Insentif Pajak PPh 21 DTP Bakal Diperluas ke Sektor Hotel, Restoran, dan Kafe

IKPI, Jakarta: Karyawan yang bekerja di hotel, restoran, hingga kafe sebentar lagi bisa bernapas lega. Pemerintah tengah menyiapkan perluasan insentif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor horeca (hotel, restoran, dan kafe).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan kebijakan ini masuk dalam paket stimulus ekonomi yang akan digelontorkan pada semester II/2025.

“Perluasan insentif pajak yang sebelumnya hanya berlaku untuk industri padat karya akan kita dorong juga ke sektor lain, khususnya horeka,” ujar Airlangga dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (12/9/2025).

Sejauh ini, insentif PPh 21 DTP baru diberikan kepada pekerja di industri padat karya sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 Tahun 2025. Kebijakan tersebut berlaku untuk masa pajak Januari hingga Desember 2025.

Adapun ketentuan penerima insentif tetap mengacu pada aturan yang berlaku. Pegawai yang berhak mendapat fasilitas ini adalah:

1. Pegawai tetap dengan penghasilan bruto bulanan paling tinggi Rp10 juta.

2. Pegawai tidak tetap dengan rata-rata penghasilan harian maksimal Rp500 ribu.

Pemerintah berharap langkah ini dapat meringankan beban karyawan sektor horeka yang cukup terpukul akibat perlambatan ekonomi global, sekaligus menjaga daya beli masyarakat di tengah upaya pemulihan ekonomi nasional. (alf)

 

 

 

 

Ingin Warisan Bebas PPh? Segera Ajukan SKB ke KPP

IKPI, Jakarta: Banyak masyarakat mengira bahwa harta warisan sepenuhnya bebas pajak. Padahal, aturan perpajakan menegaskan bahwa meski warisan bukan objek Pajak Penghasilan (PPh), masih ada kewajiban lain yang perlu dipenuhi ahli waris, khususnya ketika warisan berupa tanah atau bangunan.

Merujuk Pasal 4 ayat (3) huruf b Undang-Undang PPh, harta warisan memang dikecualikan dari objek pajak. Namun, proses pengalihan hak atas tanah maupun bangunan tetap menimbulkan kewajiban Pajak Penghasilan Final (PPh Final) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB).

PPh Final Bisa Bebas dengan SKB

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016, pengalihan tanah atau bangunan karena warisan sejatinya termasuk objek PPh Final. Meski demikian, Pasal 6 huruf d aturan tersebut membuka peluang pengecualian, selama ahli waris mengajukan dan memperoleh Surat Keterangan Bebas (SKB).

Tata cara pengajuan SKB diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-8/PJ/2025. Permohonan diajukan secara elektronik melalui aplikasi Coretax, pada menu Layanan Administrasi subkategori AS.19-05. Ahli waris juga wajib melampirkan Surat Pernyataan Pembagian Waris sesuai format resmi.

Dirjen Pajak memberikan batas waktu keputusan tiga hari kerja sejak permohonan masuk. Bila tidak ada jawaban hingga tenggat tersebut, permohonan dianggap dikabulkan dan Kepala KPP wajib menerbitkan SKB paling lambat dua hari kerja setelahnya.

BPHTB Tetap Berlaku

Selain PPh Final, ahli waris juga wajib melunasi BPHTB. Tarifnya sebesar 5% dari nilai perolehan dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP). Untuk warisan, NPOPTKP lebih besar dibanding transaksi biasa, yakni minimal Rp300 juta per ahli waris, sementara untuk pengalihan hak lainnya hanya Rp80 juta.

Artinya, meskipun ada keringanan, BPHTB tetap terutang dan tidak bisa dihapuskan sepenuhnya.

Setelah proses perpajakan selesai, ahli waris masih memiliki kewajiban administratif. Tanah atau bangunan warisan yang telah beralih haknya harus dilaporkan pada SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.

