Libur Akhir Tahun Makin Ringan! Pemerintah Tanggung Sebagian PPN Tiket Pesawat Ekonomi

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Pemerintah memberikan kabar gembira bagi masyarakat yang berencana bepergian saat libur Natal dan Tahun Baru. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 71 Tahun 2025, sebagian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas tiket pesawat kelas ekonomi resmi akan ditanggung oleh negara.

Kebijakan ini berlaku untuk pembelian tiket mulai 22 Oktober 2025 hingga 10 Januari 2026, dengan periode penerbangan antara 22 Desember 2025 hingga 10 Januari 2026. Langkah ini menjadi bagian dari upaya pemerintah menjaga daya beli masyarakat sekaligus mendorong pemulihan ekonomi dan pariwisata nasional menjelang puncak musim liburan.

Dalam aturan yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pada 15 Oktober 2025 itu, tarif PPN untuk jasa angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi tetap sebesar 11%. Bedanya, beban pajak kini dibagi dua: 5% dibayar oleh penumpang, sementara 6% ditanggung pemerintah melalui skema Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP).

Artinya, masyarakat hanya perlu membayar sebagian kecil dari pajak yang biasanya dikenakan penuh pada tiket pesawat. Dengan skema ini, harga tiket diharapkan bisa lebih terjangkau tanpa menekan pendapatan maskapai penerbangan.

Pemerintah juga menegaskan bahwa maskapai penerbangan yang berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib membuat faktur pajak atau dokumen tertentu (tiket), menyampaikan SPT Masa PPN, serta melaporkan transaksi PPN DTP secara elektronik kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Namun, bila maskapai tidak memenuhi ketentuan pelaporan, atau penjualan dilakukan di luar periode yang ditetapkan, maka fasilitas PPN DTP tidak berlaku. Dengan demikian, PPN akan dibebankan penuh kepada penumpang seperti biasa.

Kebijakan ini diharapkan tidak hanya menurunkan beban biaya perjalanan masyarakat, tetapi juga menghidupkan kembali pergerakan wisata domestik. Pemerintah menilai momentum libur akhir tahun penting untuk menstimulasi sektor transportasi, perhotelan, hingga UMKM lokal yang sempat lesu.

Fokus penerintah adalah menjaga daya beli dan memastikan perputaran ekonomi tetap kuat menjelang akhir tahun.

Dengan insentif pajak ini, masyarakat bisa merencanakan libur akhir tahun tanpa terlalu khawatir soal harga tiket, sementara dunia usaha mendapat dorongan baru untuk bangkit.  (alf)

DJP Bantah ada Pegawai Olahraga di Jam Kerja: Ini Kata Direktur P2Humas!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) membantah kabar yang menyebut ada pegawainya berolahraga di ruang kerja saat jam dinas ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melakukan kunjungan ke Kantor Pusat DJP, Rabu (17/9/2025).

Direktur P2Humas DJP, Rosmauli, melalui keterangan tertulisnya, Senin (20/10/2025) menegaskan bahwa kegiatan senam yang terlihat saat kunjungan tersebut berlangsung setelah jam kerja berakhir, tepatnya sekitar pukul 17.30 WIB.

“Kegiatan itu dilakukan setelah jam kerja. Jadi tidak benar ada pegawai yang berolahraga di waktu dinas,” ujar Rosmauli.

Rosmauli menjelaskan, saat itu Menteri Keuangan berkunjung ke beberapa ruangan di kantor pusat DJP, termasuk aula salah satu gedung  tempat sejumlah pegawai wanita sedang melakukan senam. Turut mendampingi kunjungan tersebut Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak, serta beberapa pejabat eselon lainnya.

Menurutnya, suasana saat itu justru berlangsung hangat. Menteri Keuangan sempat berbincang santai dengan para pegawai dan bahkan meladeni beberapa yang meminta swafoto bersama.

“Kalau kegiatan itu terjadi di jam kerja, tentu sudah langsung ditegur. Tapi faktanya, Pak Menteri justru berinteraksi dengan akrab dan bahkan berfoto bersama para pegawai,” jelasnya.

Rosmauli menambahkan, kegiatan olahraga ringan di lingkungan kantor adalah bagian dari upaya DJP mendorong kebugaran dan keseimbangan kerja, selama dilakukan di luar jam dinas atau sesuai aturan yang berlaku.

