Sri Mulyani Percayakan Aktivis Kampus Jabat Sesditjen Pajak

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan resmi mengangkat Sigit sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak (Sesditjen Pajak). Penunjukan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ini mempertegas pentingnya sosok berintegritas dan berwawasan hukum dalam mengawal transformasi otoritas pajak di tengah tantangan reformasi yang belum selesai.

Sigit bukan nama baru di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sebelum menjabat Sesditjen, ia dipercaya memimpin Kanwil DJP Jawa Timur I dan pernah menduduki berbagai posisi penting, termasuk sebagai Kepala Subdirektorat Bantuan Hukum DJP. Namun, tak banyak yang tahu bahwa pria kelahiran Yogyakarta, 7 April 1976 ini memulai kiprah publiknya sebagai aktivis kampus pada masa reformasi 1998.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) ini dikenal aktif di organisasi mahasiswa dan pernah menjadi Koordinator Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Yogyakarta. Ia mengaku sempat turun ke jalan saat reformasi bergulir. “Saya ingin memperjuangkan perubahan lewat jalur legal dan institusional,” kenangnya dalam sebuah podcast bersama Hermanto Tanoko, pengusaha asal Surabaya.

Sigit bergabung dengan Kementerian Keuangan sejak tahun 2002 atas dorongan ibunya. Ia kemudian mendapatkan beasiswa dari pemerintah Prancis untuk menempuh studi perpajakan di dua kampus ternama: Sorbonne University dan Université Paris Dauphine. Bekal akademik internasional inilah yang memperkuat perspektif dan kapasitasnya dalam membenahi sistem perpajakan nasional.

Salah satu pengalaman yang membekas dalam kariernya adalah ketika DJP dilanda krisis kepercayaan akibat kasus Gayus Tambunan. Sigit menyebut masa itu sebagai titik refleksi penting. “Waktu itu kalau naik metromini ke kantor, orang langsung bilang ‘Gayus turun’. Saya sedih sekali,” katanya.

Rasa malu sebagai pegawai pajak justru menjadi dorongan bagi Sigit untuk tampil sebagai bagian dari solusi.

Pada 2019, ia bahkan diminta mencalonkan diri sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Saya ingin buktikan bahwa dari DJP, ada juga orang yang mampu dan mau berjuang dalam pemberantasan korupsi,” ujarnya.

Sigit lalu terlibat dalam tim Staf Khusus Presiden untuk reformasi perpajakan pasca-skandal Gayus, yang dipimpin oleh Dirjen Pajak saat itu, Mochammad Tjiptardjo. Ia ikut merumuskan awal mula Stranas PPK (Strategi Nasional Pencegahan Korupsi) dan sempat ditarik ke UKP4, lembaga pengawasan pembangunan yang dipimpin Kuntoro Mangkusubroto.

Tak hanya di bidang pajak, Sigit juga pernah menjadi bagian dari Satgas Anti Mafia Hukum dan ikut mendorong pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Totalitasnya membuat ia kerap dijuluki sebagai birokrat lintas dimensi: ahli hukum, praktisi perpajakan, sekaligus reformis sistemik.

Laporan harta kekayaannya terakhir pada 27 Februari 2023 menunjukkan total kekayaan sebesar Rp 3,5 miliar, nilai yang tergolong wajar dan transparan bagi pejabat eselon tinggi di Kementerian Keuangan.

“Pajak itu dinamis. Aturan berubah, bisnis berubah, dunia berubah. Kalau sistem kita statis, kita akan tertinggal,” kata Sigit. Kini, di kursi Sekretaris Ditjen Pajak, ia memikul tanggung jawab besar: memastikan roda birokrasi perpajakan berjalan bersih, efisien, dan adaptif terhadap zaman.

Tak kalah penting, Sigit juga sangat mendorong lahirnya Undang-Undang (UU) Konsultan Pajak. Menurutnya, keberadaan UU tersebut sudah sangat dibutuhkan untuk memberikan kepastian hukum guna melindungi wajib pajak dan konsultan pajak. (bl)

PER-9/PJ/2025: Upaya Tegas DJP Menangkal Faktur Pajak Fiktif

Pada 22 Mei 2025 Direkrorat Jenderal Pajak menerbitkan aturan baru yaitu  PER 09 2025 yang mengatur tentang Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-9/PJ/2025 tentang Penonaktifan Akses Pembuatan Faktur Pajak dalam Rangka Penanganan terhadap Kegiatan Penerbitan dan/atau Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah.

Peraturan ini menjadi tonggak penting dalam upaya pemberantasan praktik penerbitan dan penggunaan faktur pajak tidak sah yang selama ini menyebabkan kebocoran penerimaan negara.

Latar Belakang Dikeluarkannya PER-9/PJ/2025

Faktur pajak merupakan dokumen penting dalam administrasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun, dalam praktiknya, ditemukan banyak penyalahgunaan, seperti penerbitan faktur fiktif (tidak berdasarkan transaksi sebenarnya) atau faktur yang dikeluarkan oleh pihak yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Kondisi ini tidak hanya mencederai sistem perpajakan, tetapi juga menimbulkan kerugian nyata bagi negara. Oleh karena itu,

DJP mengambil langkah strategis dengan memberikan kewenangan kepada dirinya untuk menonaktifkan akses pembuatan faktur pajak bagi Wajib Pajak yang terindikasi melakukan penyimpangan.

Apa Saja yang Diatur dalam PER-9/PJ/2025?

1.       Penonaktifan Akses Pembuatan Faktur Pajak, DJP berwenang menonaktifkan akses pembuatan faktur pajak terhadap:

a.       Wajib Pajak Terindikasi Penerbit: Diduga menerbitkan faktur pajak tidak sah.

b.      Wajib Pajak Terindikasi Pengguna: Diduga mengkreditkan pajak masukan dari faktur pajak tidak sah.

Penonaktifan dilakukan berdasarkan hasil kegiatan intelijen perpajakan oleh petugas yang berwenang.

2.      Kriteria Penonaktifan

Penilaian dilakukan berdasarkan dua hal:

a.       Keberadaan dan kewajaran lokasi usaha

b.       Kesesuaian kegiatan usaha

Jika lokasi usaha tidak jelas atau aktivitas usaha tidak sesuai dengan profil yang dilaporkan, DJP dapat menonaktifkan akses faktur pajak secara elektronik. Untuk pengguna faktur, penilaian difokuskan pada penggunaan faktur pajak yang tidak sah dalam pelaporan PPN.

3.       Pemberitahuan dan Hak Klarifikasi, Setiap Wajib Pajak yang dinonaktifkan akan menerima pemberitahuan resmi dari DJP. Mereka tetap diberikan hak untuk melakukan klarifikasi, dengan ketentuan:

a.       Klarifikasi disampaikan langsung ke Kantor Wilayah DJP (tidak dapat dikuasakan).

b.       Wajib disertai dokumen pendukung, seperti: Identitas Wajib Pajak dan dokumen usaha, Surat keterangan domisili usaha, Rekening koran, bukti transaksi, Foto lokasi usaha dan daftar supplier.

4.       Keputusan DJP atas Klarifikasi

a.       DJP wajib memberikan keputusan dalam waktu 30 hari sejak dokumen klarifikasi diterima.

b.      Jika klarifikasi diterima, akses pembuatan faktur akan diaktifkan kembali.

c.       Jika ditolak, atau tidak ada klarifikasi dalam 30 hari, maka: Pengukuhan sebagai PKP akan dicabut secara jabatan. Namun, jika tidak ada keputusan setelah 30 hari, klarifikasi dianggap dikabulkan secara otomatis.

5.       Penyesuaian dengan Aturan Lama

Bagi Wajib Pajak yang sebelumnya sudah berstatus “Suspend”, penyelesaiannya tetap mengacu pada aturan lama, yakni PER-19/PJ/2017 sebagaimana diubah dengan PER-16/PJ/2018. Namun, kedua peraturan lama ini kini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku setelah berlakunya PER-9/PJ/2025.

Kesimpulan

Pentingnya Kepatuhan dan Transparansi, PER-9/PJ/2025 memberikan sinyal kuat bahwa DJP akan semakin tegas terhadap praktik perpajakan yang tidak sesuai aturan. Bagi pelaku usaha, penting untuk menjaga dokumen usaha tetap tertib dan hanya melakukan transaksi yang sah. Langkah preventif seperti ini bertujuan bukan hanya untuk meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga menciptakan sistem perpajakan yang adil, transparan, dan akuntabel.

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Kota Tangerang

Ratri Widiyanti 

Email: ratri.widiyanti@midplaza.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

Rasio Pajak: Cermin Relasi Negara dan Ekonomi 

Artikel (1)

Pajak bukan sekadar kewajiban, melainkan denyut nadi bagi pembangunan. Melalui pajak, negara membiayai pendidikan, kesehatan, infrastruktur, hingga perlindungan sosial. Namun, untuk memahami seberapa besar peran pajak dalam perekonomian, kita perlu melihat rasio pajak sebagai alat ukur yang sangat penting.

Rasio pajak merupakan perbandingan antara total penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) dalam periode yang sama. Angka ini bukan hanya statistik di atas kertas, melainkan potret tentang bagaimana negara mengelola sumber daya ekonomi, seberapa efektif sistem perpajakannya, dan seberapa kuat hubungan kepercayaan antara pemerintah dan rakyat. Semakin tinggi rasio pajak, umumnya menunjukkan bahwa sistem perpajakan berjalan dengan baik, perekonomian tumbuh, dan masyarakat memiliki kemampuan membayar yang lebih baik.

Di sisi lain, rasio pajak yang stagnan atau rendah bisa menjadi tanda bahwa masih banyak potensi ekonomi yang belum tergarap secara optimal, atau bahwa sistem perpajakan belum menjangkau secara luas.

Untuk memahami lebih jauh, kita juga harus memahami PDB. Produk Domestik Bruto (PDB) adalah total nilai semua barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh suatu negara dalam satu periode.

PDB mencerminkan kekuatan ekonomi, pertumbuhan, daya saing, dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Bahkan, PDB menjadi landasan utama dalam pengambilan kebijakan ekonomi nasional. Salah satu cara meningkatkan PDB adalah melalui ekspor, yang memperkuat posisi negara dalam perdagangan global.

Dalam menghitung rasio pajak, ada dua pendekatan umum: sempit dan luas. Dalam arti sempit, yang dihitung hanyalah penerimaan pajak dari pemerintah pusat seperti PPh, PPN, PPnBM, dan PBB. Sementara itu, dalam arti luas, perhitungan juga mencakup penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor sumber daya alam seperti migas dan minerba.

Lembaga internasional pun punya pendekatan berbeda. IMF memasukkan pajak pusat, daerah, dan penerimaan SDA. Sedangkan OECD menambahkan kontribusi jaminan sosial ke dalam rumusnya.

Ketiga pendekatan, yaitu: Production Approach, Income Approach, dan Expenditure Approach (akan dibahas pada artikel ke-2).

Sementara itu, PDB sendiri dapat dihitung dengan tiga pendekatan utama: produksi, pendapatan, dan pengeluaran. Pendekatan produksi menghitung nilai tambah dari setiap sektor industri.

Pendekatan pendapatan menghitung seluruh imbalan yang diterima oleh faktor-faktor produksi. Sedangkan pendekatan pengeluaran menjumlahkan seluruh pengeluaran konsumsi rumah tangga, investasi, belanja pemerintah, dan selisih ekspor-impor.

Semua ini menunjukkan bahwa rasio pajak bukan hanya tentang angka yang dibagi dengan angka lain. Ia merupakan refleksi dari banyak elemen struktur ekonomi, cakupan sistem perpajakan, potensi fiskal, dan efektivitas kebijakan pemerintah.