Dalam pelaporan, harta warisan masuk ke kolom penghasilan bukan objek pajak, sekaligus dicantumkan dalam daftar harta dengan tahun serta nilai perolehannya. Mulai tahun pajak 2025, seluruh pelaporan dilakukan melalui aplikasi Coretax.

Dengan ketentuan ini, masyarakat diingatkan untuk tidak menganggap warisan otomatis bebas pajak. PPh Final memang bisa dibebaskan lewat SKB, tetapi BPHTB tetap menjadi kewajiban yang harus diselesaikan oleh ahli waris. (alf)

 

Pemerintah Siapkan Perluasan Insentif Pajak Karyawan untuk Dongkrak Konsumsi

IKPI, Jakarta: Pemerintah tengah menyiapkan langkah baru untuk memperkuat daya beli masyarakat melalui perluasan insentif pajak penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah (PPh 21 DTP). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, kebijakan ini masih dalam tahap pembahasan dan segera dilaporkan kepada Presiden Prabowo Subianto.

“Yang sekarang sedang berjalan kan PPh ditanggung pemerintah untuk gaji di bawah Rp10 juta. Mungkin itu kita akan lebarkan industrinya,” ujar Airlangga di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (12/9/2025).

Sejak awal 2025, insentif PPh 21 DTP berlaku berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 10/2025. Namun, penerima manfaat masih terbatas pada buruh di industri padat karya dengan gaji bulanan di bawah Rp10 juta. Rencana terbaru pemerintah akan memperluas cakupan sektor agar lebih banyak karyawan bisa merasakan langsung keringanan pajak.

Airlangga menegaskan, keputusan final mengenai skema perluasan insentif berada di tangan Presiden. “Mudah-mudahan minggu depan bisa kita laporkan ke Pak Presiden,” tambahnya.

Selain insentif pajak karyawan, pemerintah juga menyiapkan berbagai stimulus lain yang akan digelontorkan pada kuartal IV/2025. Program-program ini merupakan kelanjutan dari paket stimulus yang sudah berjalan sejak kuartal III.

Sejumlah kebijakan yang dipersiapkan antara lain:

  1. Kredit investasi padat karya untuk mendukung revitalisasi mesin produksi industri.
  2. Stimulus pariwisata, berupa penyelenggaraan event nasional, bundling paket wisata, serta diskon transportasi menjelang libur Natal dan Tahun Baru.
  3. Dukungan sektor perumahan, melalui peningkatan kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dari 220 ribu menjadi 350 ribu rumah, program Kredit Program Perumahan (KUR), hingga pembebasan PPN DTP 100% untuk pembelian rumah.
  4. Program makan bergizi gratis, yang akan diperluas penerimanya dari 51 juta pada September menjadi 75 juta pada November 2025.

Menurut Airlangga, kombinasi insentif pajak dan stimulus ekonomi lainnya akan menjaga momentum pertumbuhan di tengah perlambatan global. “Semua program ini dirancang untuk menggerakkan ekonomi rakyat secara langsung sambil menjaga konsumsi domestik yang menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi kita,” jelasnya. (alf)

 

 

 

 

Setoran Pajak Juli 2025 Rp 990 Triliun, DJP Klaim Efisiensi Kian Membaik

IKPI, Jakarta: Penerimaan pajak hingga Juli 2025 tercatat Rp 990,01 triliun secara neto atau baru 45,2% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) senilai Rp 2.189,3 triliun. Angka ini disampaikan Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Rabu (10/9/2025).

Menurut Bimo, setoran pajak secara bruto sebenarnya sudah mencapai Rp 1.269,44 triliun. Namun, tingginya restitusi membuat angka netonya hanya tersisa Rp 990,01 triliun. “Karena restitusi cukup tinggi itu Rp 990,01 triliun,” ujar Bimo.

