Kanwil DJP Sumbar–Jambi Amankan Rp583,56 Miliar dari Pengawasan dan Penegakan Hukum

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Sumatera Barat dan Jambi berhasil mengamankan penerimaan negara sebesar Rp583,56 miliar sepanjang tahun 2025 melalui penguatan pengawasan dan penegakan hukum perpajakan yang dijalankan secara terpadu dan berimbang.

Kepala Kanwil DJP Sumatera Barat dan Jambi, Arif Mahmudin Zuhri, menegaskan bahwa seluruh upaya tersebut berangkat dari penguatan kepatuhan dasar Wajib Pajak.

“Penegakan hukum perpajakan pada prinsipnya berangkat dari kepatuhan dasar Wajib Pajak, yaitu penyampaian Surat Pemberitahuan secara benar dan tepat waktu,” ujar Arif dalam keterangan resminya, Kamis (18/12/2025).

Hingga 15 Desember 2025, tingkat kepatuhan formal Wajib Pajak di wilayah Sumatera Barat dan Jambi tercatat sangat positif. SPT Tahunan telah mencapai 98,7 persen, SPT Masa PPN 99,5 persen, dan SPT Masa PPh Pasal 21 bahkan menembus 117,9 persen.

“Capaian ini menunjukkan kepatuhan pajak sukarela yang semakin membaik dan masih berpotensi meningkat hingga akhir tahun,” kata Arif.

Seiring dengan meningkatnya kepatuhan, DJP terus memperkuat pengawasan dan penegakan hukum perpajakan melalui mekanisme yang berjenjang, mulai dari pemeriksaan, penagihan, pemeriksaan bukti permulaan, hingga penyidikan. Dari rangkaian upaya tersebut, kontribusi penerimaan yang berhasil diamankan mencapai Rp583,56 miliar.

Pada sektor pemeriksaan pajak, hingga 10 Desember 2025, penerimaan yang dihimpun mencapai Rp437 miliar. Pemeriksaan dilakukan oleh Unit Pemeriksa Pajak di tingkat kanwil dan kantor pelayanan pajak dengan mengedepankan akurasi dan kepatuhan prosedur.

“Pemeriksaan bukan semata-mata untuk mencari kekeliruan, tetapi memastikan keadilan pemenuhan kewajiban perpajakan berbasis data dan ketentuan,” tegas Arif.

Dalam rangka mendukung efektivitas pemeriksaan, sepanjang Januari hingga awal Desember 2025 telah diterbitkan 1.293 Surat Perintah Pemeriksaan dengan potensi awal Rp337,26 miliar. Pada periode yang sama, DJP menyelesaikan 1.365 Laporan Hasil Pemeriksaan yang menghasilkan 8.405 produk hukum perpajakan berupa surat ketetapan dan surat tagihan.

Di sisi penagihan, Kanwil DJP Sumatera Barat dan Jambi juga mengintensifkan penagihan aktif sebagai bagian dari pengawasan dan penegakan hukum administrasi. Salah satunya dilakukan melalui pemblokiran serentak rekening penunggak pajak pada November 2025.

“Tindakan penagihan dilakukan setelah tahapan persuasif ditempuh dan tetap memberikan ruang bagi Wajib Pajak untuk melunasi kewajibannya secara sukarela,” ujarnya.

Hingga pertengahan Desember 2025, penagihan aktif yang meliputi penerbitan Surat Paksa, tindakan sita, pencegahan, dan pemblokiran rekening berhasil membukukan penerimaan sebesar Rp142 miliar. DJP menilai langkah ini penting untuk menjaga kesetaraan perlakuan antara Wajib Pajak patuh dan tidak patuh.

Selain itu, penegakan hukum pidana perpajakan juga tetap dijalankan secara selektif dan proporsional. Sepanjang 2025, penyelesaian perkara pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan berhasil memulihkan kerugian negara sebesar Rp4,25 miliar.

“Penegakan hukum pidana tetap kami lakukan dengan mengedepankan kepastian hukum serta pemulihan kerugian negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” kata Arif.

