Dirjen Pajak Gandeng Satgassus Polri Amankan Penerimaan Negara, Fokus Pajaki Transaksi Digital

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, menegaskan komitmennya untuk menjaga stabilitas penerimaan negara melalui sinergi erat dengan Satgassus Optimalisasi Penerimaan Negara Polri. Kolaborasi ini mencakup langkah-langkah strategis dari sisi pencegahan hingga penindakan terhadap potensi kebocoran pajak.

Dalam pertemuan yang digelar pada Senin sore (17/6/2025), Bimo mengundang seluruh anggota Satgassus kecuali Novel Baswedan ke kantor pusat Ditjen Pajak. Ia menyatakan bahwa pertemuan ini menjadi tonggak awal koordinasi lintas lembaga demi mengamankan setoran negara dari potensi pelanggaran perpajakan.

“Satgassus datang full team ke kantor kami, dan kami berkomitmen untuk bersinergi mengamankan penerimaan negara, baik dari sisi pencegahan maupun penindakan,” ujar Bimo.

Bimo juga mengungkapkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak tengah menyiapkan strategi khusus untuk mengoptimalkan penerimaan negara, terutama dalam rangka mendongkrak tax ratio nasional yang selama satu dekade terakhir stagnan di kisaran 10 persen.

Salah satu fokus utama adalah ekstensifikasi perpajakan lewat pengenaan pajak pada transaksi digital. Menurutnya, regulasi terkait sudah rampung dan siap diterapkan.

“Beberapa kerangka regulasi pemajakan transaksi digital sudah kami selesaikan. Ini menjadi langkah konkret kami untuk memperluas basis pajak,” jelasnya.

Sementara itu, dari sisi intensifikasi, Bimo menekankan pentingnya peningkatan layanan perpajakan. Ia menyebut sistem administrasi Coretax atau Cortex telah menunjukkan perkembangan positif. “Registrasi dan pembayaran melalui Cortex kini sudah stabil. Kami sedang menyempurnakan aspek pelaporan SPT dan pelayanan lainnya,” imbuhnya.

Langkah-langkah ini dinilai krusial untuk memastikan pencapaian target penerimaan negara 2025 dan memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan nasional. (alf)

 

 

APBN Mei 2025 Kembali Defisit Rp21 Triliun, Penerimaan Pajak Masih Loyo

IKPI, Jakarta: Setelah sempat mencatatkan surplus di bulan April, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kembali mengalami defisit pada Mei 2025 sebesar Rp21 triliun. Angka ini setara dengan 0,09% dari Produk Domestik Bruto (PDB), menunjukkan tekanan fiskal yang mulai terasa akibat lemahnya kinerja penerimaan negara.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN KiTa yang digelar di Kementerian Keuangan, Selasa (17/6/2025), menjelaskan bahwa total pendapatan negara hingga akhir Mei tercatat sebesar Rp995,3 triliun atau baru 33,1% dari target tahun 2025.

Di sisi lain, belanja negara mencapai Rp1.016,3 triliun, terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp694,2 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp322 triliun.

“Posisi defisit terjadi karena belanja negara lebih besar dari pendapatan. Ini juga mencerminkan tantangan dari sisi penerimaan, khususnya pajak,” ujar Sri Mulyani.

Pendapatan dari sektor pajak memang menunjukkan tren perlambatan. Hingga Mei, penerimaan pajak hanya terkumpul Rp683,3 triliun atau 31,2% dari target tahunan senilai Rp2.189,2 triliun. Angka ini turun signifikan 11,28% dibanding periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp760,38 triliun.

Sebelumnya, pada April 2025, APBN mencatatkan surplus Rp4,3 triliun atau 0,02% dari PDB, mengakhiri tren defisit tiga bulan berturut-turut sejak awal tahun. Surplus tersebut sempat menjadi sinyal positif sebelum akhirnya defisit kembali terjadi di bulan berikutnya.

Meski demikian, Sri Mulyani mencatat adanya capaian positif dari sisi keseimbangan primer. Per Mei 2025, keseimbangan primer surplus sebesar Rp192,1 triliun, naik dari Rp184,2 triliun pada Mei tahun lalu dan Rp173,9 triliun pada April 2025.