Penulis adalah anggota IKPI dan Dosen Program S1 & S2,

Dr. H. JALIDIN Koderi, SE, MM, BKP
Email: koderij@yahoo.co.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

 

Gugatan di Pengadilan Pajak dalam perspektif Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2024

Sehubungan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.2 Tahun 2024 Tentang Pemberlakuan Hasil Rumusan Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan yang ditetapkan tanggal 17 Desember 2024 yang salah satu tujuannya untuk menjaga kesatuan penerapan hukum dan konsistensi keputusan.

Pada lampiran di bagian E Hasil Rumusan Kamar Tata Usaha Negara di poin nomor 4 Sengketa Pajak huruf b “ Upaya Hukum bagi Wajib Pajak yang Tidak Puas Terhadap Materi/Isi Ketetapan Jumlah Pajak “ disebutkan ………………………

Upaya hukum bagi wajib pajak yang tidak puas terhadap isi/materi ketetapan jumlah pajak adalah melalui keberatan/banding berdasarkan Pasal 25 jo Pasal 27 UU KUP . Pemeriksaan tentang kewenangan, prosedur dan/atau pelaksanaan penerbitan putusan atau ketetapan pajak dan semua keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 diajukan melalui gugatan berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP

Perlu diketahui bahwa pengajuan gugatan khusus yang menyangkut penerbitan putusan atau ketetapan pajak yang tidak sesuai prosedur sudah diatur berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf d jo Pasal 36 ayat (1) huruf d UU KUP, misalnya untuk penerbitan SKP ataupun Surat Keberatan yang tidak sesuai prosedur.

Dalam SEMA No.2 Tahun 2024 ini lebih menekankan pada pengajuan gugatan atas Surat Keputusan Pajak (SKP) yang mengandung ketidakpuasan isi/materi berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 ayat (2) huruf b UU KUP supaya terdapat suatu pedoman bagi para Majelis dalam memutus suatu perkara gugatan di Pengadilan Pajak.

Penegasan kepada Majelis Hakim di Pengadilan Pajak diatas dapat dimaknai bahwa sejak SEMA ini ditetapkan maka hasil putusan atas setiap gugatan terhadap SKP berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 (1) huruf b UU KUP yang mengandung materi (diluar prosedur penerbitan) akan ditolak.

Sebelumya dapat ditemukan banyak putusan Pengadilan terkait gugatan berdasarkann Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 ayat (1) huruf b yang mengandung isi/ materi telah dikabulkan Majelis, sehingga praktis putusan yang diucapkan setelah SEMA ini ditetapkan akan menolak semua gugatan terhadap Surat Ketetapan Pajak yang mengandung materi.

Selanjutnya timbul pertanyaan, akankah kedepannya berimplikasi atas gugatan terhadap Surat Keputusan Pembetulan berdasarkann Pasal 16 ayat (1) UU KUP yang mengandung materi (sengketa) tersebut ? Sebagaimana diketahui terdapat beberapa putusan atas gugatan terhadap Surat Keputusan Pembetulan yang mengandung materi (sengketa) dibahas materinya oleh Majelis, bahkan ada yang dikabulkan.

Lalu bagaimana halnya apabila gugatan dilakukan terhadap keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan (misal STP) berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 (1) huruf a, huruf c UU KUP terkait pengurangan/ penghapusan sangsi administrasi dan pengurangan/ pembatalan STP apakah juga berimplikasi sehubungan ditetapkannya SEMA No.2 Tahun 2024 ini, seperti apa implikasinya ?

Mengacu pada Pasal 23 ayat (2) huruf c UU KUP yang menjadi dasar dilakukan gugatan apabila timbulnya dua keputusan yaitu keputusan perpajakan dan keputusan pelaksanaan keputusan perpajakan, lalu UU Pengaadilan Pajak dan Surat Edaran Ketua Pengadilan Pajak Nomor SE-07/PP/2018 , Pengadilan Pajak hanya berwenang untuk memeriksa prosedur penerbitan Surat Keputusan, bukan materi atau isi SKP. Pengadilan Pajak memastikan seluruh prosedur pemeriksaan telah dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan

Pasal 36 ayat (1) Huruf b UU KUP memberikan kewenangan diskresioner kepada Direktur Jenderal Pajak untuk mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar. Kata “dapat” dalam pasal tersebut menunjukkan kewenangan diskresioner tersebut. Kewenangan ini juga didukung oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;

Berdasarkan UU Pengadilan Pajak, telah ditentukan perbedaan yang tegas antara upaya hukum banding dan gugatan. Banding merupakan upaya hukum yang diajukan terhadap Keputusan Keberatan atau keputusan lain yang dapat diajukan banding sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perpajakan. Adapun gugatan adalah upaya hukum yang diajukan terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan tertentu yang secara eksplisit dapat digugat berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan;

Berdasarkan UU Pengadilan Pajak dan UU KUP, banding merupakan upaya hukum utama yang ditujukan untuk menyelesaikan perselisihan materi atas ketetapan pajak. Dengan kata lain, jika Wajib Pajak tidak setuju atas jumlah, dasar pengenaan, atau kewajiban perpajakan yang ditetapkan dalam SKPN, saluran yang semestinya digunakan adalah melalui pengajuan keberatan terlebih dahulu, dan apabila tidak puas terhadap keputusan keberatan tersebut, barulah diajukan banding ke Pengadilan Pajak;

Gugatan menurut Pasal 23 ayat (2) UU KUP dan UU Pengadilan Pajak pada prinsipnya diperuntukkan bagi pengujian atas prosedur penerbitan keputusan tertentu, tindakan penagihan, atau keputusan lain yang dapat digugat secara administrasi, bukan untuk menilai ulang substansi atau materi pokok suatu ketetapan pajak. Dengan demikian, Gugatan tidak diperuntukkan untuk membahas materi utang pajak atau SKP secara substansial;

Proses hukum pajak mengutamakan kepastian hukum dan kemanfaatan. UU Pengadilan Pajak menekankan penyelesaian sengketa pajak secara cepat, sederhana, efisien, dan memiliki kekuatan hukum tetap. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengaturan mengenai batas waktu pengajuan Banding (3 bulan) dan Gugatan (30 hari atau 14 hari) telah ditetapkan secara tegas, termasuk pengaturan kewenangan dan ruang lingkup masing-masing upaya hukum;

bahwa dengan membiarkan materi sengketa pajak dibawa ke ranah Gugatan, maka kepastian hukum akan terganggu. Gugatan yang pada dasarnya ditujukan untuk memeriksa prosedur akan berubah menjadi forum untuk menguji materi ketetapan pajak, mengacaukan sistem penanganan sengketa pajak yang telah diatur dengan rinci. Hal ini dapat menyebabkan sengketa berlarut-larut, mengaburkan fungsi utama banding, serta menghambat kepastian dan kelancaran penerimaan negara;

Menimbang bahwa penyelesaian materi melalui Gugatan akan berakibat pada tereduksinya fungsi dan nilai upaya hukum keberatan dan banding. Banding telah ditentukan sebagai upaya hukum utama untuk menyelesaikan perselisihan materi, karena di dalam proses banding terdapat jangka waktu dan prosedur yang memungkinkan materi ketetapan pajak dipertimbangkan secara komprehensif. Sedangkan Gugatan dengan jangka waktu dan lingkup yang terbatas, serta tidak adanya penangguhan jatuh tempo utang pajak, tidak dirancang untuk menyelesaikan sengketa materi;

bahwa selain itu, sistem pajak menganut self assessment, di mana tanggung jawab penghitungan dan pembayaran pajak berada pada Wajib Pajak, dan koreksi yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak menjadi objek utama penyelesaian melalui keberatan dan banding. Apabila materi ini dibawa ke jalur Gugatan, maka upaya hukum yang telah dirancang dalam sistem hukum pajak untuk menjaga keseimbangan dan kepastian akan terganggu;

tujuan pembedaan upaya hukum gugatan dan banding telah dinyatakan Pasal 36 ayat (1) Huruf b UU KUP yang memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk mengurangkan atau membatalkan suatu surat ketetapan pajak yang tidak benar, sehingga Pengadilan Pajak tidak dapat melakukan pemeriksaan atas materi pajak dalam upaya hukum Gugatan;

Majelis hanya memastikan sepanjang pihak Tergugat sudah menyelenggarakan proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan maka tidak terdapat cacat prosedur yang dapat dibebankan kepada Tergugat. Di sisi lainm perlunya bukti kuat dari Penggugat untuk mendukung dalilnya apabila ditengarai adanya prosedur penerbitan yang dilanggar , tidak sesuai dengan ketentuang perundang-undangan perpajakan.

Dalam hal Penggugat tidak melakukan upaya hukum keberatan untuk menyatakan ketidaksetujuannya atas materi koreksi suatu SKP, Majelis dapat menilai tidak dilakukannya upaya hukum dalam jangka waktu tersebut menunjukkan persetujuan Penggugat atas Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan Tergugat;

Lalu bagaimana kedudukan Surat Edaran (SE) dalam hierarki peraturan perundang-undangan? Surat Edaran adalah naskah dinas, tidak dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, dan hanya memuat pemberitahuan tentang hal tertentu yang dianggap mendesak.

Surat Edaran tidak juga dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, bukan merupakan suatu norma hukum sebagaimana norma dari suatu peraturan perundang-undangan. Sehingga SEMA ini tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir peraturan Mahkamah Agung, apalagi peraturan berhierarki lainnya.

SEMA ini merupakan pedoman bagi Majelis Hakim di Pengadilan Pajak untuk memperjelas makna dari kebijakan yang dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan perpajakan diatas, SEMA ini tentunya tidak memiliki unsur sanksi apabila tidak diterapkan oleh Majelis.

Sepengetahuan penulis putusan-putusan sehubungan gugatan berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 ayat (1) huruf b yang diucap semenjak SEMA ini ditetapkan, sudah menolak gugatan yang mengandung isi/materi ketetapan, Majelis Pengadilan Pajak sudah berpedoman pada SEMA ini. Tinggal selanjutnya mari kita kawal bersama, bagaimana pelaksanaannya di waktu-waktu yang akan datang.

Lalu bagaimana dengan nasib putusan Pengadilan Pajak terkait gugatan berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP maupun gugatan terhadap Surat Keputusan Pembetulan Pasal 16 ayat (1) UU KUP yang mengandung isi/materi dimana sudah dikabulkan sebelumya, apakah jika dibawah ke ranah Peninjauan Kembali , Penggugat kemudian akan di kalahkan ?

Pada akhirnya timbul pertanyaan dalam benak kita, apabila gugatan atas isi/materi harus ditolak, namun penerbitan putusan SKP itu sendiri berasal dari materi yang nyata-nyata jelas tidak sesuai dengan UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dimanakah letak keadilan dan kepastian hukum bagi Penggugat ? Disatu sisi pasal-pasal dalam UU AP memberikan andil atas gugatan yang mengandung isi/materi harus ditolak, disisi lain terdapat pasal-pasal dalam UU AP memberikan andil atas gugatan yang mengandung isi/materi dapat dikabulkan.

Penulis : Anggota Departemen Keanggotaan dan Pembinaan IKPI

Eddy Christian, SE., M.Ak., BKP

Email : eddychris1090@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dividen Konstruktif: Celah Pajak atau Ketidakjelasan Regulasi?

Dalam perpajakan di Indonesia, salah satu area yang sangat diawasi dalam ialah transaksi antarpihak yang memiliki hubungan istimewa (afiliasi) ialah Transfer Pricing. Tujuannya memastikan transaksi tersebut sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU). Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan Istimewa, demi menerapkan PPKU yang bisa berujung pada penyesuaian sekunder. Wewenang tersebut tercermin dalam Pasal 18 Ayat 4 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh).

Persoalan dalam hal ini ialah ambiguitas yang timbul sebagai akibat dari tidak adanya kejelasan dan konsistensi dalam penerapan Secondary Adjusment, dalam hal ini penulis hanya merujuk kepada transaksi afiliasi dalam negeri. Mari kita bedah dengan awal mula menarik aturan aturan yang relevan berkaitan dengan hal tersebut.

