DJP Terapkan Strategi “Micro Management” untuk Kejar Setoran Pajak Akhir Tahun

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mulai menempuh strategi baru guna mengantisipasi potensi shortfall atau kekurangan penerimaan pajak pada akhir tahun ini. Langkah tersebut dilakukan dengan pendekatan micro management yang menitikberatkan pada pengawasan ketat terhadap wajib pajak berkontribusi besar.

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, mengatakan pihaknya kini mengubah strategi pengawasan dan penagihan dengan pemantauan lebih rinci di seluruh kantor wilayah. DJP menyiapkan daftar wajib pajak potensial yang memiliki kontribusi besar terhadap penerimaan, dan setiap pergerakan mereka akan dipantau secara langsung.

“Upayanya kita sudah mulai micro management untuk collection. Jadi kita pantau betul semua wajib pajak, kita list dari semua kanwil, potensi yang paling besar siapa, kemudian kira-kira kepatuhannya seperti apa,” ujar Bimo di Kantor Kemenko Perekonomian, Rabu (22/10/2025).

Bimo menegaskan, fokus utama DJP saat ini adalah menutup compliance gap atau kesenjangan kepatuhan pajak, terutama di kelompok wajib pajak besar. Dengan pendekatan yang lebih tajam dan berbasis data, ia berharap penerimaan negara bisa tetap optimal meski tekanan ekonomi belum sepenuhnya mereda.

“Gap kepatuannya kita endorse untuk bisa jadi optimum,” tambahnya.

Dalam beberapa bulan terakhir, kinerja penerimaan pajak nasional memang menunjukkan tren melambat. Kondisi ini mendorong DJP memperkuat strategi pengawasan berbasis data dan memastikan setiap potensi penerimaan dapat digali secara maksimal menjelang akhir tahun anggaran.

Langkah micro management ini disebut menjadi strategi kunci DJP untuk menjaga stabilitas fiskal dan memastikan target penerimaan 2025 tetap berada dalam jalur yang aman. (alf)

E-Commerce Belum Siap, idEA Minta Waktu 8 Bulan Sebelum Pungutan Pajak Jalan

IKPI, Jakarta: Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) menilai industri marketplace belum sepenuhnya siap menjalankan kewajiban sebagai pemungut pajak. Ketua Umum idEA Hilmi Adrianto memperkirakan, platform e-commerce membutuhkan waktu sekitar delapan bulan sejak September 2025 untuk menyiapkan sistem yang mampu menjalankan tugas tersebut secara efektif.

Hilmi menyambut baik keputusan pemerintah menunda penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 tentang pemungutan PPh Pasal 22 atas transaksi e-commerce. Menurutnya, langkah ini realistis dan memberi ruang bagi industri digital untuk beradaptasi tanpa mengganggu momentum pertumbuhan ekonomi digital nasional.

“PMK ini bukan menambah beban baru bagi wajib pajak, tetapi mengalihkan tanggung jawab pemungutan pajak kepada platform. Marketplace harus memverifikasi omzet penjual, mengelola data perpajakan, dan memastikan pelaporan berjalan lancar. Ini bukan hal sederhana,” ujar Hilmi, Rabu (22/10/2025).

Hilmi menjelaskan, hasil kajian bersama idEA dan para pelaku industri menunjukkan bahwa masa transisi minimal delapan bulan sangat diperlukan agar implementasi PMK berjalan efektif. Persiapan mencakup penyesuaian sistem internal, integrasi data dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), serta penguatan edukasi bagi penjual. Ia menekankan pentingnya koordinasi erat antara pemerintah, DJP, dan platform marketplace agar mekanisme pemungutan pajak tidak menimbulkan kebingungan, terutama bagi pelaku UMKM digital.

“Adaptasi terhadap sistem administrasi pajak digital masih menjadi tantangan bagi pelaku usaha kecil. Sosialisasi yang menyeluruh sangat penting agar proses pungutan tidak menjadi beban tambahan bagi penjual kecil,” ujarnya.

Meski mendukung penguatan kepatuhan pajak, idEA mengingatkan potensi distorsi pasar jika kebijakan diterapkan tanpa kesiapan memadai. Pelaku kecil bisa terbebani secara administrasi maupun arus kas, yang pada akhirnya mendorong mereka berpindah ke kanal non-formal seperti media sosial untuk menghindari pungutan tambahan. Selain itu, sebagian penjual mungkin akan meneruskan beban pajak kepada konsumen tergantung strategi bisnis masing-masing, yang bisa berdampak pada daya saing dan harga produk.

