DJP Jateng I Sandera Penunggak Pajak Rp 25,7 Miliar

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Tengah I bertindak tegas dengan menyandera (gijzeling) seorang wajib pajak berinisial SHB, yang menunggak pajak hingga Rp 25,71 miliar. Eksekusi ini dilakukan karena SHB tidak menunjukkan itikad baik untuk melunasi kewajibannya meski telah dilakukan proses penagihan sesuai prosedur.

SHB tercatat sebagai wajib pajak di KPP Madya Dua Semarang dengan total utang PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi sebesar Rp 25.471.351.451. Karena tidak kooperatif, Kanwil DJP Jateng I akhirnya menerapkan tindakan gijzeling atau pengekangan sementara kebebasan penanggung pajak di tempat tertentu sebagai alat penagihan terakhir.

Kepala Kanwil DJP Jawa Tengah I, Nurbaeti Munawaroh, menegaskan bahwa langkah ini sepenuhnya berlandaskan hukum.

“Penyanderaan kami lakukan sesuai UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Nomor 19 Tahun 1997 yang telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2000. Tindakan ini diambil karena wajib pajak tidak melunasi utang pajaknya,” ujarnya dalam keterangan resmi, dikutip, Jumat (21/11/2025).

Nurbaeti menyebutkan, DJP tidak bermaksud bertindak sewenang-wenang. Namun penegakan hukum perlu dilakukan demi memastikan hak negara terpenuhi.

“Kami berharap langkah ini memberi efek jera, baik kepada wajib pajak yang disandera maupun wajib pajak lainnya. Tidak ada niat untuk berlaku zalim; kami hanya menjalankan aturan yang berlaku demi keadilan bagi negara dan masyarakat,” tegasnya.

DJP menjelaskan bahwa penyanderaan hanya dapat dilakukan kepada wajib pajak dengan utang minimal Rp 100 juta yang diragukan itikad baiknya. Wajib pajak dapat segera dibebaskan apabila telah melunasi seluruh utang dan biaya penagihan.

Kanwil DJP Jateng I kembali mengimbau masyarakat untuk melaksanakan kewajiban perpajakan secara benar, lengkap, dan tepat waktu. Seluruh layanan pajak dipastikan tidak dipungut biaya. Informasi lebih lanjut dapat diperoleh melalui KPP terdekat, Kring Pajak 1500200, atau situs resmi pajak.go.id. (alf)

DJP Riau Resmikan 23 Tax Center di Kampus, Perluas Edukasi Pajak

IKPI, Jakarta: Kolaborasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan perguruan tinggi di Riau kian menguat. Sepanjang 2025, Kanwil DJP Riau telah membentuk 23 tax center di berbagai kampus guna memperluas edukasi dan inklusi perpajakan.

Kepala Kanwil DJP Riau, Ardiyanto Basuki, menjelaskan bahwa sejumlah kerja sama baru telah ditandatangani, termasuk perpanjangan kemitraan dengan tax center yang sudah berjalan.

“Kampus untuk Riau sudah 23, artinya sudah ada 23 tax center juga,” ujarnya, Kamis (19/11/2025).

Ia menilai perguruan tinggi adalah mitra strategis DJP dalam menyampaikan informasi perpajakan kepada masyarakat. Layanan tax center, katanya, akan berjalan di kampus mitra dan dapat pula dilaksanakan di kantor pajak maupun lokasi lain agar jangkauannya makin luas.

Ardiyanto menyebut tax center sebagai wadah penting untuk menjadikan ilmu perpajakan lebih hidup tidak hanya dipelajari, tetapi juga dipraktikkan dan diajarkan kembali oleh para dosen serta mahasiswa, termasuk relawan pajak yang aktif mengikuti program Renjani Gathering di Riau.

Rektor Universitas Pasir Pengaraian, Prof. Hardianto, mengapresiasi kontribusi DJP dalam meningkatkan kompetensi mahasiswa melalui keberadaan tax center dan program edukasi.