“Kami mendukung kegiatan positif pegawai, termasuk menjaga kesehatan. Namun disiplin dan etika kerja tetap prioritas,” tegasnya.

Sebelumnya, sempat beredar kabar di media sosial yang menyebut Menteri Keuangan mendapati pegawai DJP berolahraga di ruang kerja saat jam dinas. Kabar tersebut menuai berbagai tanggapan publik.

Namun klarifikasi resmi dari DJP memastikan bahwa tidak ada pelanggaran disiplin dalam peristiwa itu.

Rosmauli menegaskan bahwa DJP tetap berkomitmen menjaga profesionalisme aparatur dan membangun budaya kerja yang sehat, humanis, serta berintegritas. (bl)

Jepang Naikan Pajak WNA, dari Visa hingga Pajak Keberangkatan!

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Pemerintah Jepang tengah menyiapkan langkah berani untuk memperkuat kas negara tanpa menambah beban rakyatnya sendiri. Kali ini, warga negara asing (WNA) menjadi sasaran penyesuaian fiskal besar-besaran—mulai dari kenaikan pajak keberangkatan di bandara, revisi biaya visa, hingga pengenalan sistem pra-penyaringan baru yang mirip dengan ESTA di Amerika Serikat.

Langkah ini diumumkan sebagai bagian dari reformasi fiskal jangka menengah yang bertujuan menyeimbangkan keuangan negara di tengah meningkatnya kebutuhan sosial dan pendidikan. Pemerintah menilai kontribusi ekonomi dari turis asing perlu diimbangi dengan tanggung jawab fiskal yang lebih proporsional.

Saat ini, setiap penumpang internasional yang meninggalkan Jepang wajib membayar departure tax sebesar 1.000 yen (sekitar Rp112 ribu). Namun, mulai tahun fiskal 2026, tarif tersebut akan naik signifikan agar sejalan dengan standar internasional—sekitar 3.300 yen (Rp372 ribu)—seperti yang diterapkan di Amerika Serikat.

Kementerian Keuangan Jepang menyebut penyesuaian ini bukan sekadar upaya menaikkan pendapatan, tetapi juga untuk “membiayai layanan imigrasi dan infrastruktur wisata yang lebih baik” di tengah melonjaknya jumlah wisatawan pascapandemi.

Biaya Visa Naik Setelah 47 Tahun

Tak hanya pajak keberangkatan, biaya pengajuan visa Jepang juga akan naik untuk pertama kalinya sejak 1978. Saat ini, tarif visa hanya sekitar 3.000 yen (Rp338 ribu)—jauh lebih murah dibanding negara-negara Barat yang menetapkan antara 16.000 hingga 28.000 yen.

Penyesuaian tarif baru diharapkan bisa meningkatkan pemasukan negara sekaligus menyesuaikan dengan biaya administrasi yang terus meningkat. “Sudah hampir setengah abad tanpa perubahan. Saatnya sistem visa Jepang lebih mencerminkan kondisi ekonomi global,” ujar seorang pejabat senior Kementerian Luar Negeri dikutip dari Asahi Shimbun, Minggu (19/10/2025).

Kebijakan fiskal ini juga akan disertai penerapan sistem pra-penyaringan elektronik bernama Japan Electronic System for Travel Authorization (JESTA). Sistem ini akan mulai diberlakukan pada tahun fiskal 2028 dan dirancang untuk memperketat pengawasan terhadap wisatawan sebelum keberangkatan ke Jepang.

Wisatawan dari negara bebas visa tetap harus mengisi data perjalanan secara daring dan membayar biaya administrasi tambahan sebelum diizinkan masuk.

Dari kombinasi tiga kebijakan ini—kenaikan pajak keberangkatan, biaya visa, dan implementasi JESTA pemerintah memperkirakan tambahan pendapatan sekitar 300 miliar yen (Rp33 triliun) per tahun. Dana tersebut akan digunakan untuk mendukung kebijakan sosial seperti pendidikan gratis tingkat menengah atas dan subsidi energi.

Namun, sejumlah ekonom mengingatkan agar kebijakan fiskal ini tidak berbalik menjadi bumerang. Profesor Keuangan Publik Universitas Meiji, Hideaki Tanaka, menilai pemerintah harus berhati-hati agar kenaikan biaya tidak menurunkan minat wisatawan asing yang selama ini menjadi motor penting ekonomi Jepang.