Rinciannya, penerimaan dari PPh badan mencapai Rp 174,47 triliun atau 47,2% dari target, namun turun 9,1% dibanding periode sama tahun lalu. Sementara PPh Orang Pribadi tumbuh signifikan 37,7% menjadi Rp 14,98 triliun, nyaris menyentuh 100% target APBN.

Kontributor terbesar tetap berasal dari PPN dan PPnBM yang mencapai Rp 350,62 triliun secara neto, meski terkontraksi 12,8% atau baru 37,1% dari target. Adapun Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) mencatatkan kinerja impresif dengan setoran Rp 12,53 triliun, melonjak 129,7% year-on-year.

Bimo menegaskan, meski menghadapi kondisi ekonomi yang penuh tantangan, tren penerimaan pajak sejak Mei hingga Agustus 2025 masih menunjukkan pertumbuhan positif. “Konsistensi tumbuh positif sejak Mei, kemudian Juni, Juli dan ke Agustus slightly positif meski kondisi cukup sulit,” ucapnya.

Efisiensi Pemungutan Pajak

Selain capaian penerimaan, Bimo menyoroti efisiensi kinerja Ditjen Pajak yang tercermin dari menurunnya rasio biaya pemungutan pajak (cost of tax collection). Pada 2025, rasio ini hanya sebesar 0,89%, dengan target penerimaan Rp 2.189 triliun dan anggaran DJP Rp 19,47 triliun.

Sebagai perbandingan, tahun lalu rasionya masih 1,08% dengan penerimaan Rp 1.969 triliun dan anggaran Rp 21,26 triliun. “Gap antara anggaran DJP dengan penerimaan itu consistently turun sekitar 0,43% selama lima tahun terakhir. Harapannya tren ini terus berlanjut di 2026,” tutur Bimo.

Jika dibandingkan regional, efisiensi Indonesia lebih baik ketimbang Filipina (2%), India (1,5%), dan Tiongkok (1%), meski masih di atas Malaysia (0,8%), Australia (0,5%), dan Amerika Serikat (0,4%). “Cost of tax collection ratio kita termasuk yang terendah di Asia,” tegas Bimo. (alf)

 

Indonesia Belum Jalankan Global Minimum Tax, Ini Kata Dirjen Pajak

IKPI, Jakarta: Pemerintah Indonesia hingga kini belum sepenuhnya menerapkan skema pajak minimum global atau Global Minimum Tax (GMT), meskipun payung hukum sudah tersedia lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024. Aturan tersebut mulai berlaku untuk tahun pajak 2025, namun implementasinya masih menyesuaikan perkembangan global.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menegaskan bahwa penerapan GMT menjadi prioritas sebelum pemerintah meluncurkan skema insentif baru pengganti fasilitas tax holiday.

“GMT-nya kita terapkan dulu,” ujar Bimo ketika ditemui di kawasan Gedung DPR, Jakarta, Kamis (11/9/2025).

Pernyataan senada juga disampaikan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso. Ia menekankan bahwa meski regulasi sudah tersedia, pelaksanaan GMT dengan tarif minimum 15 persen masih perlu menunggu kepastian dari tren global.

“Kita sedang diskusi dengan Kemenkeu karena sudah ada PMK-nya. Tapi sama dengan negara lain, pemberlakuannya masih dipertimbangkan lagi. Negara-negara lain juga belum semua menerapkan,” ucapnya.

Bagian dari Kesepakatan Global

GMT merupakan bagian dari kesepakatan Pilar Dua yang diinisiasi G20 dan dikoordinasikan OECD, serta telah didukung lebih dari 140 negara. Hingga kini, lebih dari 40 negara telah mengadopsi kebijakan tersebut, dengan mayoritas memulai pada 2025.

Kebijakan ini bertujuan menekan praktik perlombaan menurunkan tarif pajak (race to the bottom) dengan memastikan perusahaan multinasional beromzet konsolidasi global minimal 750 juta Euro tetap membayar pajak minimum 15 persen di setiap negara tempat mereka beroperasi.

