Yunani Berlakukan Pajak Penumpang Kapal Pesiar, Berlaku 1 Juli 2025

IKPI, Jakarta: Pemerintah Yunani akan menerapkan kebijakan baru yang berdampak pada para pelancong kapal pesiar mulai 1 Juli 2025. Dalam upaya mengendalikan lonjakan wisatawan dan melindungi destinasi-destinasi unggulan seperti Santorini dan Mykonos, Yunani memberlakukan pajak khusus bagi penumpang kapal pesiar yang berkunjung ke pulau-pulau populer tersebut.

Pulau-pulau di Laut Aegea itu memang menjadi magnet utama pariwisata Yunani, dengan lebih dari 1,3 juta wisatawan tercatat mengunjunginya setiap tahun. Namun, kepadatan pengunjung yang terus meningkat telah menimbulkan kekhawatiran akan tekanan terhadap infrastruktur dan lingkungan lokal.

Rincian Pajak Berdasarkan Musim

Mengutip Express UK, Sabtu (21/6/2025) selama puncak musim liburan (1 Juni–30 September), penumpang yang singgah di Santorini dan Mykonos akan dikenakan biaya sebesar 20 euro (sekitar Rp 375 ribu). Tarif ini akan turun menjadi 12 euro (Rp 225 ribu) saat musim pertengahan, dan hanya 3 euro (Rp 56 ribu) saat musim sepi.

Di pelabuhan lain di Yunani, besaran pajak akan bervariasi. Selama musim ramai, tarifnya sekitar 5 euro (Rp 93 ribu), turun menjadi 3 euro (Rp 56 ribu) di bulan-bulan seperti April, Mei, dan Oktober, serta 1 euro (sekitar Rp 18 ribu) di musim sepi antara 1 Oktober hingga 31 Mei.

Dukung Infrastruktur dan Konservasi Pulau

Eleni Skarveli, Direktur Organisasi Pariwisata Nasional Yunani untuk Inggris dan Irlandia, menyatakan bahwa pungutan ini bukan semata pajak, tetapi kontribusi untuk masa depan pariwisata yang berkelanjutan.

“Pajak ini dirancang untuk memperkuat infrastruktur lokal dan memastikan kunjungan wisata membawa manfaat nyata bagi masyarakat setempat,” ujarnya seperti dikutip dari Birmingham Mail.

Ia menambahkan bahwa kebijakan ini juga bertujuan menjaga kualitas pengalaman wisatawan dan menghindari over-tourism yang dapat merusak daya tarik destinasi.

Meskipun besarannya sudah ditentukan, mekanisme pemungutan pajak ini masih dalam tahap finalisasi. Pemerintah belum mengumumkan apakah pungutan akan dibayarkan langsung oleh penumpang atau akan diintegrasikan ke dalam harga paket pelayaran oleh operator kapal pesiar.

Langkah ini mencerminkan tren global yang semakin menekankan pada pariwisata yang bertanggung jawab dan berorientasi jangka panjang. Yunani, dengan kekayaan sejarah dan alamnya, mengambil posisi tegas untuk menyeimbangkan keuntungan ekonomi dengan pelestarian warisan budaya dan alam. (alf)

Sudah Terdaftar sebagai Wajib Pajak? Ini Manfaat dan Cara Cek NITKU Anda!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui layanan Kring Pajak menegaskan bahwa setiap orang yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak otomatis memiliki Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU). NITKU merupakan identitas unik untuk setiap lokasi kegiatan usaha Wajib Pajak, termasuk tempat tinggal atau kedudukan resmi.

Ketentuan mengenai NITKU ini tertuang dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-7/PJ/2025. Menurut Kring Pajak, “Jika sudah memiliki status sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi, maka otomatis memiliki NITKU pusat berupa NIK yang ditambahkan enam digit nol di belakangnya.”

Cara Cek NITKU Secara Mandiri

Pengecekan NITKU kini sangat mudah dan bisa dilakukan secara daring melalui akun Coretax DJP masing-masing. Wajib Pajak hanya perlu mengakses menu Portal Saya, kemudian masuk ke opsi Tempat Kegiatan Usaha. Di sana, selain nomor NITKU, pengguna juga dapat melihat detail nama tempat, alamat, dan informasi lainnya.

Kapan dan untuk Apa NITKU Digunakan?

