Menkeu Buka Peluang Kenaikan PTKP, Pemerintah Mulai Hitung Dampaknya ke Penerimaan Negara

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memberi sinyal bahwa batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk wajib pajak orang pribadi kemungkinan akan dinaikkan. Meski begitu, ia menegaskan bahwa wacana tersebut masih berada pada tahap pembahasan internal pemerintah.

Saat ini, PTKP ditetapkan sebesar Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun. Angka tersebut sudah bertahun-tahun tidak berubah dan kini kembali menjadi sorotan setelah Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, meminta pemerintah menaikkan batasannya menjadi Rp 7,5 juta per bulan.

Purbaya tidak memerinci titik diskusi ataupun simulasi yang sedang dibahas, namun memastikan bahwa opsi itu ada di meja kebijakan. “Kita diskusikan,” ujarnya dalam Dialog Interaktif Pemerintah Pusat dan Daerah: DPRD Kuat, Daerah Berdaya, Kamis (11/12/2025).

Sebelumnya, pada 10 September 2025, Purbaya mengaku belum menerima laporan lengkap terkait usulan kenaikan PTKP. Namun ia tidak menutup kemungkinan bahwa penyesuaian dapat dilakukan apabila analisis kementerian menunjukkan dampak yang positif. “Kami belum bicarakan masalah itu. Kalau ada masukan ke tim kami di Kemenkeu mungkin bisa didiskusikan. Cuma karena saya baru, belum semua laporan masuk ke saya,” ungkapnya kala ditemui di Istana Negara.

Menurut berbagai kajian, kenaikan PTKP dapat berfungsi sebagai bantalan bagi masyarakat berpenghasilan rendah sekaligus mendorong konsumsi—faktor penting dalam memperkuat pemulihan ekonomi. Namun, pemerintah perlu berhati-hati karena ruang fiskal sedang terbatas. Setiap kenaikan PTKP berpotensi mengurangi penerimaan pajak, sementara kebutuhan belanja negara masih tinggi. (alf)

Pengusaha Penunggak Rp 21 Miliar Disandera, DJP Tegaskan Penegakan Hukum Tegas dan Profesional

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jawa Barat II mengambil langkah tegas terhadap seorang pengusaha asal Jakarta Utara berinisial MW, yang tercatat memiliki tunggakan pajak hingga Rp 21,15 miliar. Tindakan penyanderaan atau gijzeling dilakukan oleh KPP Pratama Cikarang Selatan sebagai upaya terakhir setelah seluruh proses penagihan ditempuh namun tidak juga membuahkan hasil.

MW, yang diketahui merupakan komisaris sekaligus pemegang saham PT SI, dijemput petugas pajak langsung di kediamannya di kawasan Ancol, Jakarta Utara, pada Kamis (11/12/2025). Ia kemudian menjalani rangkaian proses penyanderaan sesuai prosedur, termasuk pemeriksaan kesehatan dan serah terima dengan lembaga pemasyarakatan.

Kepala Kanwil DJP Jawa Barat II, Dasto Ledyanto, menegaskan bahwa penyanderaan dilakukan secara hati-hati, profesional, dan sepenuhnya berlandaskan ketentuan hukum yang berlaku.

“Gijzeling selalu menjadi langkah terakhir setelah seluruh proses penagihan ditempuh. Kami menjunjung tinggi kepastian hukum, kehati-hatian, dan profesionalisme dalam setiap tindakan penegakan hukum,” ujar Dasto, dalam keterangannya dikutip, Jumat (12/12/2025).

Sebelum langkah ekstrem ini diterapkan, petugas KPP Pratama Cikarang Selatan telah menjalankan seluruh mekanisme penagihan mulai dari Surat Teguran, imbauan, pemanggilan, hingga Surat Paksa. Berbagai tindakan penagihan aktif juga telah dilakukan, seperti pemblokiran dan penyitaan rekening, pemindahbukuan saldo, serta pencegahan ke luar negeri sejak 2023–2024.

Data administrasi DJP menunjukkan bahwa tunggakan MW telah muncul sejak 2021, lalu bertambah seiring terbitnya surat ketetapan pajak untuk tahun 2022 dan 2023. Dengan total kewajiban yang tidak dilunasi mencapai Rp 21.158.307.240, MW dinilai tidak beriktikad baik dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Tindakan gijzeling dilakukan setelah Juru Sita Pajak menerima izin resmi dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, serta berkoordinasi dengan Bareskrim Polri dan Kanwil Pemasyarakatan DKI Jakarta.