“Kampus harus berdampak, dan kegiatan ini salah satu cara agar perguruan tinggi memberi manfaat nyata bagi masyarakat,” ujarnya.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Rosmauli, turut memuji antusiasme peserta. Ia menyebut sinergi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat sebagai fondasi penting dalam membangun budaya sadar pajak yang modern dan transparan.

Rosmauli menyampaikan bahwa secara nasional terdapat sekitar 510 tax center, sementara jumlah relawan pajak mencapai 15.000 orang. Di Riau, relawan pajak yang kini berjumlah 226 ditargetkan meningkat menjadi 441 pada tahun depan.

Ia meyakini perluasan peran perguruan tinggi dalam edukasi pajak akan berdampak positif bagi penerimaan negara.

“Kami membutuhkan para rektor, dosen, mahasiswa, dan relawan pajak untuk memperkuat kepercayaan publik terhadap administrasi perpajakan,” tegasnya. (alf)

Kolaborasi DJP Jateng I–Undip Sukses Bikin Ribuan Dosen Aktivasi Akun Coretax

IKPI, Jakarta: Kolaborasi antara Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Tengah I dan Universitas Diponegoro (Undip) membuahkan hasil signifikan. Lebih dari seribu dosen dan tenaga pendidik Undip sukses mengikuti edukasi serta aktivasi akun Coretax DJP yang digelar di Moeladi Dome, Kamis (19/11/2025).

Seluruh peserta tercatat berhasil mengaktifkan akun dan memperoleh kode otorisasi yang menjadi langkah penting dalam persiapan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Tahun Pajak 2025 yang akan disampaikan pada 2026 mendatang. Mulai tahun tersebut, pelaporan SPT sudah sepenuhnya beralih menggunakan sistem Coretax DJP.

Kepala Kanwil DJP Jateng I, Nurbaeti Munawaroh, menegaskan pentingnya kegiatan ini dalam proses transisi menuju administrasi pajak berbasis sistem terintegrasi.

“Coretax DJP merupakan platform utama wajib pajak. Aktivasi akun menjadi tahap pertama agar ke depan seluruh hak dan kewajiban perpajakan dapat dilakukan melalui sistem ini,” paparnya.

Nurbaeti juga menekankan besarnya peran penerimaan pajak bagi APBN dan perekonomian nasional. Karena itu, DJP Jateng I terus mendorong aktivasi massal Coretax bekerja sama dengan para pemberi kerja.

“Upaya ini kami lakukan untuk meningkatkan kepatuhan pajak masyarakat, terutama di wilayah Jawa Tengah,” jelasnya.

Wakil Rektor II Undip, Dr. Warsito Kawedar, menyambut baik inisiatif DJP yang dinilai sangat membantu sivitas akademika dalam memahami penggunaan Coretax.

“Kami berharap seluruh dosen dan tenaga pendidik dapat mengakses Coretax dengan mudah dan memanfaatkan seluruh fiturnya. Ini penting untuk mendukung kepatuhan pajak di lingkungan kampus,” ujarnya.

Dengan terlaksananya aktivasi massal ini, Undip menjadi salah satu perguruan tinggi yang bergerak cepat dalam menyesuaikan diri dengan sistem perpajakan digital yang akan berlaku penuh pada 2026. (alf)

UMKM Sambut Positif Skema Permanen PPh Final 0,5 Persen

IKPI, Jakarta: Pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menyambut baik keputusan pemerintah yang menetapkan Pajak Penghasilan (PPh) final 0,5 persen sebagai skema permanen. Kebijakan ini dianggap memberikan kepastian usaha sekaligus menjaga beban pajak tetap ringan bagi sektor UMKM yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional.

Ketua Asosiasi Industri UMKM Indonesia (Akumandiri), Hermawati Setyorinny, mengatakan kepastian tersebut menjadi dukungan penting bagi pelaku usaha yang selama ini membutuhkan aturan pajak yang sederhana dan stabil. Meski demikian, ia mengingatkan perlunya sosialisasi lebih intensif mengenai batasan omzet yang dikenai pajak.

