Implikasi Perlakuan Perpajakan dalam Kerja Sama Operasi Terhadap Dunia Usaha

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79 Tahun 2024 (PMK79/2024) tentang Perlakuan Perpajakan dalam Kerja Sama Operasi diterbitkan untuk menggantikan ketentuan sebelumnya dan memberikan kerangka perpajakan yang lebih komprehensif dan terstruktur yang mulai berlaku pada tanggal 18 Oktober 2024. Kerja Sama Operasi (KSO) atau Joint Operation (JO) merupakan bentuk kemitraan usaha yang umum dalam proyek-proyek besar, khususnya di sektor konstruksi dan infrastruktur.

PMK79/2024 tersebut mengatur bahwa KSO wajib memiliki NPWP tersendiri, melakukan pembukuan terpisah, serta memenuhi kewajiban perpajakan sebagai entitas mandiri. Kontribusi anggota KSO dapat berupa uang, barang, jasa, atau aset tetap, dan dikenai perlakuan perpajakan sesuai jenisnya. KSO juga dapat ditunjuk sebagai pemotong pajak Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 dan Pasal 23, sedangkan penghasilan anggota dari KSO menjadi tanggung jawab perpajakan masing-masing.

Poin-poin Penting

1. Pengakuan KSO sebagai Subjek Pajak

KSO diakui sebagai subjek pajak meskipun tidak berbadan hukum. KSO wajib memiliki NPWP sendiri yang terpisah dari anggota-anggotanya.

2. Kewajiban Pendaftaran dan NPWP

KSO wajib didaftarkan untuk memperoleh NPWP jika melakukan kegiatan usaha/jasa atau menerima penghasilan yang dikenakan pajak di Indonesia.

3. Kontribusi Anggota ke KSO

Kontribusi anggota KSO dapat berupa uang, barang, jasa, dan/atau tanah dan bangunan. Kontribusi berupa BKP/JKP oleh PKP dikenai PPN. Kontribusi tanah dan bangunan dapat dikenai PPN dan PPh Final sesuai kondisi.

4. Kewajiban Pembukuan dan Pelaporan

KSO wajib menyelenggarakan pembukuan dan pelaporan pajak secara terpisah dari para anggotanya. KSO juga wajib menyampaikan SPT Masa dan SPT Tahunan PPh Badan.

5. Pemotongan dan Penyetoran Pajak

KSO dapat ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut PPh Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 4 ayat (2). Penghasilan anggota dari KSO tidak dipotong oleh KSO, tetapi disetorkan dan dilaporkan oleh masing-masing anggota.

6. KSO dengan Subjek Pajak Luar Negeri

Jika terdapat anggota KSO yang merupakan subjek pajak luar negeri, maka penghasilan yang diterima dari KSO dikenai PPh Pasal 26, kecuali ditentukan lain oleh perjanjian penghindaran pajak berganda (tax treaty).

7. Penghentian KSO

Setelah kerja sama berakhir, KSO wajib menyampaikan SPT pembubaran atau pengakhiran kegiatan dan menyelesaikan seluruh kewajiban perpajakan yang masih harus dipenuhi.

Sebelum PMK79/2024, pengaturan perpajakan KSO tersebar di beberapa regulasi, pada masa itu, sehingga perlakuan pajak terhadap KSO sering kali membingungkan karena tidak ada kejelasan status subjek pajak dan kewajiban pencatatan.

Misalnya, tidak semua KSO diwajibkan memiliki NPWP, sehingga menimbulkan celah administratif. Selain itu, kontribusi berupa aset seperti tanah/bangunan tidak selalu jelas apakah dikenai PPN atau tidak.

Beberapa ketentuan dalam PMK792024 yang patut diperhatikan antara lain:

– Penegasan NPWP KSO: Memberikan dasar administratif yang kuat.

– Kontribusi berupa aset (tanah dan bangunan): Kini dikenai PPN jika diserahkan oleh PKP, menambah beban fiskal namun memperjelas perlakuan pajak.

– Pembukuan terpisah: Meningkatkan transparansi namun memerlukan kesiapan sistem dan SDM.

– Penyetoran pajak anggota: Mendorong kemandirian dan tanggung jawab masing-masing anggota.

PMK79/2024 menyederhanakan dan memperjelas perlakuan pajak KSO dengan mengatur kontribusi secara eksplisit, menjadikan KSO sebagai subjek pajak, dan mengatur pembukuan dan pelaporan secara terpisah. Hal ini menciptakan keadilan fiskal serta mempermudah pengawasan dan kepatuhan perpajakan.

PMK79/2024 merupakan langkah positif dalam reformasi perpajakan, khususnya dalam pengaturan entitas non-badan hukum seperti KSO. Dengan kejelasan regulasi, pengusaha dapat lebih percaya diri dalam menyusun kontrak dan melaksanakan kerja sama. Namun, kompleksitas administrasi dan tambahan beban pajak, terutama atas kontribusi non-uang seperti aset (tanah dan bangunan) perlu menjadi pertimbangan dalam perencanaan proyek.

Pemerintah diharapkan aktif memberikan sosialisasi dan bimbingan teknis agar implementasi PMK ini tidak menimbulkan multitafsir di lapangan.

Kesimpulannya: PMK79/2024 membawa perubahan penting dan positif dalam pengaturan perpajakan atas KSO. Peraturan ini tidak hanya memperjelas posisi hukum dan fiskal KSO, tetapi juga memberikan kerangka kerja yang lebih sistematis. Meski demikian, penerapannya memerlukan kesiapan teknis dan pemahaman menyeluruh dari pelaku usaha dan aparat pajak.

Penulis adalah Anggota Dewan Kehormatan IKPI

I Kadek Sumadi 

Email: Kadek_sumadi@yahoo.com

Hariyasin

Email: hariyasin29@yahoo.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

Kepatuhan Pajak di Indonesia : Sebuah Tinjauan Teoritis

Sebagai pembuka, mari kita membedah terlebih dahulu kinerja pendapatan negara pada tahun 2024. Penerimaan pajak sampai dengan 31 Desember 2024 mencapai Rp. 1.932,4 T atau 100,5% dari target, tumbuh sebesar 3,5% yoy, pertumbuhan ini hanya berdasarkan dari penerimaan dari sektor pajak, didorong oleh pertumbungan dari jenis penerimaan pajak utama.

Melihat kondisi ini, pajak adalah bentuk salah satu sumber penerimaan utama dari penerimaan negara yang digunakan untuk membiayai dan mendanai berbagai kebutuhan publik, dimulai dari pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, layanan pendidikan, subsidi sosial, hingga proyek-proyek strategis nasional lainnya.

Mengingat keterbutuhan akan penerimaan negara dari sektor pajak itu merupakan sumber yang tergolong primer, maka hal ini, secara tidak langsung mendorong Pemerintah untuk menekankan kepada masyarakat dalam hal ini Wajib Pajak untuk meningkatkan pentingnya memenuhi kepatuhan perpajakan yang dilandasi Peraturan Perpajakan di Indonesia.

Dalam konteksnya di Indonesia, kontribusi penyerapan penerimaan negara di Indonesia dari sektor Pajak terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), mencapai lebih dari 70% di setiap tahunnya, mengingat data yang telah saya paparkan di awal penjelasan diatas, yang hal ini menegaskan bahwa Pajak secara tidak langsung pula menjadikan instrumen utama dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan nasional dalam hal pendanaan strategis nasional.

Kepatuhan terhadap perpajakan memiliki makna bahwa setiap Wajib Pajak, melaksanakan dan memenuhi kepatuhan dan kewajiban perpajakannya secara tepat waktu, jujur, dan menjalankan sesuai dengan ketentuan dan regulasi yang telah ditetapkan oleh Pemerintahan yang berwenang. Dengan, mempertimbangkan tingkat kepatuhan perpajakan yang tinggi di suatu negara, maka secara tidak langsung, hal tersebut akan mempengaruhi tingkat pengembalian terhadap negara kepada masyarakat yang sepadan, seperti fasilitas yang diberikan, sarana dan prasarana yang tersedia di publik, sumber daya yang cukup, program-program publik yang dapat dijalankan secara merata dan berkelanjutan, namun berkebalikannya, bila tingkat kepatuhan yang rendah, maka beban pajak yang dikenakan kepada masyarakat akan tidak merata, dengan asumsi bahwa hanya ada segelintir pihak saja yang taat, namun yang lainnya memiliki kecenderungan mengindar, maka hal ini akan memicu ketimpangan sosial, dan serta menimbulkan ketidak percayaan terhadap sistem perpajakan yang dibangun oleh sebuah Pemerintahan.

Di sisi lain, kepatuhan terhadap perpajakan, menggambarkan dan mencerminkan bentuk kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada Pemerintah. Masyarakat yang selama ini telah patuh menjalankan kewajiban perpajakannya, akan menunjukkan bahwa dana yang mereka setorkan dan kontribusikan kepada negara, akan dikelola secara bertanggung jawab oleh negara, dalam bentuk imbal balik yang diberikan Pemerintah seperti pelayanan yang maksimal kepada Masyarakat, pembangunan infrastruktur yang merata, layanan pendidikan dan kesehatan yang merata, yang pada dasarnya, seluruh manfaat dapat diterima secara merata oleh seluruh masyarakat Indonesia. Namun sebaliknya, bentuk ketidakpatuhan juga, dapat memberikan sinyal adanya krisis ketidakpercayaan yang dari masyarakat kepada Pemerintah akibat adanya isu transparansi dan akuntabilitas dari Pemerintah, yang pada dasarnya hal tersebut harus menjadi evaluasi dari Pemerintah dalam menjalankan good clean governance.

Mengenal Berbagai Teori Kepatuhan Perpajakan

Tidak lengkap rasanya, bila kita membahas kepatuhan perpajakan, namun tidak membahas latar belakang akademis yang melandasinya. Latar belakang akademik, memiliki peranan sentral yang nantinya akan memberikan dampak praktis dalam bentuk kebijakan yang diterapkan oleh masing-masing-masing Pemerintahan di berbagai negara, bergantung dengan setiap kebutuhan ekonomis di masing-masing negara tersebut. Pada pembahasan, teori-teori kepatuhan perpajakan ini, saya membagi 3 (tiga) kluster utama dari pandangan para ahli yang perlu rekan-rekan pahami dalam memahami mengapa kepatuhan perpajakan itu penting, 3 (tiga) teori pandangan para ahli tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :

Tax Compliance Theory oleh Allingham dan Sandmo (1972)

Teori ini, merupakan salah satu grand theory yang sering kali digunakan oleh para peneliti yang meneliti di subjek Perpajakan dan Akuntansi, yang dikembangkan oleh Michael G. Allingham dan Agnar Sandmo pada tahun 1972 dalam artikelnya yang berjudul “Income Tax Evasion: A Theoretical Analysis”, premis sederhana, dari teori ini adalah teori ini menekankan akan pentingnya mematuhi kewajiban perpajakan, dan Wajib Pajak wajib menghitung secara rasional atas setiap untung dan ruginya bila tidak mematuhi kewajiban perpajakan, artinya secara sadar, Wajib Pajak bila dengan sengaja menghindar (tax avoidance) atau dengan sengaja melakukan penggelapan yang mengarah ke tindak pidana (tax evasion), maka terdapat ancaman maksimal yang akan diterima.