“Keseimbangan fiskal itu penting, tetapi jika arus wisata menurun, efeknya bisa kontraproduktif. Jepang harus memastikan kebijakan ini tetap ramah bagi pengunjung,” ujar Tanaka.

Kenaikan pajak dan biaya bagi WNA ini menandai perubahan besar dalam strategi fiskal Jepang—dari sebelumnya berorientasi pada hospitality economy menuju kebijakan berbasis user pays principle. Pemerintah yakin, langkah ini akan menjaga keberlanjutan fiskal tanpa harus mengorbankan rakyat domestik.

Namun, tantangannya jelas: bagaimana Jepang bisa tetap menarik bagi wisatawan dan ekspatriat, sekaligus meningkatkan pendapatan negara dari sektor yang sama.

Jika berhasil, Jepang bisa menjadi contoh baru bagaimana negara maju menyeimbangkan antara daya tarik dan daya pungut dua sisi tajam dari kebijakan ekonomi modern. (alf)

Italia Akhiri “Surga Pajak” bagi Orang Kaya Asing

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Pemerintah Italia di bawah pimpinan Perdana Menteri Giorgia Meloni resmi mengakhiri masa keringanan pajak besar-besaran bagi warga asing berpenghasilan tinggi. Dalam rancangan Anggaran Negara 2026, pemerintah berencana menaikkan pajak tetap bagi pendatang kaya dari €200 ribu menjadi €300 ribu per tahun, lonjakan sekitar 50 persen yang menandai berakhirnya era “surga pajak” bagi kaum tajir internasional.

Kebijakan ini merupakan bagian dari reformasi fiskal besar yang tengah disiapkan untuk memperkuat penerimaan negara sekaligus menekan defisit tanpa menurunkan daya saing ekonomi. Langkah tersebut diumumkan menjelang pembahasan akhir anggaran di kabinet dan langsung menjadi sorotan dunia internasional, mengingat Italia selama ini dikenal ramah terhadap imigran kaya.

Skema pajak tetap bagi pendatang kaya pertama kali diperkenalkan pada 2017 untuk menarik investor individu, pebisnis global, hingga selebritas internasional agar bermukim di Italia. Mereka hanya dikenakan pajak tetap sebesar €200 ribu per tahun dan dibebaskan dari pajak atas penghasilan, hadiah, serta warisan dari luar negeri selama 15 tahun.

Namun, situasi fiskal yang kian menantang mendorong pemerintahan Meloni meninjau ulang kebijakan tersebut. “Langkah ini bagian dari revisi besar sistem perpajakan nasional agar kontribusi lebih merata dan adil,” ujar seorang pejabat pemerintah Italia yang dikutip Yahoo Finance, Minggu (19/10/2025).

Strategi Menjaga Fiskal Tetap Sehat

Menteri Keuangan Giancarlo Giorgetti menegaskan, kebijakan ini bukan sekadar menaikkan tarif pajak, tetapi upaya menyeimbangkan daya tarik investasi asing dengan kebutuhan menjaga stabilitas anggaran negara.

“Pemerintah berupaya memastikan pertumbuhan ekonomi tetap berjalan tanpa mengorbankan keberlanjutan fiskal,” katanya dalam pernyataan di Roma.

Selain kenaikan pajak bagi pendatang kaya, rancangan anggaran 2026 juga akan memuat peningkatan kontribusi dari sektor perbankan dan asuransi, dua sektor yang dianggap mampu menyumbang lebih besar pada pendapatan negara.

Sejumlah analis menilai langkah ini bisa memengaruhi daya tarik Italia bagi kalangan miliarder global. Namun, sebagian besar menganggap kenaikan tersebut masih wajar jika dibandingkan dengan kebijakan serupa di Prancis dan Spanyol.

“Ini bukan akhir dari daya tarik Italia, melainkan sinyal bahwa pemerintah ingin menegakkan keadilan fiskal tanpa kehilangan keunggulan kompetitif,” ujar Alessandro Bruni, ekonom dari UniCredit Bank Milan.

