Warga DKI Bisa Nikmati Pemutihan Denda Pajak Kendaraan Mulai 14 Juni

IKPI, Jakarta: Kabar baik bagi pemilik kendaraan bermotor di Ibu Kota! Dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun ke-498 Jakarta, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menggulirkan program pemutihan pajak kendaraan bermotor. Kebijakan ini akan berlangsung mulai Sabtu, 14 Juni hingga 31 Agustus 2025.

Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta, Lusiana Herawati, mengatakan bahwa melalui program ini, warga yang memiliki tunggakan pajak hanya perlu melunasi pokok pajaknya tanpa dibebani denda.

“Jadi kalau ada tunggakan, yang dibayarkan cukup pokok pajaknya saja. Tidak ada sanksi denda selama periode pemutihan ini. Prosedurnya sama seperti pembayaran pajak kendaraan pada umumnya,” jelas Lusiana, Kamis (12/6/2025).

Program ini merupakan bagian dari upaya Pemprov DKI mendorong kesadaran pajak sekaligus memberikan keringanan bagi warga menjelang perayaan HUT Jakarta pada 22 Juni mendatang.

Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menekankan bahwa pemutihan ini bukan ditujukan untuk mereka yang menghindari pajak, melainkan sebagai insentif bagi warga yang mau patuh dan segera melunasi kewajiban mereka.

“Yang penting harus bayar di hari itu atau dalam periode yang ditentukan. Artinya, ini penghargaan bagi yang bersedia bayar, bukan pembiaran terhadap yang lalai,” ujar Pramono di Balai Kota, Rabu (11/6/2025).

Bagi masyarakat yang ingin memanfaatkan kesempatan ini, pembayaran bisa dilakukan melalui berbagai kanal resmi, termasuk Samsat, aplikasi pembayaran digital, serta layanan drive-thru.

Dengan adanya program ini, Pemprov DKI berharap tingkat kepatuhan pajak kendaraan meningkat, sekaligus mendorong terciptanya sistem transportasi yang lebih tertib dan berkelanjutan di Jakarta. (alf)

 

 

 

 

Pengukuhan PKP Bisa Lewat Coretax, Ini Prosedur Lengkapnya!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerbitkan regulasi terbaru, PER-7/PJ/2025, yang memuat ketentuan teknis mengenai pengajuan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) secara elektronik melalui portal wajib pajak atau sistem administrasi terbaru, Coretax. Ketentuan ini menjadi sorotan utama di berbagai media nasional hari ini.

Lewat sistem digital tersebut, pengusaha kini bisa mengajukan permohonan PKP tanpa harus datang langsung ke kantor pajak. Cukup dengan mengisi dan menandatangani formulir secara elektronik, lalu mengunggahnya lewat coretax system, lengkap dengan peta lokasi dan foto tempat usaha.

“Permohonan pengukuhan PKP dilakukan secara elektronik melalui portal wajib pajak, dengan menyertakan peta dan foto lokasi usaha,” demikian tertulis dalam Pasal 52 ayat (3) PER-7/PJ/2025.

Siapa Wajib Ajukan Pengukuhan PKP?

Berdasarkan beleid ini, setiap pengusaha yang menyerahkan barang atau jasa kena pajak sesuai dengan UU PPN, wajib dikukuhkan sebagai PKP, kecuali termasuk kategori pengusaha kecil dengan omzet tahunan tidak melebihi Rp4,8 miliar, sebagaimana diatur dalam PMK 164/2023.

Dengan status PKP, pelaku usaha dapat melakukan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi yang dilakukan.

Langkah-Langkah Pengajuan Melalui Coretax

Pengajuan melalui Coretax system atau portal wajib pajak kini menjadi salah satu kanal resmi, sebagaimana diperkuat dalam PMK 81/2024. Namun, pengajuan juga masih bisa dilakukan lewat kanal lain yang terhubung dengan sistem DJP atau melalui contact center resmi.