Oleh karena itu, dalam memutuskan apakah akan mematuhi atau melakukan penghindaran, setiap Wajib Pajak baik Badan Usaha maupun Orang Pribadi, akan terlebih dahulu menghitung baik buruknya, sebab, di setiap keputusan maupun langkah yang diambil, Wajib Pajak akan melakukan kalkulasi untung rugi secara logis, hal ini sangat relevan dengan kondisi yang menggambarkan situasi Wajib Pajak di seluruh belahan dunia. Model ini menjelaskan bahwa kepatuhan pajak bukan hanya soal kesadaran moral atau etika, melainkan hasil dari keputusan ekonomi yang rasional, seperti keputusan investasi yang mempertimbangkan untung ruginya.

Model teori ini, secara umum memberikan dasar bagi para pemangku kepentingan seperti para regulator maupun Pemerintah dalam menetapkan kebijakan fiskal, dalam merancang sistem bentuk pengawasan maupun kepatuhan perpajakan Wajib Pajak dan bentuk pemeriksaan Wajib Pajak. Namun, teori ini pula banyak mengundang kritik, karena terlalu menyederhanakan teknis tanpa mempertimbangkan faktor-faktor humanis yang bahkan dapat memberikan pengaruh signifikan dalam pengambilan keputusan Wajib Pajak seperti faktor sosial, moral, maupun psikologis, dalam hal ini berperan besar dalam perilaku Perpajakan Wajib Pajak.

Teori ini, menjadi penting dan tetap menarik untuk terus dilakukan studi lebih lanjut dalam hal studi kepatuhan perpajakan dan menjadi titik awal dari berbagai pengembangan teori lanjutan di bidang perpajakan, dan bahkan banyak teori yang berkembang atas dikenalkannya teori ini.

Tax Compliance Theory oleh Graetz dan Wilde (1985) 

Berbeda konsep dengan teori yang ditawarkan oleh Allingham dan Sandmo (1972), pada teori ini Graetz dan Wilde (1985) yang dituangkan dalam artikel yang berjudul “The Economics of Tax Compliance: Facts and Fantasy”, memberikan warna yang berbeda. Teori kepatuhan pajak ini mengkritisi teori yang telah diusung sebelumnya, bahwa kepatuhan pajak harus didorong dengan konsep “tax morale”, nilai-nilai humanisme yang sebelumnya tidak ditawarkan oleh teori sebelumnya.

Bahwa kepatuhan pajak akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana cara pandang Wajib Pajak memandang penggunaan dana pajak oleh negara. Jika merasa bahwa dana pajak yang selama ini secara terpaksa maupun sukarela disetorkan kepada negara namun peruntukkan dan penggunaannya untuk kemaslahatan masyarakat secara luas dan memiliki dampak yang positif bagi masyarakat secara umum, maka tercipta kepercayaan yang mendorong kepatuhan secara sukarela tanpa harus adanya dorongan dari Pemerintah untuk menekankan akan pentingnya pemenuhan kewajiban perpajakan, namun sebalknya, jika Wajib Pajak merasa bahwa sistem pajak koruptif dan tidak berpihak kepada rakyat, maka akan muncul resistensi dan kecenderungan untuk menghindari kewajiban perpajakan.

Dengan demikian, teori ini, menjadi bentuk resistensi dari teori sebelumnya, dan bentuk dari pengembangan dan perluasan atas pendekatan perilaku terhadap bentuk kepatuhan pajak, sebab meningkatkan kepatuhan perpajakan Wajib Pajak tidak hanya melalui penetapan atau ancaman sanksi, namun Pemerintah atau dalam hal ini regulatur dapat memperkuat legitimasi dan kepercayaan publik dengan institusi pajak beserta dengan organisasi-organisasi masyarakat yang dianggap mampu mendekatkan diri dengan masyarakat akan pentingnya pemenuhan kewajiban perpajakan.

Slippery Slope Framework oleh Erich Kirchler (2007) 

Teori kepatuhan pajak yang dikembangkan oleh Erich Kirchler pada tahun 2007, yang dituangkan dalam bukunya “The Economic Psychology of Tax Behaviour”, menandai pergeseran penting dari pendekatan ekonomi rasional menuju pendekatan psikologi perilaku dalam studi kepatuhan perpajakan. Kirchler berangkat dari kritik terhadap teori Allingham dan Sandmo yang mengasumsikan bahwa wajib pajak adalah individu rasional yang hanya mempertimbangkan risiko audit dan sanksi. Sebaliknya, ia menekankan bahwa kepatuhan pajak adalah hasil dari interaksi antara kekuatan otoritas pajak (power of authority) dan kepercayaan wajib pajak terhadap otoritas pajak (trust in authority).

Kirchler (2007), memperkenalkan konsep Slippery Slope Framework, yang menggambarkan bahwa tingkat kepatuhan tidak hanya dapat ditingkatkan dengan pengawasan dan hukuman (coercive power), tetapi juga melalui pembangunan hubungan yang berbasis kepercayaan, transparansi, dan persepsi keadilan. Dalam kerangka ini, jika otoritas pajak terlalu mengandalkan kekuatan koersif, maka hubungan antara negara dan wajib pajak akan menjadi kaku dan penuh tekanan, bahkan bisa mendorong perlawanan pasif.

Namun, jika otoritas mampu menumbuhkan rasa kepercayaan melalui pelayanan yang baik, keterbukaan, dan perlakuan yang adil, maka akan muncul kepatuhan sukarela yang jauh lebih stabil dan berkelanjutan. Kirchler juga menegaskan bahwa keseimbangan antara kekuatan dan kepercayaan merupakan kunci untuk menciptakan sistem perpajakan yang efektif dan berkeadilan.

Dalam konteks ini, kepercayaan tidak hanya mencerminkan harapan bahwa otoritas pajak bertindak jujur dan profesional, tetapi juga mencakup persepsi bahwa kebijakan pajak dibuat secara partisipatif dan digunakan untuk kepentingan publik.

Oleh karena itu, teori Kirchler menjadi sangat relevan dalam upaya reformasi administrasi perpajakan di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, yang sering menghadapi tantangan rendahnya kepercayaan publik terhadap lembaga perpajakan.

Aplikasi Ketiga Teori Kepatuhan Perpajakan di Indonesia 

Dalam konteks Indonesia, penerapan teori kepatuhan pajak yang dikembangkan oleh Allingham dan Sandmo (1972), Graetz dan Wilde (1985), serta Erich Kirchler (2007) memberikan kerangka analitis yang saling melengkapi untuk menjelaskan kompleksitas perilaku wajib pajak cukup menarik bila efektif diterapkan di Indonesia khususnya.

Secara khusus, misalnya, pada teori Allingham dan Sandmo (1972) yang menekankan pendekatan rasionalitas ekonomi, yaitu keputusan wajib pajak ditentukan oleh perbandingan antara manfaat menghindari pajak dan risiko dikenai sanksi apabila terdeteksi, relevan diterapkan di Indonesia sebagai dasar pembentukan kebijakan penegakan hukum.

Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa rasio audit terhadap jumlah wajib pajak masih sangat rendah, ditambah keterbatasan sumber daya manusia dan infrastruktur teknologi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sanksi perpajakan, meskipun telah diatur secara hukum, sering kali tidak dijalankan secara konsisten dan tidak menimbulkan efek jera yang memadai.

Akibatnya, kepatuhan yang didasarkan pada rasa takut menjadi kurang efektif. Hal ini juga diperburuk dengan adanya persepsi publik bahwa tindakan tegas lebih banyak menyasar pelaku UMKM atau wajib pajak individu kecil, sementara pelanggaran oleh korporasi besar atau elite ekonomi sering kali tidak tersentuh. Oleh sebab itu, pendekatan ini tetap penting namun membutuhkan penguatan melalui reformasi sistem audit berbasis risiko (risk-based audit), transparansi sanksi, dan konsistensi penegakan hukum terhadap semua lapisan wajib pajak tanpa pandang bulu.

Sementara itu, bila kita menelaah lebih dalam pada teori Graetz dan Wilde (1985) serta konsep yang ditawarkan pada teori Slippery Slope Framework dari Kirchler (2007) menawarkan pendekatan yang lebih sesuai dengan konteks sosial-politik Indonesia. Graetz dan Wilde (1985)  menekankan pentingnya faktor moral pajak (tax morale) dan persepsi keadilan dalam sistem perpajakan.

Di Indonesia, banyak wajib pajak yang memilih tidak patuh bukan karena perhitungan rasional terhadap risiko hukum, melainkan karena munculnya ketidakpercayaan terhadap institusi negara, persepsi bahwa pajak tidak digunakan untuk kepentingan publik, serta keteladanan yang buruk dari sebagian pejabat publik.

Hal ini diperkuat oleh kerangka kerja Kirchler (2007) yang menyatakan bahwa kepatuhan pajak akan meningkat jika terdapat keseimbangan antara kekuatan otoritas pajak (audit dan sanksi) dan tingkat kepercayaan wajib pajak terhadap institusi perpajakan. Oleh karena itu, strategi DJP tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan koersif, melainkan harus diimbangi dengan peningkatan kualitas layanan, edukasi publik, dan upaya transparansi dalam pengelolaan penerimaan negara.

Program reformasi perpajakan yang mengarah pada digitalisasi (seperti core tax administration system) adalah langkah tepat, tetapi akan sia-sia tanpa diiringi perubahan dalam budaya organisasi dan sikap pelayanan yang humanis.

Dalam masyarakat yang masih bersifat kolektif seperti Indonesia, norma sosial dan pengaruh lingkungan sekitar juga sangat menentukan perilaku kepatuhan. Maka, kolaborasi antara negara, sektor swasta, tokoh masyarakat, dan akademisi menjadi krusial untuk menumbuhkan ekosistem pajak yang sehat, adil, dan dipercaya. Kombinasi ketiga teori ini secara strategis dapat membentuk pendekatan yang menyeluruh: mendorong kepatuhan dengan kontrol yang kuat, memperkuat legitimasi sistem pajak, serta membangun kepercayaan jangka panjang antara negara dan warganya.