Ketentuan ini tidak berlaku untuk wajib pajak orang pribadi maupun UMKM, melainkan hanya untuk kelompok usaha berskala besar lintas negara.

Dalam aturan yang berlaku di Indonesia, perusahaan multinasional yang berada dalam cakupan GMT akan dikenakan pajak tambahan (top up) bila tarif efektif yang dibayar kurang dari 15 persen. Untuk tahun pajak 2025, pembayaran tambahan harus dilunasi paling lambat 31 Desember 2026.

Sementara itu, pelaporan pajak diberikan tenggat 15 bulan setelah berakhirnya tahun pajak. Khusus tahun pertama, pemerintah memberi kelonggaran menjadi 18 bulan. Dengan begitu, pelaporan pertama untuk tahun pajak 2025 dijadwalkan paling lambat 30 Juni 2027.

Meski menerapkan GMT, pemerintah menegaskan tetap memperhatikan daya saing investasi di dalam negeri. Menurut Bimo, sektor-sektor yang menjadi motor pertumbuhan ekonomi akan tetap dijaga melalui pemberian insentif yang lebih terarah dan terukur. (alf)

 

IKPI Makassar Bersama DPW ALFI/ILFA Sulselbar Kolaborasi Gelar Edukasi Akuntansi dan Perpajakan 

IKPI, Makassar: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Makassar menunjukkan komitmennya dalam memperkuat literasi perpajakan dengan menggelar pelatihan akuntansi dan perpajakan untuk anggota serta staf pengusaha Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI/ILFA) wilayah Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar).

Kegiatan berlangsung di Ruang Rapat Akhlak, lantai 7 Kantor Pelindo Regional IV, Jalan Soekarno, Makassar, selama tiga hari, Selasa–Kamis (9–11 September 2025) dibuka oleh ketua DPW ALFI/ILFA Sulselbar H. Yodi Nalendra, Pelatihan ini dirancang untuk menjawab kebutuhan praktis para pelaku usaha logistik, khususnya Jasa Pengurusan Transportasi (JPT) yang sebelumnya dikenal sebagai EMKL, dalam menyusun laporan keuangan dan mengatasi persoalan perpajakan yang kerap mereka hadapi.

Tiga narasumber dihadirkan secara bergantian. Hari pertama, Dr. Suwandi, membawakan materi Akuntansi dan Laporan Keuangan Usaha JPT. Hari kedua, Ezra Palisungan, menyampaikan Aspek Perpajakan Usaha JPT. Untuk hari ketiga ditutup oleh Yohanes Setiawan, dengan materi Pelaporan Pajak serta Update Coretax terkini.

Sebanyak 52 peserta mengikuti rangkaian kegiatan ini, terdiri atas 50 peserta dari Makassar dan dua peserta dari Merauke, Papua. Antusiasme terlihat dari keaktifan peserta dalam menyampaikan pertanyaan, mengingat materi yang dibahas sangat relevan dengan tantangan yang mereka hadapi sehari-hari. Mereka juga memberikan apresiasi kepada IKPI dan ALFI /ILFA Sulselbar serta berharap pelatihan serupa bisa digelar secara berkelanjutan.

Ketua IKPI Cabang Makassar, Ezra Palisungan, menegaskan pentingnya kolaborasi dalam meningkatkan kepatuhan pajak di sektor logistik. “Kegiatan ini merupakan bukti komitmen kami untuk terus mendukung pemerintah, khususnya otoritas pajak di daerah, dalam memberikan edukasi perpajakan kepada masyarakat. Dengan adanya edukasi ini, kami berharap kepatuhan pajak di sektor JPT semakin meningkat,” ujarnya.

Ezra juga menambahkan, ke depan IKPI Makassar berencana memperluas program serupa dengan menggandeng asosiasi pengusaha lain di Kota Makassar, sehingga manfaat edukasi dapat dirasakan lebih luas oleh pelaku usaha di berbagai sektor.