Pemerintah sendiri telah merancang defisit fiskal 2025 sebesar Rp616,2 triliun atau 2,53% terhadap PDB. Dengan realisasi defisit yang masih di bawah 5% dari target tahunan, pemerintah menganggap posisi fiskal masih cukup terjaga, meskipun tekanan penerimaan perlu diwaspadai, terutama dari sektor pajak. (alf)

 

 

Genjot Rasio Pajak, DJP Siapkan Strategi Digital dan Reformasi Bisnis

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, menegaskan komitmennya untuk meningkatkan rasio pajak nasional pasca pelantikannya pada 23 Mei 2025 lalu. Dalam konferensi pers “APBN KiTA” yang digelar di Jakarta, Selasa (17/6/2025), Bimo menyampaikan bahwa upaya tersebut sejalan dengan amanat Undang-Undang APBN dan menjadi prioritas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam menjaga kesinambungan fiskal.

“Strategi kami tidak hanya mengandalkan reformasi Coretax, tapi juga melalui intensifikasi, ekstensifikasi, serta optimalisasi pemajakan atas sektor-sektor potensial, termasuk transaksi digital,” ujar Bimo.

Menurutnya, sejumlah regulasi yang mengatur pemajakan digital sudah disiapkan dan akan segera diumumkan ke publik. “Beberapa kerangka regulasi sudah kami rampungkan, dan dalam waktu dekat akan kami sampaikan secara rinci,” tambahnya.

Dari sisi reformasi sistem, implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax) disebut telah mencatat kemajuan positif, khususnya pada aspek registrasi dan pembayaran yang kini diklaim sudah berjalan stabil. Fokus pembenahan kini beralih ke penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) dan layanan perpajakan lainnya.

Lebih jauh, DJP juga tengah merevisi pendekatan terhadap sektor-sektor unggulan penerimaan negara, seperti komoditas dan sektor yang sedang mengalami lonjakan pertumbuhan. Langkah ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa kebijakan perpajakan benar-benar mampu menangkap potensi penerimaan yang optimal.

“Sesuai arahan Ibu Menteri Keuangan, kami akan evaluasi apakah kebijakan yang ada saat ini sudah cukup memadai dalam mengoptimalkan penerimaan dari sektor-sektor tersebut,” ujar Bimo.

Tak hanya fokus pada sistem dan regulasi, penguatan sumber daya manusia dan kelembagaan juga menjadi perhatian utama. “Peningkatan kualitas SDM dan institusi menjadi kunci untuk membangun kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan kita,” tegasnya.

Sebagai gambaran, rasio pajak Indonesia pada tahun 2024 tercatat sebesar 10,08% dari Produk Domestik Bruto (PDB), mengalami penurunan dibanding tahun 2023 yang mencapai 10,31%. Kondisi ini menjadi tantangan nyata bagi DJP di bawah kepemimpinan baru.

Dengan kombinasi antara reformasi struktural, regulasi adaptif, dan penguatan kapasitas kelembagaan, DJP berharap mampu mendorong kepatuhan sukarela dan memperkuat basis pajak nasional di tengah dinamika ekonomi global. (alf)

 

 

 

 

 

Wajib Pajak Bisa Jadi Pemungut Bea Meterai, Ini Kriterianya!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menetapkan ketentuan baru terkait penunjukan pihak tertentu sebagai pemungut bea meterai melalui Peraturan Dirjen Pajak No. PER-7/PJ/2025. Aturan ini memberikan pedoman tentang kriteria wajib pajak yang bisa ditunjuk sebagai pemungut bea atas dokumen-dokumen tertentu yang memiliki nilai hukum dan finansial.

Dalam beleid tersebut, disebutkan bahwa pemungut bea meterai adalah pihak yang berkewajiban memungut bea dari pihak yang terutang, menyetorkannya ke kas negara, serta melaporkan proses pemungutan dan penyetoran ke DJP.

Salah satu kategori wajib pajak yang berpeluang ditetapkan sebagai pemungut adalah mereka yang memfasilitasi penerbitan surat berharga, seperti cek dan bilyet giro. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 62 ayat (4) PER-7/PJ/2025 yang menyebut bahwa penunjukan dilakukan terhadap wajib pajak yang secara aktif terlibat dalam transaksi bernilai dokumen tinggi.

