Ayo, Move On PTKP !

Ketika mengisi SPT Pribadi tahun 2024, saya ingat mengisi dengan angka yg familiar lalu kemudian terlintas dipikiran, sudah berapa lama ya angka ini bertahan. Hal ini membuat saya tertarik untuk menelusuri historis dari PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) dan menemukan beberapa hal yg perlu diperhatikan atau dikaji lebih lanjut.

Mengingat rentang waktu yg panjang, saya membahasnya mulai dari awal dimulainya tahun berlakunya Undang Undang Perpajakan dalam hal ini Undang Undang No 7 Pajak Penghasilan tahun 1983 yg merupakan titik awal (new era) perpajakan yg diterapkan di Indonesia. Ternyata Undang2 Pajak Penghasilan ini beberapa kali dirubah baik partial maupun menyeluruh mengenai pasal2, penjelasan dan aturan pelaksanaannya. Sistimatika uraian hanya fokus pada UU dan Peraturan Menkeu berkenaan dgn PTKP

Undang Undang No 7 tahun 1983 berlaku pada tanggal 1 Januari 1984.

Psl 7 menyatakan sbb:

(1) Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan

pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak yang besarnya :

a. Rp 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak;

b. Rp 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;

c. Rp 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang

mempunyai penghasilan dari usaha atau dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan

usaha suami atau anggota keluarga lain;

d. Rp 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap orang keluarga

sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat, yang menjadi tanggungan

sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

(2) Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada permulaan tahun pajak atau pada permulaan

menjadi Subyek Pajak dalam negeri.

(3) Besarnya penghasilan tidak kena pajak tersebut dalam ayat (1) akan disesuaikan dengan suatu

faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan

Ayat 1 saya olah atau work out untuk beberapa kondisi seperti yg ditentukan pada ayat 2 sehingga diperoleh Status TK-0 PTKP setahun 960ribu.

Status K-0 PTKP setahun 1.440 ribu

Status K/I/0 PTKP setahun 2.400 ribu

Status K/I/3 PTKP setahun 3.840 ribu

yg artinya TK-0 = WP dg status single atau tidak kawin mendapat PTKP 960rb, K-0 = WP berstatus kawin 1.440 rb,, K/I/0 WP yg penghasilan isteri digabungkan dan blm punya tanggungan 2.400 rb dan K/I/3 jika WP sdh menikah dgn tanggungan maksimal 3 adalah 3.840 rb.

Kondisi TK-0 dst nya ditetapkan pada awal tahun, jadi utk WP yg menikah pada Maret 1984 maka statusnya pada tahun pajak 1984 diperhitungkan sebagai TK-0 yaitu status dalam tahun 1983. Ayat 2 ini bagi beberapa WP sepertinya tidak adil karena tanggungan sdh bertambah setelah menikah tapi statusnya masih TK-0, tapi sebaliknya juga begitu, jika WP semula punya 3 tanggungan (K-3) dan satu nya meninggal pada tahun 1984 maka statusnya pada tahun 1984 tetap K-3 yaitu mengikuti status 1983 dan baru berubah pada awal 1985.

Ayat 3 menyatakan PTKP ini AKAN disesuaikan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Ayat ini menurut saya pada awal UU Pajak Penghasilan 1983 tidak ada Keputusan Menteri Keuangan jadi langsung penerapannya mengacu kepada UU nya.

Undang Undang No 7 tahun 1991 berlaku 1 Januari 1992. Rev 1

UU ini membuat beberapa perubahan dalam pasal2 yg tidak berkaitan dgn pembahasan PTKP , tidak menyebutkan apapun berkenaan dgn Keputusan Menteri Keuangan . Jadi selama tahun 1984 sampai dengan 1993 (10 tahun), PTKP yg berlaku adalah yg disebutkan dalam UU No 7 tahun 1983 yaitu 960rb dstnya sampai terbitnya UU No 10 tahun 1994..

Undang Undang No 10 tahun 1994 berlaku 1 Januari 1995. Rev 2

KUTIPAN Butir 40.

Ketentuan Pasal 35 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 35 Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”

Pasal II Undang-undang ini dapat disebut “Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.”

Pasal III Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.