Refleksi atas Peran Strategis IKPI dalam Membangun Kepatuhan Pajak di Indonesia 

Sebagai penutup, penting rasanya membahas peran sentral IKPI sebagai fondasi penting akan pemenuhan kepatuhan perpajakan masyarakat dan Wajib Pajak di Indonesia secara luas, tidak hanya sebagai Organisasi profesi yang mewadahi para Konsultan Pajak, namun IKPI memiliki peranan sentral yang dalam mitra strategis pemenuhan kewajiban perpajakan di Indonesia.

Dalam lanskap perpajakan modern yang terus berubah, peran aktor non-pemerintah dalam memperkuat sistem perpajakan semakin diakui sebagai bagian penting dari tata kelola fiskal yang berkelanjutan. Salah satu aktor strategis tersebut adalah Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), yang merupakan organisasi profesi resmi dan independen yang mewadahi para konsultan pajak di Indonesia. Sebagai organisasi profesional, IKPI tidak hanya bertanggung jawab menjaga kompetensi dan integritas anggotanya, tetapi juga memiliki tanggung jawab etik dan sosial yang lebih luas dalam mendukung peningkatan kepatuhan pajak nasional.

Dalam posisi ini, IKPI dapat berfungsi sebagai jembatan penghubung yang kredibel antara wajib pajak dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), baik dalam aspek teknis, edukatif, maupun strategis. Peran IKPI menjadi sangat relevan ketika dikaji melalui kerangka pemikiran teoretis tentang kepatuhan pajak yang menekankan bahwa perilaku wajib pajak tidak hanya dipengaruhi oleh sanksi hukum, tetapi juga oleh kesadaran moral, persepsi keadilan, dan relasi sosial dengan institusi perpajakan.

Dari perspektif Tax Compliance Theory oleh Allingham dan Sandmo (1972), kepatuhan pajak lahir dari kalkulasi rasional antara manfaat menghindari pajak dan risiko hukuman jika ketahuan. Dalam konteks ini, IKPI memainkan peran teknokratik yang sangat penting, yaitu membantu wajib pajak memahami, mematuhi, dan menyesuaikan pelaporan perpajakan dengan peraturan yang berlaku.

Dengan kompleksitas regulasi perpajakan yang tinggi di Indonesia, baik dari sisi substansi hukum, dinamika perubahan kebijakan, maupun keterkaitan dengan sistem digital banyak wajib pajak yang kesulitan mengakses pemahaman yang memadai.

Di sinilah konsultan pajak yang tergabung dalam IKPI menjadi instrumen kunci untuk menutup kesenjangan informasi (compliance gap) yang sering kali justru menjadi akar ketidakpatuhan administratif, bukan karena niat jahat, tetapi karena minimnya literasi pajak. Kehadiran konsultan pajak profesional yang menjunjung integritas dapat meminimalisasi risiko pelanggaran pajak, sekaligus menghindari potensi sanksi yang merugikan wajib pajak dan negara.

Namun, pendekatan rasional semata tidak cukup menjelaskan seluruh aspek kepatuhan. Dalam perspektif Graetz dan Wilde (1985), kepatuhan tidak hanya bergantung pada risiko hukum, tetapi juga pada “tax morale”, yakni motivasi intrinsik untuk patuh terhadap kewajiban perpajakan karena alasan etis, sosial, dan budaya.

Di Indonesia, dengan karakter masyarakat yang kolektif dan sangat dipengaruhi oleh norma sosial, persepsi terhadap keadilan fiskal dan integritas institusi pajak menjadi faktor krusial. Jika wajib pajak melihat bahwa sistem perpajakan bersifat timpang, prosedurnya tidak transparan, atau pejabat publik tidak memberi keteladanan, maka moral pajak akan melemah, dan kepatuhan sukarela akan menurun.

Dalam hal ini, IKPI dapat menjalankan peran moral dan edukatif, yaitu membimbing kliennya untuk mematuhi pajak bukan hanya karena takut diperiksa, tetapi karena sadar bahwa membayar pajak adalah bagian dari kontribusi kolektif terhadap pembangunan nasional.

IKPI juga dapat mengadvokasi pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan pembaruan sistem yang adil, sekaligus menjadi bagian dari kontrol sosial dan teknokratik yang mendukung legitimasi sistem perpajakan nasional.

Selanjutnya, melalui kacamata Slippery Slope Framework yang dikembangkan oleh Erich Kirchler (2007), kepatuhan pajak merupakan hasil dari kombinasi antara kekuatan otoritas (power) dan kepercayaan (trust). DJP memiliki kekuatan hukum untuk memeriksa, menyanksi, dan menegakkan peraturan.

Namun, untuk meningkatkan kepatuhan jangka panjang yang berkelanjutan, kekuatan ini harus diimbangi dengan upaya membangun kepercayaan masyarakat terhadap integritas dan efektivitas institusi perpajakan.

Di sinilah posisi IKPI menjadi sangat strategis sebagai co-creator trust. Konsultan pajak berada dalam posisi unik berinteraksi langsung dengan wajib pajak dan memahami sistem internal DJP, sehingga dapat memainkan fungsi diplomatik dan edukatif yang tidak bisa dilakukan sepenuhnya oleh negara.

Melalui pelayanan profesional, komunikasi yang etis, dan komitmen pada integritas, anggota IKPI dapat membentuk persepsi publik bahwa sistem perpajakan bukan alat pemaksaan, melainkan sarana kerja sama antara negara dan masyarakat. IKPI juga bisa mendorong DJP untuk meningkatkan kualitas layanan, menyederhanakan prosedur, dan meminimalkan ruang abu-abu yang bisa mengikis kepercayaan publik.

Refleksi atas peran IKPI dalam konteks ketiga teori ini menunjukkan bahwa kolaborasi antara DJP dan organisasi profesi seperti IKPI bukan hanya bersifat administratif atau teknis, tetapi merupakan bagian dari strategi kebijakan nasional untuk memperkuat struktur fiskal negara.

Dalam kondisi penerimaan negara yang semakin bergantung pada pajak, dan tekanan fiskal yang meningkat karena kebutuhan pembiayaan pembangunan, keberadaan konsultan pajak yang profesional, independen, dan berintegritas menjadi salah satu penopang utama. Maka, penting bagi IKPI untuk terus memperkuat kapabilitas anggotanya melalui pelatihan berkelanjutan, pembinaan etik profesi, serta keterlibatan aktif dalam reformasi perpajakan nasional.

Sinergi antara DJP dan IKPI akan menjadi model kemitraan yang menunjukkan bahwa keberhasilan sistem pajak tidak hanya ditentukan oleh seberapa keras negara menegakkan hukum, tetapi juga oleh seberapa besar masyarakat, melalui para profesionalnya, bersedia menjadi bagian dari ekosistem pajak yang adil, berkelanjutan, dan dipercaya.

SUMBER REFERENSI

Allingham, M. G., & Sandmo, A. (1972). Income tax evasion: A theoretical analysis. Journal of Public Economics, 1(3–4), 323–338. https://doi.org/10.1016/0047-2727(72)90010-2ScienceDirect+4SCIRP+4EconPapers+4

Graetz, M. J., & Wilde, L. L. (1985). The economics of tax compliance: Fact and fantasy. National Tax Journal, 38(3), 355–363.CaltechAUTHORS+3CaltechAUTHORS+3IDEAS/RePEc+3

Kirchler, E. (2007). The economic psychology of tax behaviour. Cambridge University Press.Google Scholar+3SCIRP+3Universität Wien+3

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2024, Januari 2). Pendapatan negara tahun 2024 tumbuh positif. https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/Pendapatan-Negara-Tahun-2024-Tumbuh-Positif

 

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Kota Bekasi/Mahasiswa Program Doktoral Keuangan Universitas Brawijaya/Dosen Universitas Nasional

M. Abdul Rahman

Email: rahman@rahman-muhaimin.com,

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

Meningkatkan Tax Ratio Indonesia: Strategi Efektif Menuju Kemandirian Fiskal

Tax ratio atau rasio pajak adalah salah satu indikator utama untuk mengukur efektivitas sistem perpajakan suatu negara. Rasio ini menunjukkan seberapa besar kontribusi penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dan menjadi cerminan langsung dari kapasitas fiskal pemerintah dalam membiayai pembangunan tanpa terlalu bergantung pada utang. Sayangnya, tax ratio Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya di kawasan Asia Tenggara. Padahal, potensi penerimaan pajak Indonesia sangat besar, baik dari sektor formal, informal, maupun ekonomi digital yang terus berkembang.

Rendahnya tax ratio menjadi tantangan struktural yang harus segera diatasi, terutama di tengah kebutuhan anggaran yang semakin besar untuk mendukung pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan program perlindungan sosial. Oleh karena itu, upaya meningkatkan tax ratio tidak bisa hanya dilakukan dengan pendekatan konvensional. Diperlukan strategi yang lebih inovatif, adaptif terhadap tren global, dan berorientasi pada pembenahan sistemik.

Mengapa Tax Ratio Penting bagi Masa Depan Ekonomi Indonesia?

Tax ratio adalah indikator kunci yang menunjukkan seberapa besar penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Di Indonesia, tax ratio masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara tetangga, pada 2024 tax ratio hanya mencapai sekitar 10,08% dibandingkan dengan tax ratio pada 2023 sebesar 10,4% (sumber: Kemenkeu). Hal ini menjadi tantangan serius dalam upaya pendanaan pembangunan nasional secara mandiri.

Saat ini Pemerintah Indonesia terus menggencarkan reformasi perpajakan sebagai upaya strategis untuk meningkatkan tax ratio yang selama ini masih tergolong rendah. Salah satu program unggulan dalam reformasi ini adalah digitalisasi sistem perpajakan, yang diwujudkan melalui implementasi Core Tax System (CTS) oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mulai Januari 2025.

CTS dirancang sebagai sistem teknologi modern yang menyatukan seluruh layanan dan proses administrasi perpajakan dalam satu platform digital yang terintegrasi. Tujuannya jelas yaitu untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan kepatuhan pajak di seluruh lapisan masyarakat.

Pemerintah terus berupaya melakukan reformasi perpajakan

Meski menjanjikan banyak manfaat, peluncuran CTS juga menghadapi tantangan. Masalah literasi digital, resistensi terhadap perubahan, dan kesenjangan infrastruktur teknologi di daerah menjadi hambatan yang perlu diatasi. Namun, pemerintah optimistis bahwa dengan pendekatan bertahap dan dukungan regulasi, CTS akan menjadi tulang punggung sistem perpajakan Indonesia masa depan.

Menurut laporan Bank Dunia (2024), negara yang berhasil mendigitalisasi sistem perpajakannya rata-rata mampu meningkatkan tax ratio sebesar 1,5–3% dalam 3–5 tahun. Jika implementasi CTS berjalan sesuai rencana, maka Indonesia berpeluang meningkatkan tax ratio hingga 13–14% pada 2030—angka yang jauh lebih sehat untuk mendukung pembangunan nasional.