“Yang perlu disosialisasikan adalah bahwa pajak ini berlaku bagi usaha dengan omzet Rp500 juta sampai Rp4,8 miliar. Informasi ini masih kurang didengar oleh pelaku usaha mikro,” ujarnya, Rabu, (19/11/2025).

Dalam ketentuan saat ini, UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun dibebaskan dari pajak, sementara pelaku usaha dengan omzet Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar dikenai PPh final 0,5 persen. Hermawati menilai sosialisasi yang jelas penting untuk mencegah munculnya tindakan memecah omzet atau usaha demi agar tetap terlihat kecil. “Jangan sampai dijadikan peluang munculnya moral hazard,” katanya.

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, sebelumnya mengungkap adanya praktik bunching (menahan omzet) dan firm-splitting (pemecahan usaha) yang dilakukan sebagian wajib pajak untuk tetap mendapatkan fasilitas PPh final. Untuk itu, Kementerian Keuangan mengusulkan perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022, terutama pada Pasal 57, guna memperjelas subjek yang berhak serta menutup celah penghindaran pajak.

Selain itu, pemerintah juga mengusulkan revisi Pasal 59 terkait penghapusan batas waktu pemanfaatan fasilitas bagi wajib pajak orang pribadi maupun perseroan perorangan agar tidak ada lagi pelaku usaha yang secara administratif terhambat untuk menggunakan skema tersebut.

Kepastian pemberlakuan permanen skema ini sebelumnya ditegaskan oleh Menteri UMKM Maman Abdurrahman, yang memastikan PPh final 0,5 persen tidak lagi memiliki masa berlaku tertentu. “Permanen, sampai batas waktu yang tidak ditentukan,” kata Maman di Jakarta, Senin, 17 November 2025.

Dengan skema yang kini bersifat tetap, pemerintah berharap UMKM memiliki pijakan lebih kuat untuk bertumbuh, sekaligus memastikan ekosistem perpajakan yang lebih adil dan akuntabel. (alf)

IKPI Sleman Tekankan Konsultan Pajak Harus Kuasai Riset dan Analisis Data

IKPI, Sleman: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Sleman kembali menunjukkan komitmennya dalam meningkatkan kompetensi anggotanya melalui kegiatan Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) bertema “Metode Penelitian Praktis Perpajakan dan Coretax PPh Orang Pribadi”. Kegiatan ini berlangsung seharian penuh di Auditorium Drs. Soekamto, M.Sc Program Magister Akuntansi (MAKSI) FEB UGM dan dihadiri anggota IKPI, akademisi, praktisi, serta mahasiswa pascasarjana dari berbagai daerah.

Ketua IKPI Cabang Sleman, Hersona Bangun, menegaskan bahwa profesi konsultan pajak kini berada pada titik perubahan signifikan. Menurutnya, perkembangan sistem administrasi perpajakan, khususnya implementasi Coretax, mendorong konsultan untuk tidak hanya memahami regulasi, tetapi juga mampu menafsirkan data dan melakukan penelitian.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Sleman)

“Konsultan pajak masa kini tidak hanya dituntut menguasai regulasi, tetapi juga harus mampu membaca data, melakukan penelitian, dan memberikan insight berbasis analisis ilmiah. Kompetensi itulah yang akan memperkuat kualitas layanan profesi dan menjaga kepercayaan wajib pajak,” ujar Hersona di hadapan peserta.

Ia menambahkan bahwa kemampuan analitis menjadi tuntutan penting seiring meningkatnya penggunaan teknologi dalam pengawasan dan pelayanan pajak. Menurutnya, konsultan pajak yang memahami metode penelitian akan lebih siap menghadapi dinamika kebijakan dan memiliki landasan profesional yang kuat dalam memberikan rekomendasi kepada wajib pajak maupun regulator.

Sementara itu, Guru Besar FEB UGM Prof. Irwan Taufiq Ritonga, memberikan Keynote Speech mengenai urgensi riset perpajakan di era digital. Prof. Irwan menjelaskan bahwa Coretax PPh Orang Pribadi telah mengubah pola administrasi perpajakan dengan menyediakan data yang semakin terstruktur dan terintegrasi. 