Pemerintah Siapkan Skema Insentif Baru Gantikan Tax Holiday

IKPI, Jakarta: Penerapan pajak minimum global (global minimum tax/GMT) mendorong pemerintah menata ulang strategi insentif fiskal bagi dunia usaha. Fasilitas tax holiday yang selama ini menjadi andalan akan digantikan dengan skema baru agar tetap mampu menjaga iklim investasi Indonesia di tengah persaingan global.

Direktur Strategi Perpajakan Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF) Kementerian Keuangan, Pande Putu Oka Kusumawardani, mengungkapkan saat ini pemerintah tengah menyusun daftar insentif pengganti tax holiday dengan menyesuaikan tren yang berlaku di banyak negara.

“Masih berproses, karena kita juga perlu melihat kebutuhan ekonomi dalam negeri sekaligus perkembangan global. Kalau pola insentif di negara lain cocok untuk diterapkan di Indonesia, tentu bisa diadaptasi,” ujar Oka di kompleks DPR, Kamis (11/9/2025).

Oka menambahkan, pembahasan masih berjalan dan bentuk final insentif pengganti tax holiday belum diputuskan. Pemerintah ingin memastikan skema baru tersebut tetap relevan, efektif, dan tidak bertentangan dengan komitmen internasional terkait GMT.

Sementara itu, Kementerian Investasi/BKPM sebelumnya menilai insentif nonfiskal akan menjadi salah satu opsi utama. Langkah ini dinilai penting untuk tetap menarik minat investor meski pembebasan pajak penuh tak lagi bisa diberikan. Selain itu, sejumlah insentif yang sudah ada akan diperkuat agar bisa menggantikan peran tax holiday.

“Artinya akan ada beberapa pakem yang memang sudah diadopsi negara lain. Kita sedang mempelajari model-model itu dan menyesuaikan dengan kondisi Indonesia,” jelas Oka.

Seperti diketahui, pemerintah masih memperpanjang fasilitas tax holiday hingga Desember 2025, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69 Tahun 2024. Namun, pemberian insentif kini lebih selektif dengan kriteria tertentu, seiring berlakunya aturan GMT yang mewajibkan tarif pajak minimum global sebesar 15%. (alf)

 

DJP Jelaskan Alasan Leony Kena Pajak Warisan Puluhan Juta

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menjelaskan alasan di balik beban pajak yang dialami artis Leony Vitria Hartanti, eks personel Trio Kwek Kwek, saat mengurus balik nama rumah warisan sang ayah.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Rosmauli, mengatakan aturan mengenai pajak warisan sudah diatur jelas dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh). Beban pajak bisa muncul ketika warisan berupa tanah atau bangunan dialihkan kepemilikannya kepada ahli waris.

“Jika rumah atau tanah warisan dibagikan dan ahli waris melakukan balik nama sertifikat, maka akan timbul kewajiban PPh Final. Tarifnya 2,5 persen dari nilai pengalihan, kecuali untuk rumah sederhana atau rumah susun sederhana yang dikenakan 1 persen,” kata Rosmauli, Kamis (11/9/2025).

Ia menambahkan, aturan tersebut mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016. Namun, ahli waris dapat mengajukan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Final sebagaimana diatur dalam PER-8/PJ/2023, sehingga tidak perlu membayar pajak tersebut.

Selain itu, Rosmauli menekankan bahwa proses balik nama juga menimbulkan kewajiban Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang dikelola pemerintah daerah, sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD).

Keluhan Leony

Leony sebelumnya curhat di Instagram bahwa ia harus membayar pajak hingga puluhan juta rupiah saat mengurus balik nama rumah ayahnya yang meninggal pada 2021.

“Kalau mau ganti nama rumah bokap ke nama gue, ternyata kena pajak waris 2,5 persen dari nilai rumah. Which is gue harus keluar duit puluhan juta lagi cuma buat balik nama doang,” ujar Leony.