Bila dokumen dinyatakan lengkap, sistem akan secara otomatis menerbitkan Bukti Penerimaan Elektronik (BPE) paling lambat satu hari kerja. Sebaliknya, jika permohonan tidak memenuhi syarat, tidak akan diterbitkan BPE dan permohonan tidak akan diproses lebih lanjut.

BPE ini memiliki kedudukan yang setara dengan surat keterangan pengukuhan PKP, dan menjadi dasar bagi Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk melakukan verifikasi administratif.

Setelah menerima BPE, KPP akan melakukan penelitian kantor terhadap permohonan, yang meliputi:

• Pemeriksaan data dan dokumen identitas usaha, termasuk klasifikasi bidang usaha.

• Pengecekan kelengkapan lampiran, seperti peta, foto lokasi, dan surat pernyataan aktivitas usaha.

• Verifikasi status fiskal, memastikan bahwa pemohon tidak sedang diblokir dari akses faktur pajak.

Bila memenuhi seluruh persyaratan, kepala KPP akan menerbitkan surat pengukuhan PKP. Namun bila ada kekurangan, maka akan diterbitkan surat penolakan.

Kedua jenis keputusan tersebut wajib dikeluarkan dalam waktu maksimal 10 hari kerja sejak BPE diterbitkan. Jika hingga batas waktu tersebut belum ada keputusan, maka permohonan dianggap dikabulkan secara otomatis, dan surat pengukuhan harus diterbitkan dalam satu hari kerja setelahnya. (alf)

 

Misbakhun Soroti Kesenjangan Rasio Pajak

IKPI, Jakarta: Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, mengangkat persoalan mendasar terkait stagnasi rasio pajak nasional yang dinilai tidak sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Meskipun penerimaan pajak rutin mencapai target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Misbakhun menilai capaian tersebut belum mencerminkan potensi maksimal yang dimiliki negara.

“Kita sering merasa puas karena target penerimaan pajak tercapai, tapi itu belum mendekati potensi riil kita,” kata Misbakhun dalam sebuah diskusi di Kantor PBNU, Jakarta, Rabu (11/6/2025).

Ia menjelaskan, ukuran paling sederhana untuk menilai rasio pajak adalah membandingkan penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sebagai contoh, pada tahun 2020, PDB Indonesia menyentuh angka Rp 15.000 triliun, sementara penerimaan pajak hanya sebesar Rp 1.072 triliun. Menurutnya, perbandingan ini menunjukkan masih adanya ruang yang sangat besar untuk meningkatkan kontribusi pajak terhadap ekonomi nasional.

“Ekonomi kita bertumbuh, tapi rasio pajaknya tak ikut naik. Itu yang jadi masalah,” jelasnya.

Politikus asal Partai Golkar ini menilai, stagnasi tersebut bukan persoalan baru. Ia menyoroti bahwa fenomena ketimpangan antara pertumbuhan ekonomi dan rasio pajak sudah terjadi sejak lama, namun belum pernah ditelaah secara serius baik oleh pemerintah maupun kalangan akademisi.

“Belum ada riset komprehensif dari lembaga riset dalam negeri ataupun universitas top dunia yang benar-benar mengupas tuntas soal anomali ini,” ungkapnya.

Lebih lanjut, ia membandingkan dengan kondisi tahun 2004 saat rasio pajak Indonesia berada di angka 12,7%. Seandainya dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan konsisten sebesar 0,2% per tahun, maka saat ini rasio pajak Indonesia bisa saja menyentuh 16%. Jika target itu tercapai, katanya, pemerintah bahkan bisa mengurangi ketergantungan pada utang karena APBN akan mengalami surplus.

“Ini soal gap yang terus dibiarkan. Pertumbuhan ekonomi dan tax ratio kita seperti berjalan di jalur berbeda, dan kita tidak pernah benar-benar mencari tahu penyebabnya,” pungkasnya. (alf)

 

 

 

 

DPR Tegaskan Pengusaha Tak Patuh Pajak Sulit Dapat Pinjaman Bank

IKPI, Jakarta: Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menyoroti eratnya kaitan antara kepatuhan pajak dan kemudahan akses pembiayaan bagi pelaku usaha. Ia menegaskan bahwa pelaporan serta pembayaran pajak menjadi faktor kunci yang dinilai oleh perbankan sebelum menyetujui permohonan kredit.