Kebijakan baru ini bahkan dinilai mampu memperkuat posisi fiskal Italia di mata lembaga pemeringkat internasional. DBRS Morningstar baru-baru ini menaikkan peringkat kredit Italia menjadi A (low) dengan prospek stabil, berkat langkah pemerintah yang dinilai disiplin dalam mengelola defisit.

Meski tarif pajak naik, Italia diyakini masih akan menjadi magnet bagi kalangan superkaya berkat gaya hidupnya yang khas, iklim yang nyaman, dan nilai budaya yang tinggi. Kota-kota seperti Milan, Roma, dan Florence tetap menawarkan kombinasi antara kemewahan hidup dan efisiensi pajak yang relatif menarik dibanding negara Eropa lainnya.

Dengan langkah ini, pemerintahan Giorgia Meloni ingin menegaskan bahwa Italia tidak lagi menjadi “tempat pelarian pajak”, tetapi negara yang menuntut kontribusi lebih adil dari mereka yang menikmati keistimewaan hidup di sana. (alf)

Daya Beli Belum Pulih, Penerimaan Pajak Tergerus di Tahun Pertama Pemerintahan Prabowo

(Foto: Istimewa)

IKPI, JAKARTA: Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka genap berusia satu tahun pada Senin (20/10/2025). Selama periode pertama kepemimpinannya, duet ini terbilang agresif menggulirkan berbagai stimulus ekonomi untuk menjaga daya beli masyarakat. Namun, berbagai kebijakan fiskal tersebut belum cukup kuat memulihkan tingkat konsumsi ke level pra-pandemi Covid-19.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal II/2025 hanya mencapai 4,97% secara tahunan (year-on-year). Angka ini masih di bawah pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,12%, serta lebih rendah dibandingkan rata-rata konsumsi sebelum pandemi yang kerap menembus 5,5% hingga 6%. Padahal, konsumsi rumah tangga selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional, dengan kontribusi mencapai 54% terhadap produk domestik bruto (PDB). Lemahnya konsumsi tentu berdampak langsung terhadap seretnya penerimaan negara, terutama dari sektor pajak konsumsi seperti PPN dan PPnBM.

Sejak awal 2025, pemerintah berupaya keras mengerek belanja masyarakat melalui berbagai stimulus. Di antaranya diskon tarif listrik 50% pada Januari–Februari, Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebesar Rp300.000 per bulan bagi pekerja bergaji di bawah Rp3,5 juta, serta diskon transportasi umum dan tarif tol hingga 20%. Menjelang akhir tahun, pemerintah kembali meluncurkan paket stimulus lanjutan, termasuk pembebasan PPh Pasal 21 bagi pekerja bergaji di bawah Rp10 juta, khususnya di sektor hotel, restoran, dan kafe (horeka). Kebijakan ini menyasar lebih dari 550 ribu pekerja dan diharapkan menambah daya beli menjelang momen Natal dan Tahun Baru 2026.

Pemerintah juga menyiapkan program diskon besar-besaran pada akhir tahun, seperti potongan tarif kereta api 30%, angkutan laut 20%, dan tiket pesawat 12–14%. Tak hanya itu, sektor ritel dan e-commerce juga digerakkan melalui Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) Desember 2025 yang diperkirakan menambah transaksi hingga Rp35 triliun.

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai langkah Prabowo–Gibran berbeda dibandingkan pemerintahan sebelumnya. Menurutnya, stimulus yang diberikan kali ini lebih eksplisit dan bersifat jangka pendek untuk menjaga daya beli masyarakat. “Ini menjadi semacam bantalan ekonomi di luar program bansos rutin, agar konsumsi tetap bergerak di tengah tekanan global,” ujarnya, dikutip Minggu (19/10/2025).

Namun, roda ekonomi yang digerakkan dari sisi belanja ternyata belum sepenuhnya mengimbangi pelemahan dari sisi penerimaan pajak. Data Kementerian Keuangan mencatat hingga September 2025, pendapatan negara baru mencapai Rp1.863,3 triliun, atau sekitar 65% dari target APBN sebesar Rp2.865,5 triliun. Realisasi itu bahkan turun 7,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Dari sisi jenis pajak, PPN dan PPnBM mencatat penurunan paling tajam. Hingga September, realisasi penerimaan dua pos tersebut hanya mencapai Rp473,44 triliun, turun 13,2% dibandingkan tahun lalu. Penurunan ini menunjukkan bahwa daya beli masyarakat masih tertahan, dan pemulihan konsumsi belum benar-benar menguat meski berbagai stimulus sudah digelontorkan.

