Pemprov DKI Bebaskan 100% PBB-P2 Sekolah Swasta, Anggaran Dialihkan untuk Mutu Pendidikan

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengambil langkah progresif dengan membebaskan 100 persen Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) bagi sekolah swasta di Ibu Kota. Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 857 Tahun 2025 dan mulai berlaku pada tahun pajak mendatang.

Wakil Koordinator Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta, Yustinus Prastowo, menilai kebijakan tersebut sebagai terobosan baru yang belum pernah dilakukan pada era kepemimpinan Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, maupun Anies Baswedan. Menurutnya, pembebasan ini menunjukkan keberpihakan pemerintah daerah pada dunia pendidikan.

“Mulai tahun depan, kewajiban PBB-P2 bagi sekolah swasta dari jenjang SD hingga SMA dapat dikurangi hingga 100 persen,” ujar Prastowo di Jakarta, Senin (22/12/2025).

Ia menjelaskan, gagasan tersebut muncul setelah Pemprov DKI menelaah berbagai kebijakan yang berlaku serta menghimpun keluhan para pengelola sekolah swasta. Selama ini, beban PBB-P2 dinilai cukup besar dan berpengaruh pada ruang fiskal sekolah dalam mengelola operasional harian.

Dengan pembebasan pajak, anggaran yang sebelumnya dialokasikan untuk PBB-P2 diharapkan dapat dialihkan ke kebutuhan yang lebih mendesak, seperti peningkatan kualitas pembelajaran, kesejahteraan tenaga pendidik, hingga perbaikan sarana dan prasarana pendidikan.

Prastowo berharap kebijakan ini mampu meringankan beban operasional sekolah swasta, menjaga keberlangsungan lembaga pendidikan non-negeri, sekaligus berkontribusi pada peningkatan akses dan mutu pendidikan di Jakarta.

“Kebijakan ini bukan sekadar soal pajak, tetapi soal keberpihakan. Negara tidak boleh mengambil dari mereka yang justru sedang menjalankan fungsi sosial paling mendasar, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa,” tegasnya.

Berdasarkan Data Pendidikan DKI Jakarta, jumlah sekolah di provinsi ini mencapai lebih dari 10 ribu penyelenggara. Sekitar 80 persen atau sekitar delapan ribu sekolah di antaranya merupakan sekolah swasta dari jenjang PAUD hingga SMA sederajat. Dengan porsi yang dominan tersebut, kebijakan pembebasan PBB-P2 dinilai akan berdampak luas bagi ekosistem pendidikan di Ibu Kota. (alf)

Sinkronisasi Fiskal dan Pajak Pusat–Daerah Dinilai Kunci Perbaikan APBD

IKPI, Jakarta: Ketidaksinkronan antara desain fiskal pemerintah pusat dan kapasitas eksekusi di daerah dinilai menjadi salah satu penyebab utama lambatnya realisasi belanja APBD 2025. Kondisi ini berpotensi mengurangi efektivitas kebijakan pajak dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah.

Banjaran Surya Indrastomo menilai, tingginya realisasi transfer pusat ke daerah hingga akhir November 2025 membuktikan bahwa pemerintah pusat telah menyediakan ruang fiskal yang memadai. Dengan TKD yang hampir menyentuh realisasi penuh, isu ketersediaan kas seharusnya tidak lagi menjadi hambatan utama.

Namun demikian, ia menilai masih terdapat kesenjangan antara instrumen fiskal yang disiapkan pusat yang sebagian besar bersumber dari penerimaan pajak dengan kemampuan pemerintah daerah dalam mengeksekusi belanja secara tepat waktu dan berkualitas.

Kondisi tersebut menyebabkan transmisi fiskal ke perekonomian daerah tidak berjalan optimal. Padahal, belanja daerah berperan penting dalam memperluas basis pajak, meningkatkan kepatuhan, serta menjaga kesinambungan penerimaan negara.