Terlihat pada tabel diatas terdapat perbedaan makna antar pasal dalam Undang-Undang dan aturan pelaksana, pada bagian penjelasan Pasal 4 Ayat (1) huruf UU PPh memberi contoh atas Transaksi Afiliasi dimana Pemegang Saham Orang Pribadi dan/atau Badan memberikan suntikan dana kepada perusahaan dalam bentuk Saham dan Pinjaman yang melebihi Kewajaran (diatas suku bunga pasar) dalam hal ini Penulis memfokuskan pembahasan pada kelebihan pembayaran atas Imbalan Bunga kepada Afiliasi. Berikut adalah Ilustrasi bagaimana penerapan Dividen Konstruktif diterapkan dalam transaksi afiliasi:

Dalam hal Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan oleh Direktur Jenderal Pajak dan mendapati kejadian sebagaimana tabel diatas, apakah dapat ditetapkan pada Pemberi Pinjaman atau Penerima Pinjaman? Hal ini yang membuat penerapan Secondary Adjusment Dividen Konstruktif yang perlu ditinjau kembali karena apabila Direktur Jenderal Pajak menetapkan pada Pemberi Pinjaman maka tidak sesuai dengan konsep penyebaran yuridiksi (Kantor Pelayanan Pajak) pemotongan pajak atas Dividen. Lalu bagaimana perlakuan Dividen Konstruktif terhadap aturan yang kontra dalam hal ini Dividen Dalam Negeri bukan merupakan Objek Pajak tanpa Syarat bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bersyarat bagi Wajib Pajak Orang Pribadi.

Aturan manakah yang perlu kita terapkan dalam hal apabila terdapat 2 Aturan setingkat Peraturan Menteri Keuangan No. 172/2023 dengan No. 18/2021 berbasis pada Asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis (hukum yang khusus menyampingkat hukum yang umum). Asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa:

1) Jika ada dua aturan yang sama, diatur khusus dan umum, maka yang dipergunakan adalah aturan khusus atau;

2) Jika tidak ada diaturan khusus, maka yang dipergunakan adalah aturan umum.

Dividen secara umum merupakan Objek Pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf g UU PPh, namun terdapat aturan lain yang menyatakan Dividen bukan merupakan objek pajak penghasilan disebabkan terdapat hal-hal khusus yang mengecualikan dividen sebagai objek pajak penghasilan. Dalam ilustrasi diatas Dividen berasal dari PT XYZ (Dalam Negeri) yang diterima oleh PT A (Dalam Negeri) yang memenuhi syarat Dividen dikecualikan sebagai Objek Pajak Penghasilan disebabkan memenuhi kriteria khusus.

Juga berbeda apabila dividen konstruktif diterima atau diperoleh oleh Orang Pribadi yang mengharuskan Investasi Dalam Negeri sebagai syarat dikecualikan sebagai objek pajak penghasilan akan menjadi perdebatan apabila ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam pemeriksaan PT XYZ, sedangkan penerapan tidak ada kewajiban pemotongan Pajak (with holding tax) yang perlu dilakukan oleh PT XYZ.

Penulis adalah anggota Departemen Pengembangan Organisasi, IKPI

Muhammad Fadhil, S.Ak., S.AP., Ak., BKP

Email: fadhilalhinduan@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

Tax Amnesty Jilid III: Pilihan Logis atau Sekadar Ilusi Kebijakan?

Ketika tahun 2025 baru saja bergulir, publik dikejutkan oleh kemunculan wacana yang cukup kontroversial: pengampunan pajak atau Tax Amnesty Jilid III. Wacana ini tidak datang dari ruang hampa. Ia mengemuka setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty resmi masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Sorotan semakin tajam ketika Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Budi Gunawan, secara terbuka menyatakan bahwa pemerintah tengah menyiapkan skema pengampunan pajak terbaru tersebut.

Dalam konferensi pers Rapat Tingkat Menteri Desk Koordinasi Pencegahan Korupsi dan Tata Kelola di Kejaksaan Agung pada 2 Januari 2025, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan RI, Budi Gunawan menegaskan bahwa program ini dirancang sebagai solusi strategis untuk menarik kembali aset dan devisa negara, terutama yang terkait dengan kasus-kasus korupsi besar. Ia menyebut bahwa saat ini Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan tengah menggodok secara serius kerangka kebijakan ini.

Kemunculan wacana ini tidak bisa dilepaskan dari realitas fiskal yang tengah dihadapi negara. Penerimaan pajak yang menjadi tulang punggung pembiayaan negara masih menunjukkan tren melemah. Berdasarkan laporan dari CNBC Indonesia, hingga April 2025 penerimaan pajak tercatat hanya mencapai Rp 557,1 triliun. Angka ini mengalami penurunan cukup tajam, yakni 10,74% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu Rp 624,19 triliun per April 2024.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui tantangan ini. Dalam konferensi pers APBN di Kantor Pusat Kementerian Keuangan, Jakarta, pada 23 Mei 2025, ia menjelaskan bahwa angka penerimaan tersebut baru mencapai 25,4% dari target APBN 2025 yang sebesar Rp 2.189,3 triliun. Dengan kata lain, pemerintah menghadapi tekanan berat untuk menutup potensi defisit yang bisa membengkak jika penerimaan pajak tidak segera diperbaiki.

Dalam konteks ini, Tax Amnesty Jilid III muncul sebagai opsi cepat untuk memperbaiki likuiditas negara. Dalam teori kebijakan fiskal, extraordinary times call for extraordinary measures. Namun, apakah pengampunan pajak masih bisa dikategorikan sebagai langkah luar biasa jika dilakukan terlalu sering?

Tarik Ulur Antara Rasionalitas Fiskal dan Keadilan Publik

Di satu sisi, para pendukung kebijakan ini menyambut positif. Mereka menilai pengampunan pajak bisa menjadi instrumen jitu untuk mempercepat penerimaan negara. Tak hanya itu, kehadiran sistem administrasi perpajakan digital terbaru, yakni coretax, yang diluncurkan pemerintah pada awal 2025, memberi harapan bahwa program ini tidak hanya mengumpulkan dana sesaat, tetapi juga memperkuat basis data dan kepatuhan pajak jangka panjang.

Mereka berargumen bahwa di tengah perlambatan ekonomi global dan ketidakpastian geopolitik yang berdampak pada perekonomian domestik, fleksibilitas fiskal adalah suatu keharusan. Tax Amnesty diyakini bisa mendorong repatriasi aset, meningkatkan likuiditas domestik, dan membuka jalan bagi reformasi struktural di bidang perpajakan. Apalagi jika program ini dibarengi dengan peningkatan kapasitas pengawasan dan penegakan hukum yang lebih tegas setelahnya.

Namun, sisi gelap dari kebijakan ini tidak bisa diabaikan. Kritik tajam datang dari kelompok yang menilai Tax Amnesty sebagai bentuk pengkhianatan terhadap prinsip keadilan pajak. Kebijakan ini dianggap menyuburkan moral hazard: memberi sinyal bahwa ketidakpatuhan bisa dimaafkan dan bahkan diuntungkan. Para wajib pajak patuh merasa dianaktirikan, karena mereka yang sengaja menyembunyikan kekayaan malah mendapat pintu masuk untuk “cuci dosa” tanpa sanksi tegas.

Yang menjadi kekhawatiran lebih besar adalah jarak waktu yang terlalu pendek dari program Tax Amnesty sebelumnya. Jika pengampunan pajak dilakukan terlalu sering, maka akan menimbulkan persepsi publik bahwa pemerintah tidak serius menegakkan aturan perpajakan. Ini justru bisa mendorong tingkat ketidakpatuhan yang lebih tinggi ke depan, karena pelaku ekonomi bisa berspekulasi bahwa akan selalu ada “pengampunan jilid selanjutnya.”

Tax Amnesty Bukan Obat Mujarab

Indonesia telah dua kali menjalankan program Tax Amnesty: pertama pada 1984 (bersamaan dengan reformasi sistem self-assessment), dan kedua pada 2016-2017 yang digagas oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo. Program Tax Amnesty 2016 berhasil menghimpun deklarasi harta hingga Rp 4.865 triliun dan penerimaan uang tebusan sebesar Rp 114 triliun. Meskipun secara nominal tergolong besar, kritik tetap muncul karena sebagian besar harta yang dideklarasikan tidak benar-benar direpatriasi, dan dampak jangka panjang terhadap kepatuhan pajak dinilai minim.

Oleh karena itu, pelajaran penting dari pengalaman tersebut adalah bahwa Tax Amnesty hanya bisa berhasil jika disertai reformasi struktural yang berkelanjutan. Tanpa itu, ia hanya menjadi tambal sulam fiskal yang bersifat sementara.

Perdebatan soal Tax Amnesty Jilid III mungkin tidak akan pernah menemukan titik temu. Masing-masing pihak membawa sudut pandang, kepentingan, dan pengalaman yang berbeda. Namun satu hal yang pasti: keputusan akhir dari wacana ini akan sangat politis. Pemerintah dan DPR tentu memiliki kalkulasi tersendiri, baik fiskal, ekonomi, maupun elektoral.

Apakah Tax Amnesty Jilid III adalah pilihan yang logis atau tidak logis? Itu bukan semata soal angka atau opini teknokrat. Pada akhirnya, logis atau tidaknya kebijakan ini akan diukur dari dampaknya terhadap keadilan sosial, kepatuhan jangka panjang, dan kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Jika pemerintah tetap memilih untuk melanjutkan wacana ini menjadi kebijakan nyata, maka transparansi, integritas, dan ketegasan dalam menindak ketidakpatuhan pasca-program akan menjadi ujian terbesar. Tanpa itu, Tax Amnesty hanya akan menjadi ilusi kebijakan: terlihat masuk akal di atas kertas, tapi gagal dalam pelaksanaan.

Penulis adalah Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Pino Siddharta

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

UU Konsultan Pajak: Antara Profesionalisme, Kepastian Hukum, dan Perlindungan

Membangun Fondasi untuk Tata Kelola Perpajakan yang Berkeadilan

Di tengah gelombang reformasi perpajakan nasional yang menuntut sistem yang lebih berkeadilan, transparan, dan berbasis kepatuhan sukarela, profesi konsultan pajak menempati posisi yang semakin strategis. Mereka bukan hanya penyedia jasa teknis, tetapi juga memainkan peran kunci sebagai perantara antara negara dan Wajib Pajak.

Sayangnya, peran vital ini masih beroperasi tanpa dukungan regulasi yang kuat. Belum ada satu pun undang-undang yang secara komprehensif mengatur posisi, kewenangan, maupun tanggung jawab hukum konsultan pajak. Dalam konteks inilah, kehadiran Undang-Undang Konsultan Pajak (UU KP) menjadi sebuah keniscayaan.

Perlindungan Nyata bagi Wajib Pajak

Ketiadaan payung hukum membuat masyarakat sulit membedakan antara konsultan pajak profesional dan pihak-pihak yang tidak memiliki kompetensi. Tak jarang, Wajib Pajak menjadi korban praktik manipulatif yang berujung pada sanksi pidana atau denda administratif, akibat kesalahan konsultan tidak bertanggung jawab.

UU Konsultan Pajak hadir untuk menegaskan standar minimum yang harus dimiliki setiap konsultan pajak, termasuk keharusan sertifikasi, kepatuhan pada kode etik, dan sistem pengawasan yang tegas. Dengan demikian, Wajib Pajak memiliki landasan hukum yang kuat dalam memilih pendamping pajak yang sah dan kompeten.

Hubungan antara klien dan konsultan pun akan dibingkai dalam kerangka perlindungan hukum yang setara. Informasi sensitif tidak boleh disalahgunakan, dan Wajib Pajak tidak seharusnya dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan profesional pihak ketiga.

Menegakkan Profesionalisme dan Kepastian Hukum bagi Konsultan

UU ini juga merupakan pengakuan atas eksistensi dan martabat profesi konsultan pajak. Tidak semua praktisi saat ini memiliki kualifikasi dan standar kompetensi yang sama. UU Konsultan Pajak akan mengakhiri ketimpangan ini dengan membangun sistem sertifikasi, jenjang pendidikan formal, serta aturan kode etik profesi yang mengikat secara hukum.

