Dirjen Pajak Respons Fatwa MUI Soal PBB: Kebijakan Ada di Pemerintah Daerah

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, angkat bicara terkait fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa pemungutan pajak atas bumi dan bangunan yang dihuni tidak layak dilakukan secara berulang. Menurutnya, kewenangan pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) saat ini sudah berada sepenuhnya pada pemerintah daerah.

“PBB itu secara undang-undang sudah diserahkan ke daerah. Jadi soal kebijakan, tarif, kenaikan dasar, maupun pengenaan semuanya menjadi kewenangan daerah,” ujar Bimo saat ditemui di Kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (24/11/2025).

Meski PBB berada di ranah pemda, Bimo memastikan pihaknya tidak menutup dialog dengan MUI. Ia menjelaskan, apa yang disoroti MUI lebih dekat dengan skema PBB-P2 atau PBB Perdesaan dan Perkotaan, bukan PBB sektor lainnya yang masih ditangani Direktorat Jenderal Pajak.

“Kami sebenarnya sudah berdiskusi sebelumnya dengan MUI. Nanti kita akan tabayun lagi karena yang dimaksud itu PBB-P2 — perdesaan, perkotaan, pemukiman — itu di daerah. Di DJP hanya PBB terkait kelautan, perikanan, pertambangan, dan kehutanan,” paparnya.

Fatwa MUI Soal Keadilan Pajak

Sebelumnya, Ketua Komisi Fatwa SC Munas XI MUI, Prof. KH Asrorun Ni’am Sholeh, menyampaikan fatwa bertajuk Pajak Berkeadilan. Fatwa tersebut menegaskan bahwa bumi dan bangunan yang menjadi tempat tinggal tidak layak dikenai pajak berulang, terutama dalam konteks kenaikan PBB yang dinilai tidak proporsional hingga membuat masyarakat resah.

“Fatwa ini diharapkan menjadi solusi untuk perbaikan regulasi,” ujar Prof Ni’am melalui situs resmi MUI.

Guru Besar Ilmu Fikih UIN Jakarta itu menambahkan, dalam perspektif hukum Islam, objek pajak seharusnya dikenakan terhadap harta yang produktif dan tidak tergolong kebutuhan pokok. Karena itu, pungutan terhadap sembako, rumah tinggal, serta tanah tempat dihuni dinilai tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan tujuan pajak.

Pemerintah dan MUI kini berada pada jalur dialog. DJP menegaskan dukungannya terhadap diskusi yang bertujuan menciptakan sistem pajak yang berkeadilan, seraya menekankan bahwa perubahan mekanisme dan tarif PBB membutuhkan keterlibatan pemerintah daerah sebagai pemegang kewenangan.

Dengan meningkatnya sensitivitas publik terhadap kenaikan PBB, komunikasi regulatif antara pusat, daerah, dan lembaga keagamaan diperkirakan menjadi faktor penting untuk memastikan kebijakan perpajakan dapat diterima masyarakat tanpa menghilangkan fungsi penerimaan negara. (alf)

Kontribusi Pajak Sektor Pertambangan Turun ke 11,4%, DJP Soroti Tekanan di Subsektor Migas

IKPI, Jakarta: Kontribusi sektor pertambangan terhadap penerimaan perpajakan nasional mengalami penurunan pada Oktober 2025. Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, menyebutkan bahwa meski koreksinya tipis, pelemahan di sektor tersebut tetap menjadi perhatian pemerintah.

Bimo memaparkan bahwa penerimaan pajak dari sektor pertambangan per Oktober 2025 mencapai Rp205,7 triliun, turun 0,7% dibandingkan Rp207,1 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Penurunan itu membuat kontribusi sektor pertambangan melemah menjadi 11,4% terhadap total penerimaan pajak nasional.

“Kontribusi sektor pertambangan masih terbilang besar, namun memang mengalami penurunan ke angka 11,4%,” ujar Bimo, Senin (24/11/2025).

Migas Jadi Penyebab Terbesar

Penurunan ini terutama disebabkan oleh melemahnya subsektor minyak dan gas (migas). Kontribusi pajak subsektor tersebut terkoreksi 0,5% pada Oktober 2025. Dampaknya dipicu oleh penurunan harga minyak mentah dunia, di mana harga minyak jenis Brent turun sekitar 4%, sehingga memengaruhi kinerja perusahaan migas dan penerimaan pajaknya.