Ungkapan kekecewaannya mendapat banyak simpati warganet. Tak sedikit netizen yang mengaku mengalami pengalaman serupa ketika mengurus warisan keluarga.(alf)

 

 

 

 

Kepada DPR Menkeu Purbaya Sampaikan Penyebab Demo Agustus: Ada Salah Urus Fiskal dan Moneter

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyinggung kesalahan kebijakan fiskal dan moneter sebagai penyebab utama demonstrasi besar yang terjadi pada akhir Agustus lalu. Ia menyebut tekanan ekonomi yang dirasakan masyarakat bukan semata akibat faktor global, melainkan buah dari langkah pemerintah yang keliru dalam mengelola likuiditas.

Dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI pada Rabu (10/9/2025), Purbaya menjelaskan bahwa aliran uang di dalam negeri sempat kering karena anggaran negara lebih banyak ditahan ketimbang dibelanjakan. Dana APBN, menurutnya, justru menumpuk di Bank Indonesia melalui pos Saldo Anggaran Lebih (SAL) maupun Sisa Lebih Pembayaran Anggaran (SiLPA), sehingga peredaran uang ke masyarakat tersendat.

Ia mengingat kembali pengalaman masa pandemi Covid-19. Saat itu, pemerintah berhasil memulihkan ekonomi hanya karena berani menggelontorkan dana ratusan triliun langsung ke perbankan. “Begitu uang Rp300 triliun masuk ke sistem, pertumbuhan uang melonjak dan ekonomi cepat kembali ke jalur positif,” ungkapnya.

Namun, momentum pemulihan itu tidak berlanjut. Sejak pertengahan 2023, kebijakan moneter dan fiskal justru kembali mengetat. Pertumbuhan uang primer merosot hingga nyaris nol pada 2024, membuat aktivitas sektor riil tertekan, konsumsi melemah, dan publik kehilangan optimisme.

“Yang terjadi kemudian adalah narasi suram tentang masa depan ekonomi Indonesia, padahal persoalannya lebih banyak datang dari kebijakan domestik, bukan semata-mata tekanan global,” jelasnya.

Purbaya mengaku sempat optimistis awal 2025 ketika pertumbuhan likuiditas meningkat hingga 7% pada April. Namun, pada bulan-bulan berikutnya tren kembali menurun, memperlihatkan betapa kebijakan fiskal dan moneter masih belum selaras.

Ia menilai kombinasi suku bunga tinggi, penarikan pajak yang agresif, serta keterlambatan belanja pemerintah hanya memperparah kondisi.

“Kalau pajak ditarik tapi anggaran tidak segera dibelanjakan, otomatis uang tertahan di bank sentral. Sistem jadi kering, dunia usaha makin sulit bergerak,” tegas Purbaya. (alf)

 

Menkeu Purbaya Tanggapi Usulan Kenaikan PTKP Rp 7,5 Juta

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menanggapi wacana kenaikan ambang batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang disebut-sebut bakal naik menjadi Rp 7,5 juta per bulan.

Purbaya menegaskan hingga kini dirinya belum menerima laporan resmi mengenai usulan tersebut. “Kami belum bicarakan masalah itu. Kalau ada masukan ke tim kami di Kemenkeu tentu bisa didiskusikan. Hanya saja karena saya baru menjabat, belum semua laporan masuk ke saya. Nanti saya lihat seperti apa,” ujar Purbaya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (10/9/2025).

Saat ditanya lebih jauh apakah pemerintah akan memberi perhatian khusus, ia hanya menjawab singkat, “Belum tahu, nanti kita lihat.”

Adapun usulan kenaikan PTKP sebelumnya disampaikan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal. Ia menilai batas PTKP sebesar Rp 4,5 juta per bulan sudah tidak sesuai dengan kondisi biaya hidup saat ini, sehingga perlu dinaikkan menjadi Rp 7,5 juta per bulan demi meringankan beban pajak pekerja sekaligus meningkatkan daya beli masyarakat. (alf)

 

 

 

 

en_US