Banjaran juga mencatat bahwa kebijakan efisiensi belanja pemerintah pusat pada awal 2025 turut memicu penyesuaian di daerah. Selain itu, pergantian kepala daerah pada tahun ini ikut memengaruhi ritme belanja akibat perubahan prioritas dan penyesuaian visi fiskal.

Faktor teknis seperti penerapan sistem e-katalog baru sejak awal 2025 juga dinilai memberi tantangan tambahan. Proses adaptasi sumber daya manusia dan petunjuk teknis pengadaan membuat sejumlah pemerintah daerah memilih bersikap lebih hati-hati.

Untuk sisa tahun anggaran 2025, Banjaran menyarankan percepatan belanja difokuskan pada pembayaran proyek yang sudah berjalan. Strategi ini dinilai lebih efektif dalam mendorong perputaran ekonomi dan menjaga momentum penerimaan pajak.

Sementara untuk tahun anggaran berikutnya, ia mendorong perbaikan struktural melalui perencanaan yang lebih matang sejak awal tahun, sinkronisasi pusat–daerah, serta pemberian insentif berbasis progres realisasi belanja. Dengan belanja yang lebih merata sepanjang tahun, kontribusi pajak terhadap pertumbuhan ekonomi dinilai akan lebih stabil dan berkelanjutan.

“Belanja daerah yang tepat waktu dan berkualitas akan memperkuat basis pajak. Di situlah kunci kesinambungan fiskal pusat dan daerah,” pungkasnya. (alf)

Belanja APBD Lambat Dinilai Tahan Dampak Pajak terhadap Ekonomi Daerah

IKPI, Jakarta: Lambatnya realisasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025 dinilai berpotensi menahan dampak positif penerimaan pajak terhadap perekonomian daerah. Chief Economist Bank Syariah Indonesia (BSI) Banjaran Surya Indrastomo menegaskan bahwa persoalan utama bukan terletak pada keterbatasan dana, melainkan pada efektivitas pengelolaan fiskal di tingkat pemerintah daerah.

Banjaran menjelaskan, berdasarkan data APBN KiTa edisi Desember 2025, realisasi transfer pusat ke daerah (TKD) hingga 30 November 2025 telah mencapai 91,5 persen dari pagu anggaran. Capaian tersebut menunjukkan bahwa pemerintah pusat telah menyalurkan dana secara agresif dan tepat waktu.

Di sisi lain, data Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) Kementerian Keuangan mencatat penerimaan APBD hingga pertengahan Desember 2025 telah mencapai 82,93 persen. Namun realisasi belanja daerah masih tertahan di level 70,81 persen, sehingga terjadi kesenjangan antara penerimaan dan belanja.

Menurut Banjaran, kondisi ini berdampak langsung terhadap efektivitas pajak sebagai instrumen penggerak ekonomi. Pajak yang telah dipungut negara, baik dari pusat maupun daerah, idealnya segera dikembalikan ke masyarakat melalui belanja pemerintah agar menciptakan multiplier effect.

Ketika belanja daerah tertahan, lanjutnya, dampak lanjutan terhadap konsumsi rumah tangga, investasi daerah, dan aktivitas usaha menjadi kurang optimal. Akibatnya, potensi penerimaan pajak lanjutan dari sektor riil juga ikut tertahan.

Banjaran juga menyoroti penurunan belanja modal secara tahunan yang tercatat dalam APBN KiTa. Penurunan ini mengindikasikan masih adanya hambatan dalam proses pengadaan dan pelaksanaan proyek infrastruktur di daerah.

Padahal, belanja modal memiliki keterkaitan erat dengan penerimaan pajak, terutama dari sektor konstruksi, perdagangan bahan bangunan, serta jasa pendukung lainnya. Ketika proyek tertunda, basis pajak di sektor-sektor tersebut ikut melemah.