Hilmi menegaskan, idEA mendukung sepenuhnya komitmen pemerintah memperkuat kepatuhan pajak di sektor digital. Namun, kebijakan tersebut perlu dijalankan dengan pendekatan adil, proporsional, dan berorientasi pada pertumbuhan agar tidak menekan daya saing industri e-commerce Indonesia di kawasan ASEAN.

“Pemerintah dan industri perlu bersama-sama membangun ekosistem pajak yang sehat dan inklusif di mana pelaku usaha tetap patuh pajak tetapi juga memiliki ruang untuk tumbuh,” pungkasnya. (alf)

Kabar Gembira! Industri Film Nasional Bakal Dapat Insentif Pajak Baru

IKPI, Jakarta: Pemerintah tengah menyiapkan angin segar bagi dunia perfilman Tanah Air. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memastikan sedang merancang skema insentif pajak baru khusus untuk industri film nasional.

Kebijakan ini menjadi langkah strategis untuk mendorong pertumbuhan sektor kreatif dan menciptakan persaingan yang lebih adil antara film lokal dan film impor.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengatakan, wacana pemberian insentif tersebut muncul setelah DJP menerima aspirasi dari berbagai asosiasi film di Indonesia.

“Permintaannya (dari pelaku industri), kita akan membuat skema insentif yang affordable untuk mengembangkan industri film dalam negeri. Termasuk juga untuk menyetarakan level playing field antara industri film nasional dan film impor,” ujar Bimo usai pertemuan di Kantor Kemenko Perekonomian, Rabu (22/10/2025).

Menurut Bimo, pelaku industri menilai masih ada beberapa kebijakan perpajakan yang perlu diperbaiki agar iklim usaha semakin kondusif.

“Selama ini mungkin dirasa ada beberapa hal yang harus di-improve,” ungkapnya.

Meski belum merinci bentuk insentif yang akan diberikan, Bimo menegaskan arah kebijakan DJP jelas: mengurangi beban pajak bagi pelaku film nasional agar industri ini bisa tumbuh lebih kuat di pasar domestik.

“Saya belum bisa bicara detail, tapi arahnya agar beban pajak bagi industri dalam negeri tidak terlalu memberatkan,” tegasnya.

Langkah DJP ini disambut positif oleh pelaku sektor kreatif. Mereka menilai, dukungan fiskal seperti ini sangat penting di tengah ketatnya persaingan pasar dan naiknya biaya produksi film lokal.

Jika terealisasi, insentif pajak ini diharapkan menjadi babak baru bagi kebangkitan industri film Indonesia bukan hanya memperkuat eksistensi di dalam negeri, tetapi juga membuka peluang lebih luas untuk menembus pasar global. (alf)

Kanwil DJP Sumut II Imbau Wajib Pajak Segera Siapkan Diri Hadapi Pelaporan SPT di Era Coretax

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Sumatera Utara II mengimbau wajib pajak untuk segera mempersiapkan diri menghadapi pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan melalui Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax DJP) yang akan mulai diterapkan pada awal 2026.

Imbauan tersebut disampaikan Penyuluh Kanwil DJP Sumut II, Jendri Saragih, dalam Podcast Pajak 030 (PP030) Seri 2 bertajuk “Lapor SPT Lewat Coretax? Yuk Siapkan Hal Berikut!” yang disiarkan melalui kanal YouTube Kanwil DJP Sumatera Utara II.

Jendri menjelaskan bahwa Coretax DJP merupakan sistem baru yang akan menggantikan DJP Online, dengan konsep pelayanan pajak yang lebih terintegrasi, efisien, dan user-friendly. Sistem ini akan memudahkan wajib pajak dalam mengisi dan melaporkan SPT secara digital.

“Coretax dirancang untuk memberikan pengalaman perpajakan yang lebih mudah dan efisien. Namun agar prosesnya berjalan lancar, kami mengajak seluruh wajib pajak untuk segera validasi NIK-NPWP, melakukan aktivasi akun dan pembuatan passphrase, serta menyiapkan dokumen pelaporan sejak dini,” ujar Jendri.