Tak hanya itu, wajib pajak yang menerbitkan atau memfasilitasi dokumen transaksi surat berharga atau kontrak berjangka dengan bentuk dan nama apa pun juga masuk dalam kriteria. Termasuk pula pihak yang rutin menerbitkan surat pernyataan, surat keterangan, serta dokumen yang mencantumkan nilai uang lebih dari Rp5 juta terutama jika volume dokumen tersebut mencapai rata-rata 1.000 lembar per bulan.

Permohonan Penetapan Bisa Lewat Coretax

Wajib pajak yang ingin ditetapkan sebagai pemungut bea meterai dapat mengajukan permohonan secara daring melalui Portal Wajib Pajak (Coretax) atau datang langsung ke kantor pajak jika akses elektronik tidak memungkinkan.

Untuk pengajuan daring, formulir permohonan harus diisi, ditandatangani secara elektronik, dan dilengkapi dengan salinan dokumen persyaratan seperti surat permohonan penetapan dan surat pernyataan kesediaan sebagai pemungut.

Sementara itu, untuk pengajuan manual di kantor pajak, dokumen disampaikan secara fisik dengan formulir yang sudah ditandatangani dan dilampiri dokumen pendukung serupa. (alf)

 

 

Pelaku Usaha Digital Bisa Pilih Jadi Pemungut PPN, Ini Ketentuannya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan ruang bagi pelaku usaha digital atau Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) untuk secara sukarela menjadi pihak lain yang berwenang memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-12/PJ/2025.

Langkah ini menjadi terobosan bagi pelaku usaha PMSE yang belum ditunjuk secara resmi, tetapi bersedia terlibat aktif dalam administrasi perpajakan. Mereka cukup mengajukan pemberitahuan melalui Portal Wajib Pajak di sistem Coretax, atau datang langsung ke kantor pelayanan pajak.

“Pemberitahuan disampaikan secara langsung ke kantor pelayanan pajak atau melalui Portal Wajib Pajak atau laman lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi DJP,” demikian tertulis dalam Pasal 5 ayat (2) aturan tersebut.

Pemberitahuan ini akan menjadi bahan evaluasi bagi DJP untuk mempertimbangkan penunjukan resmi sebagai pihak lain. Adapun format surat pemberitahuan telah diatur dalam Lampiran B PER-12/PJ/2025.

Siapa yang Dimaksud “Pihak Lain”?

Dalam beleid ini, “pihak lain” adalah entitas yang memfasilitasi atau terlibat langsung dalam transaksi digital, yang diberi mandat untuk mengelola PPN sesuai ketentuan Pasal 32A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Pihak lain ini dibedakan dalam dua kategori:

1. Pihak dalam negeri (berdomisili di Indonesia)

2. Pihak luar negeri (berdomisili di luar Indonesia)

Pelaku usaha PMSE yang telah ditetapkan sebagai pihak lain memiliki kewajiban penuh untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atas pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud serta Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar negeri di Indonesia.

Kriteria Penunjukan

DJP dapat menunjuk pelaku usaha digital sebagai pihak lain apabila memenuhi dua batasan kriteria utama:

1. Nilai transaksi atas barang atau jasa di Indonesia melebihi Rp600 juta dalam setahun atau Rp50 juta dalam sebulan.

2. Jumlah pengakses dari Indonesia mencapai lebih dari 12.000 dalam setahun atau 1.000 dalam sebulan.

Kebijakan ini menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor ekonomi digital yang terus berkembang pesat. (alf)

 

 

 

 

 

Stimulus HUT Jakarta ke-498, Pemprov DKI Beri Keringanan Pajak Hotel

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bakal memberikan keringanan pajak bagi pelaku usaha perhotelan sebagai langkah strategis menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) ke-498 Kota Jakarta.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno menyatakan bahwa keringanan tersebut diberikan dalam bentuk stimulus fiskal guna menggairahkan sektor perhotelan yang menjadi salah satu pilar penting perekonomian ibu kota.

“Dalam minggu ini kita akan memberikan stimulus dengan memberikan keringanan pajak untuk hotel,” ujar Rano saat menghadiri acara ziarah di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Selasa (17/6/2025).