Berdasarkan Pasal 33 PER-7/PJ/2025, NITKU memiliki enam peran penting dalam administrasi perpajakan:

1. Pelaporan SPT Masa PPh 21

Digunakan untuk mengidentifikasi lokasi kerja setiap pegawai.

2. Penerbitan Bukti Potong dan Faktur Pajak

Diperlukan agar pengurus atau pegawai cabang bisa membuat dan menandatangani dokumen perpajakan.

3. Pelaporan Peredaran Usaha

Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT) dan Wajib Pajak Badan, NITKU mencatat lokasi cabang usaha guna pelaporan di SPT Tahunan PPh.

4. Pembuatan Faktur Pajak

Memastikan alamat yang benar baik bagi Penjual maupun Pembeli Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP).

5. Pelaporan Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Menjadi alat identifikasi lokasi objek pajak.

6. Kepentingan Administrasi Lainnya

Termasuk kewajiban lain sesuai ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Rincian lengkap soal NITKU juga termuat dalam PMK 112/2022 yang telah diperbarui melalui PMK 136/2023, serta regulasi teknis di PER-7/PJ/2025.

Dengan kemudahan akses dan peran vital NITKU dalam sistem perpajakan modern, para Wajib Pajak diimbau untuk aktif mengecek dan memahami penggunaan identitas ini sebagai bagian dari kepatuhan pajak yang transparan dan tertib. (alf)

 

 

Sri Mulyani Tegaskan Perusahaan Rugi Tak Bayar Pajak

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa perusahaan yang mengalami kerugian tidak memiliki kewajiban membayar pajak. Penegasan itu disampaikan sebagai tanggapan atas usulan ekonom senior Amerika Serikat, Arthur Laffer, yang mendorong penerapan sistem flat tax di Indonesia.

Dalam CNBC Economic Update 2025, Sri Mulyani menjelaskan bahwa sistem perpajakan dan kebijakan fiskal Indonesia tunduk pada kerangka Undang-Undang Keuangan Negara. UU tersebut menetapkan tiga fungsi utama fiskal: stabilitas, distribusi, dan alokasi. “Mungkin ini berbeda. Kebijakan fiskal memiliki tiga fungsi: stabilitas, distribusi, dan alokasi,” ujarnya, Kamis (19/6/2025).

Menurutnya, saat perekonomian melemah dan dunia usaha terpukul, pemerintah secara otomatis menurunkan beban pajak melalui mekanisme penghitungan berbasis laba. “Kalau pendapatan perusahaan kecil atau bahkan merugi, dia tidak bayar pajak. Jadi penerimaan pajak pasti turun,” jelasnya.

Meski demikian, belanja negara tidak ikut dipangkas. Sri Mulyani menekankan bahwa dalam kondisi krisis sekalipun, pemerintah tetap hadir lewat program bantuan sosial, subsidi upah, hingga perbaikan infrastruktur. “Kita pertahankan untuk bantuan sosial, untuk kesejahteraan masyarakat, termasuk perbaikan jalan raya. Bahkan subsidi upah kita tambah,” katanya.

Tak hanya menjelaskan sistem fiskal Indonesia, Sri Mulyani juga secara terbuka mengkritik pendekatan ekonomi Arthur Laffer yang condong pada ideologi pasar bebas dan pengurangan peran negara. “Kalau tadi Pak Arthur bilang belanjanya harus dikontrol… ya mudah-mudahan beliau dengar. Bukan cuma saya yang dengar, kan?” ujarnya disambut tawa peserta forum.

Ia menegaskan bahwa Indonesia memiliki pendekatan berbeda yang berpijak pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam sistem itu, negara wajib hadir untuk kelompok rentan. “Saya bilang ke Pak Arthur, di Indonesia anak yatim dan anak terlantar itu wajib dipelihara negara. Mungkin beliau kaget dengarnya,” ucapnya.

Sri Mulyani juga menilai pemikiran Laffer lebih sejalan dengan mazhab neoliberal, yang kerap menolak intervensi negara. “Jelas beliau bukan Keynesian. Kalau di Indonesia istilahnya ya… neolib,” pungkasnya dengan nada santai.