Selain itu, subsektor jasa penunjang pertambangan, nikel, dan batu bara juga mengalami perlambatan, meski tidak sedalam sektor migas. Di sisi lain, subsektor pertambangan nonmigas masih mampu tumbuh 2,2%, sehingga turut meredam penurunan secara keseluruhan.

Meski pertambangan melemah, kontribusi dari sektor ekonomi lainnya justru menunjukkan tren positif. Sektor pengolahan, yang menjadi penyumbang pajak terbesar secara nasional, tumbuh 2,3% hingga mencatatkan penerimaan Rp502,3 triliun per Oktober 2025. Sementara sektor aktivitas keuangan berhasil mencatatkan pertumbuhan 5,1% dengan nilai penerimaan mencapai Rp207,5 triliun.

Kenaikan dua sektor tersebut berperan penting dalam menjaga stabilitas penerimaan pajak di tengah perlambatan sektor pertambangan. (alf)

MUI Desak Evaluasi Pajak Progresif PKB dan PBB: Keadilan Wajib Pajak Harus Jadi Prioritas Negara

IKPI, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa sistem perpajakan nasional harus diarahkan kembali pada prinsip keadilan dan kemampuan wajib pajak. Ketua Bidang Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh, mengatakan beban pajak progresif yang semakin tinggi telah menimbulkan kekhawatiran masyarakat dan dapat menjauhkan sistem perpajakan dari tujuan kesejahteraan.

“MUI merekomendasikan agar beban perpajakan dikaji ulang, khususnya pajak progresif yang nilainya dirasakan terlalu besar,” ujar Asrorun dalam Munas XI MUI di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, pemerintah sering melakukan penyesuaian pajak tanpa analisis mendalam mengenai dampaknya terhadap masyarakat. Ia menyoroti beberapa jenis pajak yang dinilai berpotensi menimbulkan ketimpangan seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB).

“Kemendagri dan pemerintah daerah harus mengevaluasi aturan berbagai pajak yang sering kali dinaikkan hanya untuk meningkatkan pendapatan daerah tanpa mempertimbangkan rasa keadilan,” tegasnya.

Asrorun mengingatkan bahwa pajak merupakan salah satu bentuk pengabdian masyarakat kepada negara, sehingga pemerintah harus memastikan bahwa wajib pajak tidak diperlakukan sebagai objek semata, melainkan sebagai mitra dalam pembangunan.

Ia menambahkan, keadilan pajak bukan hanya soal tarif, tetapi juga penggunaan anggaran. Pemerintah diminta memperkuat pengelolaan kekayaan negara, dan memastikan penerimaan perpajakan kembali kepada masyarakat dalam bentuk layanan publik yang nyata.

“Pemerintah harus mengoptimalkan sumber-sumber kekayaan negara dan menindak mafia pajak demi sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.

MUI menekankan bahwa reformasi perpajakan bukan sekadar teknis fiskal, tetapi termasuk dimensi etika pengelolaan negara. Ketika kepercayaan publik terbangun melalui penggunaan anggaran yang transparan dan tepat sasaran, kepatuhan pajak akan meningkat secara alami. (alf)

Pajak Daerah: MUI Tegaskan PBB dan Pajak Hunian Tak Boleh Bebani Kebutuhan Pokok

IKPI, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pajak berkeadilan dalam Munas XI untuk menegaskan batasan moral dan etis dalam memungut pajak, terutama setelah banyak masyarakat mengeluhkan lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan tagihan pajak hunian. Fatwa ini menjadi sinyal kuat agar kebijakan fiskal nasional tidak membebani kebutuhan pokok rakyat.

Ketua Bidang Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh, menjelaskan bahwa pengenaan pajak tidak boleh dikenakan kepada sesuatu yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Hal itu termasuk sembako, rumah tinggal, serta tanah yang digunakan untuk tempat tinggal keluarga.

