Di Tengah Kejatuhan Bitcoin, Manuver Pajak Ini Justru Menguntungkan

IKPI, Jaarta: Pasar kripto memasuki awal Desember 2025 dengan tekanan berat. Harga Bitcoin yang selama ini menjadi barometer pasar aset digital sempat anjlok hingga 6% pada perdagangan Senin (1/12/2025). Meski kini pulih ke kisaran US$ 93.000, nilainya masih sekitar 25% di bawah rekor tertinggi mendekati US$ 125.000 pada Oktober lalu. 

Aset digital lainnya seperti Ether dan Solana juga belum menunjukkan tren pemulihan, bahkan mencatatkan imbal hasil negatif selama setahun terakhir. Namun, di balik kejatuhan harga tersebut, investor kripto di Amerika Serikat justru mendapatkan peluang strategis untuk mengurangi beban pajak mereka. 

Otoritas pajak AS (IRS) mengizinkan investor menggunakan kerugian atas aset yang dijual untuk mengimbangi keuntungan investasi lain maupun pendapatan kena pajak. Strategi ini dikenal sebagai tax-loss harvesting, dan menjadi semakin relevan ketika pasar kripto sedang melemah.

Akuntan publik tersertifikasi sekaligus pendiri MiklosCPA, Miklos Ringbauer, mengatakan bahwa kondisi pasar seperti saat ini dapat dimanfaatkan sebelum tutup tahun. “Jika Anda memiliki kesempatan untuk menurunkan pendapatan kena pajak, itu selalu menguntungkan. Kripto berada pada posisi unik yang memungkinkan hal itu dilakukan,” ujarnya, dikutip CNBC International, Senin (8/9/2025). 

Ia mengingatkan bahwa aturan perpajakan kripto cukup teknis sehingga investor tetap perlu berkonsultasi dengan profesional pajak.

Keunikan kripto terletak pada statusnya yang diperlakukan IRS sebagai properti, bukan sekuritas. Klasifikasi ini membuat kripto tidak terikat Wash-Sale Rule, yaitu aturan yang melarang investor menjual aset merugi dan membeli kembali aset yang sama dalam jangka waktu 30 hari untuk tujuan pajak. Pada saham, aturan ini berlaku ketat. Pada kripto setidaknya hingga saat ini aturan tersebut tidak berlaku.

CPA Marianela Collado menjelaskan, “Anda bisa merealisasikan kerugian, lalu membeli kembali aset yang sama seketika. Ini salah satu aspek unik kripto.” Kondisi ini memberi ruang manuver yang cukup besar bagi investor jangka panjang. Mereka bisa menjual contoh aset Bitcoin atau Ether yang sedang merugi, mencatat kerugian yang dapat mengurangi beban pajak, lalu langsung membeli kembali untuk mempertahankan posisi pasar mereka.

Adapun mekanisme tax-loss harvesting bekerja melalui beberapa langkah: investor merealisasikan kerugian dengan menjual aset yang nilainya turun; kerugian tersebut digunakan untuk mengimbangi keuntungan dari aset lain; jika kerugian lebih besar dibanding keuntungan, hingga US$ 3.000 dapat digunakan untuk mengurangi pendapatan kena pajak; selebihnya dapat dibawa ke tahun pajak berikutnya tanpa batas waktu. Semua kerugian harus direalisasikan sebelum 31 Desember 2025 untuk dapat dihitung dalam tahun pajak berjalan.

Meskipun celah perpajakan ini legal dan sering dimanfaatkan, para ahli memperingatkan bahwa status regulasi kripto di AS tidak berhenti berubah. Kongres dan regulator tengah mempertimbangkan perubahan kebijakan yang dapat mengklasifikasikan kripto sebagai sekuritas, yang akan membuat Wash-Sale Rule turut berlaku dan menutup ruang manuver yang dinikmati investor saat ini.