Pernyataan tegas Sri Mulyani ini memperlihatkan perbedaan prinsipil antara kebijakan fiskal berbasis keadilan sosial seperti di Indonesia, dengan pendekatan pasar bebas ala Laffer. Dalam konteks Indonesia, negara tidak hanya sebagai pengatur, tetapi juga sebagai pelindung rakyat yang membutuhkan. (alf)

 

 

DJP, DJPK, dan Pemprov Jakarta Sinergikan Pemungutan Pajak

IKPI, Jakarta: Komitmen memperkuat sinergi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah kembali ditegaskan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta resmi menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) Optimalisasi Pemungutan Pajak Pusat dan Pajak Daerah (PKS OP4D) di Balai Kota Jakarta, Jumat (20/6/2025).

Penandatanganan dihadiri langsung oleh Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto, Dirjen Perimbangan Keuangan Askolani, serta Gubernur Jakarta Pramono Anung.

Kolaborasi ini akan mencakup sejumlah ruang lingkup penting, seperti pertukaran data perpajakan, pengawasan bersama terhadap Wajib Pajak, hingga pendampingan administrasi dan teknis bagi pemerintah daerah.

“PKS ini bukan sekadar dokumen, melainkan tonggak penting menuju harmonisasi perpajakan pusat dan daerah. Ini juga cerminan nyata misi DJP untuk mendorong kesejahteraan masyarakat,” ujar Bimo Wijayanto.

Bimo menambahkan, sinergi ini menjadi bagian dari strategi memperkuat local taxing power, di mana daerah diberi ruang lebih luas dalam kewenangan pajak tanpa mengorbankan kemudahan berusaha. Ia menekankan pentingnya interkoneksi data dan digitalisasi sebagai landasan kerja sama yang efektif.

Senada dengan itu, Dirjen DJPK Askolani menyatakan bahwa transparansi dan keadilan dalam pemungutan pajak adalah prinsip utama dalam menciptakan ekonomi yang inklusif. “Kami percaya, langkah ini akan memperkuat penerimaan negara sekaligus membantu menurunkan angka kemiskinan,” tegasnya.

Gubernur Pramono Anung menegaskan bahwa Jakarta berkomitmen penuh untuk membuka ruang kolaborasi seluas-luasnya dalam pengelolaan pajak. “Transparansi adalah kunci. Kami ingin Jakarta menjadi model tata kelola pajak yang akuntabel dan partisipatif,” ujarnya.

PKS OP4D juga merupakan kelanjutan dari sinergi yang telah terjalin antara Pemprov Jakarta dan DJP. Sebelumnya, Pramono telah dikukuhkan sebagai Relawan Pajak untuk Negeri (Renjani) 2025 oleh Kanwil DJP Jakarta Barat. Penghargaan ini menjadi bentuk pengakuan atas komitmen sang gubernur dalam meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pajak di ibu kota. (alf)

 

DPR: Pajak Jangan Dijadikan Alat Paksa Masyarakat Pindah ke Rumah Susun!

IKPI, Jakarta: Anggota Komisi V DPR RI, Irine Yusiana Roba Putri, menyuarakan penolakannya terhadap wacana pengenaan pajak tinggi untuk rumah tapak di kawasan perkotaan. Ia menilai kebijakan ini sebagai pendekatan yang terlalu represif dan berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat maupun sektor properti nasional.

Pernyataan Irine muncul sebagai respons atas usulan Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Fahri Hamzah, yang menyebut perlunya menaikkan tarif pajak rumah tapak agar masyarakat terdorong beralih ke rumah susun. Irine menilai, langkah tersebut justru kontraproduktif dan bisa memicu efek domino.

“Perubahan kultur dari rumah tapak ke hunian vertikal, biarkan berjalan alamiah. Tidak bisa dipaksakan lewat kebijakan menaikkan pajak hunian. Itu malah bisa menimbulkan efek domino,” ujar Irine, Sabtu (21/6/2025).

Menurutnya, pendekatan pemaksaan melalui beban pajak akan merusak tatanan pasar properti yang selama ini telah berkembang. Ia mengingatkan bahwa preferensi masyarakat terhadap rumah tapak masih tinggi, terutama di kalangan keluarga muda dan kelas menengah yang membutuhkan ruang lebih luas serta tingkat privasi yang lebih tinggi.

“Jangan sampai niat mengubah pola huni malah merusak ekosistem usaha properti yang sudah terbentuk,” tegas Irine.

Alih-alih menggunakan instrumen pajak sebagai paksaan, Irine mendorong pemerintah untuk fokus pada penyediaan kepastian regulasi dalam pengembangan sektor properti. Ia menekankan bahwa sektor ini merupakan salah satu pilar penting dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional.