“Pungutan pajak terhadap sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok, seperti sembako dan rumah serta bumi yang kita huni, tidak mencerminkan keadilan dan tujuan pajak,” kata Asrorun, pada Munas XI MUI di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, dalam perspektif syariat Islam, pajak hanya dipungut dari pihak yang memiliki kemampuan finansial. Ia menambahkan bahwa kemampuan ini dapat dianalogikan dengan ketentuan nisab zakat, yakni kepemilikan kekayaan setara dengan 85 gram emas. Standar tersebut dinilai dapat menjadi rujukan filosofis ketika pemerintah menentukan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atau kriteria objek pajak.

Ia menegaskan bahwa fatwa tersebut bukan dimaksudkan untuk mendorong penolakan pembayaran pajak, melainkan mengharapkan penyempurnaan tata kelola perpajakan agar tidak bertentangan dengan prinsip kesejahteraan masyarakat dan konstitusi.

“Masyarakat tetap wajib menaati pembayaran pajak bila digunakan untuk kemaslahatan umum,” ujarnya.

Melalui fatwa ini, MUI mendesak pemerintah dan DPR melakukan evaluasi terhadap ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berpotensi tidak berkeadilan. Ia menyebut perlunya penyelarasan antara regulasi fiskal dan nilai kemaslahatan, termasuk mekanisme perlindungan bagi masyarakat menengah ke bawah dari potensi beban pajak yang berlebihan.

Selain fatwa pajak berkeadilan, Munas XI juga menghasilkan beberapa fatwa lain, di antaranya ketentuan mengenai rekening bank dormant, status saldo pada kartu elektronik yang hilang atau rusak, pedoman pengelolaan sampah di perairan untuk kemaslahatan publik, serta fatwa mengenai manfaat asuransi kematian dalam Asuransi Jiwa Syariah.

Kelima fatwa tersebut memperlihatkan komitmen MUI untuk merespons isu-isu sosial kontemporer melalui perspektif syariat dan kemaslahatan publik. (alf)

Perkuat Sinergi, IKPI Cabang Jakarta Barat dengan KPP Madya Dua dan KPP Pratama Kebon Jeruk Dua, Bahas Coretax hingga SP2DK.

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Barat (Jakbar) menggelar kunjungan silaturahmi ke KPP Madya 2 Jakarta Barat dan KPP Pratama Kebon Jeruk 2 pada Jumat, 21 November 2025. Pertemuan terpusat di kantor KPP Madya 2 Jakarta Barat dan menjadi ruang dialog terbuka antara konsultan pajak dengan otoritas pajak untuk memperkuat kolaborasi di tengah dinamika perpajakan nasional.

Ketua IKPI Cabang Jakarta Barat, Teo Takismen, menegaskan bahwa langkah proaktif ini dilakukan agar komunikasi antara konsultan dan fiskus semakin harmonis, terlebih menjelang penerapan penuh pelaporan SPT Orang Pribadi dan Badan berbasis sistem Coretax untuk tahun pajak 2025 yang mulai dilaporkan pada 2026.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Jakarta Barat)

“Sinergi konsultan pajak dan KPP sangat penting saat memasuki era Coretax. IKPI Jakarta Barat siap berkolaborasi, termasuk mendukung sosialisasi agar para wajib pajak mendapatkan informasi yang jelas, akurat, dan tidak menimbulkan kebingungan,” ujar Teo.

Pertemuan membicarakan sejumlah isu penting dan aktual dan dibahas secara terbuka, di antaranya:

• Tantangan teknis dan nonteknis dalam penggunaan aplikasi Coretax,

• Pencapaian target penerimaan negara,

• Pelayanan KPP terhadap wajib pajak,

• Hingga polemik pemanggilan wajib pajak dalam surat SP2DK dan cara berkomunikasi para Account Representative (AR) di lapangan.

Dialog dua arah yang hangat dan santai ini mendapat apresiasi dari para peserta, karena dapat menjadi jembatan untuk menyamakan persepsi antara fiskus dan konsultan pajak sebagai mitra DJP

Hadir dari IKPI Cabang Jakarta Barat:

1. Ketua Cabang Teo Takismen, didampingi:

2. Irawaty — Bendahara,

3. Carolline — Wakil Sekretaris,

4. Devi Arista — Koordinator Bidang Sosial dan Keagamaan,

5. Suly — Anggota Bidang Sosial dan Keagamaan,

6. Wiwiek Budiarti — Anggota Bidang PPL dan Pendidikan.

Hadir juga pada pertemuan tersebut, dari Pengurus Daerah (Pengda) DKJ, anggota bidang Humas dan Kerja Sama, Daniel Mulia.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Jakarta Barat)

Lebih lanjut Teo mengungkapkan, IKPI maupun KPP sama-sama menyampaikan terbuka untuk melakukan kegiatan lanjutan, terutama sosialisasi pelaporan SPT berbasis Coretax bagi wajib pajak di wilayah Jakarta Barat. Harapannya, kolaborasi ini dapat mendorong peningkatan kepatuhan sukarela dan menciptakan iklim perpajakan yang lebih kondusif.