Sejauh aturan belum berubah, strategi tax-loss harvesting menjadi salah satu langkah paling menarik bagi investor kripto yang ingin memaksimalkan kerugian di tengah pasar yang sedang tertekan. Di saat harga Bitcoin dan aset digital lain terpukul, justru ada peluang bagi investor untuk merapikan portofolio sekaligus menekan beban pajak tahunannya. (alf)

KPP Badora Hadirkan “One Stop Services Hub”, Wajib Pajak Kini Lebih Mudah Konsultasi

IKPI, Jakarta: Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing (KPP Badora) meresmikan ruang layanan dan konsultasi baru di lantai 1 gedung KPP Badora, Jalan Taman Makam Pahlawan Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, pada Rabu (26/11). Ruang yang diberi nama “Badora One Stop Services Hub” ini dibuka langsung oleh Kepala KPP Badora, Natalius, dikutip Senin (8/12/2025).

Dalam peresmian tersebut, Natalius menyampaikan bahwa pembaruan fasilitas menjadi langkah strategis untuk memperkuat kualitas layanan perpajakan sekaligus mendukung optimalisasi penerimaan negara. Ia berharap fasilitas baru yang lebih modern dan representatif dapat meningkatkan kenyamanan wajib pajak serta mendorong kepatuhan yang lebih baik.

Ruang layanan baru ini merupakan hasil revitalisasi Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) lama yang sebelumnya berada di lokasi yang sama. Setelah TPT KPP Badora dipindahkan ke TPT Terintegrasi di KPP PMA Dua tahun lalu, ruang lama kemudian dirancang ulang sebagai pusat konsultasi dan ruang temu wajib pajak. Dengan perubahan ini, wajib pajak kini dapat berkonsultasi tanpa harus naik ke lantai atas.

Fasilitas yang tersedia dirancang untuk lebih akomodatif, mulai dari ruang konsultasi wajib pajak, tiga ruang rapat untuk konseling dan pembahasan hasil pemeriksaan, hingga infrastruktur ramah disabilitas. Interiornya didominasi warna putih dan coklat muda, memberi kesan bersih, modern, dan profesional. Renovasi juga mencakup ruang Seksi Pelayanan yang berada di area belakang.

Seorang wajib pajak bernama Garda Budiman turut memberikan kesan positif saat mengunjungi fasilitas baru tersebut. Ia menilai ruangan terlihat jauh lebih modern, bersih, dan nyaman digunakan untuk berdiskusi. Garda berharap peningkatan kualitas layanan seperti ini dapat terus dipertahankan.

KPP Badora merupakan unit vertikal DJP di bawah Kanwil DJP Jakarta Khusus yang menangani berbagai segmen wajib pajak, termasuk Bentuk Usaha Tetap, warga negara asing yang telah menjadi subjek pajak dalam negeri, badan internasional dan pejabatnya, perwakilan negara asing, serta pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik. (alf)

Mulai 2026, Prancis Kenakan Pajak Wisata Kapal Pesiar Rp290 Ribu per Penumpang

IKPI, Jakarta: Prancis bersiap menerapkan pajak baru bagi wisatawan kapal pesiar mulai tahun 2026. Setiap penumpang akan dikenai pungutan sebesar 15 euro, atau sekitar Rp 290 ribu, untuk setiap kali kapal pesiar bersandar di pelabuhan Prancis. Langkah ini menjadikan Prancis sebagai negara Eropa berikutnya yang memperketat regulasi sektor pelayaran wisata.

Kebijakan tersebut bergulir seiring meningkatnya perhatian terhadap dampak lingkungan dari industri kapal pesiar. Kota Cannes sudah lebih dulu mengambil langkah ekstrem dengan melarang kapal pesiar berkapasitas lebih dari 1.000 penumpang mulai 1 Januari mendatang. Sementara Nice membatasi maksimal 65 kunjungan kapal pesiar per tahun untuk mengurangi tekanan terhadap kota.