Di sisi lain, belanja negara terus tumbuh agresif. Hingga September 2025, realisasinya telah mencapai Rp2.234,8 triliun, atau sekitar 63,4% dari total pagu. Pemerintah berencana mempercepat penyerapan belanja pada kuartal terakhir tahun ini untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Namun, strategi ini berpotensi menekan keseimbangan fiskal karena defisit APBN bisa melebar melebihi outlook sebesar Rp662 triliun atau 2,7% terhadap PDB.

Pemerintahan Prabowo–Gibran kini menghadapi dilema yang tidak mudah: di satu sisi, masyarakat membutuhkan dukungan fiskal untuk menguatkan daya beli; di sisi lain, ruang penerimaan negara makin terbatas akibat seretnya kinerja pajak. Tantangan terbesar di tahun kedua pemerintahan ini adalah menyeimbangkan kebijakan stimulus dengan ketahanan fiskal, agar pertumbuhan ekonomi dapat berlanjut tanpa mengorbankan stabilitas APBN. (alf)

Ekonom UPN: Reformasi Pajak Era Prabowo Harus Dimulai dari Budaya, Bukan Sekadar Teknologi

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Ekonom dan pakar kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai reformasi perpajakan nasional harus menembus lebih dalam dari sekadar mengganti sistem atau memperbarui teknologi. Ia menegaskan, perubahan budaya dan pembangunan integritas aparat pajak adalah fondasi utama keberhasilan reformasi pajak di era pemerintahan Prabowo Subianto.

“Reformasi pajak tidak bisa hanya berhenti pada digitalisasi atau pembaruan sistem core tax. Yang dibutuhkan adalah perubahan perilaku, budaya, dan etos kerja, baik di internal otoritas pajak maupun di kalangan wajib pajak,” ujar Nur Hidayat, Sabtu (18/10/2025).

Ia mengibaratkan reformasi yang hanya berfokus pada teknologi seperti “mengganti mesin mobil, tetapi tetap mengemudi dengan cara lama.” Menurutnya, teknologi canggih tidak akan efektif tanpa perubahan perilaku mendasar yang menanamkan integritas dan semangat pelayanan publik.

Nur Hidayat menyoroti bahwa digitalisasi pajak yang dimulai sejak era pemerintahan sebelumnya melalui Core Tax System dan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) belum membuahkan hasil maksimal. Salah satu penyebabnya adalah implementasi yang lambat di lapangan serta rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap institusi pajak.

Oleh karena itu, ia mendesak pemerintahan Prabowo agar melanjutkan reformasi dengan pendekatan baru: “compliance by design”, yakni kepatuhan yang tumbuh otomatis lewat sistem yang transparan dan berbasis kepercayaan, bukan karena tekanan atau ancaman sanksi.

Selain menyoroti aspek budaya, Nur Hidayat juga menekankan pentingnya keadilan fiskal dalam upaya meningkatkan rasio pajak nasional. Ia mengingatkan, target rasio pajak 12 persen tidak boleh dicapai dengan cara membebani kelompok menengah dan pelaku UMKM yang justru menjadi penggerak utama ekonomi.

“Perluasan basis pajak harus diarahkan ke sektor yang potensinya besar namun masih under-taxed, seperti ekonomi digital, pertambangan, dan properti mewah,” katanya. Menurutnya, integrasi data lintas lembaga mencakup data transaksi, kepemilikan aset, dan kependudukan akan menjadi kunci menciptakan sistem pajak yang lebih adil dan akurat.

Ia juga menegaskan, peningkatan rasio pajak tidak akan berarti tanpa pemulihan kepercayaan fiskal masyarakat. Pemerintah, katanya, harus membuktikan bahwa uang pajak benar-benar kembali ke rakyat dalam bentuk layanan publik nyata seperti sekolah yang baik, akses kesehatan mudah, dan infrastruktur layak.

“Ketika rakyat melihat hasil nyata dari kontribusinya, kepatuhan pajak akan tumbuh secara alami tanpa perlu paksaan. Di sinilah kunci reformasi pajak bukan pada tarif, tetapi pada trust (kepercayaan),” tegasnya.