Saya kutip dulu butir penting mengenai UU No 10 Tahun 1994 ini yaitu Pasal III menyatakan UU ini berlaku 1 Januari 1995 sedangkan Pasal II menyatakan UU ini dapat disebut sebagai Undang2 Perubahan Kedua UU Pajak Penghasilan 1984.

Jadi UU No 10 ini diakui sebagai kelanjutan dari UU No 7 tahun 1991 maka berlaku untuk PTKP, – yg meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit-,, adalah Psl 7 UU No 7 tahun 1991 (berlaku 1 Jan 1992) yang tidak menyebutkan adanya perubahan pada PTKP . Kalau begitu harusnya yg diakui adalah PTKP yg dinyatakan dalam UU No 7 tahun 1983 yaitu TK-0 980 rb dstnya.

KMK 928/KMK04/1993 berlaku tahun 1994

Tetapi harap diingat bahwa pada tanggal 8 Des 1993 terbit KMK 928/KMK04/1993 yg menetapkan berlakunya PTKP baru, berlaku untuk tahun 1994 dg angka2 yg setelah di work out sbb:

TK-0 1.728ribu,

K-0 2.592ribu

K/I/0 4.320ribu

K/I/3 6.912ribu

Yang menarik adalah dlm KMK ini dinyatakan bahwa Psl 1 Faktor Penyesuaian adalah 1,8 X , Psl 4 masa berlakunya tahun 1994 tapi tidak menyebutkan PTKP sebelumnya dihapus atau tidak berlaku, ( ada dipertimbangan bahwa PTKP yg lama sdh tidak sesuai lagi).

Jika dihitung dari Psl 1 KMK 928/1993 ini adalah TK-0 .1728rb ( 1,8 X TK-0 960rb) , K-0 2592 rb (1,8 X 1.440rb) ,dst terlihat adanya faktor penyesuaian 1,8X , makin meyakinkan saya bahwa tidak ada Peraturan Menteri Keuangan berkenaan dengan Psl 7 UU No 7 tahun 1983

Undang Undang No 17 tahun 2000 berlaku 1Jan 2001 Rev 3

Dalam Undang2 No 17 tahun 2000 ini dinyatakan PTKP sbb :

TK-0 2.880ribu,

K-0 4.320ribu

K/I/0 11.520ribu

K/I/3 15.840ribu

yg bisa dibaca pada Psl 7 ayat 1 (ringkasan setelah di workout) dan ayat 3 nya tertera bahwa PTKP ini ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan . Selama UU No 17 tahun 2000 ini telah diterbitkan 3 (tiga) KMK berikut :

KMK 361/KMK04/1998 tgl 27 Jul 1998 berlaku mulai 1999.

Angka2 yg tertera pada UU No 17 tahun 2000 bersumber dari KMK 361/KMK04/1998 tertanggal 27 Juli 1998 dan berlaku mulai tahun Pajak 1999, padahal UU No 17 tahun 2000 ini berlaku mulai 1 Jan 2001 (Pasal III ).

TK-0 2.880ribu,

K-0 4.320ribu

K/I/0 11.520ribu

K/I/3 15.840ribu

Dengan demikian bisa dikatakan dari tahun 1994 hingga 1998 PTKP yg digunakan merujuk ke Psl 4 KMK 928/KMK04/1993 yg berlaku mulai 1994.hingga 1998 (4 tahun) dan baru diganti dengan KMK 361/1998 , yg seperti disebutkan di atas, berlaku mulai tahun pajak 1999. Patut dicatat KMK yg baru tidak menyebutkan pembatalan KMK sebelumnya meskipun. TK-0 2.880rb,, K-0 4320rb berasal dari Faktor Penyesuaian 1 2/3 X(satu dua per tiga kali) dari KMK 928/1993. Sebagai tes , 2.880 ribu berasal dari 1.728 X 1 2/3 , 4320rb berasal dari 2.592 X 1 2/3 dst

KMK 564 /KMK03/2004 tertanggal 29 Nov 2004 berlaku mulai tahun pajak 2005

Pasal 1 ayat 1 menetapkan PTKP sbb:

TK-0 12.000ribu,

K-0 13.200ribu

K/I/0 25.200ribu

K/I/3 28.800ribu

dan ayat 2 menetapkan berlaku mulai tahun 2005.

Jadi ,bisa dikatakan bahwa KMK 361/1998 sebelumnya berlaku mulai tahun 1999 sampai 2004 (6 tahun) dan diganti dg KMK 564/2004 .