“Kami percaya bahwa kerja sama adalah kunci untuk membangun sistem perpajakan yang lebih baik,” kata Teo.

Ia berharap, pertemuan ini semakin memperkuat sinergi konsultan pajak  dan fiskus sehingga pelayanan, edukasi dan pendampingan kepada masyarakat dapat berjalan lebih efektif dan berkesinambungan. (bl)

Fatwa MUI: Zakat Dapat Jadi Pengurang Kewajiban Pajak Umat Islam

IKPI, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengesahkan fatwa baru yang mempertegas hubungan antara kewajiban zakat dan sistem perpajakan nasional. Melalui keputusan yang dihasilkan dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-XI di Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (22/11/2025), MUI menetapkan bahwa zakat yang telah dibayarkan umat Islam dapat diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban pajak kepada negara.

“Zakat yang sudah dibayarkan oleh umat Islam menjadi pengurang kewajiban pajak,” ujar Ketua Bidang Fatwa MUI, Asrorun Niam.

Asrorun menegaskan bahwa kebijakan ini merupakan terobosan dalam konsep perpajakan nasional. Menurutnya, umat Islam yang telah menjalankan kewajiban keagamaan melalui pembayaran zakat seharusnya mendapatkan pengakuan dalam sistem fiskal negara.

“Ini terobosan baru untuk menjamin keadilan partisipatif. Masyarakat Muslim yang sudah berkontribusi melalui zakat semestinya mendapatkan pengurangan ketika memenuhi kewajiban pajaknya,” jelasnya.

Dalam ajaran Islam, zakat merupakan kewajiban moral dan hukum bagi umat Muslim yang telah memenuhi syarat harta. Dana zakat disalurkan kepada pihak yang berhak (mustahik), seperti fakir, miskin, dan kelompok penerima lainnya sesuai syariat.

Melalui fatwa tersebut, nilai zakat yang dibayarkan umat Islam akan dapat diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban pajak, sehingga pembayaran zakat dan pajak tidak lagi dipandang sebagai beban ganda.

Rekomendasi untuk Pemerintah

MUI juga mengharapkan fatwa ini menjadi rujukan kebijakan bagi pemerintah, khususnya dalam penyempurnaan regulasi perpajakan agar selaras dengan rasa keadilan masyarakat. Asrorun menilai, arah kebijakan fiskal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang berorientasi pada peningkatan kemakmuran rakyat melalui optimalisasi Pasal 33 UUD 1945 sejalan dengan nilai dasar fatwa ini.

“Pajak harus didedikasikan untuk kesejahteraan, bukan menambah beban orang yang justru memerlukan bantuan. Semangatnya di situ,” tambahnya.

Fatwa ini diperkirakan berpotensi:

• meningkatkan kepatuhan pajak masyarakat Muslim,

• mendorong optimalisasi penyaluran zakat melalui lembaga resmi,

• memperkuat sinergi antara kebijakan fiskal dan nilai keagamaan.

Keputusan ini juga diyakini dapat menghindarkan persepsi tumpang tindih antara pembayaran pajak dan zakat, sekaligus membuka ruang dialog antara pemerintah, MUI, dan otoritas fiskal mengenai implementasi teknis pada regulasi perpajakan ke depan. (alf)

AS Siapkan Opsi Tarif Alternatif Jelang Putusan Mahkamah Agung

IKPI, Jakarta: Pemerintahan Presiden Donald Trump tengah melakukan manuver penting di bidang perdagangan internasional dengan mempersiapkan sejumlah skema tarif alternatif apabila Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) memutuskan mencabut kewenangan utama pemerintah dalam menerapkan tarif impor. Langkah ini dilakukan sebagai antisipasi agar kebijakan tarif tidak terhenti tiba-tiba dan tetap dapat diberlakukan untuk mengendalikan arus impor.

