebelumnya telah mengenakan tarif 25% atas produk India dan mengancam melipatgandakannya menjadi 50% pada 27 Agustus mendatang. Kebijakan tersebut berpotensi membuat ekspor tahunan India ke AS senilai US$85 miliar kehilangan daya saing. New Delhi menilai kebijakan tarif itu tidak rasional, sekaligus menegaskan haknya membeli energi dari sumber termurah.

Minyak Rusia yang ditawarkan dengan harga diskon dinilai krusial bagi India untuk menjaga inflasi domestik tetap terkendali. Tidak hanya itu, energi murah juga dianggap sebagai “perisai” bagi perekonomian India dalam menghadapi gejolak tarif AS.

Hubungan erat India-Rusia semakin ditunjukkan lewat komunikasi intensif antara Perdana Menteri Narendra Modi dan Presiden Vladimir Putin. Putin bahkan dijadwalkan berkunjung ke India pada akhir tahun ini. Selain itu, Modi juga tengah memperluas jaringan diplomasi dengan Tiongkok dan akan bertemu Presiden Xi Jinping di Beijing akhir Agustus. (alf)

 

 

 

 

 

Belanja Pajak Manufaktur Naik jadi Rp141,7 Triliun, Efektivitas Masih Dipertanyakan

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali mengalokasikan belanja perpajakan dalam jumlah jumbo bagi sektor industri pengolahan pada 2026. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, nilai belanja perpajakan untuk sektor manufaktur dipatok Rp141,7 triliun atau naik 3,3% dibandingkan proyeksi 2025 sebesar Rp137,2 triliun.

Sektor manufaktur konsisten menjadi penerima manfaat terbesar belanja perpajakan dalam lima tahun terakhir. Pada 2024 misalnya, industri ini menerima insentif senilai Rp98,8 triliun, setara 24,7% dari total belanja perpajakan tahun tersebut. Tahun depan, porsinya bahkan diperkirakan naik menjadi 25,1% dari total belanja perpajakan Rp563,6 triliun.

Meski demikian, kinerja manufaktur belum menunjukkan akselerasi yang sebanding dengan insentif yang digelontorkan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat industri pengolahan nonmigas tumbuh 5,60% (year-on-year/yoy) pada kuartal II/2025, lebih tinggi dari kuartal sebelumnya (4,31% yoy) maupun periode sama tahun lalu (4,63% yoy). Namun, laju pertumbuhan ini relatif stagnan dalam satu dekade terakhir, tidak jauh dari capaian kuartal II/2015 yang sebesar 5,22%.

Kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB juga cenderung datar. Pada kuartal II/2025, kontribusi tercatat 18,67% yoy, naik tipis dibandingkan 18,52% di periode sama 2024. Angka ini masih jauh dari capaian 10 tahun lalu yang mampu menembus 20,91%.

Insentif Hanya Jadi “Pemanis”

Peneliti Indef, Ariyo Irhamna, menilai insentif fiskal yang diberikan pemerintah selama ini belum efektif mendorong transformasi industri. “Insentif pajak itu seperti icing on the cake. Kalau persoalan fundamental seperti kepastian hukum, persaingan usaha, hingga penguatan riset dan teknologi tidak dibenahi, maka dampaknya tetap minim,” ujarnya (20/8/2025).

Ariyo menekankan perlunya evaluasi menyeluruh terkait efektivitas belanja perpajakan, karena berpotensi menjadi salah satu sumber kebocoran APBN.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian, Saleh Husin, mengingatkan penurunan kontribusi manufaktur terhadap PDB harus menjadi alarm serius. “Dengan kebijakan yang pro-manufaktur, kontribusi sektor ini berpeluang kembali tembus di atas 19% dalam beberapa kuartal ke depan,” katanya.

Saleh menilai strategi yang bisa ditempuh antara lain realisasi insentif fiskal yang lebih tepat sasaran, percepatan implementasi TKDN, penguatan ekosistem industri hulu-hilir di sektor prioritas, serta kolaborasi dunia usaha dengan pendidikan vokasi.

Sementara itu, Ketua Himki, Abdul Sobur, menilai porsi insentif lebih banyak dinikmati sektor padat modal, sementara industri padat karya seperti furnitur masih menghadapi margin tipis dan volatilitas permintaan. Selain itu, restitusi PPN yang lambat kerap menekan arus kas eksportir.