PMK 137/PMK05/2005 tertanggal 30 Des 2005 berlaku mulai tahun pajak 2006

Pasal 1 ayat 1 menetapkan PTKP sbb:

TK-0 13.200ribu,

K-0 14.400ribu

K/I/0 27.600ribu

K/I/3 31.200ribu

dan ayat 2 menetapkan berlaku mulai tahun pajak 2006 .

Patut ditunjukkan bahwa pasal 3 PMK 137 ini secara jelas mencabut KMK 564/2004 yg juga menjadi pertimbangan keluarnya PMK 137/2005 (baca di menimbang…) Kalau begitu bisa dikatakan KMK 564/2004 hanya berlaku selama tahun 2005 saja.

Catatan: PMK 137/2005 ini dicabut dengan PMK 213/03/2018

Undang Undang No 36 Tahun 2008 berlaku 1 Jan 2009 Rev 4

PTKP dalam pasal 7 ayat 1 setelah diolah menghasilkan sbb:

TK-0 15.840ribu,

K-0 17.160ribu

K/I/0 33.000ribu

K/I/3 36.960ribu

Ayat 3 untuk pertama kalinya tertera ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat

Tidak ada PMK yg menyertai UU No 36 ini yg sedianya berlaku Januari 2009. Kalau perbandingannya adalah apple to apple maka dari thn 2006 angka yg dipakai adalah PTKP PMK 137/2005 (TK-0 13.200rb dstnya) tapi ternyata angka PTKP dalam UU langsung berlaku..

Catatan : Buku Petunjuk Pengisian SPT Tahun 2010 Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Edisi 2010 (B.2.1.23.06) merujuk PTKP UU No 36 tahun 2008 ini

PMK 162/011/2012 terbit tanggal 22 Okt 2012 berlaku 1 Jan 2013

PTKP yg tertera sbb :

TK-0 24.300ribu,

K-0 26.325ribu

K/I/0 50.625ribu

K/I/3 56.700ribu

yg berlaku 1 Jan 2013 (Psl 3 PMK 162/2012).

Patut dibaca pada pembukaan PMK ini dalam konsiderans menimbang telah dilakukan konsultasi Menteri Keuangan dengan DPR pada tanggal 30 Mei 2012 dan 15 Okt 2012.

Catatan : Buku Petunjuk Pengisian SPT Tahun 2014 Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Edisi 2014 merujuk PTKP PMK 162 /011/2012 ini .

PMK 122/010/2015 terbit tanggal 29 Jun 2015

PTKP yg tertera sbb:

TK-0 36.000ribu,

K-0 39.000ribu

K/I/0 75.000ribu

K/I/3 84.000ribu

seperti yg ditetapkan dalam pasal 1 dan berlaku untuk tahun pajak 2015 (pasal 3) dan mencabut PMK 162/2012 (pasal 4). Patut dicatat dalam pertimbangannya dalam menerbitkan PMK ini disinggung pertemuan konsultasi dengan DPR RI tanggal 25 Jun 2015

Catatan : Buku Petunjuk Pengisian SPT Tahun 2015 Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Edisi 2015 merujuk PTKP PMK 122 /010/2015 ini .

PMK 101/010/2016 ditetapkan tanggal 22 Jun 2016 dan diundangkan 27 Jun 2016

PTKP yg tertera dalam pasal 1 sbb:

TK-0 54.000ribu,

K-0 58.500ribu

K/I/0 112.500ribu

K/I/3 126.000ribu

dengan ketentuan berlaku untuk tahun pajak 2016 (pasal 3) dan telah dikonsultasikan dengan DPR RI pada tanggal 6 April 2016 dan 11 April 2016 (baca dalam menimbang dst)

Pasal 4 PMK ini mencabut PMK 122/2015

Saya juga tidak menemukan Buku Petunjuk (dalam bentuk cetakan) Pengisian SPT tahun 2024 Pajak Penghasilan WP Orang Pribadi yang merujuk PTKP di PMK 101/010/2016 ini.