Selain itu, Pemerintah terus menggencarkan ekstensifikasi pajak dengan menjangkau sektor-sektor yang belum tersentuh secara optimal, seperti ekonomi digital dan sektor informal. Integrasi data lintas instansi melalui big data dan data analytics memungkinkan DJP memetakan potensi pajak lebih akurat. Salah satunya melakukan kolaborasi dengan OJK, Bank Indonesia, dan K/L lainnya membuka akses data keuangan yang selama ini tertutup, meningkatkan basis data perpajakan hingga 22% pada 2024.

Meski teknologi dan data analytics membawa banyak keuntungan, kesenjangan dalam infrastruktur digital dan literasi pajak masih menjadi tantangan. Oleh karena itu, program pelatihan SDM pajak secara berkelanjutan dan peralihan paradigma dari pengawasan ke pelayanan adalah bagian penting dari reformasi. Melalui program DJP Digital Academy, pegawai pajak kini dilatih untuk menguasai teknologi dan pendekatan pelayanan berbasis data.

Sebagai bagian dari upaya memperbaiki tax ratio, edukasi dan literasi perpajakan menjadi kunci yang tak terelakkan. Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus menggencarkan program edukasi perpajakan, yang dimulai sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Tujuannya tidak hanya untuk meningkatkan kesadaran pajak di kalangan pelajar dan mahasiswa, tetapi juga untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab yang lebih besar terhadap pentingnya kontribusi pajak dalam pembangunan ekonomi negara. Kampanye digital seperti #PajakKuatAPBNSehat dan kerja sama dengan influencer pajak juga menjadi alat efektif membentuk persepsi positif public dan dapat membangun wajib pajak yang melek pajak.

Dengan kombinasi antara digitalisasi, integrasi data, perluasan basis pajak, dan inklusi pajak, target menaikkan tax ratio ke 15% secara bertahap sangat mungkin dicapai. Kuncinya ada pada komitmen politik, dukungan publik, dan implementasi yang konsisten.

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Kota Bekasi

Ratih Kumala

Email: rhaty07@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Mengkaji Program Amnesti Pajak Indonesia

Abstrak

Pajak merupakan salah satu bentuk pendapatan suatu negara yang digunakan untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Namun, penyelundupan pajak yang sering terjadi dapat menurunkan pendapatan tersebut dan merugikan ekonomi negara. Oleh sebab itu, pemerintah Republik Indonesia (RI) telah menyelenggarakan beberapa program amnesti pajak untuk memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk melaporkan aset tersembunyi tanpa dihukum. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji kebijakan-kebijakan amnesti pajak yang telah terlaksana sejauh ini. Kemudian, artikel ini juga menelaah pelaksanaan amnesti pajak di luar negeri untuk memberi gambaran tentang efek jangka pendek dan panjang yang mungkin akan timbul. Meskipun amnesti pajak tahun 1964 dan 1984 di RI dianggap gagal, amnesti pajak 2016-2017 dan program pengakuan sukarela (PPS) 2022 berhasil meningkatkan pendapatan jangka pendek negara.

Amnesti pajak 2016-2017 bahkan memecahkan rekor dunia jumlah pajak yang terkumpul dalam satu program amnesti. Tetapi, efek jangka panjang program amnesti pajak seperti menurunnya kepatuhan wajib pajak serta meningkatnya kesenjangan harus dipertimbangkan. Ketidakadilan terhadap wajib pajak yang patuh juga harus dipikirkan sebab hal ini berpotensi untuk membuat wajib pajak beralih menjadi tidak patuh. Pelaksanaan amnesti pajak kedepannya, terutama tahun 2025 yang masih diwacanakan, harus memperhitungkan aspek-aspek negatif amnesti pajak dan pengalaman negara-negara lain.

  1. Pendahuluan

Pajak merupakan salah satu bentuk pendapatan negara yang berfungsi untuk memajukan kesejahteraan masyarakat. Namun, pendapatan pajak Republik Indonesia (RI) yang masih rendah diakibatkan oleh penyelundupan pajak dan penempatan aset di luar negeri (Pramudito, 2015). Demi mengatasi masalah ini, pemerintah RI telah menerapkan program amnesti pajak untuk memberikan kesempatan terbatas kepada pembayar pajak untuk mengajukan aset luar negeri mereka dan membayar biaya pajak aset tersebut tanpa terkena penalti atau ancaman pelanggaran hukum (Undang-Undang Republik Indonesia, 2016).

Kepatuhan terhadap pembayaran pajak sangat penting agar negara mampu menjaga kepentingan umum dan mendistribusikan kekayaan secara efektif (Erdogdu & Akar, 2022). Tetapi, penyelundupan pajak telah terjadi sejak konsep pajak ditetapkan (Leenders et al., 2023) dan hal ini berdampak kepada berkurangnya pendapatan publik, mengakibatkan redistribusi kekayaan yang tidak merata dan kesenjangan pendapatan. Oleh sebab itu, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan fiskal untuk meningkatkan kepatuhan pembayaran pajak, salah satunya adalah amnesti pajak. Sejatinya pelaksaan amnesti pajak di Indonesia telah berlangsung pada tahun 1964 dan 1984, namun akibat sistem administrasi pajak yang tidak memadai pada masa itu, program tersebut dianggap tidak berhasil (Hajawiyah et al., 2021).

Program amnesti pajak telah berhasil dilaksanakan di RI adalah pada 2016 sehingga 2017, yang terbagi dalam tiga tahap, yaitu 1 Juli 2016 sampai 30 September 2016 (tahap 1), 1 Oktober 2016 sampai 31 Desember 2016 (tahap 2) dan 1 Januari 2017 hingga 31 Maret 2017 (tahap 3) (Undang-Undang Republik Indonesia, 2016). Penurunan pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan oleh COVID-19 membuat pemerintah kembali mengesahkan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau yang sering disebut amnesti pajak jilid II.

Program ini berlangsung dari 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2022 dengan harapan mampu memulihkan perekonomian RI (Undang-Undang Republik Indonesia, 2021). Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga berharap dapat menginisiasi kembali program amnesti pajak pada tahun 2025, menargetkan pembayar amnesti pajak periode sebelumnya dikarenakan keyakinan bahwa belum seluruh harta dideklarasikan 100% (Rachman, 2024). Pengadaan amnesti pajak yang berulang kali ini mengindikasikan bahwa pendapatan negara dari amnesti pajak cukup memuaskan dan masih dapat dimaksimalkan untuk meningkatkan pendapatan pajak negara.

Amnesti pajak dalam pelaksanaannya telah menuai berbagai pro dan kontra. Meskipun bisa meningkatkan pendapatan negara dalam jangka pendek, pemberlakuan amnesti pajak dianggap tidak adil dan menguntungkan penyelundup pajak (Erdogdu & Akar, 2022). Nilai harta yang dideklarasi pada amnesti pajak di tahun 2016-2017 mencapai Rp4.855 triliun (Ariyanti, 2017), sedangkan pada PPS tahun 2022 nilai harta yang diajukan adalah Rp595 triliun (Sopiah, 2022).

Rincian pendapatan ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tetapi kebijakan ini dinilai bisa meningkatkan jumlah pengemplang pajak dan tidak menaikkan rasio pajak, sehingga efektivitasnya kembali dipertanyakan (Santika, 2024). Dikarenakan banyaknya data dan opini pada pelaksanaan amnesti pajak, artikel ini ditulis untuk meninjau dan merangkum informasi yang telah diketahui dari amnesti pajak 2016-2017 dan PPS 2022.

Artikel ini juga akan membahas program amnesti pajak yang telah berlangsung di luar negeri, untuk dijadikan perbandingan dalam mempertimbangkan program yang akan dilaksanakan kedepannya. Artikel ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai kebijakan amnesti pajak di Indonesia dan memberikan gambaran mengenai amnesti pajak yang akan dilakukan pada tahun 2025.

  1. Analisis amnesti pajak 2016-2017 dan PPS tahun 2022

Amnesti pajak tahun 2016-2017 terbagi dalam tiga tahap, yang bertujuan untuk memberikan tarif yang lebih ringan kepada pembayar pajak yang mengajukan asetnya pada tahap yang lebih awal. Untuk mengaji keefektifan amnesti pajak di periode ini, beberapa peneliti telah menerbitkan hasil analisis mereka. Hajawiyah et al. (2021) menyatakan bahwa amnesti pajak 2016-2017 mampu meningkatkan kepatuhan membayar pajak.

Amnesti pajak ini juga memberikan dampak positif terhadap pemasukan jangka pendek RI (Hajawiyah et al., 2021). Hasanah et al. (2021) juga melakukan analisis amnesti pajak 2016-2017 dan membandingkannya dengan kebijakan PPS tahun 2022, yang belum terlaksanakan saat artikel tersebut terbit. Diperkirakan bahwa keberhasilan PPS 2022 bergantung pada sosialisasi dari pemerintah dan keyakinan bahwa pembayar amnesti tidak akan ditindak (Hasanah et al., 2021).

Menarik untuk disebutkan bahwa pendapatan RI dari amnesti pajak ini memecahkan rekor dunia, sehingga sering dianggap program amnesti pajak tersukses di dunia (Diela, 2016). Evaluasi ini menunjukkan bahwa program amnesti pajak dapat memberi keuntungan fiskal kepada RI.

Menyusul amnesti pajak 2016-2017, program pengakuan sukarela (PPS) tahun 2022 pada dasarnya merupakan program sukarela untuk deklarasi pajak, sehingga sering disebut amnesti pajak jilid II. Namun, Direktur Jenderal Pajak (DJP) menekankan bahwa PPS berbeda dengan amnesti pajak yang dilaksanakan pada tahun 2016-2017 (Anggela, 2022a). Jika amnesti pajak 2016-2017 memfokuskan pada perbedaan tarif dari tahap 1 hingga tahap 3, PPS 2022 membedakan jenis kebijakan dan subjek pajak.

Kebijakan 1 dalam PPS menyasar wajib pajak yang belum mengajukan harta yang diperoleh sebelum Desember 2015, sedangkan Kebijakan 2 diperuntukkan harta yang diperoleh pada 2016-2020. Tarif pembayaran amnesti pajak 2016-2017 dan PPS 2022 dapat dilihat pada Tabel 2. Meskipun total wajib pajak yang mengikuti PPS 2022 lebih sedikit dibandingkan amnesti pajak 2016-2017, yaitu 247.918 dibandingkan 956.793, PPS 2022 dinilai lebih berhasil dibandingkan amnesti pajak 2016-2017, mempertimbangkan jangka waktu pelaksanaan PPS 2022 yang lebih singkat dan cakupan yang lebih kecil (Sopiah, 2022).

Sumber: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016; Anggela, 2022a.