“Belanja daerah yang lambat membuat pajak kehilangan daya dorongnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Masalahnya bukan dana, tetapi eksekusi kebijakan di daerah,” tegas Banjaran. (alf)

Bloomberg Intelligence: Laju Ekonomi RI Diproyeksi Melambat Imbas Tekanan Tarif AS dan Sentimen Investor

IKPI, Jakarta: Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan menghadapi tantangan lanjutan pada kuartal-kuartal mendatang. Lembaga riset global Bloomberg Intelligence menilai tekanan eksternal dari kebijakan tarif Amerika Serikat, ditambah meningkatnya kehati-hatian investor terhadap arah kebijakan fiskal, mulai menggerus momentum pertumbuhan.

Dalam riset BE Primer yang dirilis Senin (22/12/2025), ekonom Bloomberg Intelligence Tamara Mast Henderson mengungkapkan bahwa meskipun ekonomi Indonesia masih bergerak di kisaran tren historisnya, tanda-tanda perlambatan semakin terlihat. Sentimen pasar dinilai melemah seiring imbas tarif global yang kian terasa dan kekhawatiran atas pengelolaan fiskal.

“Kami memperkirakan perlambatan lanjutan pada kuartal-kuartal mendatang, dipengaruhi oleh melemahnya sentimen akibat tekanan tarif Amerika Serikat serta meningkatnya kehati-hatian investor terhadap kebijakan fiskal,” tulis Henderson dalam laporannya.

Data menunjukkan, pada kuartal III/2025 produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 5,04% secara tahunan. Angka ini memang melampaui ekspektasi pasar, namun melambat dibandingkan kuartal II/2025 yang mencatatkan pertumbuhan 5,12%. Perlambatan tersebut terutama berasal dari konsumsi rumah tangga yang mulai kehilangan tenaga.

Bloomberg Intelligence menyoroti bahwa belanja masyarakat selama ini menjadi penopang utama ekonomi nasional mulai tertekan oleh ketidakpastian global dan memburuknya sentimen. Kondisi ini membuat kontribusi konsumsi domestik terhadap pertumbuhan tidak sekuat periode sebelumnya.

Tekanan juga datang dari sisi investasi. Pembentukan modal tetap bruto hanya tumbuh 5,04% secara tahunan pada kuartal III/2025, merosot tajam dari 6,99% pada kuartal sebelumnya dan berada di bawah rata-rata pertumbuhan sejak 2008 yang berada di kisaran 5,2%. Menurut Henderson, perlambatan ini mencerminkan sikap investor yang semakin waspada di tengah tekanan tarif global dan ketidakpastian kebijakan fiskal.

Di tengah pelemahan konsumsi dan investasi, kinerja ekspor neto justru menunjukkan perbaikan dan memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan. Belanja pemerintah juga tercatat meningkat pada kuartal III/2025, seiring respons fiskal terhadap gelombang unjuk rasa yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia pada Agustus lalu.

Meski demikian, Bloomberg Intelligence menilai kombinasi melemahnya konsumsi rumah tangga dan investasi membuat ruang akselerasi ekonomi menjadi semakin terbatas. Kondisi ini dinilai dapat menjadi tantangan serius bagi ambisi pertumbuhan ekonomi 8% yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto di akhir masa jabatannya.

“Momentum mulai melemah,” tegas Henderson, menandai fase ekonomi Indonesia yang kian membutuhkan kebijakan yang mampu memulihkan kepercayaan dan menjaga daya dorong pertumbuhan. (alf)

Insentif Fiskal Dinilai Jadi Penentu Arah Pemulihan Industri Otomotif Nasional

IKPI, Jakarta: Pelaku industri otomotif menilai insentif fiskal masih memegang peranan strategis dalam menggerakkan kembali pasar kendaraan bermotor nasional yang belum sepenuhnya pulih. Di tengah permintaan yang belum menunjukkan tren pertumbuhan positif sepanjang tahun, dukungan kebijakan pemerintah dinilai krusial untuk menjaga kesinambungan produksi, penjualan, hingga stabilitas rantai pasok industri otomotif dari hulu ke hilir.