Menurut laporan Bloomberg dikutip, Minggu (23/11/2025), Departemen Perdagangan dan Kantor Perwakilan Dagang AS telah mengkaji berbagai instrumen hukum yang dapat digunakan sebagai pengganti, termasuk Section 301 dan Section 122 dalam Trade Act, yang memungkinkan presiden menetapkan tarif secara unilateral. Meski demikian, cakupan keduanya dinilai lebih sempit dan proses penerapannya lebih lambat dibanding skema berbasis International Emergency Economic Powers Act (IEEPA) yang saat ini digunakan Trump.

“Kami berharap hasilnya baik, tetapi jika tidak, kami selalu menemukan cara,” ujar Presiden Trump pekan lalu, menegaskan bahwa kebijakan tarif tetap menjadi fondasi strategi ekonomi pemerintahannya.

Rencana cadangan ini memuncak setelah sejumlah hakim Mahkamah Agung dalam sidang dengar pendapat terbaru menunjukkan keraguan terhadap legalitas tarif global berbasis IEEPA. Situasi tersebut memunculkan prediksi adanya potensi putusan yang tidak berpihak kepada pemerintahan Trump.

Kendati begitu, Gedung Putih menahan diri untuk menjelaskan langkah teknis yang tengah disiapkan. Juru bicara pemerintah, Kush Desai, hanya menegaskan bahwa Trump menggunakan kewenangan tarif darurat yang diberikan Kongres dan pemerintah yakin akan menang.

“Pemerintahan selalu mencari cara untuk mengatasi defisit perdagangan barang AS dan menghidupkan kembali sektor manufaktur sebagai komponen penting bagi keamanan nasional,” ujar Desai.

Mahkamah Agung belum memastikan kapan putusan akan dibacakan. Putusan dapat mempertahankan kewenangan tarif, mencabutnya, atau hanya membataskannya sebagian—menimbulkan ketidakpastian bagi dunia usaha maupun mitra dagang AS.

Tarif Efektif Tembus 14,4 Persen 

Bloomberg Economics memperkirakan tarif efektif atas impor AS saat ini mencapai 14,4 persen, dengan lebih dari separuhnya bersumber dari pungutan berbasis IEEPA. Jika IEEPA dibatalkan, sebagian besar tarif itu kemungkinan akan berpindah ke skema alternatif.

Sejumlah opsi cadangan bahkan sudah bergulir, termasuk investigasi Section 301 terhadap Brasil. Tarif Section 301 untuk sebagian barang impor China juga masih berlaku sejak masa jabatan pertama Trump, meski mekanisme ini umumnya membutuhkan proses investigasi mendalam sebelum dapat dijalankan.

Direktur National Economic Council Kevin Hassett menyatakan pemerintah memiliki banyak jalur untuk mempertahankan strategi tarif.

“Ada banyak cara agar kami dapat mengganti kebijakan yang berlaku dengan otoritas lain,” ujarnya.

Meskipun banyak pilihan tersedia, sebagian mekanisme memiliki keterbatasan. Section 122, misalnya, hanya memungkinkan tarif maksimal 15 persen selama 150 hari. Sementara Section 338 dalam Tariff Act secara teori dapat diterapkan, namun belum pernah digunakan dan diperkirakan akan memicu gugatan hukum baru jika dijalankan.

Mantan negosiator perdagangan Wendy Cutler bahkan menilai sejumlah kebijakan tarif terbaru Trump kemungkinan telah disiapkan sebagai rencana cadangan apabila IEEPA nantinya dinyatakan inkonstitusional.

Namun, perubahan tarif secara mendadak berisiko menimbulkan permasalahan administratif, termasuk kemungkinan pengembalian bea masuk yang telah dipungut.

“Jika tarif dibatalkan dan harus dihitung ulang, itu akan menjadi kekacauan besar,” ucap Scott Lincicome dari Cato Institute.