Dalam prosesnya, MW dijemput di rumahnya, dibacakan Surat Perintah Penyanderaan, kemudian dibawa ke RS Harum Sisma Medika untuk memastikan kondisi kesehatannya layak menjalani masa penyanderaan. Setelah dinyatakan sehat, MW dipindahkan ke Lapas Perempuan Kelas IIA Pondok Bambu.

Serah terima dengan pihak lapas dilakukan tertib pada pukul 02.00 WIB. Sesuai PP No. 137 Tahun 2000, masa penyanderaan dapat berlangsung maksimal enam bulan dan dapat diperpanjang enam bulan lagi bila utang belum diselesaikan.

DJP menegaskan bahwa tujuan gijzeling bukan semata-mata memberikan efek jera, tetapi juga memastikan bahwa utang pajak yang sangat besar tersebut dapat segera dilunasi.

Harapannya, melalui tindakan penegakan hukum ini, kewajiban MW sebesar Rp 21,15 miliar beserta biaya penagihan dapat segera dipenuhi sehingga penerimaan negara dapat kembali optimal. (alf)

Dirjen Pajak Soroti Sulitnya Memajaki Minerba dan Sawit

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, kembali menegaskan bahwa sektor mineral dan batu bara (minerba) serta sawit masih menjadi tantangan terbesar dalam penerimaan negara. Pernyataan itu ia sampaikan dalam acara Kolaborasi Optimal Menuju Pajak Adil dan Konsisten Episode 2—Meneropong Tax Gap & Efektivitas Tata Kelola Fiskal Sektor Minerba yang disiarkan melalui YouTube Pusdiklat Pajak, Kamis (11/12/2025).

Bimo mengungkapkan bahwa problem klasik ini sudah ia temui sejak pertama kali berkarier di Direktorat Jenderal Pajak pada tahun 2002. Dua dekade berlalu, kesulitannya tetap sama: memastikan pemilik usaha ekstraktif memenuhi kewajiban pajak secara adil dan konsisten.

“Sejak 2002 saya bekerja di pajak itu, selalu sektor strategis yang dikejar-kejar pajaknya dan enggak rampung-rampung sampai hari ini, sektor minerba dan sawit,” tegasnya.

Sebagai industri yang mengolah kekayaan alam dalam jumlah besar, Bimo menilai seharusnya minerba dan sawit menjadi penyumbang utama penerimaan negara. Namun ia menyinggung bahwa praktik pemanfaatan sumber daya alam justru belum sepenuhnya mencerminkan amanat Pasal 33 UUD 1945, yang menempatkan kemakmuran rakyat sebagai tujuan utama pengelolaan kekayaan negara.

“Betapa sebenarnya value added belum bisa kami secure. ESDM, DJP, DJSEF, pemerhati, akademisi, dan konsultan ini PR kita bersama,” kata Bimo.

Menurutnya, masih banyak celah tata kelola fiskal yang menyebabkan negara tidak memperoleh nilai tambah optimal dari sektor yang selama ini menjadi tulang punggung ekspor Indonesia tersebut.

Bimo juga menyoroti hubungan erat industri ekstraktif dengan para high net worth individual (HNWI) atau kelompok orang super kaya di Indonesia. Ia menyebut pemungutan pajak terhadap kelompok ini masih membutuhkan pembenahan serius, terutama menyangkut transparansi dan pelaporan yang akurat.

Ia menegaskan bahwa perkembangan teknologi dan integrasi data antarinstansi kini menjadi amunisi kuat bagi otoritas pajak untuk menilai kepatuhan wajib pajak secara lebih presisi.

“Sekarang itu data luar biasa untuk benchmarking kepatuhan. Terkadang wajib pajak mungkin merasa kita enggak punya akses pada data tersebut, sehingga di SPT-nya tidak dimasukkan,” ujarnya.

Dorong Reformasi Tata Kelola dan Keterbukaan Data

Bimo meyakini bahwa penguatan basis data, kerja sama lintas otoritas, serta peningkatan integritas sistem perpajakan menjadi kunci untuk menutup tax gap di sektor ekstraktif. Dirinya menegaskan bahwa tantangan besar ini tidak bisa diselesaikan hanya oleh DJP, tetapi memerlukan kolaborasi semua pihak.