Meskipun kebijakan ini menguntungkan negara secara fiskal, terdapat kerugian pada beberapa sektor yang berkaitan dengan pengampunan pajak. Program pengampunan pajak dianggap tidak menjamin keadilan bagi yang mematuhi kewajiban pajak karena wajib pajak yang membayar secara konsisten merasa pengampunan pajak hanya menguntungkan mereka yang tidak membayar pajak dan melapor aset (Gunawan, 2019). Hal ini akhirnya dapat menimbulkan keinginan untuk menunda pelaporan demi menunggu masa pelaksanaan amnesti pajak selanjutnya. Kemudian, walaupun terjadi peningkatan pendapatan negara dalam jangka pendek, rasio pendapatan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tetap rendah (Amin & Machmud, 2024). Sebagai perbandingan, Indonesia merupakan negara dengan rasio kedua terendah di Asia Tenggara (11.6%), hanya di atas Myanmar (World Bank, 2023). Hal ini menunjukkan bahwa penetapan program pengampunan pajak harus mempertimbangkan kerugian moral dan ketidakefektifan dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

  1. Pelaksanaan amnesti pajak di luar negeri

Selain RI, banyak negara telah melangsungkan program amnesti pajak untuk meningkatkan pendapatan jangka pendek mereka. Beberapa negara juga memberlakukan kebijakan tambahan yang dinilai mampu meningkatkan kesuksesan program amnesti pajak. Oleh sebab itu, kebijakan serta dampak yang telah menimpa negara-negara tersebut wajib dikaji untuk memberikan gambaran kepada RI dalam melaksanakan amnesti pajak kedepannya.

Berkaca pada artikel Erdogdu & Akar (2022), Turki yang telah melaksanakan amnesti pajak sebanyak 37 kali telah melihat efek jangka panjang dari program tersebut. Pelaksanaan yang berulang kali mengakibatkan penurunan kredibilitas pemerintah dan kepatuhan wajib pajak. Amnesti pajak yang berulang kali juga meningkatkan kesenjangan dalam distribusi kekayaan. Di sisi lain, Norwegia yang memiliki jumlah pelaksanaan amnesti pajak terkecil mampu menjaga pemerataan distribusi kekayaan negaranya (Erdogdu & Akar, 2022). Sebuah survei yang dilakukan di Republik Afrika Selatan turut mengungkapkan bahwa amnesti pajak berulang kali dapat memengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak seperti wajib pajak yang tidak patuh tetap tidak patuh karena kerap menunggu jadwal amnesti pajak selanjutnya. Sedangkan pembayar pajak yang patuh akan mulai menyelundupkan asetnya karena melihat amnesti pajak sebagai sebuah reward (Junpath et al., 2016).

Kemudian, untuk meminimalisir pelaksanaan amnesti pajak, program yang dilakukan harus efektif. Beberapa kebijakan seperti yang dilakukan negara lain dapat dijadikan bahan pembelajaran. Irlandia mempublikasikan daftar nama wajib pajak nakal di surat kabar dan memperkenalkan kebijakan sanksi yang lebih berat di akhir program amnesti pajak mereka. Kemudian pemerintah India menjual obligasi khusus yang berlaku selama 10 tahun yang dapat dibeli dengan dana yang tidak jelas asal-usulnya (Uchitelle, 1989). Selain untuk menangani keterpurukan ekonomi, ada negara yang menerapkan amnesti pajak sebagai senjata politik untuk memenangkan pemilihan umum (Erdogdu & Akar, 2022). Amnesti pajak juga dilakukan untuk memperbaiki kesalahan dalam sistem perpajakan negara (López-Laborda & Rodrigo, 2003). Namun, amnesti pajak tidak boleh dipertimbangkan sebagai pilihan pertama dan hanya dilakukan jika reformasi sistem pajak tidak dapat dilaksanakan (Villalba, 2017).

Beberapa alternatif yang diusulkan adalah menetapkan peraturan permanen yang memberikan keringanan kepada wajib pajak yang secara terbuka mengakui bahwa mereka melanggar peraturan pajak (Alstadsæter et al., 2019). Tetapi secara keseluruhan, perubahan dalam sistem perpajakan merupakan kebijakan yang terbaik untuk mengatasi penyelundupan pajak. Kebijakan-kebijakan seperti memberikan akses informasi lengkap kepada wajib pajak, memberikan pilihan untuk mencicil jika kewajiban membayar tidak dapat dipenuhi sementara, serta meningkatkan fungsi audit dan mengevaluasi hasil akhir audit (Erdogdu & Akar, 2022). Selain itu, manajemen pajak yang teratur dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam jangka panjang (Baer & Le Borgne, 2008). Kontak antara wajib pajak dan otoritas pajak juga dinilai mampu meningkatkan kepatuhan jangka pendek, karena membuat wajib pajak merasa dalam pengawasan (Slemrod, 2018)

  1. Kesimpulan dan rekomendasi

Berdasarkan informasi yang telah dipaparkan di bagian sebelumnya, terdapat beberapa pelajaran yang dapat dipetik oleh RI. Merujuk kepada analisis yang dilakukan oleh berbagai ahli, dapat disimpulkan bahwa kebijakan amnesti pajak 2016-2017 dan PPS 2022 berhasil mendatangkan pendapatan jangka pendek dalam jumlah yang besar. Namun, rasio pajak-PDB yang masih rendah menandakan kepatuhan wajib pajak tetap rendah. Kemudian, berkaca kepada pelaksanaan amnesti pajak di luar negeri, terlalu sering melakukan program amnesti pajak malah merusak ekonomi negara, berbanding terbalik dengan negara yang melaksanakan amnesti pajak sejarang mungkin. Beberapa artikel juga menyarankan untuk melakukan reformasi sistem pajak, dibandingkan dengan terus bergantung kepada program amnesti pajak.

Analisis dari DJP mengungkapkan bahwa aset luar negeri yang dideklarasikan banyak berasal dari negara rendah atau tanpa pajak yang sering dijuluki tax haven. Peserta repatriasi memiliki aset di negara-negara seperti Singapura, Hong Kong, Australia dan Virginia Britania Raya (Anggela, 2022b). Dalam hal ini, pemerintah RI telah mencoba membuat perjanjian dengan beberapa negara terkait repatriasi aset apabila wajib pajak dinyatakan bersalah, meskipun pada praktiknya sukar dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah RI wajib terus menjalin kerjasama untuk meningkatkan penanganan penyelundupan pajak. Pemerintah RI juga harus meningkatkan sistem dan kebijakan perpajakan dalan negeri, untuk menguatkan kepercayaan rakyat dalam menempatkan asetnya di dalam negeri.

Melihat adanya perbedaan antara amnesti pajak 2016-2017 dan PPS 2022, besar kemungkinan program amnesti pajak yang akan dilakukan pada tahun 2025 memiliki perbedaan dengan program sebelumnya. Program yang dijuluki ‘Tax Amnesty Jilid III’ ini rencananya akan dibahas pada Januari 2025, merevisi Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2016. Sasaran amnesti pajak 2025 adalah wajib pajak yang telah mengikuti program amnesti pajak 2016-2017 (Rachman, 2024). Terdapat juga penetapan tarif dan pendeteksian harta yang berbeda dengan program sebelumnya (Purnama, 2024), meskipun detil amnesti pajak 2025 belum tersedia pada saat ditulisnya kajian ini. Pemerintah disarankan untuk meninjau kembali pelaksanaan amnesti pajak 2025, dengan mempertimbangkan bahaya jangka panjang yang mungkin akan timbul.

Daftar Pustaka

Alstadsæter, A., Johannesen, N., Zucman, G. (2019). Tax evasion and inequality. American Economic Review, 109(6), 2073-2103. https://doi.org/10.1257/aer.20172043.

Amin, M. & Machmud, A. (2024). Implementasi dan efektivitas pelaksanaan undang-undang pengampunan pajak dan program pengungkapan sukarela. UNES Law Review, 6, 3. https://doi.org/10.31933/unesrev.v6i3

Anggela, N. L. (2022a, Maret 22). Serupa tapi tak sama, ini beda tax amnesty dan PPS [Bisnis]. Diakses dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20220322/259/1513866/serupa-tapi-tak-sama-ini-beda-tax-amnesty-dan-pps

Anggela, N. L. (2022b, Juli 2). Menkeu ungkap 15 negara asal deklarasi dan repatriasi harga bersih PPS, mayoritas di Singapura [Bisnis]. Diakses dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20220702/9/1550429/menkeu-ungkap-15-negara-asal-deklarasi-dan-repatriasi-harta-bersih-pps-mayoritas-di-singapura

Ariyanti, F. (2017, April 01). Resmi berakhir di 31 Maret, ini hasil tax amnesty [Liputan 6]. Diakses dari https://www.liputan6.com/bisnis/read/2906371/resmi-berakhir-di-31-maret-ini-hasil-tax-amnesty

Baer, K. & Le Borgne, E. (2008). Tax amnesties: Theory, trends, and some alternatives. International Monetary Fund, 1-79.

Diela, T. (2016, September 29). Indonesia’s tax amnesty program breaks world record [Jakarta Globe]. Diakses dari https://jakartaglobe.id/business/indonesias-tax-amnesty-program-breaks-world-record

Erdogdu, M. M. & Akar, S. (2022). Behavioral aspects of tax amnesties and their effects in twelve countries. Public Finance Quarterly. https://doi.org/10.35551/PFQ_2022_2_7

Gunawan, E. (2019). Keadilan bagi wajib pajak yang patuh pasca berlakunya Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Law Review, 19(2), 142. https://doi.org/10.19166/lr.v0i2.1592

Hajawiyah, A., Suryarini, T. & Tarmudji, T. (2021). Analysis of tax amnesty’s effectiveness in Indonesia. Journal of International Accounting, Auditing and Taxation, 44, 100415. https://doi.org/10.1016/j.intaccaudtax.2021.100415

Hasanah, U., Na’im, K., Elyani & Waruwu, K. (2021). Analisis perbandingan tax amnesty jilid I dan jilid II (Program Pengungkapan Sukarela) serta peluang keberhasilannya. Riset & Jurnal Akuntansi, 5, 2. https://doi.org/10.33395/owner.v5i2.565

Leenders, W., Lejour, A., Rabaté, S. & van’t Riet, M. (2022). Offshore tax evasion and wealth inequality: Evidence from a tax amnesty in the Netherlands. Journal of Public Economics, 217(2023), 104785. https://doi.org/10.1016/j.jpubeco.2022.104785

Pramudito, S. P. (2015, Oktober 10). What is the problem with tax collection in Indonesia? [Indonesia Investment]. Diakses dari https://www.indonesia-investments.com/id/finance/financial-columns/what-is-the-problem-with-tax-collection-in-indonesia/item6023?