(Foto: DOK. IKPI Cabang Sleman)

“Data tersebut, dapat menjadi sumber penelitian yang bernilai bagi konsultan pajak, akademisi, dan pengambil kebijakan,” ujarnya.

Prof. Irwan menekankan bahwa riset pajak bukan hanya kepentingan akademik, melainkan bagian penting dalam merumuskan strategi kepatuhan, mendeteksi risiko, dan meningkatkan kualitas pelayanan perpajakan. 

“Dengan memanfaatkan data Coretax, kita bisa membaca tren, menganalisis perilaku pelaporan, dan memberikan rekomendasi berbasis bukti. Ini adalah masa depan praktik perpajakan,” ujarnya.

Hadir empat materi dari FEB UGM yang masing-masing membawakan pendekatan berbeda dalam penelitian perpajakan.

Prof. Dr. Eko Suwardi, membuka sesi dengan memberikan pengantar konsep penelitian praktis, mulai dari perumusan masalah hingga bagaimana menghubungkan teori perpajakan dengan fenomena ekonomi terkini.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Sleman)

Berikutnya, Dr. Puspita Ghaniy Anggraini, membahas teknik literature review, termasuk cara menemukan research gap dan menyusun kerangka teoretis yang solid.

Pada sesi ketiga, Annisa Hayatun Nazmi Burhan, S.E., M.Sc., Ph.D. memaparkan metode penelitian berbasis data archival seperti data DJP, laporan keuangan, dan data publik. Peserta diajak memahami proses memperoleh data, teknik pengolahan, serta interpretasi hasil riset empiris perpajakan.

Sesi terakhir disampaikan Aviandi Okta Maulana, M.Acc., Ph.D., yang menguraikan metode survei dan wawancara. Ia memberikan contoh desain kuesioner, teknik sampling, hingga cara menjaga validitas dan reliabilitas data.

Memasuki sesi praktik, peserta mengikuti pelatihan pengisian SPT PPh Orang Pribadi berbasis Coretax yang dipandu langsung oleh Hersona Bangun. Sesi ini menjadi salah satu bagian paling interaktif, di mana peserta mempelajari pembaruan struktur SPT elektronik, fitur terbaru di sistem Coretax, serta berbagai kesalahan umum yang kerap dilakukan wajib pajak saat pelaporan. Peserta dapat langsung mencoba simulasi dan mengajukan pertanyaan teknis kepada pemateri.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Sleman)

Dikatakan Hersona, kegiatan PPL ini memberikan 8 SKPPL resmi IKPI, menjadikannya salah satu agenda penting bagi konsultan pajak untuk memenuhi kewajiban pengembangan kompetensi tahunan. Selain itu, materi yang disampaikan dinilai sangat relevan dengan kebutuhan profesi di tengah perkembangan teknologi dan kebijakan perpajakan yang terus berubah.

Diungkapkannya , acara  ini disambut antusiasme tinggi dari para peserta. Banyak di antara mereka yang menilai bahwa kegiatan ini tidak hanya memperkaya pemahaman teknis, tetapi juga membuka perspektif baru mengenai pentingnya riset dalam praktik perpajakan modern.

Dengan terselenggaranya kegiatan ini, IKPI Cabang Sleman menegaskan komitmennya untuk terus berperan aktif dalam peningkatan kualitas profesi konsultan pajak, sekaligus memperkuat kolaborasi dengan dunia akademik dalam menghadapi tantangan perpajakan di era digital. (bl)

BRMS Pastikan Pendapatan Tak Terdampak Rencana Pajak Ekspor Emas

IKPI, Jakarta: PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) menegaskan bahwa rencana pemerintah mengenakan pajak ekspor emas sebesar 15 persen mulai tahun depan tidak akan memengaruhi kinerja pendapatan perusahaan. Alasannya, seluruh hasil produksi emas dan perak dari entitas anak PT Citra Palu Minerals (CPM) dijual secara penuh ke pasar domestik.