Sebelumnya, Fahri Hamzah mengusulkan agar rumah tapak di kota besar dikenakan tarif pajak tinggi demi mengatasi keterbatasan lahan dan mendorong masyarakat memilih hunian vertikal.

“Nanti yang bikin rumah landed pajaknya dinaikin saja sampai dia enggak bisa tinggal landed. Pasti dia akan tinggal di rumah susun,” ujar Fahri dalam sebuah kesempatan.

Wacana ini pun memicu kontroversi, dengan sebagian pihak menilai usulan tersebut berpotensi membebani masyarakat dan menimbulkan ketimpangan baru dalam akses terhadap hunian layak.

Debat mengenai hunian ideal di tengah keterbatasan lahan kota terus berlanjut. Namun, Irine menegaskan bahwa solusi jangka panjang tidak bisa hadir dalam bentuk tekanan fiskal semata. Pendekatan inklusif dan kebijakan yang merangkul kebutuhan masyarakat dinilai jauh lebih efektif dalam membentuk kultur hunian masa depan. (alf)

 

DJP DIY dan Pemkab Gunungkidul Sepakat Perkuat Sinergi Pajak dan Layanan 

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Daerah Istimewa Yogyakarta bersama Pemerintah Kabupaten Gunungkidul menyatukan langkah memperkuat sinergi dalam meningkatkan penerimaan pajak dan memperluas layanan perpajakan kepada masyarakat.

Sinergi ini menjadi salah satu agenda utama dalam kunjungan kerja Kepala Kanwil DJP DIY, Erna Sulistyowati, ke Kantor Bupati Gunungkidul di Wonosari, Kamis (19/6/2025).

Dalam pertemuan tersebut, kedua belah pihak sepakat mendorong optimalisasi layanan pajak melalui integrasi di Mal Pelayanan Publik (MPP), peningkatan kualitas SDM, serta penguatan pemanfaatan data perpajakan.

“Kami ingin memperkuat kerja sama agar pelaksanaan tugas kami menghimpun penerimaan bisa lebih optimal, sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan dan edukasi perpajakan bagi masyarakat,” ujar Erna.

Menurutnya, layanan kolaboratif di MPP akan menghadirkan pendekatan yang lebih humanis, mendorong kepatuhan sukarela, dan mendekatkan pelayanan pajak ke masyarakat secara nyata. DJP DIY, lanjutnya, juga siap mendampingi Pemkab Gunungkidul dalam hal pelatihan dan bimbingan teknis, khususnya di bidang pemeriksaan dan penagihan pajak.

“Kami sanggup memberikan dukungan penuh, termasuk pelatihan teknis untuk mendukung kapasitas aparat pemda,” tegasnya.

Sementara itu, Bupati Gunungkidul Endah Subekti Kuntariningsih menyambut baik inisiatif tersebut dan menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah daerah dan otoritas pajak dalam menjaga potensi penerimaan.

“Pajak adalah tulang punggung pembangunan nasional. Karena itu, kami akan segera memproses kehadiran layanan pajak di MPP Gunungkidul agar pelayanan kepada masyarakat semakin mudah dan efisien,” ujar Endah.

Namun ia mengakui bahwa masih ada kendala pada sisi pemahaman teknis perpajakan di lingkungan pemerintah daerah. “Sebagian besar SDM kami belum familiar dengan proses pemeriksaan pajak. Untuk itu, kami sangat membutuhkan bimbingan dari DJP,” tambahnya.

Pertemuan ini menandai langkah konkret menuju integrasi layanan publik yang lebih inklusif dan memperkuat sinergi fiskal antara pusat dan daerah. Ke depan, kolaborasi ini diharapkan menjadi model bagi daerah lain dalam memperluas jangkauan dan efektivitas pelayanan perpajakan di tingkat lokal. (alf)

 

PER-11/2025 Bagi Tiga Jenis SPT Masa PPN, Apa Bedanya?

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali melakukan pembaruan regulasi administratif perpajakan melalui terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 (PER-11/2025). Regulasi baru ini menyasar pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang kini lebih terstruktur, sesuai dengan karakteristik pelaku usaha dan mekanisme pemungutan pajak.