Purnama, A. Y. R. (2024, Desember 05). DPR sebut tax amnesty jilid III tawarkan skema pengakuan baru [Bloomberg Technoz]. Diakses dari https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/56921/dpr-sebut-tax-amnesty-jilid-iii-tawarkan-skema-pengakuan-baru

Rachman, A. (2024, November 30). DPR bahas tax amnesty jilid III mulai Januari 2025, ini bocorannya [CNBC Indonesia]. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20241130075751-4-592328/dpr-bahas-tax-amnesty-jilid-iii-mulai-januari-2025-ini-bocorannya

Santika, E. F. (2024, November 20). Menilik perbandingan hasil tax amnesty jilid I dan II [databoks]. Diakses dari https://databoks.katadata.co.id/index.php/ekonomi-makro/statistik/673dc7c7269cb/menilik-perbandingan-hasil-tax-amnesty-jilid-i-dan-ii

Slemrod, J. (2018). Tax compliance and enforcement. Journal of Economic Literature, 57(4), 904-954. https://doi.org/10.3386/w24799

Sopiah, A. (2022, Desember 29). Sri Mulyani cs kantongi Rp61 T dari ‘Tax Amnesty Jilid II’ [CNBC Indonesia]. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20221229144723-4-401186/sri-mulyani-cs-kantongi-rp-61-t-dari-tax-amnesty-jilid-ii

Uchitelle, E. (1989). The effectiveness of tax amnesty programs in selected countries. FRBNY Quarterly Review Autumn. Diakses dari https://www.newyorkfed.org/medialibrary/media/research/quarterly_review/1989v14/v14n3article5.pdf

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Diakses 10 Desember 2024 dari https://peraturan.bpk.go.id/Details/37480

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Diakses 10 Desember 2024 dari https://peraturan.bpk.go.id/Details/185162/uu-no-7-tahun-2021

Villalba, A. S. (2017). On the effects of repeated tax amnesties. Journal of Economics and Political Economy, 4(3), 285-301. https://doi.org/10.1453/jepe.v4i3.1394

World Bank (2023). Tax revenue (% of GDP). Diakses dari https://data.worldbank.org/indicator/gc.tax.totl.gd.zs?name_desc=false&view=map

Penulis adalah anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Medan

Harun Ongah

Email: harunongah.mm@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Catatan: Artikel ini pernah dipublikasi pada Jurnal Akutansi Manajemen Ekonomi Kewirausahaan (JAMEK), 4(3), pp. 402-406. doi: 10.47065/jamek.v4i3.1798.

 

Peta Jalan Pajak Asia-Pasifik: Kolaborasi, Penyelesaian Sengketa, dan Strategi Baru

Konstelasi perpajakan internasional tengah mengalami transformasi besar. Di tengah gempuran digitalisasi ekonomi, krisis geopolitik, dan tekanan transparansi global, negara-negara di Asia-Pasifik menunjukkan geliat yang tidak bisa diabaikan.

Kongres International Fiscal Association (IFA) Asia-Pacific Regional yang ke-8 di Kuala Lumpur pada 29-30 April 2025 menjadi momen penting dalam menggambar ulang peta jalan pajak kawasan ini.

Semangat kolaborasi menjadi denyut utama kongres ini. Lebih dari 150 peserta dari berbagai negara hadir bukan hanya untuk berbagi kebijakan, tapi untuk menyusun fondasi kesepahaman lintas yurisdiksi.

Topik seperti BEPS 2.0, Global Minimum Tax (GMT), transfer pricing, sengketa pajak, dan Country-by-Country Reporting (CbCR) dibedah dalam konteks regional, dengan fokus pada bagaimana negara-negara seperti Indonesia, Australia, India, Malaysia, dan Singapura menyelaraskan regulasi domestik dengan standar global.

Pembahasan mengenai compliance dan transparansi menandai titik temu baru antara kepentingan nasional dan komitmen internasional. Asia-Pasifik tak lagi sekadar “penerima dampak”, melainkan kini tampil sebagai aktor yang berani membentuk arah.

Namun, kolaborasi bukan tanpa tantangan. Meningkatnya jumlah sengketa pajak internasional, khususnya yang melibatkan transaksi afiliasi dan perpindahan laba, menjadi bukti bahwa sistem perpajakan global masih terus mencari keseimbangannya. India, misalnya, mencatat lebih dari 170 kasus APA, sementara Australia menghadapi landmark cases yang menguji batas kewenangan domestik atas praktik global perusahaan multinasional.

Indonesia juga menunjukkan peningkatan intensitas pemeriksaan pajak audit dan permintaan MAP, menandakan bahwa Wajib Pajak kini lebih sadar risiko dan lebih siap untuk menempuh jalur formal penyelesaian. Sementara itu, Singapura menjadi contoh bagaimana kecepatan dan efisiensi dalam menyelesaikan sengketa pajak bisa menjadi keunggulan kompetitif.

Tren baru juga terlihat dari pergeseran fokus kebijakan pajak. Jika dulu perhatian tertuju pada perusahaan multinasional, kini negara-negara seperti Australia mulai membidik family office dan individu berpenghasilan tinggi. Indonesia memperkuat insentif fiskal sekaligus membangun ulang sistem teknologi perpajakan.

Di India, pencabutan Equalization Levy menjadi langkah strategis untuk meredam tensi dagang dengan Amerika Serikat. Isu geopolitik seperti tarif Trump juga menciptakan tantangan yang dinamis. Negara-negara Asia-Pasifik tak lagi bereaksi dengan defensif, melainkan secara strategis. Indonesia memilih negosiasi dua arah, sementara Singapura dan Australia mengambil posisi waspada dan cermat.

Sistem Pajak yang Berkelanjutan

Kongres ini juga menyiratkan bahwa masa depan perpajakan tidak hanya soal penerimaan negara. Cross-border services, sustainable tax system, dan posisi strategis direktur pajak di perusahaan multinasional menjadi diskursus penting. Dunia usaha membutuhkan kepastian hukum, sementara pemerintah menginginkan kepatuhan tanpa mengorbankan daya saing.

IFA Asia-Pacific Conference 2025 bukan sekadar forum diskusi. Ini adalah ruang strategis untuk menyusun peta jalan bersama di mana kolaborasi regional menjadi kunci, penyelesaian sengketa menjadi jembatan keadilan, dan strategi baru menjadi jawaban atas perubahan dunia.

Tahun depan kongres yang sama akan diadakan Tokyo, dan dua tahun lagi di Jakarta, Asia-Pasifik berpeluang memimpin diskursus pajak global. Dengan modal kolaborasi dan keberanian untuk berubah, kawasan ini siap menjadi episentrum reformasi perpajakan internasional yang inklusif dan berkelanjutan.

Penulis adalah Presiden IFA Asia-Pacific yang juga Wakil Ketua Departemen Hubungan Kerja Sama Internasional, IKPI

Ichwan Sukardi

Email: ichwan.sukardi@rsm.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

Memahami Hubungan Antara Tax Buoyancy Dan Tax Ratio di Indonesia

Sebagai seorang konsultan pajak, apalagi anggota asosiasi konsultan pajak tertua dan terbesar di Indonesia (IKPI), maka konsultan pajak pasti terlihat langsung dalam dinamika fiskal nasional, karena kita bersentuhan langsung dengan penerimaan pajak itu sendiri, dalam hal ini sebagai WP dan sekaligus sebagai pendamping WP. Walaupun kita tidak menentukan kebijakan fiskal, namun kita wajib memahami betapa pentingnya indikator perpajakan yang tepat dalam mengukur efektifitas kebijakan fiskal suatu negara.

Ada dua indikator utama yang biasa para ahli perpajakan pakai yaitu tax ratio dan tax buoyancy. Keduanya bukan sekedar angka semata, melainkan cerminan dari kualitas sistem perpajakan suatu negara dan sejauh mana sistem perpajakan tersebut mampu menopang Pembangunan nasional, utamanya mencapai Indonesia emas tahun 2045.

Dalam artikel ini, penulis mencoba mengulas hubungan antara tax buoyancy dan tax ratio Indonesia selama lima tahun terakhir, serta membahas faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi. Karena yang selama ini didengungkan hanya rendahnya Tax Ratio saja tanpa menyinggung Tax Buoyancy, diharapkan artikel ini dapat memperkaya diskusi di lingkungan asosiasi dan menjadi referensi bagi agenda reformasi fiskal yang lebih inklusif.

Definisi Singkat Tax Ratio (TR) dan Tax Buoyancy (TB)

Tax Ratio (TR) adalah persentase penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB), yang mencerminkan kontribusi pajak terhadap ekonomi nasional. Sedangkan Tax Buoyancy seberapa responsive penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi, Jika nilai TB > 1, menunjukkan bahwa penerimaan pajak tumbuh lebih tinggi dari PDB, begitu juga sebaliknya.

Dari tabel tersebut terlihat bahwa setelah lonjakan positif pada Tahun 2021-2022, tren tax buoyancy mengalami penurunan hingga 2024, sementara tax ratio cenderung stagnan di kisaran 10%.

Hubungan Antara Tax Buoyancy dan Tax Ratio :

Secara konseptual, tax buoyancy yang tinggi akan mendahului kenaikan tax ratio. Jika tax buoyancy tinggi, saat perekonomian tumbuh dan system pajak mampu menangkap pertumbuhan tersebut, maka penerimaan pajak juga ikut terdongkrak. Namun Ketika tax buoyancy menurun, seperti kasus tahun 2023 sd 2024, maka tax ratio sulit meningkat meskipun PDB naik. Artinya rendahnya tax buoyancy menjadi penghambat structural terhadap pencapaian tax ratio yang lebih tinggi.

Mengapa Tax Buoyancy Indonesia Cenderung Menurun ?

Terdapat sejumlah faktor struktural dan teknis yang menyebabkan tax buoyancy Indonesia cenderung menurun, antara lain :

1. Basis Pajak Yang Sempit, artinya jumlah potensi wajib pajak belum tergali dengan maksimal, hal ini dapat dijelaskan dengan masih tingginya porsi sektor informal dalam perekonomian, sehingga Pemerintah kesulitan untuk menjangkau sektor tersebut, selain itu masih rendahnya kepatuhan wajib pajak dari kalangan menengah ke atas yang mengakibatkan system pajak tidak mencerminkan aktivitas ekonomi secara menyeluruh.

2. Volatilitas Sumber Penerimaan, artinya penerimaan pajak masih tergantung kepada komoditas-komoditas primer, dimana harga komoditas tersebut cenderung mengalami volatilitas yang tinggi, misalnya batu bara, sawit, nikel, dsbnya.