Penegasan tersebut disampaikan manajemen BRMS setelah muncul pertanyaan dari investor terkait potensi dampak kebijakan fiskal baru itu terhadap prospek bisnis perseroan. BRMS menilai sentimen tersebut perlu diluruskan agar tidak menimbulkan mispersepsi di pasar.

CPM merupakan operator tambang emas dan perak di Poboya, Sulawesi Tengah, serta sejumlah wilayah di Sulawesi Selatan. Berdasarkan laporan keuangan konsolidasian per 30 September 2025, seluruh produk emas murni dan perak murni dari fasilitas Carbon in Leach (CIL) di Blok 1 dipasarkan secara eksklusif kepada pembeli dalam negeri.

Pembeli yang tercatat antara lain produsen perhiasan dan logam mulia seperti Hartadinata Abadi (HRTA), PT Simba Jaya Utama, PT Swarnim Murni Mulia, PT Pegadaian Galeri Dua Empat, dan PT Elang Mulia Abadi Sempurna. Untuk komoditas perak, daftar pembeli domestik tersebut juga mencakup Garuda Internasional Multitrade. Seluruh transaksi menunjukkan tidak adanya eksposur terhadap pasar ekspor.

CEO BRMS, Agus Projosasmito, menegaskan kembali bahwa pola penjualan tersebut membuat perusahaan berada di luar cakupan kebijakan pajak ekspor.

“Dalam menjual produk emas dan perak, kami selalu berusaha mengoptimalkan laba dan memberikan nilai tambah bagi para pemegang saham,” ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (19/11/2025).

Agus menambahkan bahwa produk akhir yang dipasarkan CPM merupakan emas dan perak murni, bukan dore bullion, sehingga distribusinya langsung dilakukan ke industri dalam negeri. Ia menyebutkan klarifikasi ini diberikan untuk menanggapi pertanyaan dari pasar seiring pengumuman rencana penerapan pajak ekspor oleh pemerintah.

Saat ini CPM mengoperasikan kegiatan penambangan bijih berkadar emas dan perak di Blok 1 Poboya, ditunjang dua fasilitas pemrosesan CIL. Seluruh produk yang dihasilkan telah memiliki pembeli tetap, sebagaimana tercantum dalam laporan keuangan perseroan.

Dengan struktur penjualan yang sepenuhnya berorientasi domestik, BRMS memastikan bahwa rencana penerapan pajak ekspor emas tidak akan berdampak terhadap pendapatan maupun rencana operasional perusahaan. Manajemen menegaskan fokus perseroan tetap pada optimalisasi produksi dan peningkatan nilai tambah logam mulia di pasar lokal. (alf)

Siap Bayar Pajak, Pedagang Barang Bekas Pasar Senen Minta Dilegalkan

IKPI, Jakarta: Para pedagang barang bekas atau thrifting di Pasar Senen kembali menyuarakan aspirasi mereka kepada pemerintah. Mereka meminta legalisasi penuh atas kegiatan impor pakaian bekas, sekaligus menyatakan kesediaan untuk membayar pajak asalkan usaha mereka tidak lagi dianggap ilegal.

Aspirasi itu disampaikan langsung oleh Rifai Silalahi, perwakilan pedagang thrifting, saat menyampaikan keluhan kepada Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR di Kompleks Parlemen, Rabu (19/11/2025).

“Kami ini sudah puluhan tahun hidup dari thrifting. Ada sekitar 7,5 juta orang yang bergantung pada usaha ini. Kalau dimatikan, bagaimana nasib kami?” kata Rifai di depan pimpinan BAM DPR.

Menurut Rifai, bisnis thrifting bukan sekadar perdagangan barang bekas. Di banyak daerah, usaha ini sudah diwariskan lintas generasi dan menjadi sumber penghasilan utama keluarga.

“Dari Sabang sampai Merauke, kami hidup dari thrifting. Dari hasil jualan inilah kami sekolah dan bertahan hidup. Karena itu kami berharap pemerintah melegalkan usaha ini. Kami tidak keberatan bayar pajak,” tegasnya.