Dengan tekanan publik terhadap transparansi dan penerimaan negara yang semakin besar, Bimo menegaskan komitmennya untuk mendorong reformasi perpajakan yang mampu memastikan kekayaan alam Indonesia benar-benar kembali untuk kemakmuran rakyat. (alf)

Bea Keluar Emas Resmi Berlaku: Purbaya Tegaskan Aturan Baru untuk Jaga Cadangan Nasional

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa meresmikan kebijakan baru yang mengatur ekspor komoditas emas melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 80 Tahun 2025. Aturan ini menandai babak baru tata kelola mineral berharga nasional, sebab setiap produk emas yang diekspor kini resmi dikenakan bea keluar.

Dalam beleid tersebut, pemerintah menegaskan kewenangannya untuk memungut tarif ekspor emas. “Terhadap barang ekspor berupa emas dapat dikenakan Bea Keluar,” bunyi Pasal 2 PMK 80/2025, dikutip Kamis (11/12/2025).

Alasan Kuat di Balik Kebijakan Baru

Purbaya menjelaskan bahwa kebijakan ini bukan sekadar instrumen fiskal, melainkan langkah strategis untuk mengamankan cadangan emas nasional yang terus menurun. Padahal, Indonesia tercatat sebagai negara dengan cadangan emas terbesar keempat di dunia.

“Cadangan bijih emas kita menunjukkan tren menurun, sementara kebutuhan dalam negeri meningkat seiring pengembangan ekosistem bullion bank,” ujar Purbaya saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Senin (8/12/2025).

Situasi global juga menjadi pertimbangan. Harga emas dunia melesat hingga US$ 4.076,6 per troy ons pada November 2025, yang berpotensi mendorong ekspor berlebihan jika tidak diatur.

Landasan Hukum: Pasal 2A UU Kepabeanan

Penerapan bea keluar emas berlandaskan Pasal 2A Undang-Undang Kepabeanan, yang mengatur bahwa bea keluar digunakan untuk:

Menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, Melindungi kelestarian sumber daya alam, Mengantisipasi lonjakan harga komoditas ekspor tertentu di pasar internasional, Menjaga stabilitas harga di dalam negeri.

Purbaya menegaskan bahwa seluruh tujuan tersebut relevan dengan kondisi emas Indonesia saat ini.

Dorong Hilirisasi dan Penguatan Ekosistem Bullion Bank

Lebih jauh, bea keluar emas dirancang untuk mendorong:

Peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi industri emas, Pemenuhan kebutuhan emas domestik bagi ekosistem bullion bank, Optimalisasi pengawasan transaksi emas, Peningkatan penerimaan negara.

“Bea keluar ini diperlukan untuk memastikan suplai emas di dalam negeri tetap tersedia dan dapat mendorong hilirisasi yang memberi manfaat ekonomi lebih besar,” tegas Purbaya.

Dengan diberlakukannya PMK 80/2025, pemerintah berharap tata kelola emas nasional semakin kuat, pasokan domestik terjaga, dan industri hilir mampu tumbuh lebih cepat di tengah momentum kenaikan harga emas global. (alf)

Restitusi Rp25 Triliun per Tahun, Menkeu Purbaya Sebut UU Ciptaker Tekan Negara

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan bahwa penerapan UU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) telah menekan penerimaan negara dari sektor batu bara. Perubahan status batu bara menjadi barang kena pajak (BKP) membuat pemerintah harus menganggarkan restitusi PPN dalam jumlah yang sangat besar.

“Sejak batu bara menjadi BKP, industri bisa meminta restitusi PPN ke pemerintah. Nilainya sekitar Rp25 triliun per tahun,” ujar Purbaya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Jakarta Pusat, Senin (8/12/2025).

Purbaya menjelaskan bahwa besarnya restitusi yang harus dibayarkan negara bahkan mengubah posisi penerimaan batu bara dari positif menjadi negatif. Meski biaya produksi perusahaan tambang terbilang tinggi, nilai restitusi yang diklaim industri jauh lebih besar daripada penerimaan pajak yang masuk.

“Net income kita dari industri batu bara bukannya positif, malah dengan pajak segala macam jadi negatif,” tegasnya. Ia menyebut kondisi tersebut seperti memberikan subsidi tidak langsung kepada industri yang sebenarnya telah menikmati keuntungan ekspor. “Ini orang kaya, ekspor untungnya banyak, saya subsidi secara enggak langsung,” ucapnya.