PER-11/2025 secara garis besar mengatur bentuk, isi, tata cara pengisian, serta penyampaian SPT Masa PPN. Hal menarik dalam aturan ini adalah adanya klasifikasi tiga jenis SPT Masa PPN berdasarkan subjek pelaporannya. Hal ini diharapkan mampu mempermudah Wajib Pajak dalam menyampaikan kewajiban PPN sesuai dengan kondisi dan jenis kegiatan usaha mereka.

Tiga Jenis SPT Masa PPN Sesuai PER-11/2025

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b PER-11/2025, berikut adalah tiga jenis SPT Masa PPN yang dapat digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP):

• SPT Masa PPN untuk PKP Umum

• SPT Masa PPN untuk PKP dengan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan

• SPT Masa PPN untuk Pemungut PPN dan Pihak Lain yang Bukan PKP

Rincian Dokumen SPT Masa PPN

Dalam Lampiran J PER-11/2025, DJP merinci format dan kelengkapan formulir yang wajib disampaikan oleh masing-masing kategori pelapor.

1. SPT Masa PPN untuk PKP Umum

SPT ini mencakup sejumlah formulir sebagai berikut:

• Induk SPT

• Formulir A1 – Daftar Ekspor Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP)

• Formulir A2 – Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri

• Formulir B1 – Daftar Pajak Masukan atas Impor BKP dan JKP dari luar negeri

• Formulir B2 – Daftar Pajak Masukan dari pembelian dalam negeri

• Formulir B3 – Daftar Pajak Masukan Tidak Dikreditkan atau Mendapat Fasilitas

• Formulir C – Daftar PPN/PPnBM yang Dipungut oleh Pihak Lain

• Kelengkapan tambahan seperti hasil penghitungan kembali Pajak Masukan serta dokumen penyerahan kendaraan bermotor

2. SPT Masa PPN untuk PKP dengan Pedoman Penghitungan Pajak Masukan

Bagi PKP yang belum lama dikukuhkan atau memiliki omzet di bawah batas tertentu, DJP menyediakan skema pelaporan lebih sederhana. Berdasarkan Pasal 73 PER-11/2025, pelaporan mencakup:

• Induk SPT

• Formulir A1 dan A2

• Formulir B3

• Formulir C

• Dokumen tambahan terkait kendaraan bermotor

3. SPT Masa PPN untuk Pemungut dan Non-PKP

Kategori ini ditujukan bagi pihak seperti instansi pemerintah, BUMN, atau badan bukan PKP yang ditunjuk sebagai pemungut PPN. Mereka wajib menyampaikan:

• Induk SPT

• Formulir L1 – PPN/PPnBM yang dipungut oleh pemungut selain PKP

• Formulir L2 – PPN/PPnBM yang dipungut oleh pihak lain

Akses Pelaporan Melalui Coretax

Seluruh pelaporan SPT Masa PPN yang diatur dalam PER-11/2025 kini telah terintegrasi dalam sistem Coretax DJP. Aplikasi ini mempermudah pengisian, verifikasi, dan pengiriman dokumen secara daring.

DJP berharap pembaruan ini bisa menjadi langkah maju menuju sistem perpajakan yang lebih transparan, adaptif, dan akomodatif terhadap dinamika kegiatan usaha di Indonesia. Wajib Pajak diimbau segera memahami ketentuan baru ini agar dapat memenuhi kewajiban perpajakan secara tepat waktu dan sesuai aturan.

Untuk informasi teknis lebih lanjut, Wajib Pajak dapat mengakses salinan resmi PER-11/2025 melalui laman pajak.go.id atau berkonsultasi langsung dengan unit layanan DJP terdekat. (alf)

 

PBB Peringatkan Gagalnya Pajak Minimum Global akibat Penolakan Trump

IKPI, Jakarta: Upaya global untuk mewujudkan keadilan perpajakan internasional menghadapi tantangan serius setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, secara resmi menarik dukungan dari kesepakatan pajak minimum global. Dalam World Investment Report 2025 yang dirilis pada Kamis (19/6), badan PBB untuk perdagangan dan pembangunan (UNCTAD) mengungkapkan keprihatinan atas arah baru kebijakan AS yang berpotensi menggagalkan implementasi Pilar Dua OECD kerangka perpajakan global yang telah diadopsi oleh puluhan negara.

UNCTAD menyebut bahwa hingga saat ini, sedikitnya 49 negara, mayoritas negara-negara maju di Eropa, telah memasukkan ketentuan pajak minimum global ke dalam hukum nasional mereka. Pilar Dua, lebih dikenal dengan skema Global Anti-Base Erosion (GloBE), mewajibkan perusahaan multinasional dengan pendapatan di atas €750 juta untuk membayar tarif pajak efektif minimum sebesar 15% atas keuntungan di setiap yurisdiksi tempat mereka beroperasi.