Ia menyebut selama larangan berlaku, pedagang justru terjebak pada praktik ilegal yang melibatkan oknum tertentu. Setiap kontainer, ujarnya, bisa dipungut hingga Rp 550 juta agar bisa lolos melalui jalur tidak resmi.

“Bayar pajak justru jauh lebih murah. Pajak itu jelas persentasenya. Masalahnya sekarang yang menikmati keuntungan justru oknum-oknum itu. Makanya bisa masuk sekitar 100 kontainer per bulan secara ilegal,” ungkapnya.

Rifai menilai pemerintah bisa memilih opsi selain legalisasi penuh, yakni menerapkan larangan terbatas (lartas) atau pemberian kuota impor. Dengan skema ini, impor tetap dikontrol tanpa mematikan mata pencaharian jutaan orang.

“Yang kami inginkan bukan kebebasan tanpa aturan. Silakan dibatasi, tapi jangan dimatikan. Kuota bisa jadi solusi,” tambahnya.

Wakil Ketua BAM DPR, Adian Napitupulu, menyambut aspirasi tersebut dengan menekankan pentingnya kajian menyeluruh sebelum pemerintah mengambil keputusan.

Ia memaparkan data riset global yang menunjukkan bahwa 67% generasi milenial dan Gen Z memilih thrifting bukan karena sekadar harga murah, melainkan karena pertimbangan lingkungan hidup.

“Satu celana saja membutuhkan 3.781 liter air bersih untuk diproduksi. Anak-anak muda sekarang menyadari dampak itu. Ada pergeseran cara pandang soal konsumsi,” jelas Adian.

Selain tren dalam negeri, Adian juga mengingatkan bahwa impor thrifting bukan hal asing di dunia. Beberapa negara bahkan menjadi importir besar, seperti:

• Amerika Serikat – Rp 2,19 triliun

• Belanda – Rp 2,76 triliun

• Rusia – Rp 2,184 triliun

“Bukan cuma Indonesia yang impor barang bekas. Banyak negara lain juga melakukan hal yang sama. Artinya ada ekosistem perdagangan global yang harus kita pahami,” ujarnya.

Adian menekankan bahwa keputusan pemerintah nantinya harus mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan keberlanjutan lingkungan secara seimbang.

“Sebagai regulator, kita harus mengambil keputusan yang hadir dengan pemahaman komprehensif dan mewakili keadilan di masyarakat,” tutupnya. (alf)

BCA KCU Solo Gandeng IKPI Surakarta Gelar Biz Talk 2025: Tekankan “Pajak Aman, Bisnis Nyaman” Hadapi Coretax

IKPI, Surakarta: BCA KCU Solo menggandeng Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Surakarta dalam penyelenggaraan Mini Gathering 2025 – Biz Talk bertema “Pajak Aman, Bisnis Nyaman” pada Senin (17/11/2025) di Nawa Bistro, Solo. Kegiatan ini digelar untuk memperkuat kolaborasi BCA–IKPI sekaligus memberikan pembekalan kepada para nasabah mengenai implementasi Coretax dan persiapan pelaporan SPT Tahunan berbasis sistem baru sebelum tahun 2025 berakhir.

Acara berlangsung pukul 10.30–13.00 WIB dan dihadiri 42 nasabah, baik perorangan maupun perusahaan. Dari IKPI Cabang Surakarta hadir empat Srikandi IKPI: Antin Okfitasari (bendahara), Aulia Kurniawan (Sie Litbang), Natalia Ratih (sekretaris), dan Janny Prabowo (humas). Pada kesempatan tersebut, Antin Okfitasari sekaligus tampil sebagai narasumber dengan materi “Prepare SPT Tahunan Berbasis Coretax”.

Kepala Pengembangan Bisnis BCA KCU Solo, Wahyu Hariatmanto, membuka acara dengan menyampaikan apresiasi kepada para peserta yang hadir. Ia menyebutkan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk komitmen BCA dalam memberikan pendampingan kepada nasabah terkait perubahan besar sistem perpajakan yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025.