Lebih penting lagi, undang-undang ini harus memberikan perlindungan hukum dalam bentuk imunitas terbatas, terutama bagi konsultan yang menjalankan tugasnya sebagai penasihat hukum berdasarkan informasi dari klien. Tanpa perlindungan semacam ini, profesi konsultan akan selalu berada dalam posisi rawan kriminalisasi.

Konsultan Pajak sebagai Mitra Strategis Negara

Bagi pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP), UU Konsultan Pajak berfungsi sebagai instrumen penguatan struktur perpajakan nasional. Konsultan pajak yang profesional dan patuh akan menjadi mitra negara dalam:

1. Mendorong kepatuhan sukarela melalui edukasi dan pendampingan Wajib Pajak secara sah dan transparan.

2. Menghasilkan data kredibel yang berguna bagi sistem audit dan pengawasan.

3. Mencegah praktik penghindaran pajak yang merugikan penerimaan negara melalui mekanisme pencegahan peran-peran manipulatif.

Dengan demikian, UU ini bukan hanya regulasi teknis, tetapi juga bagian dari strategi besar negara untuk meningkatkan efektivitas sistem perpajakan.

Pentingnya Proses Partisipatif dalam Penyusunan UU

Undang-Undang Konsultan Pajak tidak boleh disusun secara tertutup. Keterlibatan aktif dari seluruh pemangku kepentingan—pemerintah, DPR, organisasi profesi, akademisi, praktisi, dan masyarakat—merupakan syarat mutlak agar regulasi ini inklusif, adil, dan aplikatif.

Seminar publik, focus group discussion, serta diskusi terbuka adalah instrumen demokratis yang harus ditempuh dalam proses perumusannya. Dengan begitu, UU yang dihasilkan tidak hanya memiliki legitimasi formal, tetapi juga legitimasi sosial.

Penutup: Pilar Menuju Sistem Pajak Modern

UU Konsultan Pajak bukan hanya soal administrasi profesi, melainkan instrumen besar untuk membangun tata kelola perpajakan modern yang berpihak pada kepentingan nasional. Ia akan:

– Memperkuat profesionalisme,

– Menjamin kepastian hukum,

– Melindungi hak-hak masyarakat,

– Menjadi alat negara untuk memperluas basis penerimaan pajak secara adil dan berkelanjutan.

Sudah saatnya konsultan pajak tidak lagi berada dalam bayang-bayang ketidakpastian hukum. Mereka harus menjadi pilar penting dalam membangun sistem perpajakan yang kredibel, adil, dan berorientasi pada pelayanan publik.

Penulis adalah Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Lampung

Teten Dharmawan

Email: tetendharmawan@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

Tax Planning Menghadapi Kenaikan Tarif PPN: Studi Pada Wajib Pajak di Flores Timur

ABSTRAK

Penelitian ini difokuskan pada strategi perencanaan pajak bagi Pengusaha Kena Pajak dalam kaitannya dengan perubahan tarif PPN. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif  kualitatif, dimana proses penggambaran wilayah penelitian disusun bentuk narasi.

Pengumpulan data menggunakan metode wawancara yang dilakukan dengan Pengusaha Kena Pajak di Flores Timur. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa kenaikan tarif PPN sangat bermasalah karena dapat berdampak pada perilaku konsumen. Namun demikian, para informan tidak mengabaikan peraturan perpajakan, mereka memahami bahwa melanggar pajak dapat merugikan kelangsungan usaha mereka.

Temuan ini menunjukkan upaya pengusaha kena pajak di Flores Timur untuk menjaga keberlangsungan usahanya dengan melakukan perencanaan pajak. Temuan lain mengenai perspektif lingkungan yang terbentuk dari tingkat pengalaman dan usia serta dorongan dari komunitas sosial juga menstimulasi perilaku wajib pajak dalam menilai perubahan peraturan perpajakan, khususnya terkait tarif PPN.

PENDAHULUAN

Pemerintah telah menyatakan bahwa kebijakan fiskal akan mengurangi ketidakpastian dan mengatasi potensi tantangan domestik dan global. Pengeluaran pajak dirancang sebagai upaya yang signifikan untuk mendorong dan mendukung kemajuan ekonomi dan kesejahteraan sosial (Rahayu, 2017). Untuk mencapai hal ini, penerimaan pajak didasarkan pada kebutuhan spesifik dari setiap kegiatan. Oleh karena itu, penerimaan pajak dihitung berdasarkan kebutuhan masing-masing industri.

Dari sisi pemerintah, pajak digunakan untuk membayar pengeluaran gaji pegawai, membayar utang negara, dan membiayai kepentingan masyarakat. Selain itu, pajak adalah instrumen kebijakan yang diterapkan untuk mendistribusikan kekayaan ke seluruh masyarakat.

Pemerintah mengeluarkan undang-undang perpajakan, dan kepatuhan pajak mengacu pada bagaimana warga negara dan perusahaan mematuhi undang-undang tersebut. Dari sudut pandang pembayar pajak, pajak dipandang sebagai beban yang ingin dihindari oleh warga negara dan perusahaan (Kirchler, 2007).

Penghindaran pajak dan pemungutan pajak adalah perilaku ekonomi penting yang harus diperhitungkan oleh masyarakat, bisnis, dan pemerintah (Kirchler & Hoelzl, 2017). Membayar pajak dapat dilihat sebagai masalah sosial, dan setiap upaya untuk menghindarinya akan berdampak negatif pada masyarakat dan individu.

Kebijakan pajak merupakan salah satu bentuk kebijakan publik. Kebijakan publik adalah serangkaian tindakan, kegiatan, atau program yang dirancang untuk mencapai keberhasilan atau tujuan, dengan melibatkan seluruh partisipasi pemerintah sebagai aktor formal dan informal (Rabin, 2003). Dengan demikian, aturan perpajakan akan terus mengalami penyesuaian dari waktu ke waktu.

Perubahan aturan ini dilakukan agar masyarakat Indonesia dapat beradaptasi dengan situasi saat ini dimana perpajakan masih memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penerimaan pemerintah. Salah satu perubahan aturan perpajakan tersebut menyangkut kenaikan tarif PPN.

Kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% akan mengurangi minat konsumen untuk mengkonsumsi barang dan jasa. Tidak dapat dipungkiri, beberapa bisnis saat ini menawarkan diskon besar-besaran untuk produk yang banyak diminati dan mengurangi persediaan barang yang kurang diminati konsumen. Hal ini merupakan solusi yang menguntungkan untuk mempertahankan eksistensi perusahaan, meskipun solusi ini dapat menyebabkan kerugian.

Menaikkan tarif PPN bertentangan dengan strategi pemulihan ekonomi negara. Banyak pengusaha bertanya-tanya apakah bisnis mereka lebih menguntungkan atau menguntungkan.

Usulan kenaikan tarif PPN sebesar 12% pada tahun 2025 merupakan tantangan berat bagi para pengusaha di Indonesia. Masyarakat yang kurang mampu beradaptasi akan semakin sulit mendapatkan layanan yang mereka butuhkan dan barang yang mereka inginkan.

Hal ini menjadi pertimbangan penting bagi para pengusaha karena tidak hanya orang kaya yang berbelanja.

Pandemi COVID-19 telah menyebabkan penurunan ekonomi di banyak sektor. Para pemilik bisnis di Indonesia menyadari tantangan untuk menjual barang selama masa-masa sulit ini. Jika rencana ini terwujud, penjualan barang dan kenaikan harga barang akan sulit dilakukan.

Hukum pajak sangat kompleks. Tidak mengherankan jika sebagian besar pembayar pajak tidak memahami apa yang benar dan salah (Kirchler & Hoelzl, 2017). Orang-orang menyalahkan kompleksitas undang-undang perpajakan atas ketidakmampuan mereka dalam perpajakan dan kurangnya minat terhadap sistem (McKerchar, 2001) dan merasa perlu untuk berkonsultasi dengan praktisi pajak (Sakurai & Braithwaite, 2003).

Respon wajib pajak adalah tanggapan atau respon dari wajib pajak terhadap ketentuan perpajakan yang berkaitan dengan kepatuhan (Widyaningtyas, 2020). Menurut piramida kepatuhan, strategi kepatuhan pajak di banyak negara menggunakan basis Compliance Risk Management (CRM), yang menggambarkan 4 kelompok karakteristik wajib pajak, yaitu kelompok 1 adalah kelompok wajib pajak yang selalu mengikuti aturan yang berlaku atau bisa dibilang selalu patuh. Kelompok 2 adalah kelompok wajib pajak yang berkeinginan untuk patuh, namun keinginan tersebut tidak selalu membuahkan hasil karena adanya hambatan. Golongan 3 terdiri dari orang pribadi yang biasanya tidak memenuhi kewajiban perpajakannya namun bisa patuh jika fiskus menetapkan adanya pelanggaran.

Terakhir, kelompok 4 adalah kelompok wajib pajak yang memilih untuk tidak patuh. Untuk golongan 4, fiskus dapat memaksa mereka untuk patuh dengan melakukan segala tindakan, termasuk sanksi pidana perpajakan. Namun, untuk memahami motif kepatuhan pajak, perlu dipahami sikap wajib pajak terhadap pajak, pengetahuan dan pemahaman mereka tentang undang-undang perpajakan, norma-norma pribadi dan sosial mereka, dan isu-isu keadilan yang terkait dengan keadilan distributif dan prosedural (Kirchler & Hoelzl, 2017). Penegakan hukum pajak oleh pemerintah mengacu pada bagaimana warga negara dan perusahaan mematuhi hukum tersebut.

Oleh karena itu, kelompok ini memandang pajak sebagai biaya kepatuhan yang tinggi dan membatasi kebebasan berwirausaha mereka.

Dalam teori akuntansi perilaku, faktor internal dan eksternal digunakan untuk menjelaskan penyebab tindakan manusia (Widyaningtyas, 2020). Artinya, tindakan seseorang dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor di dalam dan di luar dirinya (Robbins and Judge, 2008).

Faktor internal meliputi sikap, karakter, atau pengetahuan, sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan atau keadaan tertentu yang mendorong seseorang untuk bertindak (Heider, 1958).

Dalam menghadapi penyesuaian peraturan PPN, PKP sebagai wajib pajak cenderung melakukan perencanaan pajak untuk mengurangi nilai PPN karena hal ini dianggap sebagai beban (Mangoting, 1999). Pembayar pajak akan selalu mengusahakan kepentingannya. Oleh karena itu, beban pajak akan dapat dihindari (Varela et al., 2020). Lim (2013) berpendapat bahwa penghindaran risiko terjadi dengan cara menghilangkan atau menghindari sumber risiko dengan mencari alternatif dari risiko tersebut sebagai reaksi dari stimulus yang membentuk respon.

Tindakan ini muncul karena rangsangan lingkungan, dorongan fisiologis, genetika, pengalaman, dan usia (Tolman, 1928). Bukan penghindaran atau pengelakan pajak karena penghindaran pajak berkaitan dengan keengganan untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan gotong royong nasional, melainkan pengaturan agar pajak yang dibayarkan tidak lebih besar dari yang seharusnya (Mangoting, 1999). Pernyataan bahwa wajib pajak cenderung mencegah agar beban pajak tidak meningkat adalah sebuah generalisasi tanpa justifikasi lebih lanjut. Sebagian besar orang di negara maju dan berkembang, baik pribadi maupun perusahaan, berusaha untuk mengelola jumlah pajak.

Tidak terkecuali wajib pajak, otoritas pajak juga menyadari adanya kecenderungan Wajib Pajak untuk meminimalkan jumlah pajak yang dibayarkan dengan perencanaan pajak baik penghindaran maupun penggelapan. Pada akhirnya, hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana pajak dapat dianggap sebagai beban, sehingga muncul keinginan untuk mengatur beban pajak.