Marketing Director PT Toyota-Astra Motor, Jap Ernando Demily, menyampaikan bahwa insentif fiskal dapat berfungsi sebagai katalis pemulihan pasar. Ia mencontohkan kebijakan relaksasi Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) pada 2021 yang terbukti mampu mendongkrak penjualan mobil secara signifikan di tengah tekanan pascapandemi.

“Melihat kondisi saat ini, pasar masih belum tumbuh positif secara tahunan. Intervensi para pemangku kepentingan masih sangat dibutuhkan untuk mendorong produksi dalam negeri, sekaligus membangun industri otomotif secara komprehensif dari hulu ke hilir,” ujar Ernando dalam keterangan pers, Senin (22/12/2025).

Menurutnya, situasi pasar saat ini memiliki kemiripan dengan periode pemulihan pascapandemi, ketika permintaan belum sepenuhnya kembali dan industri memerlukan stimulus agar roda produksi kembali bergerak. Kebijakan yang tepat, lanjutnya, dapat menjaga kesinambungan produksi sekaligus memperkuat struktur rantai pasok industri otomotif nasional.

“Secara historis, insentif fiskal merupakan kebijakan penting untuk menstimulasi pertumbuhan pasar. Insentif PPnBM pada 2021 lalu berkontribusi besar dalam proses pemulihan pasar setelah terdampak Covid-19,” jelasnya.

Ernando juga menekankan pentingnya evaluasi terhadap arah insentif yang telah berjalan, khususnya untuk kendaraan elektrifikasi. Ia menilai, insentif tidak semestinya hanya mengejar peningkatan penjualan jangka pendek, tetapi harus mampu memperkuat fondasi industri dalam jangka panjang.

“Kebijakan insentif, terutama pada model elektrifikasi yang ada saat ini, perlu dievaluasi bersama terkait dampaknya terhadap pasar secara keseluruhan. Harapannya, kebijakan tersebut bukan hanya berdampak pada penjualan, tetapi juga mendorong pertumbuhan industri otomotif nasional secara berkelanjutan,” ujarnya.

Pandangan serupa disampaikan oleh pabrikan Jepang lainnya, Honda. Marketing Director PT Honda Prospect Motor, Yusak Billy, menilai insentif pemerintah dapat menjadi faktor penting yang membantu konsumen dalam mengambil keputusan pembelian, terutama ketika kondisi pasar melemah.

“Honda melihat insentif sebagai salah satu faktor yang dapat mendorong permintaan dan mempermudah keputusan pembelian kendaraan,” kata Billy.

Meski demikian, ia menilai target volume penjualan hingga satu juta unit tetap perlu dikaji secara realistis karena sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat. Dalam situasi tersebut, insentif pemerintah dinilai berperan menjaga momentum industri agar tidak semakin tertekan.

“Ke depan, kami yakin pemerintah memiliki pertimbangan dan kebijakan tersendiri dalam menentukan arah serta bentuk insentif yang paling tepat bagi industri otomotif nasional,” pungkasnya. (alf)

Kunjungan Lapangan KPP Badora Perkuat Pengawasan Kepatuhan Pajak di Karimun dan Batam

IKPI, Jakarta: Tim Kunjungan Kerja Lapangan dari Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing (KPP Badora) menuntaskan rangkaian verifikasi atas dua wajib pajak besar di Tanjung Balai Karimun dan Batam pada Agustus 2025. Langkah ini menjadi bagian dari upaya intensif Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam menindaklanjuti Surat Permintaan Penjelasan Data dan/atau Keterangan (SP2DK) untuk memastikan kepatuhan pelaporan perpajakan.

Kepala KPP Badora Natalius menegaskan, kunjungan lapangan merupakan instrumen penting pengawasan berbasis fakta. “Pelaksanaan kunjungan ini menegaskan peran DJP dalam fungsi pengawasan dan verifikasi data, memastikan kegiatan usaha yang dilaporkan selaras dengan kondisi faktual di lapangan,” ujarnya di ruang kerja KPP Badora, Jakarta baru baru ini.