Ia menegaskan komitmen DJP untuk terus menghadirkan pengawasan dan penegakan hukum yang profesional, berkeadilan, dan humanis.

“Dengan semangat Pajak Tumbuh, Indonesia Tangguh, kami akan terus meningkatkan kualitas layanan, memperkuat pengawasan, dan menjaga kepercayaan publik,” pungkasnya.  (bl)

DJP Perpanjang Masa Aktif Kode Billing Jadi 14 Hari, Ini Alasannya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan resmi memperpanjang masa aktif kode billing pajak guna memberikan kemudahan dan kepastian bagi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Kebijakan ini tertuang dalam Pengumuman Nomor PENG-4/PJ/2025 yang ditetapkan pada 17 Desember 2025  .

Melalui pengumuman tersebut, DJP memperpanjang masa aktif kode billing dari sebelumnya 7 x 24 jam (168 jam) menjadi 14 x 24 jam (336 jam) sejak kode billing diterbitkan. Kebijakan ini berlaku untuk seluruh kode billing yang dibuat sejak pengumuman tersebut diterbitkan.

Direktorat Jenderal Pajak menjelaskan, perpanjangan masa aktif kode billing merupakan bagian dari komitmen berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas pelayanan perpajakan sekaligus merespons berbagai masukan dari wajib pajak, khususnya terkait kendala dalam proses pembayaran dan penyetoran pajak.

Dalam praktiknya, DJP menilai bahwa pemenuhan kewajiban perpajakan tidak selalu berjalan mulus. Sejumlah kondisi keadaan kahar (force majeure) kerap membuat pembayaran pajak tidak dapat dilakukan tepat waktu, meskipun wajib pajak telah memiliki kode billing yang sah.

Beberapa kondisi yang dikategorikan sebagai keadaan kahar antara lain gangguan infrastruktur jaringan, kompleksitas administrasi pembayaran yang melibatkan pihak ketiga, prosedur pembayaran lintas negara melalui jaringan perbankan internasional, hingga rangkaian hari libur nasional dan cuti bersama yang cukup panjang.

Berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2024, DJP memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijakan khusus apabila terjadi keadaan kahar. Perpanjangan masa aktif kode billing ini pun menjadi langkah antisipatif agar pembayaran pajak tidak gagal hanya karena kode billing kedaluwarsa.

Kebijakan ini dirancang untuk mendukung pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan secara lebih efektif, sekaligus menjaga kelancaran arus penerimaan negara.

Dengan masa aktif yang lebih panjang, wajib pajak diharapkan memiliki waktu yang lebih memadai untuk menyelesaikan proses pembayaran pajak, terutama dalam situasi administratif yang kompleks atau melibatkan sistem lintas negara.

DJP juga mengimbau agar pengumuman ini disebarluaskan secara luas, sehingga seluruh wajib pajak dapat memahami dan memanfaatkan kebijakan perpanjangan masa aktif kode billing tersebut secara optimal. (bl)

BI Tahan Suku Bunga, Stabilitas Rupiah Jadi Prioritas di Tengah Tekanan Global dan Risiko Fiskal

IKPI, Jakarta: Bank Indonesia kembali memilih bersikap hati-hati dengan menahan suku bunga acuan di tengah ketidakpastian global yang belum mereda dan meningkatnya sorotan terhadap kondisi fiskal domestik. Keputusan ini menegaskan fokus bank sentral untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, yang belakangan menghadapi tekanan berlapis dari faktor eksternal dan internal.

Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 16–17 Desember 2025, Bank Indonesia memutuskan mempertahankan BI-Rate di level 4,75%. Sejalan dengan itu, suku bunga Deposit Facility tetap di 3,75% dan Lending Facility dipertahankan sebesar 5,5%.

Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan, keputusan tersebut konsisten dengan bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas moneter, khususnya nilai tukar rupiah, di tengah tingginya ketidakpastian pasar keuangan global yang masih membayangi.