“Kalau tidak bayar pajak, jangan harap bisa dapat pinjaman dari bank. Percaya sama saya,” ujar Misbakhun dalam sebuah forum di Kantor PBNU, Jakarta, Rabu (11/6/2025).

Menurut politisi Partai Golkar itu, proses verifikasi perbankan terhadap pengajuan kredit tak bisa dilepaskan dari dokumen perpajakan, terutama Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Hal ini berlaku tak hanya bagi pelaku usaha besar, tetapi juga UMKM yang ingin mengakses pembiayaan formal.

“Setiap kali mau ajukan pinjaman, pasti ditanya: usahanya apa, untuk apa, dan mana laporan SPT-nya,” tambahnya.

Misbakhun menilai bahwa kepatuhan dalam pelaporan pajak mencerminkan kredibilitas dan kesehatan keuangan sebuah usaha. Oleh sebab itu, bank akan menjadikan dokumen pajak sebagai tolok ukur utama dalam menilai kelayakan calon debitur.

“Semua perusahaan yang mendapat pembiayaan dari bank pasti diminta laporan pajaknya. Itu pasti,” tegasnya.

Pernyataan ini menjadi pengingat bagi dunia usaha agar lebih disiplin dalam menjalankan kewajiban perpajakan, terutama dalam menghadapi tantangan pembiayaan di tengah dinamika ekonomi saat ini. (alf)

 

 

 

 

 

Misbakhun Sebut Wajib Pajak Bukan 73 Juta, Karena Bayi Sudah Terhitung

IKPI, Jakarta: Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menegaskan bahwa seluruh warga negara Indonesia, termasuk bayi yang baru lahir, sudah masuk dalam kategori wajib pajak. Pernyataan ini disampaikannya sebagai kritik atas masih sempitnya pemahaman mengenai siapa yang dianggap sebagai wajib pajak di Indonesia.

“Bukan cuma 73 juta. Dengan adanya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang menjadikan NIK sebagai NPWP, berarti seluruh penduduk Indonesia sudah menjadi bagian dari sistem perpajakan,” kata Misbakhun dalam acara diskusi di Kantor PBNU, Rabu (11/6/2025).

Ia menjelaskan, sejak lahir seseorang sudah berkontribusi terhadap penerimaan pajak negara melalui konsumsi barang dan jasa yang dikenai pajak.

“Bayi baru lahir saja sudah bayar pajak. Waktu orang tuanya beli popok, itu kena PPN. Ketika bikin akta kelahiran, ada biaya administrasi, ada pajaknya. Jadi sejak hari pertama, mereka sudah masuk sistem,” tegasnya.

Politisi Partai Golkar itu menyoroti bahwa ukuran kepatuhan pajak seharusnya tidak hanya dilihat dari siapa yang melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Menurutnya, pendekatan seperti itu bersifat sempit dan administratif.

“Kalau bicara soal kepatuhan, jangan semata dari SPT. Itu hanya soal kelengkapan dokumen, bukan cerminan kontribusi nyata. Apalagi yang ngomong itu pejabat penerimaan negara,” kritik Misbakhun.

Dengan jumlah penduduk lebih dari 280 juta, ia mengajak semua pihak untuk memiliki pemahaman yang lebih luas soal konsep wajib pajak. “Setiap rupiah yang dibelanjakan rakyat, di situ ada kontribusi terhadap pajak. Maka, kita semua bagian dari sistem ini, bukan cuma 73 juta orang,” pungkasnya. (alf)

 

 

 

 

 

DJP Atur Penonaktifan Akses Faktur Pajak, Sasar Praktik Fiktif yang Rugikan Negara

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan resmi menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak (PER) Nomor PER-9/PJ/2025 sebagai langkah tegas untuk menekan praktik penyalahgunaan faktur pajak. Aturan yang mulai berlaku sejak 22 Mei 2025 ini memberikan kewenangan kepada DJP untuk menonaktifkan akses pembuatan faktur pajak bagi wajib pajak yang terindikasi melakukan pelanggaran.