“Insentif juga tidak otomatis menjadi investasi baru. Sebagian hanya menarik proyek besar tertentu, sementara manfaatnya belum merata,” ujarnya.

Menurut Sobur, insentif tahun depan sebaiknya lebih presisi, antara lain percepatan restitusi PPN untuk eksportir, PPh 21 DTP yang terarah untuk padat karya, super deduction untuk R&D, serta skema investasi berbasis kinerja dengan indikator ekspor, TKDN, dan produktivitas.

“Intinya bukan sekadar lebih besar, tapi lebih tajam, sederhana, dan likuid agar benar-benar terasa bagi pelaku industri,” pungkasnya. (alf)

 

 

Finlandia Jadi Negara Paling Bahagia di Dunia Meski Tarif Pajak Capai 60%

IKPI, Jakarta: Finlandia dikenal sebagai salah satu negara dengan beban pajak tertinggi di dunia. Dengan sistem progresif, sebagian warganya bisa dikenai tarif hingga 60% dari penghasilan. Angka yang bagi banyak negara mungkin memicu protes, justru diterima dengan lapang dada oleh masyarakat Finlandia.

Laporan World Happiness Report menobatkan Finlandia sebagai negara paling bahagia di dunia selama bertahun-tahun. Fenomena ini kerap menimbulkan tanda tanya: bagaimana mungkin masyarakat bisa tetap merasa bahagia meski membayar pajak begitu tinggi?

Pajak yang Terlihat Manfaatnya

Kunci dari penerimaan publik terhadap pajak adalah kepercayaan. Warga Finlandia yakin bahwa uang yang mereka setorkan kembali dalam bentuk layanan publik nyata. Pajak dianggap bukan beban, melainkan investasi bersama untuk menciptakan kualitas hidup yang lebih baik.

Profesor hukum pajak dari Aalto University, Timo Viherkenttä, menyebut ada konsensus di masyarakat: meski harus membayar pajak tinggi, mereka mendapat timbal balik jelas. “Program sosial yang didanai negara membantu meningkatkan kesehatan, kebahagiaan, dan kualitas hidup, tersedia bagi semua orang tanpa memandang status ekonomi,” jelasnya.

Pendidikan dan Kesehatan

Dua sektor yang paling dirasakan manfaatnya adalah pendidikan dan kesehatan.

• Pendidikan: Finlandia memiliki salah satu sistem pendidikan terbaik di dunia. Dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, hampir seluruhnya gratis dan dibiayai negara.

• Kesehatan: Layanan kesehatan bersifat universal. Warga bisa mengakses fasilitas medis berkualitas tanpa biaya besar. Sebagian layanan khusus berbayar, namun mayoritas layanan dasar ditanggung negara.

Kedua sektor ini menjadi fondasi kebahagiaan masyarakat, sekaligus alasan kuat mengapa mereka rela membayar pajak tinggi.

Selain pendidikan dan kesehatan, pajak juga membiayai jaminan pensiun, infrastruktur, hingga program kesejahteraan lain yang membuat standar hidup masyarakat tetap terjaga.

Transparansi dalam pengelolaan serta tingginya kepercayaan publik menjadi pembeda utama Finlandia dibanding banyak negara lain yang masih menghadapi masalah korupsi dan lemahnya layanan publik.

Hasilnya, Finlandia bukan hanya berhasil membangun sistem perpajakan yang efektif, tetapi juga menunjukkan bahwa pajak dapat menjadi sumber kebahagiaan bila dikelola secara adil dan dikembalikan sepenuhnya kepada rakyat. (alf)

 

KPP Singaraja Gandeng Dinas Koperasi Edukasi Pajak untuk Pelaku UMKM

IKPI, Jalarta: Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Singaraja terus memperkuat sinergi dengan pemerintah daerah dalam mendukung kepatuhan perpajakan pelaku usaha kecil. Kali ini, KPP Singaraja bekerja sama dengan Dinas Koperasi Kabupaten Buleleng memberikan edukasi pajak kepada para anggota Pusat Layanan Usaha Terpadu (PLUT).

Acara yang berlangsung di Aula Kantor Camat Sukasada, Kabupaten Buleleng, pada Kamis (24/7/2025), diikuti oleh 22 pelaku UMKM dari berbagai sektor, mulai dari pengrajin perak, pengrajin anyaman lidi janur, pengusaha kopi, hingga pembuat gula aren.