Dikutip dari Kontan, Rabu (17/12/2025), ekonom Bright Institute Yanuar Rizky menilai langkah BI ini mencerminkan kesadaran otoritas moneter terhadap tekanan yang sedang dihadapi rupiah. Menurutnya, selain faktor global, kondisi fiskal domestik turut memperberat beban nilai tukar, terutama terkait kebutuhan pembiayaan dan jatuh tempo utang hingga beberapa tahun ke depan.

Rizky juga menilai arus dana ke negara berkembang belum akan deras dalam waktu dekat. Meski bank sentral AS telah mulai memangkas suku bunga, tingginya harga emas serta daya tarik imbal hasil US Treasury membuat aliran modal global masih cenderung berhati-hati.

Pandangan senada disampaikan Global Markets Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto. Ia menekankan bahwa penahanan suku bunga selama dua bulan terakhir bertujuan utama menjaga stabilitas moneter dan menahan volatilitas rupiah di tengah derasnya arus keluar modal. Dengan mempertahankan selisih imbal hasil obligasi Indonesia dan Amerika Serikat, daya tarik aset domestik diharapkan tetap terjaga.

Myrdal menambahkan, kebijakan tersebut diharapkan mampu meredam pergerakan dana asing jangka pendek sekaligus mengurangi kebutuhan penyesuaian nilai tukar yang terlalu tajam. Ia optimistis stabilitas rupiah hingga tahun depan masih relatif terjaga, ditopang surplus neraca dagang dan sikap BI yang semakin berhati-hati dalam melonggarkan kebijakan moneter.

Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai peluang penguatan rupiah pada 2026 tetap terbuka meski bersifat bertahap dan terbatas. Menurutnya, potensi penurunan suku bunga bank sentral AS dapat menekan imbal hasil obligasi AS dan melemahkan dolar, sehingga membuka ruang kembalinya arus modal ke negara berkembang.

Namun demikian, Josua mengingatkan pasar akan tetap sensitif terhadap arah kebijakan fiskal dan moneter domestik. Kombinasi kebijakan yang dinilai terlalu longgar berisiko meningkatkan persepsi risiko dan menahan masuknya modal asing. Selain itu, normalisasi harga komoditas serta potensi pelebaran defisit transaksi berjalan juga membuat rupiah rentan bergejolak.

Presiden Komisaris HFX International Berjangka, Sutopo Widodo, turut menilai rupiah masih menghadapi tantangan struktural untuk menguat signifikan. Risiko inflasi domestik yang tidak terduga serta ketidakpastian arah kebijakan The Fed berpotensi menjadi sumber volatilitas baru di pasar keuangan.

Meski demikian, para ekonom tersebut sepakat bahwa tren rupiah pada 2026 berpeluang mengarah ke apresiasi moderat. Proyeksi nilai tukar akhir 2026 berada di kisaran Rp16.000–Rp16.500 per dolar AS, dengan catatan stabilitas domestik terjaga dan sentimen global tetap kondusif. Penguatan yang lebih dalam dinilai hanya mungkin terjadi bila reformasi struktural berjalan efektif dan kredibilitas kebijakan ekonomi semakin meyakinkan. (alf)

Italia Ingatkan Risiko Fiskal Pemanfaatan Aset Beku Rusia untuk Ukraina

IKPI, Jakarta: Pemerintah Italia menyerukan sikap hati-hati terkait wacana pemanfaatan aset beku milik Rusia yang saat ini tengah dipertimbangkan oleh Uni Eropa. Roma menilai, langkah tersebut berpotensi membawa konsekuensi hukum dan keuangan serius, terutama bila aset itu digunakan untuk mendukung pembiayaan kebutuhan Ukraina.

Mengutip laporan Reuters, Rabu (17/12/2025), Italia menyampaikan kekhawatiran bahwa negara-negara anggota dapat dibebani klaim ganti rugi apabila Rusia berhasil memenangkan gugatan hukum atas kebijakan tersebut. Risiko itu dinilai dapat berdampak langsung pada stabilitas keuangan negara.