Kunjungan pertama menyasar wajib pajak atas nama Agnes Chua Sey Ling, Direktur PT Kee Tee Sinergi, perusahaan produksi sarang burung walet yang terdaftar di KPP Tanjung Balai Karimun. Tim yang terdiri dari Account Representative Supriyati, Vera Novalin, Arief Eko Hutomo, dan Kusuma Indrajaya mendatangi alamat korespondensi yang tercatat pada sistem DJP. Di lokasi, ruko tersebut diketahui berfungsi sebagai toko kelontong, bukan kantor operasional perusahaan.

Verifikasi berlanjut ke dua titik kegiatan usaha walet di Jalan H. Arab dan Jalan Lubuk Semut, Karimun. Hasilnya, kedua lokasi tersebut tidak lagi menunjukkan aktivitas usaha aktif selama beberapa tahun terakhir. Ketidaksesuaian ini menjadi catatan penting dalam penilaian kepatuhan berbasis data lapangan.

Mewakili wajib pajak, konsultan pajak Suharmen menyatakan komitmen penyelesaian kewajiban. “Kami berkomitmen menindaklanjuti SP2DK melalui pembayaran dan pembetulan SPT Tahunan sesuai ketentuan,” ujarnya.

Kunjungan kedua dilakukan di Batam terhadap American Bureau of Shipping Indonesia (ABS Indonesia), bagian dari organisasi klasifikasi kapal global yang berdiri sejak 1862. Tim mendatangi kantor cabang di Menara Aria, Harbour Bay Downtown, serta lokasi galangan di PT Pax Ocean Batam, Tanjung Uncang, dan bertemu dengan perwakilan perusahaan, Hendra Satwika dan Aldino Syahrun Nurcahyono.

Dari pemaparan perusahaan, ABS Indonesia berfokus pada sektor maritim, lepas pantai, dan gas, dengan misi utama mendorong keselamatan jiwa, properti, dan lingkungan melalui standar teknis. Perusahaan menegaskan tidak memiliki galangan kapal sendiri dan untuk kepatuhan perpajakan menggunakan jasa PT Grant Thornton Strategic Consulting. (alf)

DJP–Kemenkop Pacu NPWP Koperasi Merah Putih, Target 80 Ribu Badan Usaha Desa

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Kementerian Koperasi memperkuat kolaborasi untuk mempercepat pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan bagi Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDKMP). Sinergi ini diharapkan menjadi pengungkit tertib administrasi sekaligus fondasi pengawasan kinerja koperasi di tingkat desa dan kelurahan.

Kerja sama tersebut ditegaskan melalui penandatanganan perjanjian kerja sama (PKS) antara Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto dan Deputi Bidang Kelembagaan dan Digital Koperasi Kementerian Koperasi Henra Saragih, Kamis (18/12/2025), di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta.

PKS ini merupakan tindak lanjut Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 tentang percepatan pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Pemerintah menargetkan sekitar 80 ribu koperasi desa dan kelurahan terbentuk di seluruh Indonesia sebagai motor penguatan ekonomi lokal.

“Melalui PKS ini, kami bersepakat mempercepat implementasi integrasi sistem pendaftaran NPWP badan bagi koperasi desa merah putih,” ujar Bimo dalam keterangan resmi, Jumat (19/12/2025).

Bimo menjelaskan, ruang lingkup kerja sama mencakup pertukaran dan pemanfaatan data, sosialisasi serta edukasi perpajakan, hingga kegiatan lain yang disepakati kedua pihak. DJP akan mengakses data profil, keuangan, dan potensi KDKMP sebagai dasar analisis pemenuhan kewajiban pajak. Sebaliknya, Kementerian Koperasi memperoleh data NPWP serta kepatuhan pelaporan SPT Tahunan PPh dan SPT Masa PPh Pasal 21/26 untuk pengawasan kinerja koperasi.

“Basis data bersama ini penting untuk analisis yang prudent, guna mengamankan penerimaan negara sekaligus meningkatkan kepatuhan,” kata Bimo.