Namun, hasil pemilihan presiden AS tahun ini membawa dinamika baru. Kemenangan Trump dan kebijakannya untuk menghentikan partisipasi AS dalam Pilar Dua dinilai UNCTAD sebagai ancaman langsung terhadap stabilitas dan keberlangsungan reformasi perpajakan internasional.

“Penarikan AS dari pembahasan Pilar Dua dan ancaman tindakan balasan terhadap negara-negara yang menerapkannya berpotensi mengubah arah reformasi perpajakan global yang tengah berlangsung,” tulis UNCTAD dalam laporannya dikutip, Jumat (20/6/2025).

Indonesia Tetap Jalan Terus

Di tengah gejolak global, Indonesia termasuk negara yang telah berkomitmen penuh terhadap penerapan pajak minimum global. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136/2024, pemerintah Indonesia mengadopsi Pilar Dua dengan tiga instrumen utama: Domestic Minimum Top-up Tax (DMTT), Income Inclusion Rule (IIR), dan Undertaxed Payment Rule (UTPR).

DMTT dan IIR telah berlaku sejak 1 Januari 2025, sementara UTPR akan mulai diterapkan pada 1 Januari 2026. Langkah ini diambil untuk menutup celah penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional dan mencegah pengalihan laba ke negara-negara tax haven yang menawarkan tarif pajak sangat rendah atau bahkan nihil.

Trump: “Kesepakatan Ini Hambat Kepentingan Amerika”

Satu hari setelah resmi menjabat untuk periode 2025–2029, Presiden Trump menerbitkan memorandum yang menegaskan penarikan Amerika Serikat dari Kesepakatan Pajak Global. Ia menyatakan bahwa komitmen pemerintah sebelumnya tidak sah tanpa pengesahan dari Kongres AS.

“Setiap komitmen yang dibuat oleh pemerintahan sebelumnya atas nama Amerika Serikat tidak memiliki kekuatan hukum tanpa tindakan legislatif oleh Kongres,” tegas Trump dalam keterangan di laman resmi Gedung Putih.

Lebih lanjut, ia memandang bahwa kesepakatan pajak global OECD membuka celah bagi negara lain untuk “memajaki penghasilan Amerika secara ekstrateritorial,” yang menurutnya merugikan kepentingan nasional dan menggerus daya saing ekonomi Negeri Paman Sam.

Sebagai respons, Trump memerintahkan Menteri Keuangan AS dan Perwakilan Dagang AS (USTR) untuk melakukan investigasi terhadap kebijakan pajak di negara lain yang dianggap mendiskriminasi perusahaan asal AS. Ia juga meminta daftar tindakan balasan yang bisa diambil guna melindungi kepentingan korporasi dan pekerja AS dari “aturan pajak tidak adil.”

“Menteri Keuangan akan menyampaikan rekomendasi kepada Presiden dalam 60 hari,” tulis memorandum tersebut.

Penolakan Amerika Serikat, sebagai ekonomi terbesar dunia, tentu menjadi pukulan bagi koalisi negara-negara yang selama ini mendorong sistem perpajakan internasional yang lebih adil. Meski demikian, UNCTAD menilai bahwa implementasi Pilar Dua tetap memiliki prospek cerah jika komunitas global tetap bersatu dan mengedepankan prinsip keadilan pajak lintas batas. (alf)

 

 

Cegah Penghindar Pajak, Filipina Siap Terapkan Standar Global Pelaporan Kripto CARF pada 2028

IKPI, Jakarta: Pemerintah Filipina bersiap menerapkan langkah strategis untuk memperkuat pengawasan terhadap transaksi aset digital. Menteri Keuangan Ralph Recto mengumumkan bahwa Filipina akan sepenuhnya mengadopsi Crypto-Asset Reporting Framework (CARF) milik OECD pada tahun 2028, sebagai bagian dari upaya mencegah penghindaran pajak lintas negara dan membendung aliran dana gelap melalui aset kripto.

Dalam pernyataannya yang dikutip Inquirer, Recto menekankan pentingnya langkah ini di tengah makin meluasnya penggunaan mata uang digital dalam berbagai aktivitas ekonomi.