Senat Prancis telah memberi lampu hijau untuk rencana pajak ini. Senator Jean-Marc Delia menegaskan bahwa kebijakan tersebut diperlukan untuk menekan polusi, mencatat bahwa kapal pesiar di Eropa menghasilkan sekitar tujuh juta ton emisi CO₂ setiap tahun. Laporan organisasi Transport and Environment (T&E) bahkan menyebut jalur pelayaran Carnival menghasilkan lebih banyak emisi CO₂ pada 2023 dibandingkan emisi tahunan kota Glasgow.

Meski demikian, rencana itu belum sepenuhnya mulus. Pemerintahan Presiden Emmanuel Macron menyatakan keberatan. Menteri Anggaran Amélie Montchalin menilai penerapan tarif sulit dibedakan antara kapal pesiar dan feri yang sama-sama melayani penumpang. Kini, rancangan tersebut menunggu pembahasan dan keputusan di Majelis Nasional, yang diperkirakan diumumkan akhir Desember.

Eropa Kian Ketat Atur Kapal Pesiar

Prancis bukan satu-satunya yang memperketat aturan bagi pelayaran wisata.

• Yunani telah menerapkan biaya ketahanan krisis iklim sebesar 5–20 euro, tergantung destinasi.

• Norwegia memberi kewenangan pemerintah kota menetapkan pajak pariwisata 3 persen bagi penumpang kapal pesiar.

• Amsterdam dan Lisbon juga menaikkan pajak turis dan pelayaran untuk mengatasi overtourism serta mendukung pembangunan kota.

Dengan meningkatnya kekhawatiran terhadap emisi dan beban pariwisata massal, kebijakan Prancis menjadi bagian dari tren Eropa yang mendorong industri kapal pesiar berkontribusi lebih besar terhadap keberlanjutan lingkungan. (alf)

Melly Goeslaw Dukung LMKN Didanai APBN demi Perbaikan Tata Kelola Royalti Musisi

IKPI, Jakarta: Musisi senior sekaligus anggota Komisi X DPR, Melly Goeslaw, mendorong agar pendanaan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dialihkan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Usulan ini disampaikan Melly dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Badan Legislasi DPR, Sabtu (6/12/2025).

Dalam forum tersebut, Melly secara terbuka menyampaikan kelelahan para pelaku industri musik terhadap ketidakpastian tata kelola royalti yang selama puluhan tahun dinilainya sulit diawasi. Menurutnya, pembiayaan LMKN oleh negara akan membuka ruang pengawasan yang lebih ketat dan mendorong transparansi.

“Sebagai pekerja seni, saya sudah lelah. Kalau ada hal yang mencurigakan di LMK atau LMKN, kami tidak pernah bisa berbuat apa-apa. Karena itu saya setuju LMKN dibiayai APBN,” ujar Melly dalam pernyataannya di hadapan Baleg.

Ia menambahkan bahwa keterlibatan negara melalui APBN memungkinkan adanya mekanisme akuntabilitas yang lebih kuat, termasuk potensi pemeriksaan oleh lembaga penegak hukum jika terjadi penyimpangan.

“Kalau ada APBN, mungkin KPK bisa turun tangan. Jadi semua pihak akan berpikir dua kali kalau mau bermain curang,” tegasnya.

Melly menilai perbaikan sistem royalti adalah kebutuhan mendesak, bukan hanya dari sisi nominal, tetapi juga penghargaan terhadap perjalanan kreatif para musisi. Ia menekankan bahwa sistem yang ideal harus mampu melacak perolehan royalti secara real-time dan dapat dipahami dengan jelas oleh para pencipta lagu.

Menurut Melly, LMKN perlu memberikan edukasi yang lebih komprehensif kepada para pencipta mengenai sumber royalti, mekanisme distribusi, dan hak-hak yang melekat pada karya—terutama dalam era digital yang terus berkembang.