Dalam regulasi tersebut, DJP menegaskan bahwa penonaktifan akses dilakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap potensi kebocoran penerimaan negara akibat praktik penerbitan dan/atau penggunaan faktur pajak tidak sah. Praktik ini mencakup pembuatan faktur tanpa transaksi yang sebenarnya maupun penerbitan oleh pihak yang belum sah sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

“Kegiatan tersebut telah menimbulkan kerugian pada pendapatan negara,” demikian bunyi pertimbangan resmi PER-9/PJ/2025 sebagaimana dikutip Kamis (12/6/2025).

Dua Kategori Sasaran Penonaktifan

Aturan ini memuat dua kategori wajib pajak yang menjadi sasaran penonaktifan akses faktur, yakni:

• Wajib Pajak Terindikasi Penerbit, yaitu PKP yang diduga menerbitkan faktur tidak sah, baik yang menyalahgunakan status PKP maupun yang belum memiliki pengukuhan sebagai PKP.

• Wajib Pajak Terindikasi Pengguna, yaitu PKP yang diketahui menggunakan faktur tidak sah dari pihak lain.

Penilaian terhadap penerbit dilakukan melalui analisis terhadap keberadaan serta kewajaran lokasi usaha, dan kesesuaian antara kegiatan usaha dengan profil perpajakan. Sementara penilaian terhadap pengguna difokuskan pada pencermatan pengkreditan pajak masukan yang mencurigakan dalam SPT Masa PPN.

DJP menekankan bahwa penonaktifan dilakukan secara hati-hati melalui analisis dan pengembangan data intelijen. Jika terbukti memenuhi indikasi sebagai pelaku pelanggaran, wajib pajak akan menerima surat pemberitahuan penonaktifan akses beserta hak untuk memberikan klarifikasi.

Sebagai bagian dari pembaruan kebijakan, PER-9/PJ/2025 mencabut peraturan sebelumnya yakni PER-19/PJ/2017 jo. PER-16/PJ/2018. Langkah ini menunjukkan pembaruan pendekatan DJP dalam menghadapi praktik manipulatif yang makin kompleks di bidang perpajakan.

Pencegahan dan Penegakan Hukum

Dengan diberlakukannya peraturan ini, DJP ingin menegaskan komitmen dalam menjaga kredibilitas sistem perpajakan nasional serta memastikan bahwa setiap pajak yang dikreditkan dan disetor benar-benar merepresentasikan transaksi yang sah.

Aturan baru ini menjadi pengingat bagi seluruh pelaku usaha untuk lebih berhati-hati dalam menjalankan kewajiban perpajakan, khususnya dalam penerbitan dan penggunaan faktur. Kolaborasi dan kepatuhan menjadi kunci untuk menciptakan sistem perpajakan yang sehat dan berkeadilan. (alf)

 

DJP Terapkan Nomor Identitas Perpajakan Gantikan NPWP dalam Sistem Coretax

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) meluncurkan perubahan besar dalam sistem administrasi perpajakan lewat terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-7/PJ/2025. Aturan ini tak hanya menyederhanakan proses birokrasi, tapi juga memperkenalkan Nomor Identitas Perpajakan (NIP) sebagai pelengkap sekaligus pengganti NPWP dalam sistem Coretax, yang menjadi tulang punggung baru digitalisasi perpajakan Indonesia.

Langkah ini diambil untuk menyesuaikan implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) serta sebagai tindak lanjut dari PMK Nomor 81 Tahun 2024. Peraturan baru ini mulai berlaku pada 21 Mei 2025, menandai era baru integrasi layanan DJP yang lebih sederhana, terstruktur, dan berbasis teknologi.