Penyuluh KPP Pratama Singaraja, I Gusti Made Setyawan, menjelaskan bahwa kegiatan ini bertujuan memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai kewajiban perpajakan setelah wajib pajak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Ia menekankan bahwa UMKM memiliki perlakuan khusus sebagaimana diatur dalam PP Nomor 23 Tahun 2018 dan PP Nomor 55 Tahun 2022.

“Pelaku UMKM wajib menyetor PPh Final 0,5% setiap bulan apabila omzet usahanya dalam setahun sudah melebihi Rp500 juta. Selain itu, kewajiban pelaporan SPT Tahunan juga harus dipenuhi sebagai bentuk tanggung jawab sesuai undang-undang,” kata Gusti.

Ia menambahkan, kepatuhan dalam menyampaikan laporan pajak secara lengkap, jelas, dan benar akan membantu wajib pajak terhindar dari sanksi. Lebih jauh, ia menekankan bahwa pajak yang dibayarkan masyarakat memiliki peran penting dalam mendukung pembangunan nasional dan pelayanan publik.

Kegiatan ini mendapat sambutan positif dari para peserta yang menilai edukasi langsung dari KPP sangat membantu mereka memahami prosedur pajak secara lebih sederhana. (alf)

 

 

Gubernur Sulsel Tegaskan Pajak Harus Berkeadilan dan Jangan Bebankan Masyarakat Kecil

IKPI, Jakarta: Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaiman, mengingatkan para kepala daerah agar lebih berhati-hati dalam merumuskan kebijakan pajak, khususnya terkait Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2). Ia menegaskan bahwa pajak seharusnya menjadi instrumen pembangunan yang berkeadilan, bukan justru menambah beban masyarakat kecil.

“Jangan sampai kebijakan pajak hanya mengejar peningkatan pendapatan daerah, tetapi mengorbankan masyarakat menengah ke bawah. Prinsipnya, pajak harus tetap adil,” kata Andi Sudirman saat memimpin Rapat Forum Koordinasi Forkopimda Sulsel melalui zoom meeting di Makassar, Rabu (20/8/2025).

Ia juga meminta kepala daerah yang berniat menaikkan PBB P2 untuk menunda kebijakan tersebut dan terlebih dahulu melakukan pemetaan objek pajak. Selain itu, pemberian relaksasi dan keringanan bagi warga kurang mampu juga dinilai penting agar kebijakan fiskal tidak bersifat eksploitatif.

Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Luwu Timur memastikan tidak ada kebijakan menaikkan PBB. Sekretaris Daerah Luwu Timur, Bahri Suli, menjelaskan penyesuaian tarif di wilayahnya hanya sebatas pengalihan dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dengan persentase yang sangat kecil, sekitar 0,02 persen.

“PBB tidak menjadi masalah di Luwu Timur karena kenaikannya minim dan sudah kami sesuaikan agar tidak menimbulkan beban tambahan bagi masyarakat,” ujarnya.

Bupati Luwu Timur, Irwan Bachri Syam, juga menegaskan bahwa fokus pemerintahannya adalah menjaga stabilitas ekonomi daerah serta meningkatkan kualitas pelayanan publik, bukan menaikkan pajak.

“Tidak ada kebijakan menaikkan PBB. Justru kami ingin memastikan masyarakat tetap tenang dan pelayanan pemerintah semakin baik,” ucapnya.

Dengan penekanan tersebut, Gubernur Sulsel menegaskan bahwa arah kebijakan fiskal daerah ke depan harus lebih berpihak pada prinsip keadilan dan keberlanjutan pembangunan tanpa mengorbankan rakyat kecil. (alf)

 

Tarif Pajak Alat Berat di Jakarta Berlaku, Begini Cara Penghitungannya

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta resmi memberlakukan Pajak Alat Berat (PAB) sebagai bagian dari strategi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sekaligus memperkuat kemandirian fiskal ibu kota. Kebijakan ini mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD).

PAB merupakan pajak daerah baru yang dipisahkan dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Sesuai ketentuan, pajak ini dikenakan atas kepemilikan maupun penguasaan alat berat bermesin, dengan atau tanpa roda, yang tidak melekat secara permanen.