“Royalti itu bukan sekadar angka, tapi penghargaan atas waktu, perasaan, tenaga, dan kehidupan kami,” katanya menutup pernyataan. (alf)

Apindo Dorong Insentif Fiskal 2026 Difokuskan ke Padat Karya dan UMKM

IKPI, Jakarta: Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah mengarahkan insentif fiskal tahun depan kepada sektor-sektor yang terbukti paling terpukul sepanjang 2025. Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani mengatakan industri padat karya dan UMKM mengalami pelemahan signifikan selama tahun ini, sehingga membutuhkan dukungan fiskal yang lebih terarah.

Dalam keterangannya dikutip, Minggu (7/12/2025), Shinta menilai insentif fiskal seperti tax holiday dan tax allowance memiliki peran penting sebagai peredam gejolak ekonomi. Menurutnya, dua fasilitas itu memberikan ruang bernapas bagi pelaku industri, terutama di fase awal investasi atau saat ekspansi masih menuntut kebutuhan modal yang besar. Karena itu, ia berharap insentif tahun depan diprioritaskan kepada sektor yang paling besar menyerap tenaga kerja.

“Sepanjang 2025, sebagian besar sektor riil melemah, terutama industri padat karya. UMKM juga menghadapi tekanan serupa karena kemampuan ekspansinya terbatas. Padahal, keduanya adalah sumber penyerapan tenaga kerja terbesar,” ujar Shinta.

Shinta menilai insentif tidak cukup hanya diberikan kepada pelaku usaha, tetapi juga harus diarahkan untuk mengurangi tingginya struktur biaya yang menahan pemulihan ekonomi. Ia menyebut tiga komponen besar yang masih membebani dunia industri: suku bunga pinjaman, harga energi, dan biaya logistik. Jika biaya struktural ini tidak turun, kata dia, insentif yang disalurkan melalui APBN tidak akan mencapai dampak optimal.

Di sisi lain, Shinta mengingatkan bahwa insentif hanya akan efektif apabila diterapkan secara konsisten, mudah diakses, dan sejalan dengan perbaikan iklim usaha. Kepastian regulasi, proses perizinan yang efisien, dan penegakan hukum yang kuat menurutnya menjadi prasyarat dalam menarik investasi berkualitas. “Di tengah kompetisi global yang semakin ketat, selective incentives yang dirancang dengan tepat adalah instrumen penting untuk mendapatkan investasi yang berkelanjutan,” tambah CEO Sintesa Group itu.

Buku II Nota Keuangan RAPBN 2026 menunjukkan tren kenaikan belanja perpajakan sepanjang lima tahun terakhir. Nilainya naik dari Rp293 triliun pada 2021 menjadi Rp530,3 triliun pada 2025, atau melonjak 32,5% secara tahunan. Pada 2026, anggaran belanja perpajakan kembali meningkat menjadi Rp563,6 triliun. Porsi terbesar masih berasal dari PPN dan PPnBM serta PPh, dengan estimasi mencapai Rp343,3 triliun pada 2025 dan naik menjadi Rp371,9 triliun pada 2026.

Belanja perpajakan untuk mendorong investasi tercatat Rp84,3 triliun pada 2025 dan naik menjadi Rp84,7 triliun pada 2026. Sementara dukungan perpajakan bagi dunia bisnis meningkat dari Rp56,9 triliun menjadi Rp58,1 triliun pada periode yang sama.

Sebelumnya, dalam Media Gathering pada November 2025, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengungkapkan rencana pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh insentif perpajakan. Evaluasi tersebut akan melibatkan BPKP dan lembaga penegak hukum seperti KPK, guna memastikan kebijakan tidak disalahgunakan dan tetap mampu mendorong penerimaan negara. “Perlu dilihat apakah proses bisnisnya sudah tepat, atau ada hal yang harus diperbaiki sehingga manfaat insentif bisa lebih optimal,” kata Bimo di Kanwil DJP Bali pada Selasa (25/11/2025). (alf)

Kemenkeu Siapkan Insentif Pajak untuk Aksi Korporasi BUMN

IKPI, Jakarta: Pemerintah tengah merampungkan kebijakan fiskal baru berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang akan memberikan keringanan pajak bagi BUMN yang melakukan aksi korporasi. Aturan ini ditargetkan terbit pada Desember 2025, sebagaimana disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto usai mengikuti Rapat Dewan Pengawas Danantara di Jakarta Selatan, Jumat (5/12/2025).