Italia juga menekankan pentingnya kajian komprehensif oleh Komisi Eropa. Menurut Roma, setiap opsi pendanaan yang memanfaatkan aset beku perlu diuji secara menyeluruh, baik dari sisi legalitas maupun implikasi fiskalnya, sebelum diambil keputusan final.

Dalam draf dokumen yang masih menunggu finalisasi, pemerintah Italia menyebutkan bahwa rencana tersebut akan dibahas dan dipungut suara di Parlemen Italia. Pemerintah berjanji memberi perhatian khusus terhadap dampak jangka pendek dan jangka panjang kebijakan itu terhadap keuangan publik.

Sikap waspada ini tak lepas dari posisi fiskal Italia yang sedang berupaya keluar dari prosedur pelanggaran defisit anggaran berlebihan yang ditetapkan oleh Uni Eropa. Roma menilai, keputusan yang tergesa-gesa terkait aset beku Rusia justru berisiko memperburuk posisi fiskal negara pada tahun mendatang.

Sebagai alternatif, Italia mendorong negara-negara mitra untuk mengeksplorasi skema pendanaan lain bagi Ukraina. Salah satu opsi yang diusulkan adalah pinjaman jembatan yang dijamin oleh dana Uni Eropa, sehingga risiko hukum dan keuangan dapat diminimalkan.

Saat ini, Uni Eropa memang tengah mempertimbangkan pemanfaatan aset bank sentral beku milik Rusia untuk mendukung pembiayaan kebutuhan militer dan sipil Ukraina. Namun, rencana tersebut menuai keberatan dari sejumlah negara anggota, termasuk Belgia.

Di sisi lain, Bank Sentral Rusia telah melayangkan gugatan hukum dan menuntut ganti rugi. Pemerintah Rusia menegaskan bahwa pemanfaatan aset beku tersebut merupakan tindakan ilegal dan menyatakan akan menempuh seluruh jalur yang tersedia untuk melindungi kepentingan nasionalnya. (alf)

Bantuan Bencana dari Luar Negeri Bisa Bebas PPN, DJP Tegaskan Syarat dan Prosedurnya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa bantuan kemanusiaan dari luar negeri yang diperuntukkan bagi penanggulangan bencana di Indonesia dapat memperoleh fasilitas pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Fasilitas tersebut diberikan sepanjang memenuhi persyaratan administratif dan ketentuan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menjelaskan bahwa salah satu syarat utama untuk mendapatkan fasilitas bebas PPN adalah adanya rekomendasi pembebasan bea masuk. Rekomendasi tersebut harus diterbitkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), atau gubernur setempat.

“Untuk memperoleh fasilitas ini diperlukan rekomendasi pembebasan bea masuk dari BNPB, BPBD, atau gubernur,” ujar Rosmauli, Rabu (17/12/2025)

Ia menambahkan, ketentuan pembebasan PPN atas bantuan dari luar negeri telah diatur secara jelas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022. Dalam regulasi tersebut disebutkan bahwa fasilitas bebas PPN hanya dapat diberikan apabila penerima bantuan termasuk dalam kategori pihak tertentu.

Pihak tertentu yang dimaksud meliputi badan atau lembaga yang bergerak di bidang ibadah, amal, sosial, atau kebudayaan; pemerintah pusat maupun pemerintah daerah; serta lembaga internasional atau lembaga asing nonpemerintah yang menyalurkan bantuan kemanusiaan.

Rosmauli juga menegaskan bahwa setiap barang yang masuk ke wilayah Indonesia, termasuk bantuan bencana, tetap wajib melalui prosedur pemeriksaan kepabeanan. Pemeriksaan tersebut merupakan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam rangka pengawasan lalu lintas barang dari luar daerah pabean.