Ia juga menekankan bahwa sinkronisasi data kependudukan dengan sistem perpajakan akan menjadi fitur penting dalam Coretax. Dengan demikian, sebagian data wajib pajak akan terisi otomatis, tetapi tetap perlu diverifikasi agar sesuai dengan dokumen yang dimiliki.

Melalui edukasi publik seperti podcast tersebut, Kanwil DJP Sumut II berharap wajib pajak semakin memahami proses transisi menuju sistem Coretax DJP dan dapat melaksanakan pelaporan pajak secara lebih tertib dan lancar di tahun 2026. (alf)

DJP Papabrama Perkuat Sinergi dengan Kejati Papua untuk Tegakkan Keadilan Fiskal

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Upaya menegakkan keadilan fiskal di Tanah Papua terus digencarkan. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Papua, Papua Barat, dan Maluku (Kanwil DJP Papabrama) melakukan audiensi dengan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua di Jayapura guna memperkuat kolaborasi dalam penegakan hukum dan peningkatan kepatuhan pajak.

Kepala Kanwil DJP Papabrama, Dudi Edendi Karnawidjaya, menegaskan bahwa kerja sama lintas lembaga ini menjadi langkah strategis untuk memastikan sistem perpajakan berjalan adil dan berintegritas.

“Sinergi dengan Kejaksaan merupakan bagian penting dalam menjaga keadilan fiskal dan memastikan kepatuhan perpajakan berjalan dengan baik,” ujarnya dikutip dari Antara, Kamis (23/10/2025).

Dudi menjelaskan, penguatan koordinasi antara DJP dan Kejati akan difokuskan pada tiga aspek utama: preventif, represif, dan edukatif. Melalui pendekatan ini, DJP berharap pelanggaran pajak dapat ditekan sejak dini, penegakan hukum berjalan tegas, dan kesadaran masyarakat terhadap kewajiban pajak semakin meningkat.

Sementara itu, Kepala Kejaksaan Tinggi Papua, Hendrizal Husin, menyambut positif langkah yang diambil DJP. Ia menilai sinergi tersebut tidak hanya penting untuk menegakkan hukum, tetapi juga untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan.

“Kami siap mendukung pelaksanaan tugas perpajakan sesuai koridor hukum dan prinsip keadilan,” tegas Hendrizal.

Melalui audiensi ini, kedua lembaga sepakat untuk memperkuat pertukaran data, meningkatkan koordinasi penegakan hukum, serta mengintensifkan edukasi perpajakan kepada masyarakat.

Langkah ini menandai komitmen nyata DJP Papabrama dan Kejati Papua dalam menciptakan tata kelola perpajakan yang transparan, berkeadilan, dan berdaya guna bagi pembangunan daerah. (alf)

DJP Tegaskan Stop Akal-akalan Pecah Usaha Demi Nikmati Pajak 0,5%

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengeluarkan peringatan tegas kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) agar tidak melakukan praktik “pecah usaha” hanya demi terus menikmati insentif pajak penghasilan (PPh) final sebesar 0,5 persen.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menegaskan, kebijakan insentif pajak ini ditujukan untuk membantu pelaku usaha kecil yang sedang tumbuh, bukan untuk dimanfaatkan secara tidak jujur oleh usaha besar yang seharusnya sudah beralih ke skema perpajakan umum.

“Pedagang kecil kan kita kasih insentif terus. Jadi kalau memang sudah naik kelas, ya enggak seharusnya kemudian memecah usahanya untuk mendapatkan insentif yang setengah persen,” tegas Bimo di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (22/10/2025).

Ia menjelaskan, tujuan utama dari insentif PPh final 0,5 persen adalah memberikan ruang bagi UMKM untuk berkembang tanpa terbebani pajak besar di tahap awal. Namun, bila omzet usaha sudah melampaui batas tertentu, maka pelaku usaha wajib masuk ke skema perpajakan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Bimo menegaskan, praktik pemecahan bisnis justru akan merusak semangat kebijakan ini. “Kita ingin bantu yang benar-benar butuh, bukan yang mencari celah,” ujarnya.

Insentif pajak 0,5 persen ini diberikan kepada pelaku UMKM dengan omzet tahunan mulai dari Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar. Sedangkan bagi usaha dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun, pemerintah bahkan membebaskan Pajak Penghasilan (PPh) sama sekali. Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018, yang telah diperbarui melalui PP Nomor 55 Tahun 2022.