Ia menjelaskan, stimulus ini merupakan bagian dari rangkaian kebijakan untuk meningkatkan daya tarik wisata dan memperbesar potensi kunjungan wisatawan ke Jakarta.

“Karena itu, setiap akhir pekan Jakarta rutin menggelar berbagai acara dan atraksi agar angka kunjungan terus meningkat,” tambahnya.

Rano meyakini bahwa meningkatnya kunjungan wisatawan akan berdampak langsung pada okupansi hotel, yang pada akhirnya turut menggerakkan roda ekonomi di berbagai sektor lainnya.

Kebijakan ini melengkapi sejumlah program Pemprov DKI lainnya seperti pemutihan pajak kendaraan bermotor serta bantuan pendidikan melalui KJP Plus dan KJMU.

Sebagai informasi, pajak hotel di Jakarta kini dikategorikan sebagai Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) sektor jasa perhotelan, dengan tarif sebesar 10 persen dari total biaya layanan. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Dengan berbagai kebijakan yang proaktif ini, Pemprov DKI berharap momen HUT Jakarta bisa menjadi titik balik pemulihan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. (alf)

 

 

DJP Atur Ulang Tata Cara Faktur Pajak Uang Muka dalam PER-11/2025, Begini Rinciannya!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali melakukan penyempurnaan administrasi perpajakan. Kali ini, pembaruan dilakukan melalui terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) Nomor PER-11/PJ/2025 yang mengatur tata cara pengisian Faktur Pajak atas transaksi yang melibatkan penerimaan uang muka, termin, atau angsuran.

Regulasi ini mempertegas ketentuan pengisian kolom “Nama Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP)” dalam faktur pajak. DJP mensyaratkan agar Pengusaha Kena Pajak (PKP) memberikan keterangan yang lebih spesifik, terutama saat terjadi pembayaran uang muka sebelum barang atau jasa diserahkan sepenuhnya.

Misalnya, dalam transaksi pembelian komputer merek ABC seharga Rp5 juta, jika pelanggan membayar uang muka sebesar Rp1 juta, maka kolom “Nama BKP dan/atau JKP” dalam faktur harus memuat informasi:

“Uang muka sebesar Rp1.000.000 untuk pembelian komputer merek ABC dengan harga jual sebesar Rp5.000.000.”

Selanjutnya, saat sisa pembayaran sebesar Rp4 juta dilunasi, faktur kedua harus mencantumkan:

“Pelunasan sebesar Rp4.000.000 untuk pembelian komputer merek ABC dengan harga jual sebesar Rp5.000.000.”

Menariknya, DJP kini juga memfasilitasi integrasi antara faktur pajak uang muka dan pelunasan melalui sistem Coretax. Sistem ini memungkinkan kedua faktur saling terhubung apabila dibuat dengan mencentang kotak “Uang Muka” saat penerimaan awal, dan “Pelunasan” saat pembayaran akhir. Pengisian nomor faktur uang muka pada faktur pelunasan juga menjadi keharusan.

Aturan baru ini bertujuan meningkatkan ketertiban administrasi, memberikan kejelasan bagi fiskus dan wajib pajak, serta meminimalisir potensi kesalahan dalam pelaporan pajak.

Dengan demikian, PKP diimbau untuk segera menyesuaikan praktik pengisian faktur pajaknya sesuai ketentuan terbaru agar terhindar dari sanksi administratif akibat kesalahan dalam pencatatan. (alf)

 

 

Senat AS Usulkan Cabut Insentif Pajak Mobil Listrik

IKPI, Jakarta: Arah kebijakan energi dan transportasi Amerika Serikat menghadapi guncangan besar setelah Senat yang kini dikuasai Partai Republik mengusulkan Rancangan Undang-Undang Pajak dan Anggaran yang akan memangkas habis insentif untuk kendaraan listrik. Dalam proposal yang diumumkan Senin (16/6/2025) waktu setempat, insentif pajak sebesar US$7.500 untuk pembelian mobil listrik baru bakal dihapus 180 hari setelah beleid disahkan.

Tak hanya itu, insentif US$4.000 untuk pembelian mobil listrik bekas juga akan dicabut 90 hari setelah pengesahan. Insentif kendaraan listrik sewaan yang selama ini bebas dari aturan lokasi produksi pun akan dihentikan efektif per 16 Juni, kecuali kendaraan tersebut memenuhi syarat perakitan dan kandungan domestik di Amerika Utara.