Wahyu juga menyampaikan rasa terima kasih kepada IKPI Surakarta yang bersedia menjadi narasumber dan berharap kerja sama ini terus berlanjut, terutama dalam bidang edukasi perpajakan. “Semoga kegiatan ini memberikan pencerahan terkait pelaporan SPT Tahunan melalui aplikasi Coretax yang menggantikan DJP Online,” ujarnya.

Dalam sesi materi, IKPI memaparkan secara detail mengenai apa itu Coretax, fitur-fitur barunya, perbedaan dengan sistem sebelumnya, serta simulasi pelaporan SPT Tahunan Orang Pribadi dan Badan. Penjelasan ini menjadi penting karena Coretax kini menyatukan beberapa modul perpajakan dalam satu sistem terpadu.

Para peserta, yang didominasi pengusaha, menunjukkan antusiasme tinggi. Banyak pertanyaan yang muncul, mulai dari penggabungan NPWP istri dengan suami, cara menonaktifkan NPWP yang tidak digunakan, hingga langkah mengecek apakah seseorang memiliki NPWP aktif atau tidak.

Pada kesempatan itu, BCA menyerahkan vandel kepada IKPI Cabang Surakarta sebagai simbol apresiasi dan kerja sama berkelanjutan. Acara kemudian ditutup dengan makan siang bersama yang menjadi ajang diskusi santai antara peserta dan konsultan pajak.

Kolaborasi ini mempertegas komitmen BCA dan IKPI Surakarta untuk membantu wajib pajak menghadapi era baru perpajakan berbasis Coretax mewujudkan pajak yang aman dan bisnis yang semakin nyaman. (bl)

Singapura Jadi Pelopor Pajak Bahan Bakar Hijau untuk Penumpang Pesawat Mulai 2026

IKPI, Jakarta: Singapura resmi menjadi negara pertama di dunia yang menerapkan pajak bahan bakar hijau atau green fuel levy bagi penumpang pesawat. Kebijakan ini merupakan bagian dari strategi besar negeri tersebut untuk mempercepat dekarbonisasi sektor penerbangan dan berkontribusi pada target emisi global.

Mengutip laporan Independent, Otoritas Penerbangan Sipil Singapura (CAAS) akan memberlakukan biaya bahan bakar penerbangan berkelanjutan (SAF levy) bagi seluruh penumpang yang berangkat dari Singapura mulai 1 Oktober 2026. Adapun mulai 1 April 2026, seluruh tiket, layanan kargo, hingga penerbangan bisnis yang dijual wajib memasukkan komponen biaya ini.

Tarif Berdasarkan Jarak dan Kelas Kabin

Besaran pungutan akan disesuaikan dengan jarak penerbangan dan kelas perjalanan, serta dikelompokkan dalam empat wilayah geografis:

1. Kelompok 1: Asia Tenggara

2. Kelompok 2: Asia Timur Laut, Asia Selatan, Australia, Papua Nugini

3. Kelompok 3: Afrika, Asia Tengah dan Barat, Eropa, Timur Tengah, Kepulauan Pasifik, Selandia Baru

4. Kelompok 4: Amerika

Sebagai gambaran, penumpang kelas ekonomi akan dikenakan biaya:

• S$1 untuk rute Singapura–Bangkok

• S$2,80 untuk Singapura–Tokyo

• S$6,40 untuk Singapura–London

• S$10,40 untuk Singapura–New York

Maskapai diwajibkan mencantumkan komponen biaya ini sebagai baris terpisah pada tiket pesawat yang dijual. Namun, pungutan SAF tidak berlaku bagi penumpang yang hanya transit di Singapura.

Komitmen Menuju Emisi Nol Bersih

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) telah menargetkan emisi karbon nol bersih pada 2050 untuk penerbangan internasional. Singapura menegaskan dukungannya terhadap target tersebut melalui kebijakan SAF levy ini.

Direktur Jenderal CAAS, Han Kok Juan, menyebut kebijakan tersebut sebagai tonggak penting dalam transformasi sektor penerbangan.