Perencanaan pajak secara umum didefinisikan sebagai suatu proses di mana kegiatan bisnis wajib pajak diatur untuk meminimalkan kewajiban pajak semaksimal mungkin (Mangoting, 1999). Perencanaan pajak merupakan bagian dari manajemen pajak. Manajemen pajak merupakan alat untuk memenuhi kewajiban perpajakan secara baik dan benar, namun besaran pajak yang dibayarkan dapat diminimalkan untuk mencapai manfaat yang diharapkan (Atmojo et al., 2016). Perusahaan selalu memiliki tujuan dan motivasi yang melatarbelakangi mereka dalam melakukan perencanaan pajak. Motif perencanaan pajak biasanya berasal dari tiga komponen perpajakan: kebijakan pajak, hukum pajak, dan administrasi pajak (Erly, 2017).

Beradaptasi terhadap perubahan lingkungan dan ketidakpastian untuk memastikan keselarasan antara strategi dan tujuan sering kali menjadi hal yang rumit, terutama bagi perusahaan yang membuat pilihan kebijakan di bawah pengawasan manajemen. Perusahaan membutuhkan strategi bisnis untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Oleh karena itu, manajemen harus memilih strategi bisnis yang sesuai dengan kondisinya.

Pilihan strategi manajemen ditentukan oleh segmen pasar yang melingkupi lingkungan bisnisnya, tujuan, struktur, proses dan teknologi di sekitar lingkungan bisnis. Dalam penelitian sebelumnya, banyak yang meneliti aktivitas manajemen pajak perusahaan (Desai, 2005; Hanlon & Slemrod, 2009; Armstrong et al., 2015; Dyreng et al., 2008). Kemudian, studi yang mengkaji mengenai hubungan antara strategi bisnis dan perencanaan pajak masih sedikit (Huang & Zhang, 2020; Khurana & Moser, 2013).

Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini dilakukan untuk menguji dan mendeskripsikan persepsi wajib pajak dalam membuat strategi perencanaan pajak terhadap dinamika peraturan perpajakan. Penelitian ini juga menambahkan variabel dari sisi lingkungan, yaitu pengalaman, usia, dan sosial masyarakat. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada otoritas pajak daerah untuk mempertimbangkan ketentuan peraturan lebih lanjut, misalnya menambah jumlah wajib pajak, bukan menaikkan tarif PPN.

Dengan menambah jumlah wajib pajak, penerimaan pemerintah meningkat tanpa menaikkan tarif pajak. Selain itu, wajib pajak juga harus mempertimbangkan aspek perpajakan ketika mengambil keputusan bisnis.

TINJAUAN PUSTAKA

Tax Planning

Perencanaan pajak atau tax planning adalah serangkaian strategi pengelolaan akuntansi dan keuangan perusahaan untuk meminimalkan kewajiban perpajakan dan mengurangi kewajiban perpajakan seperti pajak penghasilan dan jenis pajak lainnya, seminimal mungkin selama tidak melanggar hukum (Pohan, 2013). Motivasi yang mendasari dilakukannya perencanaan pajak yaitu (Erly, 2017):

• Kebijakan perpajakan

• Undang-undang perpajakan

• Administrasi perpajakan

Perencanaan pajak merupakan suatu inisiatif struktural terkait yang menekankan pada pengelolaan transaksi yang menimbulkan konsekuensi perpajakan (Kustiawan, 2004).

Tujuannya adalah bagaimana pembayaran jumlah pajak kepada pemerintah dapat dilaporkan secara efisien, melalui penghindaran pajak (tax avoidance) dan bukan penyeludupan pajak (tax evasion) yang merupakan kejahatan perpajakan yang tidak dapat ditolerir.

Perencanaa pajak juga dapat mengandung banyak risiko, terutama jika otoritas pajak menganggap praktik tax planning sebagai penghindaran pajak. Batasan antara perencanaan pajak dan penghindaran pajak sangat tipis dan membawa risiko signifikan bagi perusahaan yang dapat memicu dampak yang sangat sensitif terhadap opini publik (Khaoula & Moez, 2019).

Dalam melakukan perencanaan pajak dibutuhkan strategi agar tindakan yang akan dilakukan tidak menimbulkan risiko tinggi di masa depan, seperti terkena sanksi administrasi maupun pidana. Secara umum, terdapat lima strategi yang dapat digunakan untuk melakukan perencanaan pajak, sebagai berikut:

• Tax Avoidance

• Tax Saving

• Mengoptimalkan kredit pajak yang diperbolehkan

• Penundaan Pembayaran Pajak

• Menghindari pelanggaran atas peraturan perpajakan

Kepatuhan Pajak

Kepatuhan adalah penyampaian laporan pajak yang diwajibkan dengan segera dan tepat menggambarkan kewajiban perpajakan wajib pajak berdasarkan perundangan-undangan dan ketentuan perpajakan yang berlaku, serta keputusan pengadilan (Roth & Scholz, 1989).

Kepatuhan pajak sebagai Wajib Pajak wajib melaporkan penghasilan kena pajaknya dengan benar, membayar pajaknya dan melakukannya tepat waktu (J. Alm, 1991). Kepatuhan dalam

PPN berarti mematuhi prosedur dan peraturan perundang-undangan, seperti pelaporan PPN yang telah dibayar dan dipungut secara benar dan akurat, kewajiban PPN yang sebenarnya, membayar seluruh kewajiban perpajakan pada tanggal jatuh tempo, dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu yang ditentukan (Nura et al., 2017). Kompleksitas PPN menjadikannya penting dalam memastikan kepatuhan pajak, yang mempunyai dampak signifikan terhadap pendapatan pemerintah dan perekonomian (Lutfi et al., 2023).

Jika wajib pajak tidak sepenuhnya patuh, maka kompleksitasnya akan meningkatkan ketidakpastian hukum. Kepatuhan pajak digambarkan sebagai wajib pajak yang mengikuti pedoman perpajakan, menarik imbalan yang sesuai setiap tahunnya dan membayar jumlah pajak yang ideal tepat waktu (Batrancea, 2021). Menurut James dan Rear Entry (2004), kepatuhan pajak ditandai dengan sejauh mana warga negara menyetujui pedoman perpajakan.

Sebaliknya, kelangsungan tugas yang disengaja berarti menundukkan satu atau lebih substansi pada aturan penilaian tanpa syarat.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 544/KMK.04/2000 tentang kriteria kepatuhan wajib pajak, sebagai berikut:

1. Menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dalam jangka waktu dua tahun untuk semua jenis pajak.

2. Tidak mempunyai tunggakan untuk semua jenis pajak, kecuali telah diberikan izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak.

3. Tidak pernah dihukum karena pelanggaran pajak dalam 10 tahun terakhir.

4. Apabila WP melakukan pemeriksaan, pemeriksaan terakhir mengharuskan penyesuaian pajak paling banyak 5% untuk setiap pajak yang terutang selama dua tahun terakhir.

5. Wajib pajak yang laporan keuangannya selama dua tahun terakhir telah diperiksa oleh Akuntan Publik dengan opini wajar tanpa pengecualian atau pendapat pengecualian selama tidak memengaruhi laba rugi fiskal.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini didasarkan pada studi deskriptif kualitatif. Dengan menggunakan teknik ini, penulis berusaha mengumpulkan data historis dan mengamati berbagai aspek dari masalah penelitian untuk mendapatkan informasi untuk laporan penelitian.

Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara semi-terstruktur. Pertanyaan- pertanyaan yang diajukan disesuaikan dengan latar belakang topik penelitian yang diberikan, namun sangat terbuka terhadap perspektif dan perubahan baru.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan meliputi persepsi wajib pajak terhadap peraturan perpajakan, tanggapan terhadap dinamika perpajakan Indonesia, dan strategi perencanaan pajak. Wawancara dilakukan atas persetujuan informan dan dilakukan lebih dari satu kali pada waktu yang berbeda. Hal ini dilakukan selain karena keterbatasan waktu dari para informan juga sebagai bahan untuk melakukan penelitian dan sinkronisasi analisis terhadap fenomena dan pertanyaan penelitian.

Penelitian dilakukan di masing-masing tempat yang berbeda di Provinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu di Larantuka, Waiwerang, dan Lembata. Lokasi penelitian dipilih karena daerah pedalaman Indonesia memiliki tantangan dan keunikan tersendiri, serta penulis mempertimbangkan faktor alam, sumber daya manusia, dan teknologi yang berbeda dengan kondisi di Pulau Jawa. Selain itu, penelitian terkait perpajakan masih jarang dilakukan di daerah tersebut, studi perpajakan lebih banyak dilakukan di kota-kota besar.

Dengan demikian, peneliti merasa tertarik untuk mengeksplorasi strategi perencanaan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak di daerah.

Peserta yang dipilih adalah mereka yang memiliki latar belakang Pengusaha Kena Pajak (PKP) di daerah-daerah terpencil. Pertimbangan dalam memilih peserta adalah karena kebiasaan pelaku usaha di daerah yang secara geografis jauh dari pusat kekuasaan pemerintahan yang berada di pulau Jawa, dimana pengusaha lokal masih memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai kewajiban perpajakan dan budaya bisnis yang dilakukan secara turun temurun, terutama perdagangan kebutuhan sehari-hari.

HASIL PENELITIAN

Perencanaan Pajak melalui Pembelian Barang Kena Pajak tanpa PPN  Informan tidak hanya membeli barang dari pemasok utama yang berstatus taat PPN, tetapi juga membeli dari pemasok yang tidak taat PPN. Beberapa produk membeli barang kena pajak dengan PPN dan barang kena pajak tanpa PPN. Jika PKP membeli BKP dari non-PKP, maka tidak akan menerima faktur pajak. Selain itu, karena membeli barang dari non-PKP, maka tidak dikenakan PPN.

“Barang yang dibeli dari pasar gelap biasanya dijual tanpa PPN.” (Informan AD. Temuan ini didukung oleh informan MT, AT, dan MP.) Pasar gelap yang dimaksud oleh informan adalah masyarakat yang berjualan dengan berkeliling membawa barang dagangannya. Prosesnya dengan sistem tawar menawar hingga pihak yang bertransaksi mencapai kesepakatan harga.

Produk yang dijual di pasar gelap sangat murah dibandingkan dengan membeli dari prinsipal, dan mereka juga tidak mengenal PPN. Strategi ini memungkinkan informan untuk menjual barang dengan harga murah dan memaksimalkan keuntungan. Berikut ini adalah perbedaan antara pembelian Barang Kena Pajak (BKP) tanpa PPN dan pembelian BKP dengan PPN:

Tabel di atas menunjukkan contoh perhitungan untuk menentukan selisih antara harga beli dan harga jual pemasok PKP dan non-PKP. Pembelian produk dengan pemasok PKP dikenakan PPN, kemudian mengambil keuntungan sebesar 20%, dan menjual ke konsumen juga harus mengenakan PPN. Dibandingkan dengan membeli barang dari pemasok non-PKP tidak dikenakan PPN, mengambil keuntungan yang sama yaitu 20%, dan menjual ke konsumen juga dikenakan PPN. PPN dikenakan pada setiap penjualan kepada konsumen karena informan merupakan PKP, sehingga penyerahan barang harus memungut PPN.

Strategi yang digunakan oleh informan ini adalah menetapkan harga produk dengan memasok barang dari pasar gelap. Barang yang dibeli dari pasar gelap, non PKP, bisa mendapatkan harga yang murah.

Perencanaan Pajak Melalui Pembukuan Ganda

Para informan menggunakan beberapa metode perencanaan pajak, termasuk menyiapkan laporan keuangan dengan beberapa versi yang dikenal dengan pembukuan ganda. Umumnya, perusahaan menyiapkan dua laporan keuangan; yang pertama siap untuk tidak mengurangi atau melebihi informasi transaksi dan ditujukan untuk internal perusahaan, sementara laporan lainnya dimodifikasi dan dirancang untuk tujuan pajak.