Airlangga menekankan bahwa restrukturisasi dan konsolidasi berbagai BUMN, termasuk Pertamina, membutuhkan kepastian perpajakan agar proses merger, akuisisi, dan penataan ulang lainnya tidak menghambat kinerja perusahaan.

“Butuh penyesuaian PMK tentang perpajakan. Itu yang kita selesaikan, bukan hanya untuk Pertamina, tetapi keseluruhan proses BUMN,” ujarnya.

Ia berharap beleid tersebut rampung tepat waktu. “Kalau PMK-nya sih mudah-mudahan Desember ini selesai.”

Rencana tersebut selaras dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto yang menargetkan penyederhanaan jumlah BUMN dari hampir 1.000 entitas menjadi sekitar 200 perusahaan aktif. Proses perampingan besar ini dipastikan memicu banyak aksi korporasi sehingga memerlukan dukungan fiskal yang terukur.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyebut insentif tersebut akan berlaku untuk jangka 3 hingga 4 tahun ke depan. Ia memastikan fasilitas ini bukanlah pengurangan kewajiban pajak atas transaksi restrukturisasi, tetapi mekanisme agar reorganisasi BUMN tidak menggerus potensi dividen.

“Nanti ada kerangka regulasi yang membuat BUMN lebih efisien dan merger-mergernya lebih ekonomis,” jelas Bimo.

Namun, ia menggarisbawahi bahwa pembahasan antara Kemenkeu dan pemangku kepentingan terkait masih belum final. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sebelumnya juga menegaskan bahwa setiap insentif hanya akan diberikan sepanjang sesuai koridor peraturan perundang-undangan.

Dengan penyusunan PMK yang memasuki tahap akhir, pemerintah berharap konsolidasi besar-besaran BUMN dapat berjalan lebih efisien tanpa memberikan tekanan berlebih pada penerimaan negara. (alf)

Pemerintah Tautkan Insentif Pajak dengan Agenda Pembersihan Pasar Modal dan Proteksi Industri

IKPI, Jakarta: Pemerintah mulai menerapkan pendekatan yang lebih selektif dalam pemberian insentif fiskal, dengan mengaitkannya pada kualitas iklim usaha dan kebersihan pasar keuangan. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bahkan menegaskan bahwa insentif pajak di pasar modal hanya akan mengalir jika OJK dan BEI mampu menindak pelaku “saham gorengan.”

Pernyataan itu menandai babak baru insentif tidak lagi diberikan sekadar untuk mendorong investasi, tetapi sebagai leverage pemerintah untuk mendorong tata kelola ekonomi yang lebih bersih.

“Kalau dalam enam bulan ada penindakan jelas terhadap pelaku saham gorengan, insentif akan kami keluarkan lebih cepat,” kata Purbaya dalam Financial Forum di BEI, baru-baru ini. 

Ia menjelaskan, langkah tersebut diperlukan agar investor ritel masuk ke pasar yang lebih adil dan tidak terjebak manipulasi harga yang selama ini menggerus kepercayaan publik.

Di luar pasar modal, pemerintah juga menargetkan ketertiban perdagangan fisik. Purbaya menegaskan komitmen memperketat pengawasan impor ilegal, mulai dari tekstil thrifting hingga baja murah yang dinilai merusak industri domestik dan menggerus basis pajak jangka panjang. 

“Saya jaga border-nya, karena ini langsung berdampak pada domestic demand dan basis pajak kita,” tegasnya.