Data internal DJP mencatat, hingga 16 Desember 2025 terdapat 81.436 wajib pajak dengan nama berunsur “Koperasi Desa Merah Putih” dari total 83.016 KDKMP yang tercatat di basis data Kementerian Koperasi. Dari jumlah tersebut, sekitar 56.000 koperasi (69,55%) mendaftar NPWP secara sukarela, sementara sekitar 24.000 koperasi (30,45%) terdaftar melalui pengumpulan data lapangan atau ekstensifikasi.

Bimo berharap momentum PKS ini menghadirkan manfaat konkret bagi program pemerintah. “Kami optimistis kolaborasi ini memperkuat tata kelola koperasi desa dan berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat,” ujarnya. (bl)

Penerimaan Pajak Mulai Menguat di November, Wamenkeu Optimistis Tutup Tahun Lebih Baik

IKPI, Jakarta: Kinerja penerimaan pajak menunjukkan sinyal perbaikan memasuki November 2025. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyampaikan bahwa laju pengumpulan pajak pada November lebih solid dibandingkan Oktober, mencerminkan membaiknya aktivitas ekonomi menjelang akhir tahun.

“Di bulan November 2025, progres atau kinerja pengumpulan pajak kita membaik dibandingkan capaian pada bulan Oktober,” ujar Suahasil dalam konferensi pers APBN KiTAedisi Desember 2025 di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (18/12/2025).

Hingga November 2025, realisasi penerimaan pajak bruto tercatat mencapai Rp1.985,48 triliun. Sementara itu, penerimaan pajak neto setelah memperhitungkan restitusi mencapai Rp1.634,43 triliun. Capaian tersebut setara 78,7 persen dari outlook penerimaan pajak 2025.

Meski belum menyentuh target tahunan, Suahasil menekankan adanya akselerasi secara bulanan. Secara month to month (mtm), penerimaan pajak neto November meningkat 2,5 persen dibandingkan Oktober, menjadi indikasi positif di tengah dinamika ekonomi global.

Rincian kinerja penerimaan pajak neto hingga November 2025 menunjukkan variasi antar pos. Pajak Penghasilan (PPh) Badan terealisasi Rp263,58 triliun atau masih terkontraksi 9 persen. PPh Orang Pribadi dan PPh Pasal 21 mencapai Rp218,31 triliun, turun 7,8 persen. Namun, PPh Final, PPh Pasal 22, dan PPh Pasal 26 mencatat pertumbuhan positif 1,4 persen dengan realisasi Rp305,43 triliun.

Dari sisi konsumsi, penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) mencapai Rp660,77 triliun atau terkontraksi 6,6 persen secara tahunan. Meski demikian, angkanya membaik signifikan dibandingkan Oktober yang berada di Rp556,61 triliun. Sementara kategori penerimaan lainnya mencatat kinerja paling kuat dengan pertumbuhan 21,5 persen dan realisasi Rp186,33 triliun.

Suahasil menyatakan harapan besar pada PPN dan PPnBM untuk menopang penerimaan hingga penutupan tahun. Menurutnya, kedua jenis pajak tersebut menjadi indikator denyut nadi perekonomian nasional karena sangat bergantung pada aktivitas transaksi.

“PPN muncul kalau ada transaksi. Kalau tidak ada transaksi, negara tidak menerima PPN. Jadi ketika PPN tumbuh positif, itu menandakan transaksi dan aktivitas ekonomi ikut bergerak,” jelasnya.

Dengan tren perbaikan pada November dan dorongan aktivitas ekonomi di Desember, pemerintah optimistis kinerja penerimaan pajak dapat ditutup lebih kuat, sekaligus menjaga keberlanjutan fiskal menjelang 2026. (alf)

Kebijakan Tarif AS Ringankan Beban Pajak Perdagangan Sawit Malaysia

IKPI, Jakarta: Kebijakan Amerika Serikat (AS) yang mengecualikan minyak sawit Malaysia dari tarif impor sebesar 19 persen dinilai memberikan keringanan signifikan terhadap beban pajak perdagangan sekaligus memperkuat daya saing ekspor komoditas unggulan negeri Jiran tersebut di pasar global.