Double entry masih sering digunakan oleh wajib pajak, dan mereka memiliki persepsi bahwa meskipun mereka telah membayar pajak dengan jujur, mereka berpotensi membayar lebih banyak di masa depan. Ini adalah salah satu alasan wajib pajak berusaha meminimalkan pajak mereka.

” Ya, kami memiliki dua versi buku akuntansi, satu untuk pajak dan satu lagi untuk internal perusahaan.” (informant AD. Temuan ini didukung oleh informan AT, MP, dan MT) Strategi Bisnis hingga Perencanaan Pajak Berbagai aspek dari setiap strategi bisnis berdampak pada perencanaan pajak antara lain, kejelasan dalam pengambilan keputusan strategi, toleransi risiko, dukungan finansial, dan struktur organisasi. Perencanaan pajak dapat didefinisikan sebagai strategi yang dilakukan wajib pajak untuk merencanakan atau mengelola pajak untuk mengoptimalkan manfaat pajak dan menghindari pelanggaran secara hukum.

Dalam perencanaannya, wajib pajak memanfaatkan celah-celah perpajakan yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk mengurangi beban pajak yang harus dibayar. Tujuan dari srategi bisnis adalah untuk memberikan keunggulan kompetitif dibandingkan pesaing melalui pilihan kebijakan.

Dari hasil penelitian, Wajib Pajak di Flores Timur berpendapat bahwa strategi bisnis yang dilakukan berfokus pada efisiensi biaya untuk melakukan penetrasi pasar dan hanya pada pemantapan operasional. Beberapa strategi bisnis seperti memperhatikan kualitas produk dan pelayanan dapat mempengaruhi daya beli konsumen. Beberapa strategi pemasaran antara lain kualitas produk, kualitas pelayanan, harga, lokasi, dan promosi (Muzondo & Mutandwa, 2011).

a) Harga

Harga merupakan elemen paling penting yang dipertimbangkan konsumen sebelum membeli produk. Tindakan para informan dalam persaingan harga memiliki strategi yang cukup bervariasi.

” Harga barang yang menguntungkan adalah karena kerja sama dengan prinsipal yang merupakan tangan pertama sehingga harga produk bisa rendah.” (informan AD. Temuan ini didukung oleh informan MT , dan AT.)

“Ada banyak cara untuk bermain dengan harga. Bisa dengan diskon atau bundling produk.” (Informan MP) Strategi penetapan harga yang dilakukan informan dilakukan dengan menjalin kerja sama dengan principal. Dalam kerjasama yang terjalin, akan ada banyak keuntungan yang didapatkan terkait harga produk, seperti diskon, bundling produk, dan kontinuitas penerimaan stok produk. Dengan penetapan harga yang lebih menguntungkan, maka harga jual dapat bersaing dengan kompetitor.

b) Produk

Produk yang ditawarkan kepada konsumen harus memiliki manfaat untuk mendorong niat konsumen untuk membeli. Konsumen memperhatikan kualitas dan manfaat produk sebelum membeli.

“Karena produk dikirim langsung dari pabrik, bukan dari tangan ke tangan. Oleh karena itu, pengiriman dan kualitas produk juga terjamin.” (informant AD. Temuan ini didukung oleh informan AT, MP, dan MT.)

“Kelengkapan produk tentu saja menjadi hal yang utama, biasanya sesama trader sering melakukan tukar menukar produk jika kehabisan stok.” (Informan AD. Temuan ini didukung oleh informan MT, AT, dan MP)

Upaya yang dilakukan informan untuk menjaga kualitas produk dan memberikan kelengkapan produk. Kualitas produk yang dimaksud adalah memastikan barang tidak rusak/cacat dan memperhatikan tanggal kadaluarsa. Sedangkan kelengkapan produk yang dimaksud oleh informan seperti variasi produk (merek, ukuran, dan kemasan), juga dapat menyediakan barang yang tidak tersedia di toko pesaing lainnya. Upaya yang dilakukan oleh informan merupakan kewajiban yang harus dilakukan untuk memenuhi permintaan konsumen.

c) Promosi

Untuk menjaga loyalitas, bisnis juga harus memberikan penawaran khusus kepada pelanggan seperti promosi dan diskon. Kemitraan yang dijalin dengan prinsipal memberikan beberapa manfaat bagi informan melalui sponsorship, harga bundling, dan media promosi.

“Sering kali ada diskon/promo, biasanya dari pemasok.” (Informan MP)

“Ya, ada yang namanya voucher belanja, diskon harga murah untuk pelanggan, atau membeli produk bisa mendapatkan hadiah.” (informant AD. Temuan ini didukung oleh informanMT dan AT)

Penawaran promosi harga dan barang, hadiah dan voucher untuk mengenal konsumen dirancang sesuai dengan tujuan belanja mereka (Blom et al., 2021). Tujuan lain informan melakukan promosi adalah untuk menjual produk yang tersimpan di gudang dalam waktu yang lama namun masih dalam kondisi baik dan meningkatkan penjualan.

PEMBAHASAN

Kesadaran akan pentingnya perpajakan dalam bisnis membuat wajib pajak yang terlibat dalam kegiatan bisnis memperhatikan dan mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pajak. Informan, pengusaha, dan wajib pajak sering melakukan berbagai hal yang berkaitan dengan perpajakan untuk menjaga kestabilan laba usaha. Informan berusaha memenuhi kewajiban perpajakannya dengan cara mematuhi peraturan dan undang-undang yang berlaku sekaligus mengoptimalkan laba.

Kenaikan tarif PPN merupakan salah satu perubahan yang harus dihadapi oleh para wajib pajak. Peraturan ini merupakan salah satu bentuk reformasi perpajakan yang dirancang untuk membantu mendukung penerimaan negara yang lebih baik. Dari sisi ekonomi, kenaikan tarif PPN tentunya akan berdampak pada kenaikan harga jual. Kenaikan harga jual suatu produk akan menyebabkan penurunan permintaan sehingga menurunkan daya beli masyarakat. Karena dari sisi konsumen, mereka membeli barang karena harganya yang murah. (Dharmmestha, 1999).

Situasi ini memberikan tekanan dan menjadi mendesak, dimana posisi informan sebagai PKP yang kegiatan usahanya diawasi langsung oleh fiskus bertekad untuk mempertahankan usahanya agar menghasilkan laba yang optimal dan tetap eksis. Akhirnya, muncul tindakan untuk meminimalisir jumlah pajak yang ditanggung dengan tetap memperhatikan batasan- batasannya karena informan juga mempertimbangkan risiko jika ketahuan melanggar. Kondisi ini berarti informan berusaha menjaga keberlangsungan usahanya di tengah peraturan perpajakan yang ada.

Meskipun aturan formal mengharuskan wajib pajak untuk memenuhi kewajiban mereka terkait PPN, mereka juga secara sadar melakukan perlawanan dengan membuat perencanaan pajak untuk meminimalkan beban pajak. Sebagian besar hal ini disebabkan oleh lingkungan sosial di sekitar informan. Keinginan informan ini dapat diidentifikasi sebagai perencanaan pajak (Atmojo et al., 2016).

Mengelola perubahan lingkungan dan ketidakpastian merupakan tugas yang menantang bagi perusahaan, karena memerlukan pengambilan keputusan politik untuk menjaga keselarasan antara strategi dan tujuan. Perusahaan membutuhkan strategi bisnis untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Oleh karena itu, pengusaha harus memilih strategi bisnis yang sesuai dengan kondisi lingkungan. Pilihan strategi ditentukan oleh segmen pasar, tujuan, struktur, proses, dan teknologi yang melingkupi perusahaan. Perencanaan pajak mencerminkan karakteristik dan perilaku perusahaan. Pajak adalah biaya, sehingga pengusaha melakukan perencanaan pajak untuk mengurangi biaya dan meningkatkan profitabilitas.

Penelitian ini berfokus pada perencanaan pajak dalam menyikapi dinamika peraturan perpajakan, khususnya kenaikan tarif PPN. Perubahan ini menimbulkan berbagai respon dari para pemangku kepentingan, termasuk pelaku usaha yang terlibat dalam perpajakan. Terkait dengan kenaikan tarif PPN, seluruh informan sepakat bahwa penetapan kenaikan tarif PPN tersebut telah memberikan beban yang cukup berat bagi usaha mereka. Dengan demikian, kenaikan tarif tersebut secara otomatis menaikkan harga jual produk atau harus menjual tanpa PPN.

Di sisi lain, para informan juga berusaha untuk bersaing dengan pengusaha lain dalam hal keuntungan, eksistensi, dan daya saing.

KESIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil penelitian menunjukkan upaya wajib pajak di Flores Timur dalam melakukan perencanaan pajak. Sebagai pengusaha, para informan lebih berfokus pada memaksimalkan keuntungan dan pengembangan usaha. Keberadaan peraturan perpajakan juga menjadi perhatian mereka, dan perlu diterapkan dengan baik karena para informan juga menyadari bahwa pajak tidak dapat dipisahkan dalam usaha mereka.

Dalam kondisi seperti ini, informan tetap ingin mempertahankan usahanya di tengah peraturan perpajakan yang ada, sehingga informan melakukan perencanaan pajak. Menurut informan, perencanaan pajak merupakan pertimbangan yang paling aman karena praktik tersebut hanya memanfaatkan celah peraturan. Di sisi lain, informan juga menggunakan strategi bisnis, seperti menjaga kualitas produk, penetapan harga, dan pemasaran produk. Esensi yang mendasari keseluruhan hasil penelitian ini adalah perencanaan pajak dapat dilakukan apabila wajib pajak memahami aturan yang berlaku sehingga tidak menimbulkan sengketa pajak antara wajib pajak dengan fiskus. Kemudian, setiap wajib pajak dapat meminimalisir jumlah pajak, baik besar maupun kecil, untuk perusahaan maupun perorangan.

Saran

Terdapat keterbatasan dalam penelitian ini, sehingga rekomendasi yang dapat diberikan adalah mempertimbangkan jumlah informan yang akan ditambahkan dan memperluas wilayah penelitian.

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia atas dukungan dana untuk penelitian ini.

REFERENSI

Armstrong, C. S., Blouin, J. L., Jagolinzer, A. D., & Larcker, D. F. (2015). Corporate Governance, Incentives, and Tax Avoidance. Journal of Accounting and Economics, 60(1), 1–17. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.jacceco.2015.02.003 Atmojo, M. D., Rahayu, S. M., & Budihardjo, O. (2016). Analisis penerapan perencanaan pajak pertambahan nilai: Studi kasus pada CV Guyub Rukun Putra Sakti tahun pajak 2014).

Jurnal Perpajakan, 8(1), 1–11. http://perpajakan.studentjournal.ub.ac.id/index.php/perpajakan/article/view/232 Blom, A., Lange, F., & Hess, R. L. (2021). Omnichannel promotions and their effect on customer satisfaction. European Journal of Marketing, 55(13), 177–201.

https://doi.org/10.1108/EJM-12-2018-0866 Desai, M. A. (2005). The Degradation of Reported Corporate Profits. Journal of Economic Perspectives. https://doi.org/https://doi.org/10.1257/089533005775196705 Dharmmestha, B. S. (1999). Loyalitas pelanggan: Sebuah kajian konseptual sebagai panduan bagi peneliti. Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Indonesia, 14(3), 1–25.

https://jurnal.ugm.ac.id/jieb/article/view/39434/22323 Dyreng, S. D., Hanlon, M., & Maydew, E. L. (2008). Long-run corporate tax avoidance.

Account. Review, 83(1), 61–82. Erly, S. (2017). Perencanaan Pajak Edisi 6 (6th ed.). Salemba Empat.

Hanlon, M., & Slemrod, J. (2009). What does Tax Aggressiveness Signal? Evidence from Stock Price Reactions to News About Tax Shelter Involvement. Journal of Public Economics, 93(1–2), 126–141. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.jpubeco.2008.09.004 Huang, H., & Zhang, W. (2020). Financial Expertise and Corporate Tax Avoidance.