Pendekatan baru pemerintah ini semakin relevan mengingat belanja perpajakan Indonesia melonjak signifikan. Pada 2025, nilai insentif diproyeksikan naik 32,5% menjadi Rp530,3 triliun. Di sisi lain, DJP mencatat bahwa kebijakan fiskal menyumbang policy gap sebesar Rp396 triliun per tahun sepanjang 2016–2021.

Artinya, pemerintah kini tidak hanya mempertahankan insentif sebagai alat pengungkit pertumbuhan ekonomi seperti yang ditegaskan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam Rapimnas Kadin tetapi juga sebagai alat kontrol. “Insentif ini akan efektif jika ekosistemnya bersih. Kalau pasar modal dan industri kita sehat, multiplier effect-nya jauh lebih tinggi,” ujar Airlangga.

Dengan demikian, insentif fiskal Indonesia memasuki fase baru: tidak diberikan merata, tetapi disesuaikan dengan kualitas tata kelola sektor penerima. Untuk pertama kalinya, pemerintah mengaitkan keringanan pajak dengan agenda penegakan hukum, integritas pasar, hingga perlindungan industri lokal.

Kebijakan ini dinilai para analis sebagai sinyal bahwa pemerintah ingin mengurangi kebocoran ekonomi, memastikan insentif tidak dinikmati oleh pelaku yang tidak berkontribusi terhadap kualitas perekonomian, serta mendorong pertumbuhan yang lebih sehat dan kompetitif menuju 2026. (alf)

Insentif Pajak Dinilai Bukan Lagi Soal Mengerek Investasi, Tetapi Menggeser Struktur Ekonomi ke Sektor Bernilai Tinggi

IKPI, Jakarta: Kebijakan insentif pajak yang selama ini kerap dibaca sebagai “biaya fiskal” kini mulai dilihat pemerintah sebagai instrumen untuk menggeser struktur ekonomi nasional menuju sektor bernilai tambah lebih tinggi. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa tax holiday dan tax allowance tidak dapat lagi dipahami sekadar sebagai pengurang penerimaan jangka pendek, melainkan sebagai pendorong transformasi industri secara sistemik.

Pandangan ini muncul di tengah sorotan publik atas meningkatnya belanja perpajakan yang pada 2025 diproyeksikan menembus Rp530,3 triliun dan kembali naik menjadi Rp563,6 triliun pada 2026. Dalam periode yang sama, tax ratio nasional tercatat memiliki gap rata-rata 6,4% terhadap PDB sepanjang 2016–2021, di mana 2,7% di antaranya berasal dari kebijakan fiskal berupa pengecualian dan insentif pajak.

“Dalam jangka panjang, insentif merupakan trade-off agar sektor penerima mampu menghasilkan nilai tambah, memperluas lapangan kerja, dan memperkuat daya saing,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas DJP Rosmauli, dikutip Minggu (7/12/2025). 

Ia menekankan bahwa setiap insentif yang digelontorkan diarahkan untuk menciptakan efek berantai yang lebih besar daripada penerimaan pajak yang “hilang” di tahun berjalan.

Pergeseran cara pandang ini membuat pemerintah semakin fokus menyusun insentif yang terukur. Bukan lagi soal “menarik investasi sebanyak mungkin,” tetapi “menarik investasi yang paling efektif mendorong transformasi struktur ekonomi” mulai dari industri berteknologi tinggi, manufaktur yang berbasis ekspor berkelanjutan, hingga sektor yang mampu memasok kebutuhan domestik agar impor dapat ditekan.

Dalam konteks tersebut, meningkatnya belanja perpajakan justru mencerminkan upaya pemerintah melakukan intervensi pada titik-titik yang selama ini menjadi bottleneck produktivitas. Pada 2025, insentif untuk peningkatan investasi diprioritaskan sebesar Rp84,3 triliun dan meningkat menjadi Rp84,7 triliun pada 2026.