Menurutnya, mekanisme pengawasan ini bukan untuk menghambat penyaluran bantuan, melainkan untuk memastikan bantuan benar-benar digunakan sesuai tujuan kemanusiaan. Selain itu, pemeriksaan dilakukan guna menjamin barang yang masuk aman, layak digunakan, serta tidak membahayakan kesehatan dan keselamatan masyarakat.

“Pengawasan juga diperlukan untuk mencegah potensi penyalahgunaan bantuan kemanusiaan, termasuk kemungkinan pengalihan barang untuk kepentingan di luar penanggulangan bencana,” jelasnya.

Penegasan DJP ini muncul di tengah keluhan sebagian diaspora Indonesia di luar negeri, khususnya di Singapura, terkait pengiriman bantuan untuk korban banjir di Sumatera. Seorang diaspora bernama Fika mengungkapkan kekhawatirannya melalui unggahan di akun Instagram @ffawzia07.

Dalam unggahannya, Fika menuliskan bahwa bantuan dari diaspora berpotensi dikenakan pajak apabila bencana yang terjadi belum ditetapkan sebagai bencana nasional. Unggahan tersebut ramai diperbincangkan dan memicu pertanyaan publik mengenai kebijakan perpajakan atas bantuan kemanusiaan dari luar negeri.

DJP pun menegaskan bahwa selama persyaratan dan mekanisme yang ditetapkan dipenuhi, bantuan kemanusiaan dari luar negeri tetap dapat memperoleh fasilitas perpajakan, sehingga proses penyalurannya diharapkan berjalan lancar dan tepat sasaran. (alf)

Sebanyak 600 Wajib Pajak di Cirebon–Kuningan Dapat Pendampingan Coretax Jelang Pelaporan SPT 2026

IKPI, Jakarta: Sebanyak 600 Wajib Pajak di wilayah Cirebon dan Kuningan mendapatkan pendampingan langsung terkait aktivasi akun Coretax dan pembuatan Kode Otorisasi DJP. Kegiatan ini digelar oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Barat II sebagai bagian dari penguatan kesiapan Wajib Pajak menghadapi pelaporan SPT Tahunan 2026.

Program asistensi berlangsung selama empat hari, mulai 9 hingga 12 Desember 2025. Pendampingan difokuskan pada pengenalan dan penggunaan sistem administrasi perpajakan berbasis digital agar Wajib Pajak tidak mengalami hambatan teknis saat masa pelaporan nanti.

Untuk menjangkau peserta secara lebih luas, asistensi dilaksanakan di sejumlah lokasi pendidikan dan instansi pemerintah. Beberapa di antaranya adalah Universitas Swadaya Gunung Jati, UIN Siber Syekh Nurjati, KPP Pratama Cirebon Satu, Universitas Kuningan, serta Dinas Kesehatan Kabupaten Kuningan. Pola sebaran lokasi ini memungkinkan layanan pendampingan lebih dekat dengan Wajib Pajak dari berbagai sektor.

Dalam pelaksanaannya, Tim Penyuluh Kanwil DJP Jawa Barat II bekerja sama dengan Relawan Pajak dan didukung oleh KPP Pratama setempat. Peserta dibimbing secara langsung mulai dari proses aktivasi akun Coretax, pembuatan kode otorisasi, hingga simulasi pengisian dan pelaporan SPT Tahunan.

Pendekatan asistensi dilakukan secara praktis. Wajib Pajak diminta menggunakan perangkat yang biasa dipakai sehari-hari, seperti telepon genggam dan laptop, sehingga mereka dapat memahami alur sistem sekaligus mempraktikkannya secara mandiri.

Salah satu penyuluh Kanwil DJP Jawa Barat II, Taslani, menjelaskan bahwa kegiatan ini dirancang untuk meminimalkan potensi kendala pada puncak masa pelaporan SPT. “Kami ingin memastikan Wajib Pajak sudah siap secara teknis dan memahami mekanisme pelaporan pada sistem yang baru,” ujarnya.