“Perubahan ini dirancang untuk memberikan kepastian hukum, kemudahan administrasi, dan pelayanan perpajakan yang lebih baik,” tertulis dalam bagian pertimbangan PER-7/2025 dikutip, Rabu (11/6/2025).

NIP Bisa Berupa NIK, Ini Penjelasannya

Dalam Pasal 7 PER-7/2025, disebutkan bahwa NIP diterbitkan oleh DJP berdasarkan permohonan atau secara jabatan. Identitas ini bisa berbentuk:

  • Nomor Induk Kependudukan (NIK) bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang merupakan penduduk;
  • Nomor unik 16 digit dari sistem DJP bagi orang pribadi non-penduduk dan badan usaha.

NIP ini menjadi alat identifikasi resmi untuk berbagai aktivitas perpajakan, termasuk penyetoran, pelaporan, hingga permohonan fasilitas pajak.

Siapa Saja yang Bisa Pakai NIP?

NIP ditujukan untuk sejumlah kategori subjek pajak, termasuk:

  1. Subjek pajak luar negeri yang ditunjuk melakukan pemotongan atau pemungutan pajak,
  2. Perwakilan negara asing dan organisasi internasional,
  3. Orang pribadi berpenghasilan di bawah PTKP,
  4. Wanita kawin yang menggabungkan kewajiban perpajakan dengan suami,
  5. Anak di bawah umur yang terdaftar dalam Data Unit Keluarga (DUK),

Badan atau orang pribadi yang tidak memenuhi syarat subjektif/objektif perpajakan sesuai PMK 81/2024.

NIK Bisa Langsung Jadi NIP

Menariknya, bagi penduduk Indonesia, NIK dapat langsung berfungsi sebagai NIP tanpa perlu permohonan khusus, asalkan:

  • Terverifikasi dalam sistem DJP,
  • Belum diaktivasi sebagai NPWP.

Langkah ini diharapkan bisa memangkas proses pendaftaran dan memperluas cakupan administrasi pajak secara digital.

Apa Fungsi NIP?

Nomor Identitas Perpajakan tidak hanya sebagai nomor formal. Fungsinya mencakup:

  • Aktivasi akun wajib pajak,
  • Pelaporan dan penyetoran pajak,
  • Identifikasi pihak dalam faktur pajak,
  • Pengajuan fasilitas PPN dan PPnBM,
  • Proses pengembalian dan pembebasan pajak,
  • Penagihan dan pengawasan perpajakan lainnya. (alf)

 

 

 

 

 

 

Tiket Pesawat Lebih Murah! Pemerintah Gelontorkan Rp430 Miliar untuk Diskon PPN Ekonomi

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali menggelontorkan stimulus ekonomi jelang libur panjang pertengahan tahun. Kali ini, giliran para penumpang pesawat kelas ekonomi yang mendapat angin segar. Lewat kebijakan Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP), harga tiket pesawat akan terasa lebih ringan di kantong.

Sebanyak Rp430 miliar dialokasikan pemerintah untuk menanggung enam persen PPN tiket pesawat ekonomi selama periode 5 Juni hingga 31 Juli 2025. Dengan demikian, masyarakat hanya perlu membayar PPN sebesar lima persen, dari tarif normal sebesar 11 persen.

“Kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Prabowo Subianto, dan hasil sinergi lintas kementerian serta lembaga untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional,” jelas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Rabu (11/6/2025), dalam keterangan tertulis.

Insentif ini berlaku untuk pembelian tiket yang dilakukan dalam periode 5 Juni hingga 31 Juli 2025, dengan tanggal penerbangan yang juga berada dalam rentang waktu tersebut.

Kebijakan ini merupakan bagian dari program Diskon Transportasi yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 36 Tahun 2025, yang resmi diterbitkan pada 4 Juni 2025.