“Pertanyaan utamanya bukan lagi ‘berapa banyak penerimaan yang hilang?’ tetapi ‘berapa besar nilai tambah yang tercipta?’” ujar Rosmauli.

Namun, sejumlah ekonom menilai jika arah kebijakan ini konsisten, maka transformasi ekonomi yang lebih dalam dapat dicapai tanpa harus menunggu penyesuaian tarif atau regulasi baru. Pemerintah, sedang menggunakan insentif pajak sebagai “kemudi” untuk mengarahkan ulang ekonomi Indonesia ke sektor bernilai tinggi, bukan hanya sebagai “pengurang beban” dunia usaha. (alf)

Subsidi Dinikmati Orang Kaya, Purbaya Siapkan Desain Ulang Skema Bantuan Pemerintah

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkap temuan mengejutkan terkait penyaluran subsidi nasional. Dalam rapat bersama Komisi XI DPR, Purbaya menyebut masih banyak kelompok masyarakat berada pada desil 8, 9, bahkan 10—yang dikategorikan sebagai golongan menengah, menengah atas, hingga paling sejahtera, ternyata masih menikmati subsidi yang semestinya diperuntukkan bagi kelompok rentan.

Temuan tersebut muncul saat rapat evaluasi efisiensi subsidi yang digelar Kamis (4/12), bersama sejumlah BUMN strategis seperti Danantara, PLN, Pertamina, KAI, Pertamina Patra Niaga, hingga MIND ID. Dari data yang disampaikan, terlihat masih adanya kebocoran penyaluran subsidi yang bahkan menjangkau kelompok super kaya.

“Setelah kita lihat, ternyata yang kaya masih dapat. Itu aja. Saya dikasih waktu enam bulan ke depan untuk mendesain itu, mengoordinasikan desain tadi,” ujar Purbaya dalam rapat lanjutan di DPR, Jakarta, Jumat (5/12/2025).

Ia menjelaskan, persoalan salah sasaran ini dipengaruhi oleh desain subsidi yang belum sepenuhnya presisi serta keterbatasan sistem penyaluran di sejumlah sektor. Akibatnya, kelompok yang secara ekonomi mandiri masih mendapat manfaat subsidi yang seharusnya fokus pada masyarakat dalam desil 1 hingga 4.

“Masih ada orang yang relatif kaya, atau super kaya mungkin kalau di Indonesia, yang masih mendapat subsidi. Nanti ke depan akan kita lihat gimana perbaikannya,” tegasnya.

DPR telah memberikan target kepada Purbaya untuk menyelesaikan konsep desain ulang subsidi maksimal pada semester I-2026. Implementasinya akan dijalankan secara bertahap selama dua tahun berikutnya, dengan melibatkan koordinasi berbagai BUMN pengelola layanan publik.

Purbaya menegaskan bahwa rancangan baru tersebut akan memuat skema pengetatan penyaluran secara signifikan bagi kelompok mampu, terutama mereka yang masuk dalam desil 8–10. Anggaran subsidi yang berkurang dari kelompok kaya direncanakan akan dialihkan kepada masyarakat yang lebih membutuhkan.

“Yang kaya sekali, mungkin desil 8, 9, 10, subsidi akan dikurangin secara signifikan. Kalau perlu uangnya kita balikin ke yang desil 1, 2, 3, 4 yang lebih miskin. Itu utamanya, dan perlu desain khusus karena melibatkan BUMN-BUMN Danantara,” kata Purbaya.

Dengan desain ulang ini, pemerintah berharap kebijakan subsidi ke depan akan jauh lebih tepat sasaran, mengurangi kebocoran, dan memperkuat perlindungan bagi masyarakat berpendapatan rendah. (alf)

Ekonom Ingatkan Alarm Fiskal Imbas Beban Utang dan Lambatnya Pertumbuhan Pajak

IKPI, Jakarta: Peringatan mengenai ketahanan fiskal Indonesia kembali mengemuka setelah Tim Ekonom Bank Mandiri menyoroti ketidakseimbangan antara beban bunga utang yang meningkat pesat dan pertumbuhan penerimaan pajak yang berjalan lebih lambat. Kondisi tersebut dinilai menjadi sinyal serius bahwa struktur fiskal Indonesia membutuhkan penguatan segera agar ruang belanja negara tidak semakin terhimpit.

