DPR Restui Budi Nugroho dan Diana Ginting Jadi Hakim Agung Pajak

IKPI, Jakarta: Komisi III DPR RI resmi merestui penunjukan 10 calon Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc Mahkamah Agung (MA) dalam rapat pleno di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (16/9/2025). Dari sepuluh nama yang disetujui, dua di antaranya dipilih khusus untuk mengisi Kamar Tata Usaha Negara (TUN) bidang pajak, yaitu Budi Nugroho dan Diana Malemita Ginting.

Persetujuan ini merupakan hasil dari rangkaian uji kelayakan dan kepatutan yang berlangsung sejak 9 hingga 15 September 2025. Delapan fraksi di Komisi III kompak menyatakan setuju, menyusul urgensi penambahan hakim di kamar pajak MA.

Budi Nugroho, hakim Pengadilan Pajak yang berlatar belakang akuntansi dan perpajakan, menegaskan perlunya kamar khusus pajak di MA. Menurutnya, hukum pajak memiliki karakteristik unik yang tidak bisa disamakan dengan hukum administrasi umum.

“Kalau asas presumptio iustae causa dipaksakan dalam sengketa pajak, negara bisa dirugikan. Hakim harus mencari kebenaran materiil, bukan sekadar formal,” jelas Budi.

Ia juga memperingatkan potensi praktik mafia pajak yang bisa terjadi lewat penetapan pajak yang sengaja dibuat lemah. “Penetapan itu bisa lemah, tapi tetap dipajang sebagai temuan triliunan. Itu bisa jadi pola mafia pajak,” ungkapnya.

Sementara itu, Diana Malemita Ginting, auditor utama di Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, menegaskan kesiapannya menjaga independensi meski lama berkarier di Kemenkeu.

“Begitu saya pindah ke peradilan, kepentingan dengan kementerian sudah putus. Saya akan bekerja profesional,” ujarnya di hadapan Komisi III.

Diana menilai sengketa pajak sering muncul akibat perbedaan tafsir hukum atau dokumen wajib pajak yang tidak lengkap. Ia juga menekankan perlunya pemerintah segera menyiapkan aturan teknis pajak karbon, seperti monitoring reporting verification (MRV) dan sertifikat izin emisi, agar kebijakan ini dapat berjalan efektif.

Selain Budi dan Diana, Komisi III juga menyetujui nama lain untuk kamar berbeda:

• Suradi (Pidana),

• Ennid Hasanuddin dan Heru Pramono (Perdata),

• Lailatul Arofah dan Muhayah (Agama),

• Agustinus Purnomo Hadi (Militer),

• Hari Sugiharto (TUN), dan

• Moh Puguh Haryogi (Hakim Ad Hoc HAM).

Dengan persetujuan ini, jumlah hakim agung TUN khusus pajak di MA bertambah dari satu menjadi tiga, bersama dengan Cerah Bangun yang telah lebih dulu menjabat. Selanjutnya, hasil rapat pleno Komisi III akan dibawa ke paripurna DPR sebelum ditetapkan melalui Keputusan Presiden. (alf)

 

 

PMK Ini Atur Pembekuan Izin Praktik Konsultan Pajak “Nakal”

IKPI, Jakarta: Pemerintah menegaskan sikap tegas terhadap konsultan pajak yang melanggar aturan. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 175/PMK.01/2022 tentang Konsultan Pajak, konsultan yang dianggap “nakal” bisa dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis hingga pembekuan izin praktik. Aturan ini diperjelas dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor 13/PJ/2015 sebagai petunjuk pelaksanaannya.

Pasal 27 PMK 175/2022 menyebutkan, Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan dapat menjatuhkan teguran tertulis setelah mempertimbangkan usulan asosiasi profesi.

Teguran diberikan jika konsultan pajak:

• melanggar kode etik atau standar profesi,

• memberikan jasa di luar tingkat keahliannya,

• tidak memenuhi kewajiban pengembangan profesional berkelanjutan (SKPPL),

• tidak aktif selama dua tahun berturut-turut, atau

• tidak mengurus perpanjangan izin praktik.