Asia- Pacific Journal of Accounting and Economics, 27(3), 312–326. https://doi.org/https://doi.org/10.1080/16081625.2019.1566008 Khurana, I. K., & Moser, W. J. (2013). Institutional Shareholders’ Investment Horizons and Tax  Avoidance. Journal of the American Taxation Association, 35(1), 111– 134.

https://doi.org/https://doi.org/10.2308/atax-50315 Kirchler, E. (2007). The economic psychology of tax behaviour. Cambridge University Press.

Kirchler, E., & Hoelzl, E. (2017). Tax Behaviour. Economic Psychology, 255–271. https://doi.org/10.1002/9781118926352.ch16 Lim, K. L. (2013). Invesment intentions: A customer behavior framework. The University of  Western Australia.

Mangoting, Y. (1999). Tax planning : Sebuah pengantar sebagai alternatif meminimalkan pajak. Jurnal Akuntansi Dan Keuangan, 1(1), 43–53. https://doi.org/https://doi.org/10.9744/jak.1.1.pp.%2043-53 McKerchar. (2001). The study of income tax complexity and unintentional noncompliance: Research method and preliminary _ndings. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.623627 Muzondo, N., & Mutandwa, E. (2011). The seven PS of marketing and choice of main grocery store in a hyperinflationary economy. Review Literature And Arts Of The Americas, 1(9), 1–15. Rabin, J. (2003).

Encyclopedia of Public Administration and Public Policy. Marcell Dekker, Inc. Rahayu, N. (2017). Pengaruh Pengetahuan Perpajakan, Ketegasan Sanksi Pajak, dan Tax Amnesty terhadap Kepatuhan Wajib Pajak. Akuntansi Dewantara, 1(1), 15–30.

Sakurai, Y., & Braithwaite, V. (2003). Taxpayers’ perceptions of practitioners: Finding one who is effective and does the right thing? Journal of Business Ethics, 46(4), 375–387. https://doi.org/DOI:10.1023/A:1025641518700Tolman, E. C. (1928). Discussion: Purposive behavior. Psychological Review, 35(6), 524–530. https://doi.org/https://doi.org/10.1037/h0070770 Varela, M. D., Huryn, L. A., Hufnagel, R. B., Zein, W. M., Blain, D., & Brooks, B. P. (2020).

Ocular and systemic findings in adults with uveal coloboma. Ophthalmology, 127(12), 1772–1774. https://doi.org/10.1016/j.ophtha.2020.05.028

Widyaningtyas, N. S. (2020). Hubungan Antara Perilaku Wajib Pajan Dan Kebijakan Pajak Berdasarkan Sudut Pandang Behavioral Accounting. Jurnal Akuntansi, 30(1), 14–27. Armstrong, C. S., Blouin, J. L., Jagolinzer, A. D., & Larcker, D. F. (2015). Corporate Governance, Incentives, and Tax Avoidance. Journal of Accounting and Economics, 60(1), 1–17.

https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.jacceco.2015.02.003 Atmojo, M. D., Rahayu, S. M., & Budihardjo, O. (2016). Analisis penerapan perencanaan pajak pertambahan nilai: Studi kasus pada CV Guyub Rukun Putra Sakti tahun pajak 2014). Jurnal Perpajakan, 8(1), 1–11. http://perpajakan.studentjournal.ub.ac.id/index.php/perpajakan/article/view/232 Blom, A., Lange, F., & Hess, R. L. (2021).

Omnichannel promotions and their effect on customer satisfaction. European Journal of Marketing, 55(13), 177–201. https://doi.org/10.1108/EJM-12-2018-0866 Desai, M. A. (2005). The Degradation of Reported Corporate Profits. Journal of Economic Perspectives. https://doi.org/https://doi.org/10.1257/089533005775196705 Dharmmestha, B. S. (1999). Loyalitas pelanggan: Sebuah kajian konseptual sebagai panduan bagi peneliti. Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Indonesia, 14(3), 1–25.

https://jurnal.ugm.ac.id/jieb/article/view/39434/22323 Dyreng, S. D., Hanlon, M., & Maydew, E. L. (2008). Long-run corporate tax avoidance.  Account. Review, 83(1), 61–82. Erly, S. (2017). Perencanaan Pajak Edisi 6 (6th ed.). Salemba Empat.

Hanlon, M., & Slemrod, J. (2009). What does Tax Aggressiveness Signal? Evidence from Stock Price Reactions to News About Tax Shelter Involvement. Journal of Public Economics, 93(1–2), 126–141. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.jpubeco.2008.09.004 Huang, H., & Zhang, W. (2020). Financial Expertise and Corporate Tax Avoidance. Asia-

Pacific Journal of Accounting and Economics, 27(3), 312–326. https://doi.org/https://doi.org/10.1080/16081625.2019.1566008 Khurana, I. K., & Moser, W. J. (2013). Institutional Shareholders’ Investment Horizons and Tax Avoidance. Journal of the American Taxation Association, 35(1), 111– 134.

https://doi.org/https://doi.org/10.2308/atax-50315 Kirchler, E. (2007). The economic psychology of tax behaviour. Cambridge University Press. Kirchler, E., & Hoelzl, E. (2017). Tax Behaviour. Economic Psychology, 255–271. https://doi.org/10.1002/9781118926352.ch16

Lim, K. L. (2013). Invesment intentions: A customer behavior framework. The University of Western Australia.

Mangoting, Y. (1999). Tax planning : Sebuah pengantar sebagai alternatif meminimalkan pajak. Jurnal Akuntansi Dan Keuangan, 1(1), 43–53.

https://doi.org/https://doi.org/10.9744/jak.1.1.pp.%2043-53 McKerchar. (2001). The study of income tax complexity and unintentional noncompliance: Research method and preliminary _ndings. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.623627 Muzondo, N., & Mutandwa, E. (2011). The seven PS of marketing and choice of main grocery store in a hyperinflationary economy. Review Literature And Arts Of The Americas, 1(9), 1–15. Rabin, J. (2003). Encyclopedia of Public Administration and Public Policy. Marcell Dekker, Inc.

Rahayu, N. (2017). Pengaruh Pengetahuan Perpajakan, Ketegasan Sanksi Pajak, dan Tax Amnesty terhadap Kepatuhan Wajib Pajak. Akuntansi Dewantara, 1(1), 15–30. Sakurai, Y., & Braithwaite, V. (2003). Taxpayers’ perceptions of practitioners: Finding one who is effective and does the right thing? Journal of Business Ethics, 46(4), 375–387.

https://doi.org/DOI:10.1023/A:1025641518700 Tolman, E. C. (1928). Discussion: Purposive behavior. Psychological Review, 35(6), 524–530.

https://doi.org/https://doi.org/10.1037/h0070770 Varela, M. D., Huryn, L. A., Hufnagel, R. B., Zein, W. M., Blain, D., & Brooks, B. P. (2020). Ocular and systemic findings in adults with uveal coloboma. Ophthalmology, 127(12),

1772–1774. https://doi.org/10.1016/j.ophtha.2020.05.028 Widyaningtyas, N. S. (2020). Hubungan Antara Perilaku Wajib Pajan Dan Kebijakan Pajak Berdasarkan Sudut Pandang Behavioral Accounting. Jurnal Akuntansi, 30(1), 14–27.

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Surabaya

Danny Wibowo

Email: dannywibowo@stiesia.ac.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Disparitas Harga Jual: Akar Rendahnya Kepatuhan PPN di Daerah Non-Perkotaan

Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah kewajiban formal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Setiap Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP jika omzetnya telah memenuhi ambang batas tahunan, serta memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN yang terutang melalui SPT Masa PPN. Mereka juga harus menerbitkan faktur pajak untuk setiap transaksi barang atau jasa kena pajak. Namun, di banyak wilayah non-perkotaan, tingkat kepatuhan atas kewajiban ini masih jauh dari ideal.

Masalah ini tidak selalu berpangkal pada sikap pengusaha yang enggan patuh hukum. Sebaliknya, realitas lapangan menunjukkan bahwa faktor ekonomi, terutama disparitas harga jual antara PKP dan Non-PKP, menjadi pemicu utama rendahnya kepatuhan terhadap aturan PPN.

Disparitas Harga dan Strategi Bertahan PKP

Persaingan antara pengusaha PKP dan Non-PKP menciptakan medan usaha yang tidak setara. Ambil contoh produk “ABC”. Ketika PKP membeli barang ini dari supplier, ia dipungut PPN. Maka, ketika menjual kembali, PKP harus membebankan PPN 12% kepada pembelinya. Di sisi lain, pengusaha Non-PKP bisa membeli “ABC” dari pasar gelap tanpa dipungut PPN, dan menjualnya juga tanpa pungutan PPN. Ini menciptakan selisih harga jual yang mencolok di mata konsumen.

Kondisi ini membuat pengusaha PKP berada dalam posisi yang sulit. Demi bertahan, mereka meniru strategi pesaing, melakukan segmentasi pasar. Untuk pasar formal, mereka memungut PPN sesuai aturan.

Namun untuk pasar informal yang jumlahnya tidak sedikit di daerah non-perkotaan transaksi dilakukan tanpa pemungutan PPN, dan bahkan tidak dilaporkan dalam SPT.

Dampak Sistemik Disparitas Harga

Disparitas harga akibat PPN tidak hanya memengaruhi strategi bisnis, tetapi berdampak luas pada perekonomian:
• Kenaikan tarif PPN menaikkan harga barang dan jasa secara menyeluruh. Karena tarif PPN bersifat flat tanpa membedakan daya beli konsumen, maka saat tarif dinaikkan, masyarakat lapisan bawah turut menanggung beban yang sama.
• Kenaikan PPN mendorong inflasi dan menurunkan daya beli. Peningkatan harga secara kolektif akibat kenaikan tarif PPN menurunkan nilai riil uang masyarakat, yang ujungnya bisa menekan laju pertumbuhan ekonomi.
• Perbedaan biaya distribusi memperparah ketimpangan harga. Di daerah terpencil dengan logistik mahal, harga barang sudah tinggi sebelum dikenai PPN. Tambahan PPN hanya membuat harga makin tak terjangkau bagi konsumen lokal.

Studi Kasus: Pedagang Kanvasing di Sumatera Utara

Fenomena ini sangat nyata di lapangan. Di daerah pedalaman Sumatera Utara, banyak pengusaha kanvasing yang menjual ke petani sawit, karet, dan peternak lokal dengan omzet di atas Rp4,8 miliar per tahun. Namun mereka enggan mendaftar sebagai PKP karena khawatir kehilangan pembeli akibat kewajiban memungut PPN.

Jika pun mereka sudah menjadi PKP, strategi yang umum dipakai adalah memisahkan transaksi menjadi dua:
a) penjualan ke perusahaan atau instansi pemerintah dikenai PPN, dan
b) penjualan ke konsumen umum tidak dikenakan PPN dan tidak dilaporkan.
Lebih ironis lagi, strategi ini didukung oleh ketersediaan supplier yang juga menghindari pemungutan PPN. Ini membentuk ekosistem yang justru mendorong penghindaran pajak, bukan kepatuhan.

Ketidakseimbangan Beban dan Minimnya Insentif

Menjadi PKP sebenarnya menambah beban administratif tanpa imbal balik yang sebanding. Kewajiban pelaporan, pembayaran, dan pemungutan PPN ditanggung sendiri oleh PKP. Sementara pengusaha Non-PKP dapat menjual barang dan jasa dengan harga yang lebih rendah tanpa beban tambahan.

Tanpa insentif finansial atau akses khusus yang membuat status PKP menarik, banyak pengusaha lebih memilih tetap berada di luar sistem perpajakan formal.