“Kita membutuhkan sistem yang lebih cepat dan lebih kuat untuk kolaborasi jika ingin mengalahkan penghindaran pajak dan transaksi gelap,” ujar Recto, Jumat (20/6/2025).

Lebih lanjut, Recto menegaskan komitmen pemerintah untuk memastikan seluruh transaksi kripto dikenai pajak secara adil. Ia menekankan bahwa tidak boleh ada aktivitas keuangan yang luput dari pengawasan hanya karena bersifat digital atau lintas batas.

Adopsi CARF akan menjadi tonggak penting bagi Filipina dalam menyelaraskan diri dengan standar internasional. Framework ini dirancang oleh OECD bersama negara-negara anggota G20, bertujuan meningkatkan transparansi transaksi kripto yang selama ini dikenal sulit dilacak karena tidak bergantung pada sistem keuangan konvensional.

Dengan CARF, negara-negara peserta akan secara otomatis bertukar data perpajakan setiap tahun, termasuk informasi pemilik aset, nilai transaksi, serta platform yang digunakan. Mekanisme ini diharapkan bisa mengungkap praktik penghindaran pajak yang memanfaatkan kerahasiaan dan fleksibilitas aset digital.

Filipina bergabung bersama gelombang negara-negara yang mulai serius membenahi regulasi kripto, tidak hanya sebagai instrumen ekonomi, tetapi juga sebagai potensi risiko fiskal jika tidak diawasi secara ketat. (alf)

Wamenkeu: Penerimaan Pajak Bruto Mei 2025 Tetap Tumbuh Positif, Capai Rp895,77 Triliun

IKPI, Jakarta: Meskipun sedikit melambat dibandingkan bulan sebelumnya, realisasi penerimaan pajak bruto hingga akhir Mei 2025 tetap menunjukkan tren positif. Kinerja penerimaan pajak bruto berhasil menembus angka Rp895,77 triliun, sementara pajak neto tercatat sebesar Rp683,26 triliun atau setara 31,2% dari target APBN tahun ini.

Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu dalam Konferensi Pers APBN KiTA yang digelar di Jakarta, Selasa (17/6/2025). Ia menekankan bahwa penerimaan bruto mencerminkan dinamika ekonomi secara menyeluruh, sedangkan penerimaan neto telah dikurangi dengan restitusi yang merupakan kewajiban pemerintah.

“Kami selalu sajikan data bruto dan netto. Namun, untuk mengukur kondisi ekonomi, indikator yang lebih tepat adalah bruto karena netto sudah dipotong restitusi,” ujar Anggito.

Pada Mei 2025, penerimaan pajak bruto tercatat Rp162,5 triliun, tumbuh tipis dibandingkan Mei 2024 yang sebesar Rp162,2 triliun. Pertumbuhan ini mencerminkan kinerja pajak yang tetap positif secara tahunan, meskipun secara bulanan mengalami penyesuaian seiring pola musiman.

Menurut Anggito, tren ini konsisten dengan pola penerimaan pajak sejak 2022, di mana puncak realisasi terjadi pada Maret dan April sebelum sedikit menurun di bulan Mei.

“Secara siklus, memang tren penerimaan bulanan menunjukkan puncak pada Maret-April dan melandai di Mei. Tapi secara keseluruhan, bruto masih tumbuh 5,2% dibanding tahun lalu,” ungkapnya.

Pertumbuhan penerimaan bulan Mei didorong oleh sejumlah faktor, seperti meningkatnya setoran angsuran PPh Badan dan lonjakan penerimaan PPh Pasal 26 dari dividen luar negeri, yang tahun ini lebih banyak dibayarkan pada akhir Mei dibanding April tahun lalu.

Selain itu, beberapa sektor ekonomi menjadi penyumbang utama pertumbuhan penerimaan pajak bruto, di antaranya sektor perbankan, ketenagalistrikan, pertambangan bijih logam, industri sawit, serta pengolahan tembakau.

Secara kumulatif, penerimaan pajak bruto periode Maret–Mei 2025 tercatat sebesar Rp596,8 triliun, naik 5,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp567,2 triliun.

Di tengah ketidakpastian global akibat gejolak geopolitik dan fluktuasi harga komoditas, pemerintah berharap capaian ini dapat memperkuat fondasi penerimaan negara dan menjaga daya tahan fiskal dalam menopang berbagai program prioritas nasional. (alf)

 

 

en_US