Menurut Taslani, pendampingan tatap muka juga menjadi sarana peningkatan literasi perpajakan digital. Dengan pemahaman yang baik, Wajib Pajak diharapkan semakin percaya diri dalam menjalankan kewajiban perpajakannya sesuai prinsip self assessment.

Hasilnya, sekitar 600 peserta tercatat berhasil mengaktifkan akun Coretax selama kegiatan berlangsung. Angka tersebut menunjukkan tingginya kebutuhan akan pendampingan langsung, sekaligus respons positif Wajib Pajak terhadap transformasi layanan perpajakan digital.

Melalui kegiatan ini, Kanwil DJP Jawa Barat II berharap proses pelaporan SPT Tahunan ke depan dapat berjalan lebih lancar, tingkat kepatuhan Wajib Pajak meningkat, serta sistem administrasi perpajakan nasional semakin modern dan berorientasi pada pelayanan. (alf)

Mulai 2026, Bea Keluar Batu Bara Berlaku Lagi, Negara Bidik Tambahan Rp20 Triliun

IKPI, Jakarta: Pemerintah memastikan kebijakan pengenaan bea keluar atas komoditas batu bara akan kembali diberlakukan mulai Januari 2026. Kebijakan ini disiapkan seiring langkah serupa yang telah lebih dulu diterapkan pada komoditas emas sebagai bagian dari penguatan penerimaan negara.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, meski aturan bea keluar batu bara masih dalam tahap finalisasi, implementasinya tidak akan mundur dari awal tahun depan. “Tapi Januari langsung berlaku,” ujarnya usai menghadiri agenda di Istana Negara, Jakarta, Senin malam (15/12/2025).

Untuk batu bara, pemerintah menyiapkan tarif bea keluar pada kisaran 1% hingga 5%. Dari kebijakan tersebut, pemerintah menargetkan tambahan setoran penerimaan negara sekitar Rp20 triliun sepanjang 2026. Angka ini diharapkan menjadi penopang fiskal di tengah kebutuhan pembiayaan pembangunan yang terus meningkat.

Menurut Purbaya, pengenaan kembali bea keluar batu bara sekaligus mengoreksi kebijakan masa lalu. Ia menilai, penghapusan bea keluar melalui Undang-Undang Cipta Kerja justru membuat negara seolah memberi subsidi tidak langsung kepada industri batu bara. “Kita balik ke status awal. Jangan sampai negara malah mensubsidi industri batu bara,” tegasnya.

Sementara itu, untuk komoditas emas, ketentuan bea keluar telah diatur secara rinci melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 80 Tahun 2025. Aturan tersebut ditandatangani pada 17 November 2025, diundangkan pada 9 Desember 2025, dan mulai berlaku setelah 14 hari sejak diundangkan.

Dalam beleid tersebut, tarif bea keluar emas ditetapkan secara berjenjang berdasarkan Harga Referensi Emas dan jenis produk yang diekspor. Jika harga referensi berada di kisaran US$2.800 hingga di bawah US$3.200 per troy ounce, tarif bea keluar dikenakan antara 7,5% hingga 12,5%.

Adapun ketika harga referensi menembus US$3.200 per troy ounce, tarif bea keluar meningkat ke rentang 10% sampai 15%, tergantung pada bentuk emas yang diekspor. Untuk emas dore baik dalam bentuk bongkah, ingot, batang tuangan, maupun bentuk sejenis tarif dipatok pada level tertinggi, yakni 12,5% hingga 15%.

Sementara itu, emas atau paduan emas non-dore dalam bentuk granules dikenakan tarif 10% hingga 12,5%. Untuk emas non-dore berbentuk bongkah, ingot, cast bars, maupun minted bars, tarifnya lebih rendah, yakni 7,5% hingga 10%. (alf)

Penerimaan Pajak Tertekan, Purbaya Pastikan Defisit APBN Tetap Aman

IKPI, Jakarta: Pemerintah mengakui kinerja penerimaan negara hingga akhir 2025 masih berada di bawah sasaran yang ditetapkan. Tekanan tersebut tercermin dari proyeksi penerimaan pajak dalam outlook laporan semester yang hanya mencapai Rp2.076,9 triliun, lebih rendah dari target awal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

Meski demikian, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan defisit APBN 2025 dipastikan tidak akan melebar melampaui proyeksi semester I, yakni 2,78 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Menurutnya, berbagai langkah penguatan penerimaan dan pengendalian belanja terus diintensifkan pada dua bulan terakhir tahun anggaran.