3. Insentif Pajak Yang Masif, insentif pajak yang terlalu tinggi kadang bermata dua, di satu sisi bertujuan untuk merangsang sektor-sektor tertentu, namun insentif pajak tersebut pasti akan menggerus penerimaan negara, untuk itu perlu titik keseimbangan antara insentif fiskal yang diberikan tergantikan dengan potensi pajak yang lainnya.

4. Kepatuhan dan Kapasitas Administrasi Pajak, kemampuan administrasi fiskal yang bagus dalam mendeteksi setiap kecurangan akan mendorong Tingkat kepatuhan, dalam hal penggunakan teknologi digital akan memudahkan aparat pajak untuk melakukan pengawasan yang lebih efektif.

5. Ketidaksesuaian antara Pertumbuhan Ekonomi dan Sektor Pajak, kadangkala peningkatan PDB bisa berasal dari sektor-sektor yang bukan penyumbang pajak utama, misalkan sektor pertanian maupun umkm informal tidak otomatis akan menyumbang penerimaan pajak. Dalam hal ini tugas Pemerintah untuk dapat mengintegrasikan sektor-sektor informal tersebut ke dalam bentuk formal.

Rekomendasi dan Saran :

Sebagai asosiasi professional di bidang perpajakan yang memiliki peran strategis dan penting dalam mendampingi wajib pajak, maka kita perlu juga memberikan usulan kepada Pemerintah untuk meningkat Tax Buoyancy dengan mendorong Langkah-langkah sebagai berikut :

1. Perluasan basis pajak melalui pendekatan berbasis data yang terintegrasi secara cepat dan efektif yang melibatkan lintas Lembaga.

2. Penguatan administrasi perpajakan berbasis teknologi, dalam hal ini system coretax merupakan Langkah yang tepat untuk dijalankan, hanya masih ada kendala-kendala yang bersifat teknis yang perlu terus diperbaiki dan disempurnakan.

3. Rasionalisasi insentif fiskal agar tetap mendukung pertumbuhan ekonomi tapi tidak menggerus penerimaan pajak.

4. Memberikan Pendidikan pajak sejak usia dini dengan meningkatkan kesadaran pentingnya kontribusi warga negara dalam membayar pajak, sehingga kepatuhan sukarela dapat tumbuh dan berkembang.

5. Berikan sosialisasi terus menerus mengenai alokasi pajak yang dipungut dan diberikan kembali kepada Masyarakat, sehingga Masyarakat merasa pajak yang dibayar oleh mereka kembali kepada Masyarakat.

6. Penerapan aturan perpajakan secara professional, berkepastian hukum dan adil, sehingga Wajib Pajak tidak merasa sudah benar namun masih tetap disalahkan dengan alasan yang mengada-ada (alasan target penerimaan pajak).

7. Penegakan hukum yang tegas namun terukur kepada mereka yang melakukan melakukan tax evasion.

Artikel ini ditulis sebagai bagian dari konstribusi anggota dalam menyambut perayaan 60 tahun Ikatan Konsultan Pajak Indonesia pada tahun 2025, dengan harapan dapat memperkuat posisi profesi sebagai mitra strategis dalam Pembangunan fiskal nasional.

Sumber data :

1. Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI)

a. Laporan APBN (Nota Keuangan Tahun 2019 sd 2024)

b. Laporan Kinerja DJP dan Statistik APBN

2. Direktorat Jenderal Pajak (DJP)

a. Statistik Pajak Tahunan

b. Paparan Hasil Reformasi Perpajakan dan Outlook Penerimaan

3. Badan Kebijakan Fiskal (BKF)

a. Laporan Tax Ratio dan Evaluasi Kebijakan Fiskal

4. Badan Pusat Statistik (BPS)

a. Data Produk Domestik Bruto (PDB) Tahunan

b. Pertumbuhan Ekonomi Ril dan Nominal

5. Laporan dan Kajian Eksternal

a. Laporan IMF Article IV Consultation Indonesia

b. OECD Revenue Statistics In Asia and the Pasific.

Penulis adalah Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Pino Siddharta

Email: pinosiddharta@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

Mobil Listrik: Antara Tren Gaya, Kepedulian Lingkungan, dan Keuntungan Pajak

Saat ini lalu-lalang mobil listrik semakin banyak kita lihat dijalan. Mobil Listrik memang keren jika ditinjau dari perspektif penampilan, aspek lingkungan, dan pajak.

Selain itu mobil Listrik dapat menghemat bahan bakar bagi pemakainya yang berkolerasi dengan dompet pengguna.

Sebagai perbandingan biaya yang perlu ditanggung atas penggunaan mobil listrik. Sebagai contoh, penggunaan MG 4 EV, yang memiliki baterai 64 kWh dan dapat menempuh jarak hingga 425 km dalam satu kali pengisian penuh. Tarif listrik rumah tangga di Indonesia adalah sekitar Rp1.444 per kWh (tarif PLN per 2024). Biaya pengisian penuh baterai MG 4 EV: 64 kWh × Rp1.444 = Rp92.416 Biaya per km: Rp92.416 ÷ 425 km = Rp217/km.

Biaya Bahan Bakar Mobil Bensin Konvensional

Sebagai perbandingan, mobil berbahan bakar bensin dengan konsumsi rata-rata 12 km per liter memiliki perhitungan berikut. Harga bensin Pertalite Rp10.000/liter (2024). Untuk menempuh 425 km, dibutuhkan 425 ÷ 12 = 35,4 liter bensin. Biaya bahan bakar per 425 km: 35,4 liter × Rp10.000 = Rp354.000. Biaya per km: Rp833/km. Jelas biaya mobil Listrik jauh lebih murah dibanding mobil bensin.

Alasan lainya transisi ke mobil listrik adalah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan oleh kendaraan berbahan bakar fosil. Mobil konvensional yang menggunakan bensin atau diesel mengeluarkan karbon dioksida (CO₂), nitrogen oksida (NOx), dan partikel halus (PM2.5) yang berkontribusi terhadap perubahan iklim dan polusi udara.

Menurut laporan terbaru dari International Energy Agency (IEA), mobil listrik memiliki emisi karbon 50-70% lebih rendah dibandingkan mobil berbahan bakar bensin selama masa penggunaannya.

Bagaimana dari aspek PPN nya? PMK 12 tahun 2025 menjelaskan bagaimana PPN mobil listrik sebagian ditanggung pemerintah (DTP). Kode Faktur Pajak untuk yang ditanggung pemerintah adalah 07. Sedangkan yang tidak ditanggung pemerintah memiliki kode Faktur Pajak 01. Sesuai dengan beleid PMK 12 tahun 2025 di pasal 12 tersebut, PPN yang ditanggung pemerintah tidak bisa dikreditkan dan yang tidak ditanggung pemerintah dapat di kreditkan.

Tentunya hal ini berlaku bagi pembeli mobil listrik yang PKP (Pengusaha Kena Pajak). Sesuai dengan PMK tersebut Insentif PPN DTP ini hanya berlaku di bulan Januari 2025 sampai degan Desember 2025.

Melihat sisi benefitnya yang dintinjau dari aspek ekonomis, lingkungan dan pajak.Apakah kita tertarik memiliki mobil Listrik?

Penulis: Anggota Litbang IKPI Pusat,

Dr. Irwan Wisanggeni

  • Email: irwanwisanggeni@yahoo.co.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

Pajak Global di Persimpangan Jalan: Mampukah Indonesia Bermain Cerdas?

Pada 27 Maret 2025, para pemikir, pembuat kebijakan, dan praktisi perpajakan internasional berkumpul di Brussels dalam acara CFE’s 2025 Forum yang mengangkat tema “Navigating Tax Transformation: From Compliance to Competitiveness”.

Forum ini bukan sekadar ajang diskusi teknis pajak, melainkan panggung bagi negosiasi kepentingan global yang berpotensi mengubah wajah sistem perpajakan dunia.

Dalam forum ini, penulis tampil sebagai pembicara kunci dan membahas dua isu strategis yang saat ini memecah arah kebijakan perpajakan global: potensi penarikan diri Amerika Serikat dari Two Pillars Solution yang dipelopori OECD/G20, serta masa depan UN Framework Convention on International Tax Cooperation yang digagas oleh PBB.

Penulis menggarisbawahi bahwa mundurnya AS dari Pilar 1 dan Pilar 2 bukan hanya soal geopolitik, tetapi soal nyawa konsensus global. Pilar 1, yang berupaya mendistribusikan kembali hak pemajakan ke negara-negara pasar, bergantung pada partisipasi negara-negara tempat induk perusahaan multinasional bermarkas dan banyak di antaranya ada di AS. Tanpa mereka, kesepakatan ini bisa karam sebelum sempat berlayar.

Pilar 2, yang mengusung Global Minimum Tax 15% bagi perusahaan multinasional, pun menghadapi tantangan serupa. Negara-negara mungkin memilih bersikap wait and see termasuk Indonesia. Jika diterapkan secara sepihak tanpa dukungan AS, bukan mustahil terjadi retaliasi dan konflik ekonomi. Perang tarif bisa kembali menghantui dunia.

Sebagai alternatif, PBB mendorong lahirnya UN Framework Convention on International Cooperation in Tax Matters. Ambisinya jelas: membangun sistem perpajakan global yang lebih adil dan inklusif bagi negara-negara berkembang. Indonesia, bersama China dan Vietnam, termasuk pendukung inisiatif ini.

Namun, jalan ini tidak mulus. Negara-negara seperti Jepang, Australia, dan Korea Selatan menentangnya dengan alasan tumpang tindih kebijakan dan potensi ketidakpastian regulasi. Mekanisme pengambilan keputusan berbasis mayoritas yang diusung PBB juga ditolak, karena dianggap melemahkan prinsip konsensus yang selama ini dijunjung tinggi dalam OECD.

Satu hal yang menarik dan perlu ditelaah lebih dalam adalah sikap Indonesia. Di satu sisi, Indonesia mendukung OECD dan bahkan bercita-cita menjadi anggota penuh. Di sisi lain, Indonesia juga mendukung penuh kerangka kerja PBB, yang justru digagas sebagai tandingan OECD.

Apakah ini strategi jitu menjaga keseimbangan? Ataukah cerminan kegamangan dalam mengambil posisi? Yang jelas, Indonesia harus jeli membaca arah angin. Dunia sedang membentuk ulang aturan main perpajakan lintas negara.

Jika Indonesia tak menentukan posisi dengan cermat, bukan hanya kehilangan kesempatan memungut pajak dari ekonomi digital global, tetapi juga terjebak dalam sistem yang tidak menguntungkannya.

Saatnya Strategi, Bukan Sekadar Simpati

Forum di Brussels adalah pengingat bahwa pajak kini bukan hanya urusan fiskal, tetapi juga geopolitik. Indonesia, dengan posisinya sebagai negara berkembang dan anggota G20, punya peluang untuk menjadi suara penengah yang menjembatani dua kutub kekuatan pajak global ini.