Untuk mengoreksi distorsi fiskal tersebut, pemerintah kini menyiapkan kebijakan bea keluar untuk komoditas batu bara dan emas. Langkah ini, menurut Purbaya, tidak akan mengganggu daya saing industri di pasar global karena hanya mengembalikan situasi seperti sebelum UU Ciptaker diberlakukan. “Daya saing tidak akan berkurang karena hanya kembali seperti sebelum 2020, dan saat itu mereka tetap bisa bersaing,” katanya.

Purbaya menambahkan bahwa besarnya restitusi batu bara juga menjadi salah satu faktor utama penurunan penerimaan pajak tahun ini. “Makanya kenapa pajak saya tahun ini turun, karena bea restitusi cukup besar,” jelasnya. (alf)

DJP Kembali Imbau Wajib Pajak Waspada Penipuan Bermodus Coretax dan Pengalihan Akun Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengeluarkan imbauan resmi melalui pengumuman PENG-50/PJ.09/2025 sebagai respons atas meningkatnya kasus penipuan yang mengatasnamakan DJP di tengah percepatan aktivasi akun Coretax DJP. Masyarakat diminta meningkatkan kewaspadaan dan hanya memercayai informasi serta layanan melalui kanal resmi pemerintah.

Dalam imbauan tersebut, DJP menegaskan bahwa pelaku penipuan kini semakin agresif memanfaatkan proses aktivasi Coretax untuk mengelabui wajib pajak. Sejumlah modus yang kerap digunakan antara lain:

1. Menghubungi korban melalui telepon, pesan singkat, atau media digital sambil mengaku sebagai pihak DJP;

2. Menawarkan bantuan aktivasi Coretax, termasuk pembuatan kode otorisasi atau sertifikat elektronik (KO/SE), serta meminta akses ke akun wajib pajak;

3. Meminta OTP, kata sandi, atau passphrase dengan dalih proses migrasi data ke M-Pajak;

4. Mengirim tautan palsu yang menyerupai situs resmi DJP guna mencuri data atau mengakses perangkat wajib pajak.

DJP menekankan bahwa petugas resmi tidak pernah meminta OTP, kata sandi, passphrase, ataupun akses perangkat pribadi. Aktivasi akun hanya dilakukan melalui situs resmi Coretax, sementara informasi lengkap tersedia di https://t.kemenkeu.go.id/akuncoretax.

Sebagai langkah perlindungan, DJP mengimbau wajib pajak untuk menjaga kerahasiaan data pribadi, tidak membuka tautan yang mencurigakan, serta segera melaporkan setiap bentuk dugaan penipuan. Otoritas pajak menyediakan sejumlah kanal aduan, antara lain:

Kanal DJP:

• Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat

• Kring Pajak 1500200

• Email: pengaduan@pajak.go.id / informasi@pajak.go.id

• Akun X: @kring_pajak

• Situs pengaduan: https://pengaduan.pajak.go.id

• Live chat melalui www.pajak.go.id

Kanal Kementerian Komunikasi dan Digital:

• Pelaporan nomor telepon penipu: https://aduannomor.id

• Pelaporan tautan/konten/aplikasi penipuan: https://aduankonten.id

Kanal Penegak Hukum:

Masyarakat dapat melapor kepada kepolisian atau aparat hukum terkait jika menerima panggilan, pesan, atau tautan yang berindikasi penipuan.

DJP menutup imbauannya dengan mengingatkan bahwa kewaspadaan wajib pajak sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan akun perpajakan dan menjaga keamanan data di tengah proses modernisasi sistem pajak nasional. (alf)

Misbakhun Dukung Bea Keluar Emas 2026 untuk Perkuat Hilirisasi dan Ekosistem Keuangan Nasional

IKPI, Jakarta: Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mendukung penuh kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang mulai 2026 akan mengenakan bea keluar emas dengan tarif 7,5–15 persen, bergantung pada harga referensi dan jenis emas yang diekspor. Ia menilai langkah tersebut penting untuk menghentikan praktik ekspor emas mentah atau setengah jadi yang selama ini tidak memberikan nilai tambah maksimal bagi perekonomian.

“Indonesia tidak boleh terus-menerus menjadi pemasok bahan mentah. Hilirisasi emas adalah agenda jangka panjang untuk memperkuat sektor industri dan keuangan nasional,” ujar Misbakhun dalam keterangan tertulis, Rabu (10/12/2025).