Langkah ini diambil untuk menjaga agar pertumbuhan ekonomi kuartal II tahun ini tetap berada di kisaran lima persen, sekaligus memperkuat stabilitas ekonomi di tengah tantangan global.

Tak hanya insentif untuk transportasi udara, pemerintah juga meluncurkan empat kebijakan stimulus lainnya, yakni:

  • Diskon Tarif Tol
  • Penebalan Bantuan Sosial
  • Bantuan Subsidi Upah
  • Perpanjangan Diskon Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)

“Melalui insentif ini, kami berharap mobilitas masyarakat meningkat selama Juni hingga Juli. Aktivitas yang lebih tinggi di sektor transportasi dan pariwisata diharapkan memberi efek ganda bagi ekonomi daerah,” kata Airlangga. (alf)

 

 

 

 

 

 

DJP Perkuat Akses Informasi Pajak Internasional Perangi Pengemplangan

IKPI, Jakarta: Pemerintah semakin memperketat langkah dalam membasmi praktik penghindaran dan penggelapan pajak lintas negara. Melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan resmi memberlakukan Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) PER-10/PJ/2025 yang memperkuat kerangka hukum pertukaran informasi perpajakan internasional.

Perdirjen ini tidak hanya memperluas cakupan kerja sama pajak global, tetapi juga menyatukan dan mencabut empat aturan sebelumnya, menjadikannya sebagai payung hukum utama dalam pelaksanaan pertukaran data lintas yurisdiksi untuk tujuan perpajakan.

Beleid anyar ini merupakan tindak lanjut dari ketentuan Pasal 13 PMK Nomor 39/PMK.03/2017, yang mengatur tata cara pertukaran informasi berdasarkan perjanjian internasional.

Dengan regulasi ini, DJP dapat mengakses data perpajakan dari negara mitra secara lebih efektif, termasuk data akuntansi, perbankan, hingga kepemilikan manfaat yang sering kali disembunyikan oleh oknum wajib pajak.

“Pertukaran informasi dilakukan demi memastikan kepatuhan pajak, mencegah praktik penyalahgunaan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), serta mengidentifikasi penggelapan pajak secara lintas negara,” bunyi penjelasan dalam Pasal 3 ayat (6) PER-10/PJ/2025.

Tiga Skema Pertukaran Data

PER-10/PJ/2025 menetapkan tiga bentuk utama pertukaran informasi: berdasarkan permintaan, secara spontan, dan otomatis.

• Berdasarkan Permintaan (Exchange on Request):

DJP atau otoritas negara mitra dapat saling meminta data perpajakan yang diperlukan. Informasi yang dapat diakses termasuk data kepemilikan, perbankan, akuntansi, hingga transaksi bisnis. Jika belum tersedia, DJP berhak mengumpulkan data tambahan dari pihak ketiga.

• Pertukaran Spontan (Spontaneous Exchange):

Informasi penting yang berpotensi berdampak pada pemenuhan kewajiban pajak akan langsung dibagikan ke negara mitra tanpa perlu diminta terlebih dahulu.

• Pertukaran Otomatis (Automatic Exchange):

Dilakukan secara rutin dan sistematis. Biasanya mencakup data pemotongan pajak lintas negara serta informasi lainnya yang tercatat dalam sistem administrasi DJP.

Tak hanya itu, DJP juga diberi mandat untuk melaksanakan kegiatan pendukung seperti Competent Authority Meetings, Tax Examinations Abroad, serta Simultaneous Tax Examinations, yang memungkinkan koordinasi lintas otoritas pajak dalam pelacakan kewajiban pajak global.

Jaminan Kerahasiaan & Kepatuhan Internasional

Meski berbasis pertukaran data terbuka antarnegara, regulasi ini tetap menjunjung tinggi prinsip kerahasiaan. Seluruh informasi yang diterima dan disampaikan dijamin keamanannya serta hanya digunakan untuk tujuan perpajakan sesuai hukum nasional dan perjanjian internasional yang berlaku.