“Pengenalan Retribusi SAF menandai langkah signifikan dalam upaya Singapura membangun pusat udara yang lebih berkelanjutan dan kompetitif,” ujarnya.

“Kita perlu memulai. Kita melakukannya secara terukur, dan memberi waktu bagi industri, bisnis, dan publik untuk beradaptasi,” tambahnya.

Dengan langkah ini, Singapura berambisi tidak hanya mengurangi jejak karbon, tetapi juga menjadi contoh global dalam transisi energi bersih untuk sektor penerbangan. (alf)

Dirjen Pajak Kembali Pertegas Strategi Kejar Target Penerimaan Pajak 2026

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, kembali menegaskan strategi besar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam mengejar target penerimaan tahun 2026 yang dipatok mencapai Rp 2.357,7 triliun. Kepastian ini ia sampaikan pada tayangan Tax Time CNBC Indonesia, Selasa (18/11/2025). 

Bimo memastikan bahwa upaya mengejar target tersebut tidak akan dilakukan dengan menambah jenis pajak baru ataupun menaikkan tarif pajak.

“Sesuai arahan Menteri Keuangan, kita tidak akan mengeluarkan kebijakan materi perpajakan baru,” ujar Bimo.

Bimo menyebut strategi pertama adalah memastikan pemulihan daya beli masyarakat agar aktivitas ekonomi kembali bergerak cepat. Pemerintah mendorong percepatan belanja negara serta memanfaatkan dana pemerintah yang sebelumnya mengendap di Bank Indonesia.

Sebanyak Rp 276 triliun ditempatkan ke perbankan untuk disalurkan sebagai kredit produktif—Rp 200 triliun pada September dan tambahan Rp 76 triliun pada November 2025.

“Dampaknya mulai terlihat pada konsumsi, investasi, hingga pertumbuhan ekonomi, yang akhirnya ikut mendongkrak penerimaan perpajakan,” jelasnya.

Insentif perpajakan juga akan disusun lebih terukur agar sektor strategis mampu mempertahankan daya beli dan terus tumbuh.

Strategi kedua adalah memperkuat sistem administrasi perpajakan dengan terus menyempurnakan layanan digital melalui Coretax.

“Coretax kita benahi terus, kita sempurnakan terus,” tegas Bimo.

Digitalisasi diyakini mampu meningkatkan kepatuhan wajib pajak sekaligus efisiensi layanan.

Bangun Kepercayaan Publik, Tegaskan Zero Tolerance terhadap Fraud

Dalam strategi ketiga, DJP berkomitmen memperkuat integritas internal. Bimo menegaskan tidak ada toleransi bagi pegawai pajak yang melakukan penyimpangan.

“Fiskus adalah garda terdepan. Dari 44 ribu pegawai di DJP, kalau ada satu saja yang melakukan fraud, saya tidak akan mentoleransi,” ujar Bimo.

Ia menilai kepercayaan publik adalah pondasi penerimaan negara, sehingga perbaikan tata kelola menjadi kunci.

Strategi keempat adalah mendesain ulang insentif perpajakan agar semakin terarah dan benar-benar menyentuh sektor usaha yang membutuhkan stimulus. Langkah ini diharapkan tidak hanya menjaga iklim usaha, tetapi juga memastikan wajib pajak tetap patuh.

Strategi kelima adalah memperkuat pengawasan kepatuhan material melalui audit, pengujian pembayaran, serta menutup berbagai celah kebocoran pajak, seperti base erosion, tax avoidance, hingga pengalihan aset ke luar negeri.

DJP juga memperkuat kerja sama dengan berbagai lembaga seperti Bea Cukai, DJA, Polri, Kejaksaan Agung, KPK, PPATK, dan BPKP.

“Kolaborasi lintas lembaga akan terus diperkuat untuk menjaga penerimaan negara,” tegas Bimo.

Dengan lima strategi tersebut, DJP optimistis target penerimaan pajak 2026 dapat tercapai tanpa menambah beban masyarakat melalui pajak baru. (alf)

en_US