Namun untuk itu, dibutuhkan strategi yang tak hanya berbasis kepentingan jangka pendek, tetapi visi jangka panjang: bagaimana memastikan sistem perpajakan global yang adil, berkelanjutan, dan memberi ruang yang layak bagi negara-negara seperti kita. Dunia sedang menyusun ulang peta pajak global Indonesia tidak boleh sekadar jadi penonton.

Penulis adalah Presiden Asia Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA)

Ruston Tambunan

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

PMK 15/2025: Saatnya Wajib Pajak Lebih Siap Hadapi Pemeriksaan

Kita tahu bahwa aturan terkait Pemeriksaan Pajak telah diperbaharui melalui PMK 15/ PMK.03/2025. Namun apakah akan lebih berkeadilan? Apa saja yang menjadi dasar perubahannya?

Apa itu Pemeriksaan?

Pemeriksaan Pajak merupakan salah satu system dalam siklus perpajakan indonesia. Dimana prinsip yang dianut oleh Indonesia adalah, Self Assesment System. Dimana Wajib Pajak diberi kebebasan untuk, Menghitung, menyetorkan dan melaporkan pajaknya secara mandiri. Pemeriksaan Pajak adalah sebagai alat

Kontrolnya apakah yang disetorkan dan dilaporkan oleh Wajib Pajak telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemeriksaan pajak adalah salah satu proses penting dalam sistem perpajakan Indonesia. Untuk memastikan bahwa kewajiban perpajakan dilaksanakan dengan baik dan benar1

Dasar Hukum Pemeriksaan Pajak

UU KUP

Pasal 1

25. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/ atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/ atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pasal 29

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

—–‐——–‐————–

https://jhontax.co/pentingnya-pemahaman-pmk-15-tahun-2025-tentang pemeriksaan-pajak/

Poin-poin apa saja yang berubah di PMK 15/ 2025?

1. Pemeriksaan dalam rangka uji kepatuhan dibagi tipe:

a. Pemeriksaan Lengkap

Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yang mencakup seluruh pos dalam Surat Pemberitahuan dan /atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak secara mendalam.

b. Pemeriksaan Terfokus

Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yang terfokus pada beberapa pos dalam surat satu atau Pemberitahuan dan/atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak secara mendalam.

c. Pemeriksaan Spesifik

Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan secara spesifik atas satu atau beberapa pos dalam Surat Pemberitahuan dan/atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak, data, atau kewajiban perpajakan tertentu secara sederhana.

2. Batas Waktu Pemeriksaan

a. Pemeriksan Lengkap; 5 Bulan

b, Pemeriksaan Terfokus; 3 Bulan

c. Pemeriksaan Spesifik; 1 Bulan

Terhitung sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan disampaikan kepada Wajib Pajak, Wakil, Kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, sampai dengan tanggal Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan disampaikan kepada Wajib Pajak, Wakil, Kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.

Dalam PMK 15/2025 ini Tidak ada perpanjangan waktu pemeriksaan seperti dalam PMK sebelumnya serta jangka waktu menjawab Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) adalah 5 Hari kerja serta tidak ada perpanjangan waktu.

Penanguhan Pemeriksaan

Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan ditangguhkan dalam hal ditemukan adanya dugaan tindak pidana di bidang perpajakan dan ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

Pembahasan Temuan sementara

Dalam PMK terdahulu temuan sementara tidak diatur namun dalam PMK 15/2025 Temuan Sementara diatur. Dalam hal Pemeriksaan dilakukan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Pemeriksa Pajak melakukan Pembahasan Temuan Sementara. Dalam pelaksanaan

Pembahasan Temuan Sementara, Wajib Pajak diberikan kesempatan untuk:

a. memberikan buku, catatan, data, informasi, atau keterangan lain, termasuk Data Elektronik

b. memperlihatkan buku, catatan, data, informasi, atau keterangan lain, termasuk Data Elektronik

c. memberikan buku, catatan, dan/atau dokumen termasuk Data Elektronik, yang dipinjam atau diminta berdasarkan surat permintaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (1) yang berada di pihak ketiga dan belum diperoleh Wajib Pajak menghadirkan saksi, ahli, atau pihak ketiga dengan menyampaikan surat penunjukan saksi, ahli, atau pihak ketiga oleh Wajib Pajak.

Dapat Menunjuk Ahli

Dalam pasal 17 PMK 15/2025, Wajib Pajak diberikan kesempatan untuk menghadirkan ahli, atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf f dengan menyampaikan surat penunjukan saksi, ahli, atau pihak ketiga oleh Wajib Pajak Penunjukan Ahli dalam PMK 15/2025 tidak sebutkan secara jelas, namun mengacu kepada Bahasa hukum, Ahli adalah orang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus dalam suatu bidang.

Ahli juga bisa diartikan sebagai orang yang mahir atau paham sekali alam suatu ilmu atau kepandaian.

Menurut penulis, ahli disini adalah tenaga ahli yang melakukan Pekerjaan Bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, pejabat pembuat akta tanah, penilai, dan aktuaris.

Penulis dapat menarik kesimpulan bahwa PMK 15/2025 mencermin pemeriksaan kedepan akan menjadi lebih Profesional, transparan dan terbuka. Terlebih dengan adanya penambahan tentang penunjukan Ahli.

Pemeriksaan Pajak, ayo Hadapi!!!

 


  • Kamus Besar Bahasa Indonesia
  • PMK 168/2023

Penulis adalah Ketua Departemen Bantuan Hukum dan Advokasi, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Andreas Budiman

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Dewan Kehormatan IKPI: Pilar Baru Penegakan Kode Etik dan Standar Profesi

Kongres adalah tonggak penting bagi perjalanan organisasi mana pun, tak terkecuali Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI). Di setiap kongres, hampir selalu terjadi perubahan atau pembaharuan, menyentuh aspek-aspek fundamental seperti Anggaran Dasar (AD), Anggaran Rumah Tangga (ART), Kode Etik, dan Standar Profesi.

Termasuk Kongres IKPI ke-XII yang berlangsung pada tanggal 18–20 Agustus 2024 di Bali pun. Hasilnya menetapkan pembaruan pada AD-ART melalui SK Kongres No. 06/KONGRES XII/IKPI/2024, dan pembaruan Kode Etik serta Standar Profesi melalui SK No. 07/KONGRES XII/IKPI/2024.

Salah satu hasil penting yang perlu digarisbawahi adalah hadirnya organ baru dalam tubuh IKPI, yakni Dewan Kehormatan (DK). Hal ini termuat dalam Pasal 35 ayat (1) ART, yang menyebutkan bahwa untuk pertama kalinya, Ketua Umum terpilih memiliki kewenangan menetapkan dan mengangkat Ketua DK.

Berdasarkan SK Ketua Umum No. 09/KEP-KTU-IKPI/IX/2024, Bp.Christian Binsar Marpaung secara resmi ditunjuk sebagai Ketua Dewan Kehormatan IKPI masa bakti 2024–2029.

Sesuai amanat Pasal 35 ayat (3) ART, Ketua DK mengangkat anggotanya melalui SK No. 01/KEP-DK-IKPI/IX/2024 tertanggal 12 September 2024. Terdapat 10 nama yang ditetapkan sebagai Anggota Dewan Kehormatan Periode 2024–2029:

• Sukiatto Oyong • Tonggo Aritonang • Lam Sunjaya Dharma • I Kadek Sumadi • Hariyasin • Daniel Benyamin De Poere • Supardi Djoko Susilo • JM Harjanto Slamet • Fransiska Ivonila M.S • Vivi Evasari Tjokro

Kehadiran DK masih relatif baru dan belum sepenuhnya dikenal oleh anggota IKPI. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan mensosialisasikan eksistensi, fungsi, serta tugas Dewan Kehormatan. Dengan semangat seperti pepatah: “Ikan sepat ikan gabus, makin cepat makin bagus”, kami ingin menyampaikan informasi secara singkat, padat, dan bermakna.

3 (Tiga) Pertanyaan umum terkait Dewan Kehormatan:

1. Mengapa Ketua Dewan Kehormatan tidak dipilih dalam Kongres IKPI ke-XII?

Karena pada Kongres IKPI ke-XI, Dewan Kehormatan belum menjadi bagian dari struktur organisasi. Maka, dalam Kongres ke-XII, belum ada pemilihan Ketua DK. Organ ini baru resmi dibentuk berdasarkan hasil Kongres ke-XII, dan ditetapkan melalui Pasal 35 ART pada Ketentuan Peralihan.

Untuk masa bakti ini, Ketua Umum yang terpilih secara resmi menunjuk Ketua DK. Namun, pada Kongres ke-XIII nanti, Ketua DK akan dimintai pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan tugas selama masa jabatannya, sebelum dinyatakan demisioner.

2. Apakah Kongres ke-XIII akan memilih Ketua Dewan Kehormatan?

Ya, mulai Kongres ke-XIII, pemilihan Ketua DK akan dilakukan melalui kongres atau kongres luar biasa. Hal ini diatur dalam Pasal 31 ayat (1) ART, di mana calon Ketua DK diajukan oleh Pengurus Cabang melalui Rapat Anggota Cabang.

3. Apa saja tugas, tanggung jawab, dan kewenangan Dewan Kehormatan?

Berdasarkan Pasal 15 ayat (8) ART IKPI, tugas utama DK adalah menyelenggarakan sidang termasuk sidang koneksitas untuk memeriksa dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Standar Profesi oleh anggota. DK membentuk Majelis Kehormatan, yang dapat menjatuhkan putusan sebagai berikut: • Tidak bersalah • Teguran tertulis ringan • Teguran tertulis keras • Pemberhentian sementara • Pemberhentian tetap • Pemulihan nama baik.

Putusan yang dihasilkan bersifat final dan mengikat, serta tidak dapat diajukan upaya hukum.

Himbauan bagi Pengadu: Kepada pihak-pihak yang merasa dirugikan baik klien, sesama profesi, pejabat DJP, pengurus, atau masyarakat umum, pengaduan dapat diajukan secara:

• Tertulis ke Pengurus Pusat • Pengurus Pusat akan melakukan pemeriksaan awal • Berdasarkan hasil pemeriksaan, PP akan menentukan apakah kasus diteruskan ke DK atau cukup melalui pembinaan internal.

Harapan Penulis: melalui tulisan ini, seluruh anggota IKPI dapat lebih mengenal fungsi strategis Dewan Kehormatan. Kami optimis bahwa pada masa bakti 2024–2029, tidak akan ada anggota yang dikenai sanksi serius terkait pelanggaran Kode Etik maupun Standar Profesi. Mari kita jaga bersama integritas profesi.

Penulis adalah Anggota Dewan Kehormatan IKPI Periode 2024–2029

Hariyasin & I. Kadek Sumadi

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

en_US