Solusi: Mengedepankan Pendekatan Budaya dan Insentif

Jika pemerintah ingin meningkatkan kepatuhan PPN di daerah, terutama non-perkotaan, maka strategi yang hanya berorientasi pada penegakan hukum tidak akan cukup. Berikut adalah pendekatan solutif yang lebih kontekstual:
• Pemberian Insentif Finansial. Akses permodalan dengan bunga rendah atau subsidi khusus bagi PKP dapat mendorong mereka untuk masuk dan bertahan dalam sistem perpajakan formal.
• Edukasi Pajak Intensif. Literasi perpajakan di kalangan pengusaha kecil-menengah di daerah masih rendah. Program edukasi terpadu perlu digencarkan agar mereka memahami manfaat jangka panjang menjadi PKP.
• Adaptasi Kebijakan Pajak. Regulasi pajak sebaiknya menyesuaikan dengan kondisi geografis, ekonomi, dan sosial daerah tertentu agar lebih bisa diterima secara sukarela.
• Membangun Ekosistem Kolaboratif. Pemerintah pusat dan daerah, lembaga pembiayaan, serta instansi perdagangan perlu bersinergi. Contohnya, pengusaha yang sudah terdaftar sebagai PKP dapat diberi prioritas dalam akses ke pembiayaan dan program distribusi produk.

Kesimpulan

Rendahnya kepatuhan PPN di daerah non-perkotaan bukanlah semata soal pelanggaran hukum, melainkan refleksi dari ketimpangan struktur pasar dan kurangnya insentif bagi pelaku usaha. Jika negara ingin meningkatkan tax ratio secara berkelanjutan, maka perbaikan sistem perpajakan harus menyentuh akar permasalahan: ekonomi mikro daerah.
Dengan pendekatan yang inklusif, insentif yang konkret, dan kebijakan yang adaptif, maka kepatuhan PPN bisa ditingkatkan secara alami tanpa perlu mengandalkan ancaman atau paksaan semata.

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Kota Bekasi

Dr. Subur Harahap, SE, Ak, MM, CA, CMA, CFP, CPA, BKP, FPM, MT.BNSP

Email: www.suhaconsulting.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Siap untuk Diperiksa? Pahami PMK 15/2025 dan Siapkan Strateginya!

Perubahan lanskap bidang perpajakan, kembali mengalami pembaruan yang signifikan dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15 Tahun 2025 tentang Pemeriksaan Pajak (PMK 15/2025). Regulasi ini menggantikan sejumlah peraturan lama dan menyatukan ketentuan tata cara pemeriksaan pajak, termasuk PBB, dalam satu aturan komprehensif.

Latar Belakang PMK 15/2025

Pemeriksaan pajak merupakan salah satu instrumen penting Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam memastikan kepatuhan pajak Wajib Pajak (WP). Namun, selama ini pengaturannya tersebar di berbagai regulasi seperti PMK 17/PMK.03/2013 dan PMK 256/PMK.03/2014. Adanya Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 menuntut harmonisasi serta penyederhanaan prosedur, yang akhirnya dituangkan dalam PMK 15 Tahun 2025.

PMK 15/2025 memperkuat prinsip kepastian hukum, proporsionalitas, serta pengawasan yang profesional, sekaligus memberikan pedoman baku terhadap hak dan kewajiban para pihak (DJP maupun WP).

Urgensi PMK 15/2025 dalam Reformasi Pajak Nasional

PMK 15/2025 tidak hadir dalam ruang hampa. Ia merupakan kelanjutan dari reformasi administrasi pajak nasional yang berbasis pada transparansi, otomatisasi, dan pengawasan berbasis risiko. Dalam konteks global, Indonesia juga berupaya memenuhi standar kepatuhan internasional seperti OECD Tax Administration dan BEPS Action Plan. Oleh karena itu, PMK ini menjadi instrumen penting untuk menciptakan sistem perpajakan yang tidak hanya kuat, tetapi juga kredibel.

Kehadiran Pemeriksaan sebagai Alat Evaluasi

Bagi sebagian besar WP, pemeriksaan dianggap sebagai bentuk ‘hukuman’. Padahal dalam self assessment system, pemeriksaan adalah bagian penting untuk memastikan pelaporan yang dilakukan benar dan sesuai ketentuan. Melalui PMK 15/2025, pendekatan pembinaan lebih ditekankan, di mana proses pemeriksaan bertujuan membangun pemahaman, bukan sekedar koreksi fiskal.

Pemeriksaan dan Prinsip Risk-Based Audit

Salah satu terobosan penting dalam PMK 15/2025 adalah pendekatan pemeriksaan berbasis risiko (risk based audit). WP yang dianggap berisiko tinggi akan lebih mungkin terpilih untuk diperiksa. Ini menuntut WP untuk tidak hanya patuh secara formal, tetapi juga membangun profil kepatuhan yang baik melalui data yang transparan dan laporan yang akurat.

Klasifikasi Pemeriksaan: Lengkap, Terfokus, dan Spesifik

Pasal 2 ayat (2) PMK 15/2025 membagi pemeriksaan menjadi 3 (tiga) tipe:

1. Pemeriksaan Lengkap : menguji seluruh pos SPT secara mendalam.

2. Pemeriksaan Terfokus : hanya terhadap satu atau beberapa pos dalam SPT.

3. Pemeriksaan Spesifik : atas pos tertentu secara sederhana.

Poin-poin penting:

1. Jangka waktu pengujian:

– Pemeriksaan Lengkap : semula 6 bulan menjadi 5 bulan.

– Pemeriksaan Terfokus : semula 4 bulan menjadi 3 bulan.

– Pemeriksaan Spesifik : semula 2 bulan menjadi 1 bulan. (10 hari kerja untuk kondisi tertentu)

Pembatasan waktu ini ditujukan untuk meningkatkan efisiensi pemeriksaan dan menghindari ketidakpastian yang berkepanjangan.

2. Jangka waktu Tanggapan wajib Pajak terhadap SPHP:

Semula 7 (tujuh) hari kerja dan dapat diperpanjang 3 (tiga) hari kerja sehingga menjadi 10 (sepuluh) hari kerja, menjadi maksimal 5 (lima) hari kerja tanpa ada lagi perpanjangan waktu.

Perubahan ini bertujuan mempercepat proses pemeriksaan dan memberikan kepastian hukum, namun juga menuntut wajib pajak untuk lebih siap dan responsif dalam menyiapkan tanggapan atas hasil pemeriksaan.

3. Jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (PAHP) dan Pelaporan

Semula 2 (dua) bulan menjadi 30 (tiga puluh) hari kerja.

PAHP adalah tahap akhir dalam proses pemeriksaan pajak di mana wajib pajak dan petugas pajak membahas hasil pemeriksaan sebelum diterbitkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)

Kriteria Pemeriksaan: Siapa yang Bisa Diperiksa?

– WP mengajukan : restitusi atau menyampaikan SPT lebih bayar.

– WP menyampaikan SPT : Rugi.

– WP mendapat : pengembalian pendahuluan.

– WP tidak menyampaikan : SPOP PBB.

– Terdapat indikasi : kurang bayar PBB berdasarkan data hasil analisis DJP.

– Adanya data konkret dari DJP : faktur pajak/bukti potong PPh yang tidak dilaporkan.

Khususnya, Pasal 4 ayat (1) huruf l menjadi sorotan karena memperkenalkan konsep data konkret yang dapat dijadikan dasar pemeriksaan tanpa melalui proses panjang, misalnya adanya transaksi dari pihak ketiga yang tidak diakui oleh WP dalam SPT.

Hak dan Kewajiban Wajib Pajak

PMK 15/2025 ini menggaris bawahi pentingnya transparansi dan akuntabilitas, dengan memperkuat posisi WP dalam proses pemeriksaan.

WP berhak untuk:

– Mengetahui : alasan dan tujuan pemeriksaan.

– Menghadiri : Pembahasan Temuan Sementara dan Pembahasan Akhir.

– Menghadirkan : saksi atau ahli dalam proses pembahasan.

– Mengajukan : keberatan terhadap hasil koreksi, dan bila tidak ada kesepakatan, WP dapat meminta pembahasan lanjutan melalui forum Tim Quality Assurance Pemeriksaan.

Namun, PMK juga mewajibkan WP untuk kooperatif, seperti memberikan akses terhadap buku, catatan, data elektronik, dan membantu kelancaran proses pemeriksaan.

Standar Pemeriksaan: Profesional dan Terukur

PMK 15/2025 juga memuat ketentuan Standar Pemeriksaan yang terbagi menjadi:

1. Standar Umum Pemeriksaan, menekankan integritas, kompetensi, dan independensi pemeriksa.

2. Standar Pelaksanaan Pemeriksaan, mengharuskan adanya dokumentasi, pembuktian yang kuat, dan pelaksanaan sesuai metode yang sah.

3. Standar Pelaporan, mewajibkan penyusunan laporan pemeriksaan berdasarkan kertas kerja yang rapi dan sistematis.

Tujuannya adalah memastikan hasil pemeriksaan tidak semata menjadi “alat koreksi fiskal”, tetapi benar-benar berdasar hukum dan bukti.

Strategi Menghadapi Pemeriksaan Pajak

Strategi agar WP dapat menghadapi pemeriksaan pasca PMK 15/2025 secara efektif:

1. Evaluasi Internal Kepatuhan Pajak

WP disarankan melakukan self assessment system terhadap pelaporan pajak, metode pembukuan, dan dokumentasi transaksi, khususnya transaksi afiliasi dan potensi risiko transfer pricing.

2. Penguatan Dokumentasi & Data Elektronik

Pemeriksaan saat ini tidak hanya menyoal dokumen fisik, tetapi juga melibatkan akses data elektronik, sehingga WP perlu memastikan sistem IT dan arsip digital mereka memadai dan mudah diakses.

3. Koordinasi dengan Kuasa Pajak Sejak Awal

Kuasa atau konsultan pajak sebaiknya dilibatkan sejak awal, terutama dalam menentukan strategi komunikasi dan klarifikasi atas temuan sementara.

4. Manfaatkan Hak Pembahasan dan QA Forum

WP didorong aktif menggunakan hak untuk membahas hasil pemeriksaan, dan jika perlu, mengajukan pembahasan ke Quality Assurance agar koreksi sepenuhnya adil dan proporsional.

5. Pahami Hak atas Penangguhan atau Penyegelan

Dalam kondisi tertentu, pemeriksa dapat melakukan penyegelan atau menangguhkan pemeriksaan. WP perlu memahami prosedurnya agar tidak dirugikan oleh tindakan yang tidak sesuai ketentuan.

Kesimpulan: Menuju Pemeriksaan yang Lebih Adil dan Profesional

PMK 15/2025 menjadi langkah maju dalam reformasi tata kelola perpajakan. Ia tidak hanya mengatur teknis pemeriksaan, tetapi juga memperkuat prinsip transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi waktu.

Namun, di sisi lain, hal ini menuntut kesiapan lebih besar dari Wajib Pajak. Mereka harus tidak hanya patuh secara administratif, tetapi juga memiliki manajemen data yang baik dan pemahaman mendalam atas hak dan kewajibannya.

Bagi UMKM, PMK ini membuka peluang baru untuk mengelola perpajakan secara lebih baik. Adanya pemeriksaan spesifik berdurasi hanya 10 (sepuluh) hari menjadi bentuk adaptasi terhadap kemampuan administrasi WP skala kecil. Namun di sisi lain, UMKM tetap harus memahami bahwa pemeriksaan tetap dapat berujung sanksi jika ditemukan ketidaksesuaian yang signifikan.

WP perlu menyusun strategi jangka panjang yang meliputi konsistensi pelaporan, pembentukan tim pajak internal, pelatihan berkala, hingga penggunaan teknologi akuntansi modern. Konsultasi rutin dengan konsultan pajak juga menjadi kebutuhan strategis, bukan lagi sekadar solusi saat terjadi sengketa.

Penulis adalah Anggota Dewan Kehormatan IKPI

I Kadek Sumadi (email: kadek_sumadi@yahoo.com)

Hariyasin (email: hariyasin29@yahoo.com)

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

en_US