“Masih ada berbagai upaya yang dilakukan di sisa waktu tahun ini. Tekanan memang ada, tetapi defisit tidak akan melebar secara signifikan,” ujarnya kepada wartawan di Istana Kepresidenan, Senin (15/12/2025).

Ia menekankan, posisi defisit APBN 2025 tetap dijaga berada di bawah ambang batas maksimal 3 persen PDB sebagaimana diatur dalam undang-undang. Dengan pengelolaan yang disiplin, pemerintah menilai ruang fiskal masih berada dalam kondisi aman meski penerimaan menghadapi tantangan berat.

Pengawasan terhadap kas negara, lanjutnya, dilakukan secara intensif oleh Kementerian Keuangan. Pemantauan bahkan dilakukan hampir setiap hari untuk memastikan strategi pengendalian fiskal berjalan sesuai rencana dan risiko dapat diminimalkan sejak dini.

Berdasarkan APBN 2025, target awal penerimaan pajak dipatok sebesar Rp2.189,31 triliun. Namun hingga akhir Oktober 2025, realisasi baru mencapai Rp1.459,02 triliun atau sekitar 70,2 persen dari target. Artinya, pemerintah masih membutuhkan tambahan penerimaan sekitar Rp617,9 triliun hingga tutup buku tahun anggaran.

Pemerintah juga mengakui belum dapat memastikan besaran pasti shortfall penerimaan pajak hingga pertengahan Desember 2025. Pergerakan angka penerimaan dinilai masih dinamis seiring berjalannya sisa waktu tahun anggaran dan aktivitas ekonomi yang fluktuatif.

“Angkanya masih bergerak. Tekanannya cukup terasa, tapi tetap kita jaga agar berada di level yang aman,” katanya.

Ke depan, pemerintah berencana melakukan pembenahan menyeluruh dalam pengelolaan perpajakan. Evaluasi kebijakan, penguatan basis pajak, hingga perbaikan tata kelola akan menjadi fokus agar penerimaan negara lebih berkelanjutan pada tahun anggaran berikutnya. (alf)

Pengawasan Pajak Diperkuat, DJP Panggil Wajib Pajak Konglomerat

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memperkuat langkah pengawasan kepatuhan pajak dengan memanggil sejumlah wajib pajak konglomerat atau High Wealth Individual (HWI). Pemanggilan ini dilakukan untuk menyesuaikan data yang disampaikan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan dengan data pembanding yang telah dimiliki pemerintah.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menjelaskan, langkah tersebut merupakan bagian dari pengawasan rutin DJP yang mengedepankan komunikasi dan pendekatan persuasif. Menurutnya, klarifikasi langsung menjadi sarana penting untuk memastikan kesesuaian pelaporan pajak dengan kondisi sebenarnya.

“Pemanggilan ini dilakukan dalam konteks konsultasi dan komunikasi kepatuhan. Kami memiliki sejumlah data yang selama ini mungkin belum terkomunikasikan secara optimal dengan wajib pajak,” ujar Bimo, Selasa (16/12/2025).

Bimo mengungkapkan, DJP kini mengantongi sumber data yang semakin beragam dan komprehensif, termasuk informasi mengenai beneficial owner. Data tersebut menjadi landasan untuk melakukan pembandingan dan analisis kepatuhan wajib pajak secara lebih akurat.

Meski demikian, ia menilai masih terdapat anggapan di sebagian kalangan wajib pajak bahwa otoritas pajak tidak memiliki akses terhadap data tertentu. Persepsi tersebut kerap berujung pada tidak dilaporkannya seluruh informasi dalam SPT Tahunan. “Padahal saat ini kami memiliki basis data yang sangat kuat untuk melakukan benchmarking kepatuhan,” jelasnya.