Bagi konsultan pajak yang tetap abai, ancaman lebih berat menanti. Pasal 28 PMK 175/2022 mengatur bahwa izin praktik bisa dibekukan selama tiga bulan bila:

• teguran tertulis diabaikan lebih dari tiga bulan,

• tidak menyampaikan laporan tahunan,

• tidak aktif selama tiga tahun berturut-turut,

• terlambat memperpanjang izin praktik,

• ditetapkan sebagai tersangka pidana perpajakan, atau

• menangani klien yang tersangkut kasus pidana perpajakan.

Selain itu, pembekuan juga berlaku bagi konsultan pajak yang berulang kali melanggar kode etik atau tidak memenuhi SKPPL sesuai ketentuan.

Meski demikian, pemerintah memberi celah pengecualian. Konsultan pajak yang melaporkan dugaan tindak pidana perpajakan oleh kliennya ke Direktorat Jenderal Pajak dapat terbebas dari pembekuan izin.

Namun, jika kewajiban laporan tahunan belum dipenuhi atau proses hukum masih berlangsung, masa pembekuan bisa diperpanjang lebih dari tiga bulan. Selama izin dibekukan, konsultan pajak dilarang memberikan layanan konsultasi dalam bentuk apa pun. (alf)

 

Cak Imin: Pajak UMKM Harus Sekecil Mungkin, Sesuai Arahan Presiden Prabowo

IKPI, Jakarta: Pemerintah menegaskan komitmennya untuk terus meringankan beban pajak pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Hal ini disampaikan Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat (Menko PM) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, yang menyatakan dukungan penuh atas instruksi Presiden Prabowo Subianto.

Menurutnya, keberpihakan terhadap UMKM diwujudkan melalui kebijakan PPh Final 0,5 persen bagi wajib pajak UMKM. Langkah ini menjadi bagian dari paket stimulus ekonomi 8+4+5 yang digagas pemerintah, mencakup delapan program percepatan di 2025, empat program lanjutan di 2026, serta lima program yang berfokus pada penyerapan tenaga kerja.

“Pak Prabowo sudah jelas mengarahkan agar UMKM dikenakan pajak serendah mungkin. Pemerintah ingin memastikan usaha kecil dapat berkembang tanpa terbebani pajak yang besar,” ujar Cak Imin, Selasa (16/9/2025).

Ia juga menilai, pemberlakuan tarif ringan tersebut bukan sekadar insentif sementara, melainkan bentuk perlindungan agar UMKM bisa tumbuh konsisten dan naik kelas. “Pajak rendah untuk UMKM harus dijadikan prinsip jangka panjang. Itu cara negara hadir mendampingi rakyat kecil,” tegasnya.

Lebih jauh, Cak Imin memastikan pihaknya akan bekerja sama dengan kementerian dan lembaga lain, juga langsung bersama para pelaku UMKM, untuk menjamin efektivitas program stimulus tersebut.

“Kami semua, sesuai arahan Presiden, akan berkolaborasi dan bergerak bersama agar target pertumbuhan ekonomi tercapai, kemiskinan berkurang, dan lapangan kerja semakin luas,” jelasnya.

Dengan adanya dukungan fiskal ini, pemerintah berharap UMKM tetap menjadi motor penggerak ekonomi nasional sekaligus penopang kesejahteraan masyarakat di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo. (alf)

 

Hore! Pemerintah Perpanjang Tanggungan PPh untuk 2,2 Juta Pekerja hingga 2026

IKPI, Jakarta: Kabar gembira datang bagi jutaan pekerja di sektor padat karya dan pariwisata. Pemerintah memastikan insentif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) akan terus berlanjut hingga 2026. Dengan kebijakan ini, sekitar 2,2 juta pekerja berpenghasilan hingga Rp10 juta per bulan tetap terbebas dari potongan PPh.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, keputusan perpanjangan ini merupakan upaya menjaga kepastian berusaha sekaligus melindungi daya beli pekerja. “Akan dilanjutkan tahun depan, jadi ada kepastian sampai tahun depan,” ujarnya usai rapat terbatas stimulus ekonomi bersama Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Senin (15/9/2025).

Insentif PPh 21 DTP sebelumnya telah berjalan sejak Februari 2025 melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10 Tahun 2025. Sektor yang masuk kategori padat karya, seperti tekstil, alas kaki, pakaian jadi, kulit, barang kulit, hingga furnitur, menjadi penerima utama. Pada 2026, program ini ditargetkan menjangkau 1,7 juta pekerja dengan alokasi dana Rp800 miliar.