Alat berat tersebut lazim digunakan dalam pekerjaan konstruksi, teknik sipil, perkebunan, kehutanan, hingga pertambangan. Beberapa yang termasuk dalam kategori ini antara lain bulldozer, excavator, wheel loader, dan crane.

Namun, terdapat pengecualian. Pihak yang tidak dikenai pajak antara lain:

• Pemerintah Pusat, Pemprov DKI, pemerintah daerah lain, serta TNI/Polri.

• Kedutaan besar, konsulat, perwakilan negara asing, maupun lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak berdasarkan asas timbal balik.

Tarif dan Cara Perhitungan

Dasar pengenaan PAB adalah Nilai Jual Alat Berat (NJAB) dengan tarif pajak 0,2 persen dari NJAB. Pajak ini dibayarkan di muka setiap tahun, sejak wajib pajak secara sah memiliki atau menguasai alat berat.

Contoh perhitungan sederhana:

Jika sebuah excavator memiliki NJAB senilai Rp100 juta, maka kewajiban pajaknya adalah:

Rp100 juta × 0,2% = Rp200 ribu per tahun.

Proses pendaftaran dan pelaporan PAB dapat dilakukan dengan mudah melalui kanal digital resmi Pemprov DKI di pajakonline.jakarta.go.id.

Seluruh penerimaan dari Pajak Alat Berat akan dikelola untuk mendukung program pembangunan daerah, mulai dari peningkatan infrastruktur, layanan publik, hingga kesejahteraan masyarakat.

Pemprov DKI menegaskan, kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban PAB tidak hanya merupakan bentuk tanggung jawab hukum, tetapi juga kontribusi nyata dalam membangun Jakarta sebagai kota modern dan berdaya saing global. (alf)

 

 

Kejar Target Penerimaan Pajak, Kemenkeu Fokus Tingkatkan Kepatuhan WP

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan strategi mengejar target penerimaan pajak tahun 2026 tidak akan dibarengi dengan kebijakan kenaikan tarif maupun jenis pajak baru. Pemerintah menekankan upaya peningkatan kepatuhan wajib pajak (WP) dan penertiban aktivitas ekonomi bayangan (shadow economy) sebagai kunci optimalisasi penerimaan negara.

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, penerimaan pajak ditetapkan sebesar Rp2.357,7 triliun. Angka tersebut melonjak 13,5 persen dibanding outlook 2025 yang diproyeksikan Rp2.076,9 triliun.

Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, Febrio Nathan Kacaribu, menegaskan masyarakat tidak perlu khawatir akan beban pajak baru. “Tidak ada kenaikan tarif, semua tetap sesuai Undang-Undang. Menteri Keuangan sudah menegaskan bahwa fokus pemerintah adalah meningkatkan kepatuhan wajib pajak,” kata Febrio di Jakarta, Selasa (19/8/2025).

Berdasarkan Buku II Nota Keuangan RAPBN 2026, pemerintah menyiapkan strategi khusus untuk memperkuat pengawasan sektor-sektor dengan potensi shadow economy tinggi, seperti perdagangan eceran, makanan dan minuman, perdagangan emas, serta perikanan. Selain itu, pemerintah juga akan melakukan pencocokan data pelaku usaha di platform digital yang belum sepenuhnya tercatat secara fiskal.

Meski demikian, target ambisius tersebut menuai kritik dari kalangan pengamat. Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Riandy Laksono, menilai proyeksi kenaikan penerimaan sebesar 13 persen sulit diwujudkan jika melihat tren historis.

“Secara historis, penerimaan pajak hanya tumbuh 5–6 persen. Kenaikan dua digit biasanya terjadi ketika ada commodity boom. Saat ini, kita tidak melihat adanya sumber pertumbuhan baru yang signifikan,” jelas Riandy dalam diskusi di Jakarta, Senin (18/8/2025).

Ia mengingatkan, bila target terlalu tinggi, pemerintah berisiko menekan basis pajak yang sudah ada, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Penghasilan (PPh). “Ini bisa berdampak negatif terhadap konsumsi masyarakat di tengah ancaman perlambatan ekonomi. Konsumsi perlu dijaga, bukan malah dibebani,” tegasnya.

Dengan demikian, keberhasilan pemerintah mencapai target penerimaan pajak 2026 akan sangat ditentukan oleh efektivitas strategi peningkatan kepatuhan WP serta langkah pengawasan shadow economy. (alf)

 

en_US