Kepala Riset Makroekonomi dan Pasar Keuangan Bank Mandiri, Dian Ayu Yustina, menjelaskan bahwa tren yang tampak dalam satu dekade terakhir menunjukkan divergensi yang semakin lebar. Menurutnya, pembayaran bunga utang pemerintah bergerak jauh lebih cepat dibandingkan kenaikan pendapatan pajak, sehingga menciptakan risiko jangka panjang bagi keberlanjutan APBN.

“Beban bunga utang terus naik secara signifikan, sementara pertumbuhan penerimaan pajak tidak cukup kuat untuk mengimbanginya. Ini harus menjadi alarm fiskal bagi pemerintah,” ujar Dian dalam paparan Economic Outlook kuartal IV, Jumat (5/12/2025).

Bank Mandiri mencatat bahwa pada 2016, indeks pembayaran bunga utang (basis 2010 = 100) berada pada angka 207, sedikit lebih tinggi dari indeks pendapatan pajak yang mencapai 178. Namun dalam proyeksi 2026, pembayaran bunga diperkirakan naik drastis hingga ke level 678, sedangkan pendapatan pajak hanya diprediksi mencapai 372. Selisih yang pada 2016 hanya 29 poin diperkirakan melebar hingga 306 poin dalam satu dekade.

Dian menegaskan bahwa pelebaran gap tersebut merupakan sinyal bahwa peningkatan pendapatan negara, terutama pajak, harus dipercepat. Apalagi, tekanan juga terlihat dari pergeseran keseimbangan primer. Jika pada Januari–Oktober 2024 pemerintah masih mampu mencatatkan surplus Rp97,3 triliun, periode yang sama pada 2025 justru menunjukkan defisit Rp45 triliun. Tren ini menunjukkan melemahnya kapasitas fiskal untuk menutup belanja rutin tanpa menambah utang.

Rasio pajak yang masih tertahan di kisaran 8,6%–8,7% dari PDB turut memperkuat kekhawatiran tersebut. Dengan kebutuhan belanja negara yang berada di sekitar 15% PDB, pemerintah dituntut mempercepat reformasi agar tax ratio dapat bergerak menuju 15%. Tanpa itu, beban bunga utang yang terus membesar dapat menggerus anggaran pembangunan.

“Kalau pertumbuhan pajak tetap berjalan lambat seperti sekarang, sementara bunga utang terus naik, ruang fiskal kita akan semakin sempit,” jelas Dian.

Untuk itu, Bank Mandiri merekomendasikan rangkaian langkah paralel guna memperkuat struktur penerimaan negara. Strategi tersebut mencakup perluasan basis pajak melalui integrasi NIK–NPWP dan ekstensifikasi sektor digital, peningkatan produktivitas PPN melalui penguatan C-efficiency dan wajib e-payment tracing, serta penutupan celah kepatuhan lewat pemanfaatan CTAS, pre-filled return, dan perluasan e-invoicing. Di sisi kebijakan, pemerintah juga didorong untuk mengoptimalkan bauran kebijakan mulai dari rasionalisasi insentif hingga implementasi pajak hijau seperti carbon tax dan cukai plastik.

Menurut Dian, seluruh langkah tersebut harus dijalankan bersamaan. Tanpa penguatan penerimaan pajak, APBN akan semakin rentan terhadap gejolak eksternal maupun tekanan pembiayaan dalam negeri. “Mempercepat pertumbuhan pajak adalah kunci untuk menjaga stabilitas fiskal dan memastikan APBN tetap mampu mendukung prioritas pembangunan,” ujarnya. (alf)

en_US