“Yang gajinya sampai Rp10 juta ditanggung pemerintah, targetnya 1,7 juta pekerja. Alokasi Rp800 miliar sudah disiapkan untuk tahun depan,” tegas Airlangga.

Selain padat karya, pekerja di sektor pariwisata yang meliputi hotel, restoran, dan katering (horeka) juga akan mendapatkan insentif serupa. Mereka mulai menikmatinya sejak kuartal IV-2025, dengan target 552 ribu pekerja. Anggaran yang disiapkan mencapai Rp120 miliar pada 2025 dan melonjak menjadi Rp480 miliar pada 2026.

“Jadi ada kepastian sampai tahun depan PPh pekerja sektor horeka juga ditanggung pemerintah,” jelas Airlangga.

Secara total, pada 2026 akan ada 2,22 juta pekerja penerima manfaat dengan anggaran Rp1,28 triliun. Setiap individu diperkirakan menerima tambahan penghasilan bersih antara Rp60 ribu hingga Rp400 ribu per bulan.

Airlangga berharap kebijakan ini bukan hanya meringankan beban pekerja, tetapi juga menjaga roda perekonomian tetap berputar. “Benefitnya bisa dirasakan langsung oleh pekerja, dan daya beli masyarakat tetap terjaga,” tuturnya. (alf)

 

Pemerintah Perpanjang PPh Final 0,5% untuk UMKM hingga 2029

IKPI, Jakarta: Pemerintah memastikan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) orang pribadi masih bisa menikmati fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) Final dengan tarif 0,5 persen hingga tahun 2029. Kepastian itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (15/9/2025).

“PPh Final UMKM yang pendapatannya Rp4,8 miliar setahun, pajak finalnya 0,5 persen, kita lanjutkan sampai 2029,” tegas Airlangga.

Airlangga menjelaskan, saat ini pemerintah sedang menyiapkan revisi peraturan pemerintah (PP) untuk memperpanjang fasilitas tersebut. Dengan perubahan regulasi ini, wajib pajak tidak lagi harus menunggu perpanjangan tahunan, melainkan mendapat kepastian sampai lima tahun ke depan.

“Jadi tidak kita perpanjang satu tahun satu tahun, tetapi diberikan kepastian sampai dengan 2029,” ujarnya.

Berdasarkan data pemerintah, hingga kini terdapat sekitar 542.000 wajib pajak yang memanfaatkan fasilitas PPh Final UMKM. Untuk tahun 2025, anggaran yang dialokasikan pemerintah guna mendukung kebijakan ini mencapai Rp2 triliun.

Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022, PPh Final 0,5 persen dapat digunakan oleh wajib pajak orang pribadi dengan omzet usaha maksimal Rp4,8 miliar per tahun. Selain itu, omzet hingga Rp500 juta dibebaskan dari pengenaan pajak.

Fasilitas ini pertama kali diberikan sejak 2018 dengan masa pemanfaatan tujuh tahun. Artinya, bagi wajib pajak orang pribadi yang terdaftar sejak awal, seharusnya fasilitas berakhir pada 2024. Namun dengan perpanjangan ini, para pelaku UMKM masih bisa mendapatkan keringanan pajak hingga 2029.

Kebijakan ini diharapkan memberi kepastian dan ruang tumbuh bagi UMKM, yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian nasional. (alf)

 

Ketua Umum IKPI Apresiasi Pelatihan Aplikasi Keuangan, Tekankan Pentingnya Laporan Tepat Waktu

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) terus memperkuat tata kelola organisasinya dengan mendorong pemanfaatan teknologi keuangan di seluruh tingkatan pengurus.

Dalam sambutannya membuka kegiatan Sosialisasi Internalisasi dan Praktik Aplikasi Akuntansi IKPI yang digelar secara Hybrid pada Rabu (17/9/2025), Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld, menyampaikan apresiasi mendalam kepada jajaran pengurus pusat, pengurus daerah (pengda), dan pengurus cabang (pengcab) yang telah menginisiasi pelatihan tersebut.

“Kami sangat mengapresiasi langkah pengurus pusat, pengda, maupun pengcab yang telah menyempatkan waktu sibuknya untuk mengikuti pelatihan aplikasi akuntansi ini. Aplikasi keuangan menjadi instrumen penting bagi IKPI dalam memastikan pencatatan keuangan lebih tertib, transparan, dan akurat,” ujar Vaudy.