Langkah drastis ini menandai pembalikan arah dari kebijakan era Presiden Joe Biden yang mendorong transisi ke kendaraan listrik sebagai bagian dari upaya pengurangan emisi dan penanggulangan krisis iklim.

Sebaliknya, pemerintahan saat ini di bawah Presiden Donald Trump tampak memilih fokus pada industri otomotif dalam negeri dan kemandirian energi.

Selain pemangkasan insentif, Senat juga mengusulkan pengecualian pajak atas bunga kredit kendaraan baru buatan AS hingga 2028, meski insentif ini akan menyusut bagi warga berpenghasilan di atas US$100.000.

Sementara di DPR, versi alternatif dari RUU tersebut menyarankan agar insentif mobil listrik tetap berlaku hingga akhir 2025 dan hingga 2026 bagi produsen dengan penjualan EV di bawah 200.000 unit.

Versi DPR juga mencakup rencana penerapan biaya tahunan baru sebesar US$250 untuk mobil listrik dan US$100 untuk kendaraan hybrid, yang akan dialokasikan untuk pembiayaan infrastruktur jalan. Insentif untuk produksi baterai kendaraan listrik pun diusulkan dihapus bertahap mulai 2028.

Pekan lalu, Presiden Trump juga menandatangani resolusi yang membatalkan rencana ambisius Negara Bagian California untuk menghentikan penjualan mobil berbahan bakar bensin pada 2035 kebijakan yang sempat diadopsi oleh 11 negara bagian lainnya yang mewakili sepertiga pasar otomotif AS. (alf)

 

Pergantian Pejabat DJP: 19 Nama Baru Ditugaskan Benahi Coretax dan Layanan Pajak

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melantik 19 pejabat baru di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jumat (13/6/2025). Dalam arahannya, Sri Mulyani menegaskan bahwa para pejabat ini memiliki tanggung jawab penting dalam menyukseskan pembenahan sistem administrasi perpajakan nasional, khususnya Coretax.

“Perbaiki sistem Coretax yang sedang kita bangun, jalankan, dan yakinkan sistem ini mampu melayani Wajib Pajak secara mudah, sekaligus memperkuat fungsi DJP dalam menghimpun penerimaan negara secara efisien, akuntabel, dan adil,” ujar Sri Mulyani saat pelantikan.

Coretax merupakan sistem inti administrasi perpajakan yang menjadi tulang punggung reformasi digital DJP. Pemerintah berharap sistem ini mampu meningkatkan kualitas layanan dan pengawasan perpajakan.

Sri Mulyani juga mendorong seluruh jajaran DJP untuk terus memperkuat organisasi, tata kelola, dan sumber daya manusia—baik dari sisi struktur maupun fungsi. Menurutnya, tantangan DJP ke depan bukan hanya soal target penerimaan, tetapi juga kepercayaan publik.

Berikut daftar lengkap 19 pejabat DJP yang baru dilantik:

1. Sigit Danang Joyo – Sekretaris Direktorat Jenderal

2. Heri Kuswanto – Direktur Peraturan Perpajakan II

3. Arif Yuniar – Direktur Pemeriksaan dan Penagihan

4. Etty Rachmiyanthi – Direktur Keberatan dan Banding

5. Rosmauli – Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas

6. Belis Siswanto – Direktur Kepatuhan Internal dan Transformasi SDA

7. Neilmaldrin Noor – Direktur Intelijen Perpajakan

8. Retno Sri Sulistyani – Kepala Kanwil DJP Bengkulu dan Lampung

9. Dwi Astuti – Kepala Kanwil DJP Jakarta Selatan II

10.Aim Nursalim Saleh – Kepala Kanwil DJP Banten

11. Teguh Budiharto – Kepala Kanwil DJP Jawa Tengah II

12. Samingun – Kepala Kanwil DJP Jawa Timur I

13. Untung Supardi – Kepala Kanwil DJP Jawa Timur III

14. Hermiyana – Kepala Kanwil DJP Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara

15. Samon Jaya – Kepala Kanwil DJP Nusa Tenggara

16. Edward H. Sianipar – Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan

17. Kindy Rinaldy Syahrir – Tenaga Pengkaji Bidang Ekstensifikasi dan Intensifikasi

18. Mukhammad Faisal Artjan – Tenaga Pengkaji Bidang Pembinaan dan Penertiban SDM

19. Poltak Maruli J.L. Hutagaol – Tenaga Pengkaji Bidang Pengawasan dan Penegakan Hukum

Pelantikan ini menjadi bagian dari penguatan struktur DJP di tengah upaya modernisasi perpajakan. Dengan komposisi baru ini, diharapkan Coretax benar-benar menjadi fondasi kuat untuk sistem pajak Indonesia yang transparan, profesional, dan terpercaya. (bl)

Lelang Aset Penunggak Pajak Digelar 25 Juni, DJP Jakarta Barat Siap Tawarkan 15 Barang Bernilai Tinggi

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali menunjukkan keseriusannya dalam menegakkan hukum perpajakan melalui aksi nyata. Kali ini, Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat akan menggelar lelang eksekusi atas aset hasil penyitaan dari para penunggak pajak, Rabu, 25 Juni 2025 mendatang. Lelang ini diselenggarakan bekerja sama dengan Kanwil Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) DKI Jakarta dan akan dilakukan secara daring melalui situs resmi lelang.go.id.

Sebanyak 15 barang bergerak dari berbagai jenis siap ditawarkan kepada publik. Mulai dari kendaraan roda dua dan roda empat, hingga alat berat dan perangkat medis, semua berasal dari delapan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Barat. Penyitaan dan lelang ini merupakan bagian dari strategi penagihan aktif utang pajak yang terus diintensifkan.

“Aset yang telah disita ditawarkan kepada publik melalui mekanisme lelang resmi negara sebagai bentuk penegakan hukum yang tegas dan terukur,” ujar DJP dalam keterangannya, Senin (15/6/2025).

Langkah ini tidak hanya bertujuan untuk memulihkan penerimaan negara, tetapi juga memberi sinyal kuat bahwa penunggakan pajak tidak akan dibiarkan. DJP ingin menegaskan komitmennya dalam meningkatkan kepatuhan dan memberikan efek jera bagi wajib pajak yang abai terhadap kewajibannya.

Lelang dilakukan secara transparan dan terbuka bagi masyarakat umum dengan sistem open bidding tanpa kehadiran fisik peserta. Penetapan pemenang dilakukan di hari yang sama.

Deretan Barang yang Akan Dilelang:

1. Toyota HILUX 2.46 DC 4X4 MT

2. Toyota Harrier 2.4 AT

3. Toyota Rush 1.5G M.T

4. Volvo XC90 2.9 T6 (2005)

5. Nissan X-Trail 2.5 ST A/T (2010)

6. Sepeda motor Honda Revo

7. Yamaha NMAX

8. Honda Vario 150 cc

9. Sepeda motor listrik Alessa

10. Honda Vario

11. Honda Beat

12. Sistem Video Integrasi Ruang Operasi

13. 5 unit Air Purifier Novaerus NV800

14. Forklift/Reach Truck

15. Truk Tronton (Tractor Head)

Ketentuan dan Mekanisme Lelang:

  1. Waktu pelaksanaan: Rabu, 25 Juni 2025 pukul 10.00–11.30 WIB
  2. Akses objek lelang: Dapat dilihat sejak pengumuman lelang
  3. Syarat peserta: Wajib memiliki akun terverifikasi di portal.lelang.go.id
  4. Jaminan lelang: Harus diterima efektif oleh KPKNL paling lambat H-1 melalui virtual account
  5. Penawaran: Dimulai dari nilai limit, dan peserta dapat mengajukan penawaran berulang
  6. Pembayaran pemenang: Pokok Lelang + Bea Lelang 3% dibayar maksimal 5 hari kerja setelah lelang

DJP mengimbau masyarakat untuk mengikuti lelang ini secara bijak dan memanfaatkan kesempatan memiliki barang bernilai dengan prosedur resmi yang sah. Selain itu, kegiatan ini menjadi pengingat bahwa kepatuhan pajak bukan sekadar kewajiban, tapi juga kontribusi nyata dalam membangun negara.

 

 

en_US