Apabila omzet pelaku usaha sudah melewati batas Rp4,8 miliar, maka mereka tidak lagi berhak atas fasilitas ini. “Kalau sudah di atas itu, kita bantu juga untuk bisa pembukuan dan perpajakan sesuai ketentuan umum,” kata Bimo.

Dalam kesempatan yang sama, Bimo juga membawa kabar baik bagi pelaku UMKM. Pemerintah telah memutuskan untuk memperpanjang masa berlaku insentif PPh final 0,5 persen hingga tahun 2029. Langkah ini diambil untuk memberikan kepastian dan stabilitas usaha di tengah tantangan ekonomi global.

Perpanjangan tersebut akan diatur melalui revisi PP Nomor 55 Tahun 2022 yang saat ini sedang difinalisasi. “Ini bentuk keberpihakan pemerintah pada pelaku UMKM agar bisa tumbuh berkelanjutan, bukan sekadar bertahan,” ujar Bimo.

DJP berharap pelaku UMKM dapat memanfaatkan fasilitas pajak ini dengan jujur dan bertanggung jawab. “Insentif ini adalah bentuk kepercayaan. Jangan rusak dengan cara-cara yang tidak fair,” tutup Bimo. (alf)

Wamenkeu Dorong Efisiensi Fiskal untuk Pacu Pertumbuhan 2025

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Pemerintah terus mengarahkan kebijakan fiskalnya agar lebih efisien dan berdampak langsung bagi masyarakat. Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara menegaskan bahwa kebijakan fiskal 2025 difokuskan untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional, sekaligus memastikan setiap rupiah belanja negara memberi manfaat nyata bagi rakyat.

“Program-program yang prioritas kita biayai. Program-program yang tidak penting kita stop,” ujar Suahasil dikutip dari Website Kemenkeu.go.id, Rabu (21/10/2025).

Menurutnya, sejak awal tahun 2025 Kementerian Keuangan telah melakukan penyisiran dan refocusing anggaran secara menyeluruh. Langkah ini menjadi kunci dalam mendorong efisiensi fiskal, agar belanja negara benar-benar tepat sasaran dan mendukung agenda pembangunan prioritas.

Dana hasil efisiensi tersebut dialihkan untuk mendanai program-program unggulan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Sekolah Rakyat, dan Koperasi Desa Merah Putih.

Menjelang akhir tahun, Kementerian Keuangan juga mempercepat realisasi belanja APBN sebesar Rp3.500 triliun guna memperkuat permintaan domestik, memperluas lapangan kerja, serta menekan angka kemiskinan.

“Percepatan belanja akan menjadi katalis perekonomian, mendorong kegiatan usaha, dan tentu berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.

Selain efisiensi dan percepatan belanja, pemerintah juga menyiapkan stimulus likuiditas melalui kebijakan penempatan Rp200 triliun kas pemerintah di perbankan, yang sebelumnya tersimpan di Bank Indonesia. Suahasil menjelaskan, langkah ini bagian dari manajemen kas negara untuk memastikan likuiditas perbankan tetap ample dan suku bunga bisa turun, sehingga investasi menjadi lebih menarik.

“Kita ingin perbankan punya ruang likuiditas yang cukup besar agar kredit mengalir dan kegiatan ekonomi makin feasible,” kata Suahasil.

Ia menegaskan, arah kebijakan fiskal sejalan dengan reformasi struktural dan upaya perbaikan iklim investasi, termasuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), kepastian hukum, dan pembangunan infrastruktur. Semua itu merupakan pondasi untuk menjaga ketahanan ekonomi jangka panjang.

Suahasil menambahkan, belanja APBN yang setara 14% dari PDB digunakan secara strategis untuk menopang delapan program prioritas pemerintah, terutama hilirisasi industri, yang menjadi motor utama peningkatan nilai tambah, investasi, dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

“Kebijakan fiskal bukan sekadar menjaga neraca, tapi alat nyata untuk memperkuat ekonomi rakyat dan mempercepat pertumbuhan nasional,” pungkasnya. (alf)

Pajak Fintech dan Kripto Sumbang Rp 5,81 Triliun Hingga September 2025

IKPI, Jakarta: Penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital terus menunjukkan tren positif. Hingga akhir September 2025, pajak dari bisnis financial technology (fintech) peer-to-peer (P2P) lending dan aset kripto tercatat menembus Rp 5,81 triliun.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Rosmauli, menyebut kontribusi terbesar datang dari fintech P2P lending dengan nilai Rp 4,1 triliun.