Menurutnya, pengenaan bea keluar akan mendorong pelaku usaha memindahkan proses pemurnian dan pengolahan ke dalam negeri. Dengan disinsentif ekspor setengah jadi, rantai nilai emas diharapkan semakin terintegrasi mulai dari pertambangan hingga produksi emas batangan dan perhiasan berstandar internasional. “Integrasi ini penting agar posisi tawar Indonesia meningkat di pasar global yang selama ini didominasi negara-negara pemurni,” tuturnya.

Misbakhun juga menilai hilirisasi emas harus berjalan beriringan dengan penguatan ekosistem keuangan berbasis komoditas. Ia menyebut pembentukan bank emas sebagai elemen penting untuk menambah likuiditas pasar domestik dan memperkuat cadangan devisa. Menurutnya, emas memiliki fungsi ganda sebagai komoditas dan instrumen keuangan sehingga menjaga pasokan dalam negeri menjadi kunci dalam memperkuat pasar keuangan nasional.

Dari sisi regulasi, Misbakhun meminta pemerintah memastikan aturan teknis bea keluar disusun jelas, konsisten, dan akuntabel. Kepastian hukum menjadi syarat bagi pelaku industri untuk menambah kapasitas pemurnian maupun berinvestasi pada fasilitas pengolahan. Selain itu, ia mengingatkan agar pengawasan perdagangan emas diperketat untuk mencegah penyimpangan seperti under-invoicing, manipulasi kadar, dan penyelundupan. “Kelemahan pengawasan akan langsung menggerus manfaat kebijakan ini,” tegasnya.

Kebijakan bea keluar emas diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80 Tahun 2025. Ketentuan tersebut mewajibkan ekspor hanya untuk emas dengan kadar minimal 99 persen dan telah diverifikasi melalui Laporan Surveyor. Pemerintah memperkirakan kebijakan ini dapat menambah penerimaan negara sekitar Rp3 triliun per tahun sekaligus memperkuat pasokan emas bagi industri dan sektor keuangan domestik sebagai bagian dari strategi hilirisasi mineral nasional. (alf)

Pusat–Jabar Perkuat Ketahanan Pangan dan Fiskal Jelang Natal–Tahun Baru 2026

IKPI, Jakarta: Menjelang penutupan tahun 2025, pemerintah pusat bersama Pemerintah Provinsi Jawa Barat mulai merapatkan barisan untuk menghadapi tantangan ekonomi akhir tahun. Fokus utama diarahkan pada ketahanan pangan dan penguatan tata kelola fiskal daerah, terutama menghadapi potensi lonjakan harga yang biasanya muncul pada periode Natal dan Tahun Baru—yang kali ini diperburuk oleh ancaman cuaca basah ekstrem.

Meski pemerintah menilai fundamental ekonomi nasional masih solid, tekanan musiman di akhir tahun dinilai membutuhkan langkah yang lebih taktis dan responsif. Lonjakan permintaan masyarakat, gangguan distribusi akibat cuaca, serta potensi fluktuasi pasokan komoditas pangan disebut sebagai kombinasi risiko yang tidak boleh disepelekan.

Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Pengembangan Usaha BUMN Kemenko Perekonomian, Ferry Irawan, menegaskan bahwa periode ini adalah momentum pengujian efektivitas koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.

“Kebijakan harus cepat, akurat, dan memberikan dampak langsung kepada masyarakat. Akhir tahun bukan sekadar rutinitas, tetapi ujian penting bagi ketahanan pangan dan inovasi kebijakan daerah,” ujar Ferry dalam High Level Meeting TPID dan TP2DD Jawa Barat di Kabupaten Garut, Rabu.

Ferry menjelaskan bahwa pemerintah kini bertumpu pada dua pilar utama:

1. Penguatan basis data neraca pangan untuk memetakan kebutuhan dan pasokan secara presisi.

2. Optimalisasi digitalisasi fiskal daerah, termasuk dorongan penggunaan Kartu Kredit Indonesia (KKI) untuk mempercepat realisasi belanja pemerintah.

Kedua pilar tersebut diharapkan dapat menjaga ritme konsumsi publik sekaligus memperkuat stabilitas harga di saat kritis.