Pengecualian tarif ini dipandang sebagai sinyal positif bagi industri sawit Malaysia yang sepanjang 2025 menghadapi tekanan eksternal, mulai dari pelemahan permintaan global hingga persaingan harga dengan minyak nabati alternatif. Dengan berkurangnya hambatan tarif, eksportir sawit Malaysia memiliki ruang lebih besar untuk menjaga margin usaha dan efisiensi fiskal dalam aktivitas perdagangan internasional.

Analis komoditas Danni Haizal Danial Donald, dalam laporannya yang dimuat kantor berita nasional Malaysia, Bernama, baru baru ini menilai kebijakan tarif AS tersebut memberi efek langsung terhadap biaya perdagangan. Menurutnya, pembebasan tarif impor menjadi faktor penting dalam menahan tekanan biaya ekspor di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Dari sisi harga, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Malaysia masih bergerak fluktuatif sepanjang 2025. Pada November 2025, harga CPO tercatat sebesar RM4.089,50 per ton, turun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya di level RM5.011,50 per ton. Hingga awal Desember 2025, harga CPO masih berada di kisaran RM4.000 per ton.

Meski demikian, prospek harga ke depan dinilai lebih konstruktif. Danni memproyeksikan harga CPO berpotensi menguat pada awal tahun mendatang dan bergerak menuju kisaran RM4.500 per ton. Proyeksi ini didorong oleh permintaan musiman menjelang perayaan Tahun Baru Imlek dan Ramadan, yang biasanya meningkatkan konsumsi minyak nabati di pasar internasional.

Dari sisi kinerja ekspor, sektor sawit Malaysia masih mencatatkan tren stagnan. Dalam 11 bulan pertama 2025, volume ekspor minyak sawit mencapai 22,55 juta ton dengan nilai RM103,01 miliar, lebih rendah dibandingkan capaian tahun 2024 yang mencapai 26,66 juta ton senilai RM109,39 miliar. Tekanan pajak dan kebijakan perdagangan di sejumlah negara tujuan turut mempengaruhi kinerja ekspor tersebut.

Namun, minyak sawit tetap menjadi tulang punggung sektor komoditas Malaysia. Data menunjukkan peningkatan produktivitas tandan buah segar (FFB) di sektor perkebunan. Pada periode Januari–Oktober 2025, produktivitas FFB mencapai 14,45 ton per hektare, meningkat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 13,96 ton per hektare. Capaian ini mencerminkan efisiensi produksi yang terus membaik.

Di sisi lain, tekanan permintaan global masih terasa, khususnya dari pasar utama seperti China. Konsumen di pasar tersebut cenderung beralih ke minyak nabati alternatif yang lebih murah, seperti minyak kedelai. Kondisi ini berdampak pada penurunan pengiriman minyak sawit Malaysia ke China hingga hampir 30 persen dalam 10 bulan pertama 2025.

Lemahnya serapan ekspor turut menyebabkan penumpukan stok domestik. Persediaan minyak sawit Malaysia tercatat melonjak hingga lebih dari 2,7 juta ton, level tertinggi dalam lebih dari enam tahun terakhir. Peningkatan stok ini mencerminkan ketidakseimbangan antara produksi yang relatif tinggi dan pembelian luar negeri yang melambat.

Dari sisi kebijakan domestik, pemerintah Malaysia memperkuat dukungan fiskal kepada sektor sawit, khususnya bagi pekebun kecil. Dalam Anggaran 2026, hampir RM2,4 miliar dialokasikan untuk melindungi lebih dari 720.000 peneroka dan pekebun kecil di bawah naungan FELDA, RISDA, dan FELCRA. Anggaran ini diarahkan untuk modernisasi agribisnis dan penguatan ketahanan ekonomi pekebun.