“Pertumbuhan sektor digital kini tidak hanya menggerakkan ekonomi, tapi juga menjadi sumber penerimaan pajak yang semakin signifikan,” ujar Rosmauli dalam keterangan tertulisnya, Rabu (21/10/2025).

Dari total penerimaan fintech, tercatat Rp 446,39 miliar pada 2022, meningkat menjadi Rp 1,1 triliun pada 2023, lalu Rp 1,48 triliun pada 2024, dan Rp 1,06 triliun hingga September 2025.

Pajak tersebut bersumber dari PPh 23 atas bunga pinjaman wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) sebesar Rp 1,14 triliun, PPh 26 atas bunga pinjaman wajib pajak luar negeri senilai Rp 724,4 miliar, serta PPN dalam negeri mencapai Rp 2,24 triliun.

Sebagai catatan, pajak fintech mulai berlaku sejak 1 Mei 2022 melalui PMK Nomor 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Penyelenggara Teknologi Finansial.

Sementara itu, penerimaan pajak dari aset kripto juga meningkat pesat, dengan total Rp 1,71 triliun hingga September 2025. Angka tersebut terdiri atas Rp 836,36 miliar dari PPh 22 dan Rp 876,62 miliar dari PPN dalam negeri.

Adapun perolehan tahunannya mencapai Rp 246,45 miliar pada 2022, Rp 220,83 miliar pada 2023, Rp 620,4 miliar pada 2024, dan Rp 621,3 miliar hingga September 2025.

Rosmauli menegaskan, peningkatan penerimaan pajak digital menjadi sinyal kuat bahwa ekosistem ekonomi baru ini makin matang.

“Ke depan, seluruh potensi ekonomi digital—mulai dari PMSE, fintech, hingga kripto—akan kami integrasikan dalam sistem perpajakan yang adil dan efisien,” tegasnya.

Capaian tersebut menandai bahwa transformasi digital tidak hanya mengubah cara masyarakat bertransaksi, tetapi juga semakin memperkuat pondasi fiskal Indonesia di era ekonomi digital. (alf)

Sektor Digital Sumbang Rp 42,53 Triliun Pajak Hingga September 2025

IKPI, Jakarta: Sektor ekonomi digital semakin menunjukkan tajinya sebagai penopang baru penerimaan negara. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak dari sektor ini hingga 30 September 2025 mencapai Rp 42,53 triliun, yang berasal dari berbagai lini usaha digital.

“Realisasi sebesar Rp 42,53 triliun menunjukkan bukti nyata bahwa sektor digital kini menjadi penggerak baru penerimaan pajak Indonesia,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, dalam keterangan tertulis, Rabu (22/10/2025).

Kontributor terbesar berasal dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebesar Rp 32,94 triliun. Hingga September 2025, pemerintah telah menunjuk 246 perusahaan sebagai pemungut PPN PMSE. Lima di antaranya baru ditunjuk tahun ini, yaitu Viagogo GMBH, Coursiv Limited, Ogury Singapore Pte. Ltd., BMI GlobalEd Limited, dan GetYourGuide Tours & Tickets GmbH. Dari seluruh pemungut yang telah ditetapkan, sebanyak 207 telah aktif melakukan pemungutan dan penyetoran PPN PMSE.

Rosmauli menjelaskan, tren penerimaan PPN PMSE terus meningkat dari tahun ke tahun, mulai dari Rp 731,4 miliar pada 2020, Rp 3,9 triliun pada 2021, Rp 5,51 triliun pada 2022, Rp 6,76 triliun pada 2023, Rp 8,44 triliun pada 2024, hingga mencapai Rp 7,6 triliun per September 2025. Menurutnya, kinerja tersebut mencerminkan konsistensi kepatuhan pelaku usaha digital global maupun lokal dalam menjalankan kewajiban perpajakan di Indonesia.