Nur Hidayat optimistis target rasio pajak 12 persen di era Prabowo dapat tercapai, asalkan dilakukan dengan cara luar biasa: melalui reformasi administrasi berkelanjutan, pemulihan kepercayaan fiskal, dan perluasan basis pajak yang berkeadilan.

“Rasio pajak bukan sekadar indikator ekonomi, melainkan simbol kedewasaan bangsa dalam membiayai dirinya sendiri. Bila Prabowo mampu membangun kepercayaan fiskal dan menegakkan reformasi pajak yang berkeadilan, maka ambisi 12 persen bukan lagi mimpi, melainkan tonggak menuju kemandirian,” tutupnya. (alf)

Bersih-Bersih Pegawai DJP dan DJBC Nakal, Purbaya: Saya Tak Peduli Siapa di Belakang Mereka!

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melontarkan peringatan keras kepada jajaran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Ia memastikan akan melakukan aksi bersih-bersih besar-besaran terhadap oknum yang terlibat dalam praktik penyelundupan dan pelolosan barang ilegal.

“Kalau sektor riil dijaga, barang-barang selundupan saya tutup. Yang suka main selundupan saya tangkap. Sebentar lagi ada penangkapan besar-besaran. Saya tidak peduli di belakangnya siapa. Di belakang saya, Presiden. Presiden itu paling tinggi, kan, di sini,” tegas Purbaya dikutip, Sabtu (16/10/2025).

Ia menegaskan, langkah ini bukan sekadar gertakan, melainkan tindakan nyata untuk menertibkan aparat nakal yang merusak integritas institusi pengumpul penerimaan negara tersebut. “Pembersihan saya mulai dari rokok, tekstil, produk baja, dan seterusnya. Saya kejar satu per satu,” ucapnya.

Menurut Purbaya, penyelundupan barang selama ini menjadi biang kebocoran penerimaan negara sekaligus merusak iklim industri dalam negeri. Barang ilegal yang membanjiri pasar membuat produk lokal sulit bersaing dan menekan rasio pajak nasional. “Banyak barang selundupan ke sini, yang katanya, orang bea cukainya tidak benar kerjanya,” ujarnya dengan nada tinggi.

Ia bahkan mengaku telah memanggil sejumlah pegawai Bea Cukai dan mendapatkan informasi bahwa ada oknum yang justru melindungi jaringan penyelundupan. “Dirjen Bea Cukai saya kan bintang tiga, kalau bintang empat (yang jadi backing), kita lapor ke Presiden,” tegasnya.

Langkah tegas ini, lanjut Purbaya, adalah bentuk tanggung jawabnya untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Kementerian Keuangan. Dua lembaga di bawahnya, DJP dan DJBC, merupakan pilar utama penerimaan negara yang harus bersih dari praktik kotor.

Hingga awal Oktober 2025, realisasi penerimaan pajak baru mencapai 62,4 persen dari target Rp2.189,3 triliun. Sementara penerimaan bea dan cukai tercatat 73,4 persen dari target Rp301,59 triliun hingga akhir September 2025. Kondisi ini menandakan masih adanya potensi kebocoran besar yang harus segera dibenahi.

Purbaya menegaskan, operasi besar melawan penyelundupan dan aparat nakal ini akan berlanjut tanpa pandang bulu. “Kalau mau negara ini maju, kita harus bersihkan dulu para pengkhianat di dalam sistem. Saya tidak peduli siapa di belakang mereka. Saya hanya peduli Indonesia harus bersih dan kuat,” tutupnya. (alf)

Rieke Diah Pitaloka Dorong Sinkronisasi NOP dan NIB untuk Dongkrak PAD Tanpa Naikkan Pajak

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Anggota Komisi VI DPR RI sekaligus Ketua Dewan Penasehat Bupati Bekasi, Rieke Diah Pitaloka, mendorong percepatan sinkronisasi data Nomor Objek Pajak (NOP) dengan Nomor Induk Bidang (NIB) di Kabupaten Bekasi. Langkah tersebut dinilainya sebagai strategi krusial untuk mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), terutama dari sektor Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), tanpa harus menaikkan tarif pajak yang bisa membebani masyarakat.