Selain itu, sekitar RM20 juta dialokasikan untuk mendukung pengembangan mekanisasi dan otomasi melalui kolaborasi dengan Lembaga Minyak Sawit Malaysia serta perusahaan besar industri sawit. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap tenaga kerja asing sekaligus meningkatkan efisiensi biaya produksi. (alf)

Optimalisasi Belanja APBN Berbasis Pajak Dorong Ekonomi NTT

IKPI, Jakarta: Optimalisasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang bersumber dari penerimaan pajak terus menjadi penggerak utama roda ekonomi Nusa Tenggara Timur (NTT). Sinergi antara Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Provinsi NTT dan Bank Indonesia diperkuat untuk memastikan belanja negara efektif menjaga momentum pertumbuhan ekonomi daerah hingga akhir tahun.

Kepala Kanwil DJPb Provinsi NTT Adi Setiawan mengungkapkan, hingga pertengahan Desember realisasi belanja negara di NTT telah mencapai Rp30,7 triliun. Dana yang dihimpun negara—terutama dari pajak—itu kembali ke daerah melalui belanja pemerintah untuk menopang aktivitas ekonomi dan pelayanan publik.

Dari total realisasi tersebut, sekitar 72,8 persen merupakan Transfer ke Daerah (TKD) yang dikelola pemerintah daerah. Sementara 27,2 persen lainnya berasal dari belanja instansi vertikal kementerian dan lembaga. Keduanya berperan penting dalam menjaga kesinambungan pembangunan dan perputaran ekonomi di wilayah NTT.

Adi menegaskan, APBN berbasis pajak masih menjadi tulang punggung perekonomian di Bumi Flobamora. Pasalnya, tingkat kemandirian fiskal daerah rata-rata masih rendah sehingga belanja negara memiliki dampak signifikan dalam menjaga roda pemerintahan dan mendorong aktivitas ekonomi masyarakat.

“Realisasi belanja APBN sangat berpengaruh. Ketika pemerintah membayarkan gaji pegawai atau menyalurkan bantuan sosial, daya beli masyarakat meningkat. Ini mendorong perputaran uang dan transaksi ekonomi di daerah,” ujarnya baru baru ini.

Dukungan APBN juga dirasakan langsung oleh pelaku usaha melalui pembiayaan berbasis subsidi bunga. Penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) di NTT telah mencapai Rp2,58 triliun kepada lebih dari 60 ribu pelaku UMKM. Sementara Pembiayaan Ultra Mikro (UMi) menjangkau lebih dari 59 ribu debitur yang sebelumnya belum tersentuh layanan perbankan, dengan 99 persen disalurkan melalui pola kelompok tanggung renteng.

“Puluhan ribu pedagang, pengrajin, petani, dan pelaku usaha mikro di NTT terbantu menjalankan usahanya berkat permodalan yang bersumber dari APBN,” kata Adi.

Meski demikian, besarnya aliran dana negara menuntut peningkatan kualitas belanja. Berdasarkan evaluasi 2015–2024, kenaikan alokasi TKD belum sepenuhnya sejalan dengan capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang optimal.

Adi menjelaskan, efektivitas belanja berbeda antar jenis transfer. Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan Dana Desa terbukti memiliki daya ungkit langsung terhadap peningkatan IPM karena diarahkan secara spesifik untuk pembangunan infrastruktur layanan dasar, terutama pendidikan dan kesehatan.

Sebaliknya, belanja transfer yang bersifat block grant cenderung kurang berdampak pada IPM karena lebih banyak terserap untuk belanja operasional dan layanan administratif.

Atas kondisi tersebut, Kanwil DJPb NTT merekomendasikan penyesuaian pola belanja ke depan agar lebih berorientasi pada kualitas dan hasil jangka panjang. Optimalisasi belanja APBN berbasis pajak diharapkan tidak hanya menjaga stabilitas ekonomi jangka pendek, tetapi juga memperkuat fondasi pembangunan manusia di NTT. (alf)

en_US