Ketidakpastian menjelang putusan Mahkamah Agung membuat pelaku usaha global bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan investasi dan pengadaan impor. Negara-negara mitra dagang utama AS juga menunggu arah kebijakan baru, karena perubahan tarif diperkirakan akan memengaruhi rantai pasokan internasional. (alf)

Pemerintah Perkuat Kebijakan Fiskal Pro Rakyat untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi 2025

IKPI, Jakarta Barat: Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menegaskan komitmen pemerintah memperkuat kebijakan fiskal yang berpihak kepada masyarakat guna mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional pada akhir 2025. Arah kebijakan tersebut menjadi bagian dari evaluasi satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Suahasil menjelaskan bahwa sejak awal tahun, Kementerian Keuangan melakukan penyisiran anggaran secara menyeluruh untuk memastikan belanja negara digunakan secara efektif. 

“Program-program yang prioritas kita biayai. Program-program yang tidak penting kita stop,” ujarnya, dikutip Minggu (23/11/2025). Dana hasil efisiensi kemudian dialihkan untuk membiayai sejumlah program prioritas baru seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) yang mulai berjalan sejak 6 Januari, Sekolah Rakyat, hingga Koperasi Desa Merah Putih.

Menjelang penghujung tahun, pemerintah terus mempercepat realisasi belanja APBN sebesar Rp3.500 triliun agar dapat menjadi katalis ekonomi, meningkatkan aktivitas usaha, menciptakan lapangan kerja, dan menurunkan angka kemiskinan. “Percepatan belanja ini akan menjadi salah satu katalis di perekonomian, mendorong kegiatan ekonomi, dan ini kita harapkan berkontribusi pada pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, serta kesejahteraan,” ujar Suahasil.

Selain itu, pemerintah menempatkan Rp200 triliun kas negara di perbankan dari sebelumnya berada di Bank Indonesia. Kebijakan ini bertujuan memperkuat likuiditas perbankan dan menurunkan suku bunga agar investasi semakin feasible dan aktivitas ekonomi semakin bergairah.

Suahasil menambahkan bahwa kebijakan fiskal juga berjalan seiring dengan perbaikan iklim investasi melalui reformasi struktural, kepastian hukum, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia, kesehatan, dan infrastruktur. 

Ia menegaskan bahwa seluruh belanja APBN setara 14 persen dari PDB digunakan secara strategis untuk mendukung delapan program prioritas Presiden, termasuk hilirisasi industri sebagai kunci dalam menarik investasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. (alf)

Aturan Turunan UU HPP & P2SK Dikebut, Pajak Karbon Jadi Sorotan Komisi XI

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF) menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI untuk memaparkan progres penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) dan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang menjadi mandat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Penyusunan regulasi turunan ini menjadi krusial karena menentukan implementasi teknis dari agenda reformasi perpajakan dan sistem keuangan nasional.

Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa lima PP turunan UU HPP telah berlaku, sementara PP 55 Tahun 2022 tengah direvisi untuk menyesuaikan standar OECD, mengatur perlakuan atas biaya suap dan gratifikasi, serta memperjelas kriteria wajib pajak berperedaran bruto tertentu. Di saat bersamaan, DJP juga menyiapkan rancangan aturan pajak karbon yang perlu terintegrasi dengan roadmap lintas kementerian.

Sementara itu untuk UU P2SK, empat PP telah rampung, dan empat RPP lainnya sedang difinalisasi. Aturan tersebut mencakup penempatan dana LPS, penguatan lembaga keuangan mikro, literasi dan inklusi keuangan, serta pengelolaan aset dan liabilitas program pensiun — seluruhnya merupakan instrumen pembenahan arsitektur keuangan nasional.

Sorotan terbesar dalam diskusi datang dari isu pajak karbon. Komisi XI meminta percepatan roadmap mengingat pasar karbon nasional telah beroperasi sejak 2023. Menjawab itu, Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal, Febrio Kacaribu, memastikan posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang paling progresif dalam pengurangan emisi global.

“Indonesia sangat on track mengurangi emisi gas rumah kaca. Kita bahkan memiliki surplus lebih dari seribu juta ton karbon kredit dan kini meminta negara lain ikut membayar kontribusi Indonesia,” ujar Febrio dikutip dari website Kemenkeu, Minggu (23/11/2025).

Ia menegaskan bahwa penerapan pajak karbon akan berjalan bertahap dan hati-hati agar tidak menimbulkan beban berlebih bagi perekonomian nasional.