Menurutnya, pelatihan yang digagas oleh Bendahara Umum IKPI, Emanuel Ali ini bukan sekadar kegiatan teknis, melainkan bagian dari komitmen organisasi untuk terus meningkatkan akuntabilitas. Dengan sistem yang lebih modern, IKPI diharapkan dapat menyiapkan laporan keuangan yang tepat waktu dan bisa dipertanggungjawabkan.

Dalam arahannya, Vaudy menyampaikan tiga poin utama yang harus menjadi perhatian seluruh pengurus. Pertama, seluruh jajaran organisasi – mulai dari pusat, daerah, hingga cabang perlu memahami dan memanfaatkan aplikasi keuangan ini secara maksimal agar pengelolaan keuangan berjalan lebih sistematis.

Kedua, pengurus pusat diminta menyiapkan person in charge (PIC) khusus yang siap mendampingi jika ada pertanyaan teknis, baik mengenai cara membuka aplikasi, proses input data, maupun pencatatan jurnal. Dengan adanya PIC, diharapkan para bendahara di daerah maupun cabang tidak mengalami kesulitan ketika mengoperasikan sistem baru ini.

Ketiga, Vaudy menekankan bahwa pada rapat koordinasi (rakor) yang direncanakan berlangsung pada Januari atau Februari 2026, laporan keuangan dari pengurus daerah harus sudah tersampaikan. Rakor tersebut nantinya tidak hanya membahas evaluasi program dan rencana kerja 2026, tetapi juga memastikan laporan keuangan 2025 sudah terkumpul dan dapat dipresentasikan secara transparan.

“Harapannya jelas, laporan keuangan bisa disampaikan tepat waktu. Ini menjadi bagian dari tanggung jawab bersama sebagai pengurus, baik di tingkat pusat, pengda, maupun pengcab. Ketepatan waktu ini penting agar organisasi tetap dipercaya dan mampu menjalankan fungsinya dengan baik,” tegasnya.

Lebih jauh, Vaudy juga menekankan pentingnya keseriusan seluruh pengurus dalam mengikuti pelatihan ini. Menurutnya, konsistensi dan kemauan untuk belajar menggunakan aplikasi keuangan akan sangat menentukan keberhasilan IKPI dalam menjaga akuntabilitas organisasi.

“Saya berterima kasih kepada Bapak Ibu yang sudah meluangkan waktu di tengah kesibukan masing-masing untuk mengikuti kegiatan ini. Ini adalah wujud nyata dari komitmen kita semua sebagai pengurus,” tambahnya.

Kegiatan sosialisasi ini sendiri merupakan bagian dari upaya IKPI untuk menginternalisasikan praktik akuntansi berbasis teknologi, sekaligus memperkuat peran bendahara dalam menjalankan fungsi keuangan organisasi. Dengan adanya aplikasi ini, diharapkan proses pencatatan, penyusunan laporan, hingga audit dapat berjalan lebih cepat, tepat, dan efisien.

Ia menegaskan, dengan komitmen bersama untuk menguasai aplikasi keuangan dan menjaga disiplin dalam pelaporan, IKPI berharap dapat semakin menunjukkan diri sebagai organisasi profesi yang profesional, transparan, dan akuntabel. (bl)

Kepala Grup Tax BCA Singgung Maraknya Penghindar Pajak yang Nikmati Fasilitas Negara

IKPI, Jakarta: Kepala Grup Tax PT Bank Central Asia Tbk (BCA), Yuandri Martua Philip, menyampaikan kritik tajam terhadap rendahnya kepatuhan pajak di Indonesia. Ia mengibaratkan sistem perpajakan seperti sebuah teko penerimaan negara hanya akan penuh apabila “diisi” dengan wajib pajak yang taat, sekaligus tidak “bocor” karena praktik penghindaran pajak.

“Bayangkan kalau di dunia ini ada 100 orang, hanya 11 yang benar-benar membayar pajak. Sisanya, 89 orang, menikmati fasilitas yang dibangun dari pajak, tetapi tidak ikut menanggung beban. Ini kondisi yang tidak adil,” ujarnya dalam Seminar Perpajakan di Perbanas Institute, Selasa (16/9/2025).