UU No 11 Tahun 2020 Rev 5, UU No 7 Tahun 2021 Rev 6 dan UU No 6 tahun 2023 Rev7

Khusus utk PTKP setelah UU Pajak Penghasilan No 36 dgn peraturan PMK 101/010/2016 yg memuat angka TK-0 54.000 rb dstnya tidak berubah hingga pengisian SPT Orang Pribadi tahun 2024 meskipun selama tahun 2016 hingga 2024 banyak revisi yg terjadi dalam UU PPh ini. Sebagai contoh dalam Undang Undang Perpajakan terbitan ORTAX , UU No 36 tahun 2008 diberi tanda Rev 4, UU No 11 tahun 2020 bertanda Rev 5, UU No 7 Tahun 2021 bertanda Rev 6 dan terakhir UU No 6 tahun 2023 Rev 7.

Saya merujuk UU No 7 tahun 2021 Rev 6 ini dimana dalam psl 7 TK-0 54.000rb dst nya menggunakan angka2 PMK 101/010/2016 . Perubahan yg perlu dicatat berkenaan dengan PTKP yang meskipun tidak menyangkut angka tetapi berdampak atas penerapan pengisian SPT Orang Pribadi adalah sbb:

Pertama UU No 36 tahun 2008 Rev 4 dalam penjelasan Pasal 7 ayat 2 diberikan contoh status wajib pajak Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2021 Wajib Pajak B berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu) anak. Apabila anak yg kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 2021 , besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada wajjib Pajak B untuk tahun pajak 2021 tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.

Kedua UU No 7 tahun 2021 Rev 6 memberikan besarnya PTKP per tahun pasal 7 ayat 1 untuk WP dgn status lajang 5400rb, tambahan 4500rb utk status WP dgn status kawin dst yang kalau di workout lebih lanjut persis dengan angka2 PMK 101/010/2016 yang menurut pendapat saya sebagai koreksi karena seharusnya angka2 tsb tampil dulu di UU baru diterbitkan PMK nya

Ketiga, UU No 7 tahun 2021 Rev 6 menambahkan pasal 7 ayat 2a sbb: Wajib pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 huruf e tidak dikenai Pajak Penghasilan atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp.500juta rupiah dalam satu tahun pajak. Ayat ini merupakan fasilitas yg diberikan kepada pengusaha WP Orang Pribadi untuk mendorong kemajuan UMKM .

Keempat, UU No 7 tahun 2021 menambahkan juga pasal 7 ayat 3 berkenaan dengan ayat 1 dan 2a ditetapkan dengan peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR RI (baca penjelasan tambahan…)…..setelah berkonsultasi dgn alat kelengkapan DPR RI yg bersifat tetap, yaitu komisi yg tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.

Kelima, saya mengusulkan untuk diberikan waktu minimal berapa tahun sekali harus dilakukan peninjauan PTKP misalnya tiap periode 4 tahun dilakukan konsultasi antara Menteri Keuangan dan DPR RI untuk meninjau kelayakan PTKP ini mengingat banyak WP Perorangan yg berstatus pekerja , meskipun ada kenaikan upah tiap tahun tapi karena PTKP yg konstan ini membuat Penghasilan Kena Pajak yg lebih besar tiap tahun untuk dikenai PPh bahkan dalam income bracket yg sama.

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Jakarta Utara

Kurniawan Tedjo

kurniawan_tedjo@yahoo.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

Tax Amnesty Jilid III: Solusi Instan atau Ancaman Jangka Panjang?

Isu mengenai pelaksanaan Tax Amnesty Jilid III kembali mengemuka dalam diskursus perpajakan Indonesia. Di satu sisi, pengampunan pajak dipandang sebagai alat cepat untuk menambah penerimaan negara. Namun, sejarah dan data menunjukkan bahwa program ini tidak selalu membawa manfaat jangka panjang. Bahkan, jika dijalankan berulang kali, tax amnesty justru dapat menjadi bumerang bagi sistem perpajakan yang sehat dan berkeadilan.

Artikel ini mencoba mengurai akar persoalan, membedah efektivitas amnesti sebelumnya, serta menawarkan pendekatan alternatif yang lebih berkelanjutan untuk memperkuat fondasi perpajakan nasional.

Sukses Jangka Pendek, Tantangan Jangka Panjang

Program Tax Amnesty pertama di Indonesia dirancang untuk empat tujuan utama: meningkatkan penerimaan pajak, mendorong repatriasi aset, memperluas basis data pajak, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Berikut beberapa capaian penting yang berhasil diraih:

• Penerimaan Uang Tebusan: Tercatat sekitar Rp114,02 triliun berhasil dikumpulkan sebagai tebusan dari peserta program.