Empat Aturan Lama Resmi Dicabut

Sebagai bagian dari harmonisasi regulasi, PER-10/PJ/2025 mencabut empat peraturan sebelumnya, yakni:

• PER-67/PJ./2009

• PER-28/PJ/2017

• PER-24/PJ/2018

• PER-02/PJ/2022

Dengan pencabutan ini, aturan terbaru menjadi satu-satunya rujukan utama dalam pelaksanaan pertukaran informasi antarnegara untuk kepentingan perpajakan.

Dengan PER-10/PJ/2025, Indonesia mengirimkan sinyal kuat kepada dunia: bahwa keterbukaan data lintas negara adalah senjata penting dalam memastikan keadilan dan ketaatan pajak. (alf)

 

DJP Jakbar dan Perbankan Sinergi Perkuat Penegakan Pajak: Rekening Wajib Pajak Jadi Fokus

IKPI, Jakarta: Dalam upaya memperkuat penegakan hukum di bidang perpajakan, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Barat (Kanwil DJP Jakbar) menggandeng sejumlah bank nasional untuk meningkatkan kolaborasi strategis. Kepala Kanwil DJP Jakbar, Farid Bachtiar, menerima audiensi dari perwakilan empat bank besar di Ruang Rapat Utama, lantai 3 Kanwil DJP Jakbar pada 4 Juni 2025.

Pertemuan tersebut dihadiri oleh perwakilan dari PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), dan PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI). Fokus diskusi meliputi penguatan pengawasan bersama dan pelaksanaan tindakan hukum aktif, khususnya terkait penyitaan dan pemblokiran rekening milik Wajib Pajak yang menunggak.

“Langkah ini penting untuk menjaga integritas sistem perpajakan serta memastikan bahwa seluruh pihak menjalankan kewajiban perpajakannya secara transparan,” ujar Farid dalam pernyataan tertulis, Rabu (11/6/2025).

Tak hanya menyoroti tindakan hukum, DJP Jakbar juga mendorong penyelarasan data keuangan antara laporan yang disampaikan Wajib Pajak ke DJP dan data yang dimiliki pihak perbankan. Penyelarasan ini ditujukan untuk mendeteksi potensi penghindaran pajak secara dini dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Pihak perbankan menyatakan siap mendukung inisiatif ini dengan menjalin koordinasi lebih lanjut dengan kantor pusat masing-masing.

Lebih jauh, Farid menekankan pentingnya sinergi lintas sektor, termasuk dalam pembinaan UMKM. Kanwil DJP Jakbar terus mengembangkan program Business Development Services (BDS), yang memberi pendampingan perpajakan dan aspek nonperpajakan bagi pelaku usaha kecil menengah.

“Kami mengapresiasi kerja sama yang sudah terjalin selama ini, dan berharap pihak perbankan turut berkontribusi aktif dalam kegiatan pembinaan UMKM ke depan,” tambah Farid.

Pada kesempatan yang sama, Farid juga mengungkap capaian penerimaan pajak di wilayahnya. Hingga 30 April 2025, DJP Jakbar telah mengumpulkan penerimaan senilai Rp25,42 triliun atau 32,35 persen dari target tahunan. Capaian ini mencatat pertumbuhan 6,16 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Pemblokiran Rekening

Sebagai informasi, tindakan pemblokiran rekening Wajib Pajak mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 189/PMK.03/2020. Pemblokiran ini merupakan upaya pengamanan terhadap aset finansial Wajib Pajak yang dikelola oleh lembaga jasa keuangan, mulai dari rekening bank hingga polis asuransi.

Langkah tersebut umumnya dilakukan ketika Wajib Pajak tidak kunjung melunasi utang pajaknya, dan menjadi bagian dari prosedur sebelum penyitaan resmi dilakukan oleh DJP.

Melalui sinergi yang kian erat antara otoritas pajak dan sektor perbankan, pemerintah berharap penegakan hukum perpajakan dapat berjalan lebih efektif, sekaligus membangun budaya kepatuhan yang lebih kuat di tengah masyarakat. (alf)

en_US