Yuandri, yang juga tercatat sebagai anggota tetap dari Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mengungkapkan ada dua hal mendasar yang harus dikejar pemerintah. Pertama, menutup celah kebocoran pajak, terutama praktik profit shifting oleh perusahaan multinasional yang memindahkan keuntungan ke luar negeri. Ia menilai penerapan Global Minimum Tax 15 persen melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 136 menjadi salah satu senjata penting.

Kedua, memperluas basis data wajib pajak, agar pemerintah tidak hanya tahu siapa “11 orang” yang sudah bayar, tetapi juga bisa mengidentifikasi “nomor 12 sampai 100” yang belum tersentuh.

“Kalau hanya fokus pada yang sudah membayar, penerimaan pajak tidak akan pernah optimal. Data base yang lebih luas sangat penting. Pasca tax amnesty 2017, perbankan diwajibkan melaporkan saldo rekening setiap April, termasuk laporan cross border untuk rekening warga negara asing. Itu semua memperkaya basis data, dan harus dimanfaatkan maksimal oleh DJP,” jelas Yuandri.

Ia menegaskan bahwa meningkatkan penerimaan pajak bukan semata-mata soal menciptakan jenis pajak baru atau menaikkan tarif. Justru yang lebih mendesak adalah memastikan seluruh potensi ekonomi tercatat dalam sistem perpajakan. “Kalau semua sektor terdata dengan benar, yang nomor 12 sampai 100 itu bisa ikut menanggung beban, sehingga tidak hanya segelintir orang saja yang menopang negara,” katanya.

Ia juga menyinggung soal rasa keadilan. “Kalau 11 orang saja yang bayar, sementara yang lain tidak, itu ibarat segelintir orang memikul beban untuk 100 orang. Yang membayar jadi terbebani, sementara yang lain enak-enak saja. Itu sebabnya perlu ada reformasi basis pajak yang serius,” tandasnya.(bl)

Pendaftaran Relawan Pajak 2025 Kembali Dibuka, Kesempatan untuk Mahasiswa Terlibat

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan kembali membuka pendaftaran Relawan Pajak untuk Negeri (Renjani) 2025, sebuah program yang memberi kesempatan bagi mahasiswa di seluruh Indonesia untuk ikut berperan dalam edukasi pajak.

Melalui Renjani, mahasiswa tidak hanya dilibatkan dalam kegiatan penyuluhan, tetapi juga mendapat ruang untuk mengasah soft skill, memperluas jejaring, hingga menambah pengalaman berorganisasi di lingkungan otoritas pajak.

Program ini bersifat sukarela dan terbuka bagi mahasiswa yang peduli terhadap pentingnya kesadaran pajak sebagai pilar pembangunan negara.

Tahapan Program Renjani 2025

• Pendaftaran dan Penilaian Berkas oleh Tax Center: 1 September – 5 Oktober 2025

• Pelatihan dan Levelling Test Relawan: 8 September – 28 November 2025

• Pengumuman Hasil Seleksi Levelling Test: 1 – 12 Desember 2025

• Unggah Kode Etik Relawan Pajak: 1 – 24 Desember 2025

• Pengumuman Akhir Peserta Terpilih: 8 – 31 Desember 2025

• Pelaksanaan Kegiatan Relawan Pajak: 1 Januari – 31 Desember 2026

Cara Mendaftar

Pendaftaran dapat dilakukan melalui laman resmi DJP di edukasi.pajak.go.id/renjani. Peserta perlu mengisi data diri, mengunggah dokumen persyaratan, serta melakukan aktivasi akun melalui tautan yang dikirimkan ke email masing-masing.

Setelah itu, peserta bisa login kembali untuk melanjutkan proses seleksi hingga program berjalan.

Informasi resmi mengenai Renjani dapat diakses langsung melalui situs web DJP dan kanal media sosial resminya. Dengan hadirnya program ini, DJP berharap semakin banyak generasi muda yang memahami pentingnya pajak serta berkontribusi nyata bagi pembangunan negeri. (alf)

 

Menkeu Purbaya Pastikan Dana Rp200 Triliun Segera Dorong Kredit Riil

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa optimistis penempatan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun di lima bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) akan cepat mengalir ke sektor riil. Ia memperkirakan paling lambat dalam waktu sebulan, tambahan likuiditas tersebut sudah mulai terlihat dampaknya pada penyaluran kredit.