Dalam kesempatan tersebut, Kementerian Keuangan juga mengajukan 13 RPP untuk masuk Program Legislasi Pemerintah (Progsun) 2026, mulai dari penguatan tata kelola sektor keuangan, pembatasan kepemilikan asing, program penjaminan polis, pengembangan keuangan berkelanjutan, hingga pembentukan SPV dan Trustee.

Kemenkeu menegaskan komitmen mempercepat seluruh mandat regulasi melalui koordinasi erat dengan OJK, BI, dan LPS, serta akan menyampaikan laporan tertulis atas seluruh pertanyaan Komisi XI. Pemerintah berharap percepatan regulasi turunan ini mampu memperkuat sistem perpajakan sekaligus menjaga stabilitas dan daya saing keuangan nasional. (alf)

Coretax Bisa Baca Kesalahan Fiskal Secara Real-Time, Perusahaan Diminta Perketat Administrasi Tahun 2025

IKPI, Bogor: Penerapan Coretax Administration System diperkirakan menjadi titik balik pengawasan fiskal di Indonesia. Sistem baru ini tidak hanya mempermudah pelaporan pajak, tetapi juga mendeteksi otomatis kesalahan pencatatan dan penghitungan sebelum SPT dikirimkan. Demikian disampaikan Dr. Agoestina Mappadang dalam pemaparan di Seminar PPL & Outing IKPI Cabang Depok, Sabtu (22/11/2025) mengenai risiko pelaporan pajak di era Coretax.  

“Pada Coretax, sistem membaca pola angka dan membandingkan antarjenis pajak secara real-time. Ketika ada ketidakwajaran, SPT tidak akan bisa terkirim,” ungkap Agoestina.  

Sektor bisnis diperkirakan akan menghadapi konsekuensi ekonomi dari kesalahan administrasi karena Coretax mengaitkan pelaporan SPT dengan risk scoring fiskal. Wajib Pajak yang sering melakukan koreksi atau memiliki ketidaksesuaian data akan tercatat memiliki reputasi fiskal tinggi risiko, yang dapat berdampak pada proses administratif di masa depan mulai dari restitusi, pemeriksaan, hingga permohonan surat keterangan.  

Agoestina mengungkapkan bahwa sejumlah akun biaya menjadi titik paling krusial dalam era Coretax. Piutang tidak tertagih, biaya promosi, entertainment, dan sumbangan/CSR merupakan pos yang paling sering bermasalah karena antara pengakuan akuntansi dan ketentuan fiskal sering kali berbeda. Kini, perbedaan tersebut tidak bisa lagi ditutupi oleh angka agregat, karena setiap nilai akan diverifikasi sistem terhadap data pihak ketiga dan daftar nominatif.  

“Banyak yang selama ini berhasil lolos karena pemeriksaan manual baru dilakukan bertahun-tahun setelah pelaporan. Di Coretax, temuan muncul saat itu juga,” jelasnya.

Hal tersebut menjadikan penataan administrasi sejak awal tahun sebagai kebutuhan mendesak, bukan sekadar rutinitas akhir tahun. Agoestina mendorong perusahaan untuk mulai menerapkan rekonsiliasi fiskal berkala, bukan hanya menjelang batas waktu SPT.

Ia juga menekankan pentingnya kesiapan sumber daya manusia. Pelaporan pajak di tahun 2025 tidak hanya membutuhkan orang yang bisa mengisi formulir SPT, tetapi orang yang memahami korelasi data keuangan dan fiskal dalam perspektif sistem.

Menurut pengamatan beberapa peserta diskusi, perusahaan-perusahaan kini sedang bergerak melakukan konsolidasi dokumentasi, inventarisasi data bukti potong, serta digitalisasi arsip untuk memastikan pelaporan tidak terganjal saat memasuki masa SPT.

Dengan sistem yang kini mampu membaca pola ketidakwajaran pelaporan secara otomatis, tantangan dunia usaha bukan lagi sekadar memenuhi kewajiban pajak, tetapi membangun ketertiban data sebagai bagian dari strategi kelangsungan bisnis.

“Di era Coretax, perusahaan bukan dinilai dari seberapa besar pajak yang dibayar, tetapi dari seberapa akurat pelaporan yang dilakukan berdasarkan data.” (bl)

en_US