“Kami targetkan pada momentum Sumpah Pemuda, 28 Oktober mendatang, sudah ada penandatanganan MoU dengan BPN Kabupaten Bekasi terkait sinkronisasi NOP dan NIB ini. Jadi setelah itu langsung dapat diterapkan,” ujar Rieke, Kamis (16/10/2025).

Menurut Rieke, sinkronisasi ini bukan sekadar urusan teknis, melainkan langkah strategis untuk memperbaiki akurasi data pajak yang selama ini kerap timpang dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Ia mencontohkan, banyak temuan di mana luasan tanah dalam data pajak (NOP) tercatat jauh lebih kecil dibandingkan luasan tanah dalam sertipikat resmi (NIB). Ketimpangan ini menyebabkan potensi penerimaan pajak daerah bocor dan merugikan daerah.

“Dengan sinkronisasi, setiap bidang tanah akan dikenakan pajak berdasarkan luasan riil yang tercatat di sertipikat tanah, bukan lagi berdasarkan data lama yang tidak akurat. Ini membuat penerimaan daerah lebih adil dan transparan,” tegasnya.

Rieke menambahkan, langkah ini sejalan dengan kebijakan efisiensi dan penurunan dana transfer dari pemerintah pusat. Dalam situasi itu, kata dia, pemerintah daerah perlu kreatif menggali potensi PAD tanpa membebani warga, dan sinkronisasi data pajak menjadi solusi konkret.

Selain itu, Pemkab Bekasi juga berencana memanfaatkan basis data Desa Presisi yang telah dimiliki sebagai alat bantu percepatan sinkronisasi. “Titik pertama sinkronisasi akan dilakukan di Kecamatan Bojongmangu, karena wilayah itu sudah memiliki data lengkap berbasis desa presisi,” ungkapnya.

Sinkronisasi NOP dan NIB juga diharapkan memperkuat sinergi antara Pemkab Bekasi, DPRD, dan BPN. Kolaborasi lintas lembaga ini menjadi kunci keberhasilan reformasi data pertanahan dan perpajakan di daerah. Dengan sistem yang terintegrasi, pemerintah dapat menggali seluruh potensi pajak daerah sekaligus menegakkan prinsip keadilan fiskal.

“Sinkronisasi ini bukan hanya soal administrasi, tetapi tentang menjamin keadilan dan akurasi dalam kebijakan fiskal daerah. Kalau data tanah dan pajak sudah sinkron, masyarakat pun akan lebih percaya pada sistem perpajakan pemerintah,” pungkas Rieke.

Langkah progresif yang digagas Rieke Diah Pitaloka ini diharapkan menjadi model nasional dalam integrasi data pertanahan dan perpajakan. Dengan basis data yang akurat, transparan, dan digital, Kabupaten Bekasi berpeluang menjadi daerah percontohan transformasi tata kelola pajak daerah berbasis keadilan dan teknologi. (alf)

DJP Jateng II Sita 38 Aset Senilai Rp3,2 Miliar dari 24 Penunggak

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Wilayah Jawa Tengah II menggelar aksi tegas terhadap penunggak pajak dengan melakukan penyitaan serentak selama sepekan, mulai 13 hingga 17 Oktober 2025. Dalam operasi bertajuk Pekan Sita Pajak itu, sebanyak 38 aset milik 24 penunggak pajak disita, dengan nilai taksiran mencapai Rp3,2 miliar, sebagai jaminan atas tunggakan pajak senilai Rp25,1 miliar.

“Total aset yang disita terdiri atas 36 kendaraan bermotor dan 2 bidang tanah,” ungkap Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Klaten, Veronica Heryanti, saat konferensi pers di Klaten, Jumat (17/10/2025).

Aksi penyitaan dilakukan secara serentak oleh 12 KPP di wilayah eks-Keresidenan Surakarta, Kedu, dan Banyumas, di bawah koordinasi Kanwil DJP Jawa Tengah II. Ekspos kegiatan dipusatkan di KPP Pratama Klaten sebagai simbol sinergi antarunit dalam penegakan hukum perpajakan.

Menurut Veronica, Pekan Sita Pajak merupakan inisiatif Kanwil DJP Jateng II untuk mengoptimalkan pencairan piutang pajak sekaligus mendorong kepatuhan para wajib pajak. “Sita Serentak melibatkan Juru Sita Pajak Negara (JSPN) dari 12 KPP se-Jawa Tengah II. Ini bukti keseriusan kami menegakkan hukum, namun tetap mengedepankan pendekatan persuasif terlebih dahulu,” ujarnya.