Dana jumbo ini disalurkan melalui kredit kepada pelaku usaha, terutama sektor industri riil. Skema tersebut, kata Purbaya, meniru keberhasilan langkah pemerintah saat pandemi COVID-19, ketika injeksi dana ke sistem perbankan langsung memicu pemulihan kredit.

“Kalau di Amerika butuh 14 bulan, di Indonesia biasanya hanya empat bulan. Bahkan tahun 2021, hanya setengah bulan sampai satu bulan sudah terlihat pembalikan arah kredit,” ujar Purbaya usai rapat dengan Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar di Kantor Ditjen Pajak, Jakarta, Selasa (16/9/2025).

Menurutnya, tambahan likuiditas akan membuat bank lebih agresif menyalurkan kredit sekaligus menurunkan bunga pasar. Dengan persaingan yang lebih ketat, bank akan terdorong mencari proyek-proyek produktif dengan imbal hasil terbaik.

“Likuiditas perbankan akan meningkat signifikan. Multiplier dari injeksi ini akan terasa luas di perekonomian. Dan ini bukan dalam bentuk pinjaman pemerintah, tapi langsung memperkuat sistem,” tegasnya.

Purbaya juga menepis kekhawatiran soal inflasi. Menurutnya, kondisi ekonomi saat ini masih lesu sehingga penempatan dana justru akan menstimulasi permintaan tanpa menciptakan lonjakan harga. “Inflasi baru akan muncul kalau pertumbuhan ekonomi kita sudah di atas 6,5 persen,” katanya.

Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar memastikan pihaknya akan memantau efektivitas kebijakan tersebut. “Kami ingin melihat fungsi intermediasi perbankan berjalan sesuai harapan. Progres akan dipantau secara berkala,” ujarnya.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025, dana Rp200 triliun dibagi kepada BRI, BNI, dan Bank Mandiri masing-masing Rp55 triliun, BTN Rp25 triliun, serta Bank Syariah Indonesia (BSI) Rp10 triliun. Setiap bank wajib melaporkan pemanfaatan dana secara bulanan kepada Menteri Keuangan melalui Dirjen Perbendaharaan. (alf)

 

Menkeu Tegaskan Tak Ada Pembentukan BPN dan Pilih Genjot Penerimaan Lewat Ekonomi

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan pemerintah tidak akan membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) maupun menambah jenis pajak baru. Fokus utama bendahara negara era Presiden Prabowo Subianto itu adalah mendorong pertumbuhan ekonomi agar otomatis mendongkrak penerimaan pajak.

“Belum, belum saya pikirkan (pembentukan BPN). Saya belum tahu. Pada dasarnya, belum disentuh,” ujar Purbaya usai rapat dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta Selatan, Selasa (16/9/2025).

Purbaya menilai penyisiran pos-pos penerimaan seperti pajak dan bea cukai lebih penting untuk memastikan tidak ada kebocoran. Menurut perhitungannya, setiap kenaikan 0,5 persen pertumbuhan ekonomi bisa menghadirkan tambahan pajak lebih dari Rp100 triliun.

“Kalau rasio pajak terhadap PDB tetap, setiap kenaikan 0,5 persen dari pertumbuhan ekonomi, saya akan dapat pajak tambahan sekitar Rp100 triliun lebih,” jelasnya.

Sejak dilantik 8 September, Purbaya langsung melakukan gebrakan dengan melepas Rp200 triliun dari saldo anggaran lebih (SAL) di Bank Indonesia ke lima bank nasional. Langkah itu ditujukan untuk mengatasi seretnya uang beredar (M0) dan menghidupkan kembali aktivitas ekonomi.

Rinciannya, BRI, BNI, dan Mandiri masing-masing menerima Rp55 triliun, BTN Rp25 triliun, dan BSI Rp10 triliun. “Dengan saya taruh Rp200 triliun di bank, ekonomi diharapkan bergerak, dan pada akhirnya pendapatan pajak ikut naik. Bukan lewat intensifikasi atau ekstensifikasi, tapi lewat pertumbuhan ekonomi,” tegas Purbaya. (alf)

 

en_US