Selain PMSE, penerimaan pajak dari aset kripto juga menunjukkan pertumbuhan positif dengan total Rp 1,71 triliun sampai September 2025. Penerimaan tersebut terdiri atas PPh 22 sebesar Rp 836,36 miliar dan PPN Dalam Negeri sebesar Rp 872,62 miliar. Adapun secara tahunan, penerimaan pajak kripto tercatat sebesar Rp 246,45 miliar pada 2022, Rp 220,83 miliar pada 2023, Rp 620,4 miliar pada 2024, dan Rp 621,3 miliar hingga September 2025.

Sementara itu, pajak sektor fintech juga memberikan kontribusi signifikan dengan nilai mencapai Rp 4,1 triliun. Penerimaan ini berasal dari PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap sebesar Rp 1,14 triliun, PPh 26 atas bunga pinjaman Wajib Pajak Luar Negeri sebesar Rp 724,4 miliar, serta PPN Dalam Negeri atas setoran masa sebesar Rp 2,24 triliun.

Tak ketinggalan, penerimaan pajak melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) turut menyumbang Rp 3,78 triliun hingga September 2025. Penerimaan dari pajak SIPP ini terdiri atas PPh Pasal 22 sebesar Rp 251,14 miliar dan PPN sebesar Rp 3,53 triliun.

Rosmauli menegaskan, capaian tersebut merupakan hasil nyata dari transformasi digital yang dijalankan DJP untuk memperluas basis pajak di sektor-sektor baru. “Ekonomi digital bukan lagi sektor pelengkap, tetapi telah menjadi tulang punggung baru penerimaan pajak nasional. DJP akan terus memperkuat tata kelola dan memperluas kerja sama lintas sektor agar potensi pajak digital dapat dimaksimalkan,” tegasnya.

Dengan kontribusi Rp 42,53 triliun hingga kuartal III 2025, ekonomi digital kian memperkokoh posisinya sebagai salah satu sumber penerimaan negara yang paling dinamis di tengah perubahan lanskap ekonomi global. (alf)

Target Pelapor SPT Tahunan 2025 Turun, DJP Realistis Hadapi Kondisi Ekonomi dan Kenaikan PTKP

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menurunkan target jumlah pelapor Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak tahun 2025. Jika tahun sebelumnya targetnya mencapai 16,21 juta pelapor, tahun ini DJP hanya membidik sekitar 14 juta wajib pajak yang menyampaikan SPT-nya.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Rosmauli menjelaskan, penyesuaian target ini dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai dinamika ekonomi dan profil wajib pajak yang terus berubah.

“Nah, untuk keseluruhan SPT tadi kurang lebih 14 juta something. Untuk wajib pajak orang pribadi sekitar 13 jutaan, sedangkan untuk badan sekitar 1 jutaan,” kata Rosmauli dalam media briefing di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Senin (21/10/2025).

Menurutnya, target yang lebih rendah ini bukan berarti penurunan kinerja, melainkan penyesuaian yang realistis berdasarkan capaian pelaporan tahun sebelumnya. Berdasarkan data DJP, pelaporan SPT Tahunan 2024 hanya mencapai 12,34 juta wajib pajak, atau sekitar 76,13% dari target 16,21 juta.

Rosmauli mengungkapkan, target 2025 juga mempertimbangkan beberapa faktor penting, antara lain kemungkinan bertambahnya pegawai dengan penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) seiring rencana penyesuaian ambang batas, serta berkurangnya pelaku UMKM dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun.

“Pertimbangan tadi kemungkinan bahwa pegawai yang di bawah PTKP bertambah, kemudian yang di bawah Rp4,8 miliar mungkin berkurang. Kemudian wajib pajak yang statusnya non-efektif (NE) juga bisa bertambah,” ujarnya.

Ia menambahkan, analisis tersebut penting agar DJP dapat menyusun strategi antisipatif menjelang masa pelaporan SPT yang akan berakhir pada Maret 2026 untuk wajib pajak orang pribadi, dan April 2026 untuk wajib pajak badan.

“Ini kan cuma pertimbangan-pertimbangan ya, supaya kami bisa menentukan langkah-langkah yang tepat untuk mengantisipasi nantinya pada saat pelaporan SPT,” tegas Rosmauli.

Dengan target yang lebih realistis, DJP berharap tingkat kepatuhan formal wajib pajak tetap terjaga, sekaligus menjadi dasar penyempurnaan strategi edukasi dan sosialisasi pajak di tengah dinamika ekonomi nasional yang terus bergerak. (alf)

en_US