Jawa Barat Jadi Faktor Penentu Inflasi Nasional

Sebagai provinsi dengan populasi terbesar di Indonesia, Jawa Barat memainkan peran strategis dalam menentukan arah inflasi nasional. Karena itu, pemerintah pusat memberi perhatian khusus terhadap dinamika pasokan dan permintaan komoditas di wilayah ini.

Wakil Gubernur Jawa Barat, Erwan Setiawan, mengingatkan jajarannya agar tidak terlena oleh capaian inflasi yang masih dalam batas target.

“Tekanan akhir tahun biasanya cepat muncul dan langsung mengena pada komoditas tertentu. Ketersediaan barang, kelancaran distribusi, dan komunikasi publik harus dijaga agar masyarakat tidak terbebani,” kata Erwan.

Ia juga meminta TPID dan TP2DD memperkuat koordinasi, terutama dalam memanfaatkan Kerja Sama Antar Daerah (KAD) sebagai mekanisme pengaman jika terjadi ketimpangan pasokan di suatu wilayah.

Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat menilai kebijakan stabilisasi akhir tahun ini akan menjadi fondasi penting memasuki tahun 2026. Upaya pemerintah dianggap krusial untuk menjaga daya beli masyarakat dari guncangan harga serta memperkuat ketahanan ekonomi daerah.

BI menekankan tiga prioritas yang harus diamankan seluruh pemangku kebijakan:

1. Menjaga stok pangan strategis,

2. Mengendalikan tarif transportasi,

3. Memitigasi risiko distribusi akibat cuaca ekstrem. (bl)

Mulai Oktober 2025, Akses e-Faktur Bisa Dihentikan: DJP Perketat Kepatuhan Pajak Lewat Coretax 2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali memperkuat fondasi kepatuhan perpajakan nasional dengan menerapkan kebijakan baru yang mulai berlaku pada Oktober 2025. Melalui sistem Coretax 2025, DJP kini memiliki mekanisme untuk menonaktifkan akses pembuatan faktur pajak elektronik bagi pengusaha kena pajak (PKP) yang tidak memenuhi ketentuan pajak secara konsisten.

Langkah ini tertuang dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-19/PJ/2025, yang efektif diberlakukan pada 22 Oktober 2025, bertepatan dengan peluncuran sistem administrasi perpajakan terintegrasi Coretax 2025. Regulasi tersebut menjadi sinyal kuat bahwa era baru digitalisasi pajak tidak hanya berorientasi pada kemudahan, tetapi juga pada penegakan kepatuhan berbasis data otomatis.

Di sisi lain, DJP juga mengatur status NPWP non-aktif melalui PER-7/PJ/2025. Status ini melekat pada wajib pajak yang tidak lagi memenuhi syarat subjektif atau objektif, seperti menghentikan usaha, tidak memiliki penghasilan, tinggal di luar negeri, atau sedang menunggu proses penghapusan NPWP. Wajib pajak yang berstatus non-aktif dibebaskan dari kewajiban melaporkan SPT tahunan hingga statusnya kembali aktif.

Kedua aturan baru ini memperjelas arah kebijakan DJP: administrasi pajak harus sinkron, bersih, dan mencerminkan aktivitas ekonomi yang nyata, bukan sekadar formalitas pendaftaran.

Dalam PER-7/PJ/2025, terdapat sejumlah kategori wajib pajak orang pribadi yang berpotensi dinonaktifkan NPWP-nya. Mulai dari individu yang telah menutup usaha, tidak memiliki penghasilan, menggunakan NPWP hanya untuk kepentingan administratif, hingga mereka yang telah menjadi subjek pajak luar negeri karena tinggal lebih dari 183 hari di luar Indonesia. DJP juga berwenang menetapkan non-aktif secara jabatan bagi wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT selama dua tahun, memiliki alamat fiktif, atau tidak memenuhi ketentuan administrasi pendaftaran.

Sementara itu, bagi pelaku usaha, risiko yang dihadapi lebih signifikan. PER-19/PJ/2025 memungkinkan DJP memblokir akses e-Faktur apabila PKP tidak menyampaikan SPT masa PPN selama tiga bulan berturut-turut, tidak melaporkan SPT tahunan PPh setelah jatuh tempo, atau tidak melakukan pemotongan dan pemungutan pajak selama tiga bulan.