Veronica menjelaskan, penyitaan adalah langkah terakhir setelah berbagai upaya persuasif dilakukan, mulai dari pemberitahuan tunggakan, Surat Teguran, hingga penerbitan Surat Paksa. Jika wajib pajak tetap tidak menunjukkan iktikad baik untuk melunasi kewajiban, maka tindakan penyitaan dilakukan sebagai bentuk penegakan hukum sesuai prosedur.

“Tindakan ini sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Artinya, aset yang disita kini berada dalam penguasaan negara sebagai jaminan pelunasan utang pajak,” jelasnya.

Proses penyitaan dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, serta PMK Nomor 61/PMK.03/2023 yang mengatur tata cara penagihan pajak. Apabila dalam waktu 14 hari setelah penyitaan wajib pajak tidak juga melunasi utangnya, maka Kanwil DJP Jateng II akan melanjutkan proses ke tahap lelang melalui KPKNL dan portal lelang.go.id.

“Sinergi penagihan aktif melalui penyitaan serentak ini adalah wujud komitmen DJP dalam menegakkan hukum dan menegakkan keadilan bagi wajib pajak patuh. Kami ingin menegaskan bahwa pajak bukan beban, tetapi tanggung jawab bersama untuk membangun negeri,” kata Veronica.

DJP Jawa Tengah II juga mengimbau seluruh wajib pajak untuk segera memenuhi kewajiban perpajakannya sebelum tindakan penegakan hukum dilakukan. “Kami selalu mengedepankan komunikasi dan pembinaan, namun akan bertindak tegas terhadap penunggak yang abai terhadap kewajiban hukumnya,” tambahnya. (alf)

Menkeu Sebut Swasta Jadi Kunci Tambah Penerimaan Tanpa Menaikkan Pajak

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Pemerintah membuka peluang untuk menambah penerimaan pajak hingga Rp110 triliun pada tahun 2026 tanpa perlu menerbitkan kebijakan baru ataupun menaikkan tarif pajak. Menurut Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, kuncinya terletak pada penguatan peran sektor swasta sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional.

“Kalau pertumbuhan ekonomi digerakkan sektor swasta, tax ratio bisa meningkat sekitar 0,5% dibandingkan jika pertumbuhan bersumber dari belanja pemerintah,” ujar Purbaya dalam keterangannya, Kamis (16/10/2025).

Ia menjelaskan, kegiatan ekonomi yang digerakkan pemerintah cenderung memberikan margin penerimaan negara yang lebih kecil. Pasalnya, proyek-proyek pemerintah umumnya disertai berbagai insentif dan potongan harga. “Kalau pemerintah bangun proyek, minta diskon terus. Kalau swasta kan tidak,” katanya.

Purbaya menilai, dengan menggairahkan kembali investasi dan aktivitas bisnis swasta, potensi tambahan penerimaan pajak bisa diraih tanpa perlu kebijakan fiskal baru. Pertumbuhan sektor swasta dinilai akan memperluas basis pajak secara alami mulai dari kenaikan laba korporasi, peningkatan konsumsi masyarakat, hingga terciptanya lebih banyak lapangan kerja.

“Semakin aktif sektor swasta, semakin banyak transaksi ekonomi terjadi, dan semakin besar penerimaan pajak yang masuk,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa strategi tersebut sejalan dengan arah kebijakan fiskal pemerintah yang kini mulai mengurangi ketergantungan pada belanja negara. Pemerintah, kata Purbaya, ingin menciptakan lingkungan usaha yang kondusif agar swasta dapat menjadi motor pertumbuhan berkelanjutan.

Menurutnya, langkah ini bukan hanya soal efisiensi fiskal, tetapi juga transformasi struktural menuju ekonomi yang lebih produktif dan kompetitif. “Negara tugasnya menjaga stabilitas dan kepastian. Biarkan swasta yang berlari membawa pertumbuhan,” katanya.

Dengan arah kebijakan tersebut, Purbaya optimistis penerimaan pajak akan terus meningkat seiring dengan pulihnya gairah investasi dan konsumsi. “Kalau mesin ekonomi swasta hidup, pajak akan datang dengan sendirinya,” tegasnya. (alf)

en_US