Lebih lanjut, Bimo menyoroti adanya tantangan fiskal ketika pelaporan pajak kelompok berpenghasilan tinggi belum sepenuhnya mencerminkan kemampuan ekonominya. Kondisi ini, menurutnya, perlu disikapi melalui pengawasan yang adil dan konsisten agar fungsi pajak sebagai instrumen pemerataan dapat berjalan optimal.

Ia menegaskan, penguatan pengawasan kepatuhan pajak sejalan dengan peran kebijakan fiskal sebagai penyeimbang ketimpangan sosial dan ekonomi, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. (alf)

DJP Tegaskan Tak Ada Ijon Pajak, Optimalkan Strategi Kejar Penerimaan 2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menepis isu adanya praktik ijon pajak untuk mengejar penerimaan negara tahun 2025. DJP menegaskan, seluruh proses pemungutan dan pengamanan penerimaan pajak dijalankan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, tanpa menyalahi prinsip profesionalisme dan akuntabilitas.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menyatakan bahwa otoritas pajak tidak pernah meminta wajib pajak menyetorkan kewajiban yang sejatinya baru terutang pada tahun berikutnya. Menurutnya, seluruh mekanisme pengumpulan pajak berjalan dalam koridor hukum yang berlaku.

“Seluruh proses dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan prinsip profesionalisme,” ujar Rosmauli, Selasa (16/12/2025).

Ia menjelaskan, hingga akhir tahun DJP akan terus mengintensifkan strategi penerimaan melalui berbagai langkah yang telah dirancang. Upaya tersebut antara lain penguatan pengawasan pembayaran masa (PPM), pengawasan kepatuhan material (PKM), perluasan basis pajak lewat ekstensifikasi dan intensifikasi, serta optimalisasi pemanfaatan sistem Coretax untuk meningkatkan kualitas administrasi perpajakan.

Isu ijon pajak sebelumnya mencuat setelah David Sumual, Chief Economist PT Bank Central Asia Tbk, mengungkapkan adanya informasi yang beredar di kalangan pelaku usaha mengenai kemungkinan langkah-langkah luar biasa guna menutup potensi kekurangan penerimaan pajak tahun berjalan.

“Kalau pajak yang kita khawatir sebenarnya bisa saja dilakukan upaya-upaya terobosan seperti dulu, ada ijon. Saya dengar-dengar katanya ada pembicaraan ke arah sana,” ujar David dalam diskusi media di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (15/12/2025).

Kekhawatiran tersebut muncul di tengah capaian penerimaan pajak yang hingga 31 Oktober 2025 baru mencapai Rp1.459 triliun, atau sekitar 70,2 persen dari outlook Laporan Semester I-2025 sebesar Rp2.076,9 triliun. Dengan sisa waktu yang terbatas, target tersebut dinilai cukup menantang untuk dikejar.

David juga menyoroti tekanan dari sisi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang diperkirakan ikut terbatas, seiring tren penurunan harga komoditas global. Kondisi ini membuat ruang fiskal pemerintah semakin sempit menjelang akhir tahun anggaran.

Sementara itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengakui bahwa realisasi penerimaan pajak 2025 berpotensi berada di bawah target awal, sejalan dengan perlambatan ekonomi nasional. Pernyataan tersebut disampaikan dalam acara Financial Forum 2025 di Bursa Efek Indonesia, Jakarta.

“Pajak kita, karena ekonominya melambat, ya di bawah target semula,” ujar Purbaya.

Meski demikian, pemerintah memastikan pengelolaan fiskal tetap terkendali. Purbaya menegaskan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 akan dijaga tetap di bawah 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), sesuai amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

“Pengendalian terus kami lakukan agar defisit tidak melampaui 3 persen. Itu komitmen yang tidak akan kami langgar,” tegasnya. (alf)

en_US