Dampaknya tidak main-main. Tanpa akses e-Faktur, perusahaan tidak dapat menerbitkan faktur pajak, yang pada akhirnya menghambat proses penagihan, memperlambat arus kas, bahkan berpotensi menghentikan operasional secara keseluruhan. Kebijakan ini diharapkan menjadi peringatan dini bagi PKP agar memperbaiki kepatuhan sebelum terkena pembatasan sistem.

Meski demikian, aturan non-aktif NPWP justru memberi ruang bagi individu yang memang sudah tidak memiliki kegiatan ekonomi. Dengan status non-aktif, mereka tidak lagi dibebani kewajiban SPT. Namun, bagi pelaku usaha, penyelarasan data dan kepatuhan berkala menjadi kunci agar aktivitas tetap berjalan tanpa gangguan.

DJP memberikan sejumlah langkah pencegahan agar wajib pajak terhindar dari status non-aktif maupun pemblokiran akses faktur. Mulai dari menyampaikan seluruh SPT tepat waktu, melunasi kewajiban pajak, memperbarui data identitas dan alamat di Coretax, hingga segera mengajukan klarifikasi ke kantor pajak apabila terjadi penonaktifan akses e-Faktur yang tidak sesuai.

Penerapan PER-19/PJ/2025 dan PER-7/PJ/2025 menunjukkan bahwa digitalisasi perpajakan bukan sekadar transformasi teknologi, tetapi juga transformasi perilaku. Dengan sistem yang semakin transparan dan terintegrasi, DJP memastikan setiap aktivitas perpajakan memiliki rekam jejak yang dapat dipantau secara otomatis. Bagi wajib pajak, memahami aturan ini menjadi langkah penting agar tidak terkena status non-aktif maupun pemblokiran akses faktur di era Coretax 2025. (alf)

Pemkot Bekasi Siapkan Aturan Baru: Kendaraan Menunggak Pajak Terancam Tak Bisa Masuk Area Perkantoran

IKPI, Jakarta: Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi mulai menyiapkan aturan pembatasan akses bagi kendaraan yang belum membayar pajak untuk memasuki kawasan perkantoran pemerintah. Kebijakan ini masih dalam tahap sosialisasi, namun diarahkan menjadi langkah penertiban yang lebih tegas bagi aparatur dan tamu yang keluar-masuk lingkungan Pemkot Bekasi.

Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, menjelaskan bahwa tahap awal kebijakan ini baru berupa penyampaian informasi kepada pegawai dan masyarakat. Ia menegaskan bahwa dalam penerapannya nanti, pemeriksaan dan penindakan dapat melibatkan kepolisian.

“Untuk aturan itu masih tindakan awal yang bentuknya sosialisasi. Mungkin Pak Kapolres nanti akan melakukan tindakan yang lebih represif,” kata Tri, Rabu (10/12/2025).

Tri menyampaikan bahwa apabila kebijakan ini diberlakukan penuh, seluruh kendaraan yang memasuki kawasan perkantoran Pemkot Bekasi akan diwajibkan menjalani pemeriksaan STNK, terutama terkait masa berlaku pajak kendaraan. Pemeriksaan dilakukan untuk memastikan setiap kendaraan memenuhi kewajiban pajaknya.

“Kami mulai dari sosialisasi. Tahap berikutnya kami evaluasi satu minggu ke depan apakah efektif. Kami juga menunggu dukungan dari Pak Kapolres beserta jajarannya karena yang berwenang melakukan pemeriksaan adalah pihak kepolisian,” ujarnya.

Gagasan pembatasan akses ini muncul setelah pemerintah menemukan bahwa tidak sedikit aparatur Pemkot Bekasi belum melunasi pajak kendaraan pribadi. Kondisi tersebut dinilai bertentangan dengan upaya pemerintah meningkatkan pendapatan daerah dari sektor pajak, sehingga keteladanan harus dimulai dari internal pemerintahan.

“Disinyalir justru banyak pegawai kami yang belum membayar pajak. Keteladanan harus dimulai dari aparatur pemerintah, apalagi kami sedang gencar meningkatkan pendapatan daerah,” ucap Tri.

Pemkot Bekasi akan mengevaluasi masa sosialisasi selama satu pekan. Jika dinilai tidak efektif, tahapan penindakan akan mulai dilakukan bekerja sama dengan kepolisian. Pemeriksaan STNK di lingkungan kantor pemerintah diharapkan mampu menekan tunggakan pajak sekaligus meningkatkan kedisiplinan aparatur sebagai contoh bagi masyarakat. (alf)

en_US