• Pengungkapan Harta: Total aset yang dideklarasikan sangat besar Rp3.676 triliun dari dalam negeri dan Rp1.031 triliun dari luar negeri.

• Repatriasi Aset: Dana dari luar negeri yang berhasil dipulangkan ke Indonesia terbilang signifikan, meski belum sepenuhnya sesuai ekspektasi.

• Perluasan Basis Data Pajak: Pemerintah memperoleh data berharga untuk pemetaan potensi perpajakan di masa depan.

Namun, di balik angka-angka itu, satu pertanyaan besar mengemuka: Apakah program ini berhasil meningkatkan kepatuhan jangka panjang? Sejumlah studi menunjukkan adanya perbaikan sementara, tetapi efek jangka panjang masih dipertanyakan, terutama terkait moral hazard.

Tax Amnesty yang Diulang-Ulang 

Keberhasilan sementara dari program pertama tak lantas menjadi alasan kuat untuk melanjutkannya. Justru, pelaksanaan Tax Amnesty yang berulang kali menimbulkan berbagai risiko serius:

1. Mendorong Mentalitas “Nanti Diampuni Lagi”

Pola pikir seperti ini melemahkan semangat kepatuhan sukarela. Wajib pajak cenderung menunda atau menghindari kewajiban pajaknya, berharap akan ada “pengampunan jilid berikutnya”. Ini menciptakan moral hazard yang sistemik.

2. Ketidakadilan bagi Wajib Pajak Patuh

Mereka yang taat pajak merasa tidak dihargai. Sebaliknya, pelanggar malah diberi insentif dan kemudahan. Ini bertolak belakang dengan semangat keadilan fiskal dan dapat mengikis legitimasi sistem perpajakan di mata publik.

3. Melemahkan Wibawa Penegakan Hukum

Seringnya pemberian amnesti menciptakan kesan bahwa pemerintah tidak serius dalam penegakan hukum pajak. Konsekuensinya, rasa takut terhadap sanksi hukum melemah, dan upaya penegakan menjadi tidak efektif.

4. Inkonsistensi Kebijakan Fiskal

Pemerintah perlu menciptakan iklim kebijakan yang stabil dan dapat diprediksi. Tax Amnesty yang terus diulang memperlihatkan ketidakpastian dan mengganggu ekspektasi pelaku usaha dan investor.

5. Menggeser Fokus dari Reformasi Sistemik

Tax Amnesty seharusnya menjadi opsi terakhir, bukan solusi rutin. Ketergantungan pada cara-cara instan seperti ini dapat mengalihkan perhatian dari reformasi struktural yang jauh lebih penting.

6. Risiko Penurunan Rasio Pajak Jangka Panjang

Program ini memang mampu meningkatkan penerimaan dalam waktu singkat. Namun, jika merusak fondasi kepatuhan, maka penerimaan jangka panjang dan rasio pajak terhadap PDB justru bisa stagnan atau bahkan menurun.

Strategi Meningkatkan Kepatuhan Pajak Secara Berkelanjutan

Daripada kembali mengandalkan Tax Amnesty, ada beberapa langkah strategis yang jauh lebih efektif untuk memperkuat sistem perpajakan:

1. Reformasi Perpajakan yang Komprehensif

Perlunya simplifikasi aturan perpajakan, peningkatan teknologi administrasi (seperti sistem Coretax), serta perbaikan layanan kepada wajib pajak agar lebih efisien dan transparan.

2. Penegakan Hukum yang Konsisten

Data dari amnesti sebelumnya sebaiknya dimanfaatkan untuk menindak tegas wajib pajak yang masih membandel. Penegakan hukum yang konsisten penting untuk membangun efek jera dan kepercayaan publik.

3. Ekstensifikasi dan Peningkatan Basis Pajak

Perluasan basis pajak ke sektor informal, UMKM, dan pelaku ekonomi digital menjadi keharusan di era ekonomi baru.

4. Peningkatan Edukasi dan Literasi Pajak

Edukasi berkelanjutan mengenai pentingnya pajak akan membangun kesadaran dan budaya kepatuhan sejak dini.

5. Membangun Kepercayaan Publik

Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran negara akan meningkatkan kemauan masyarakat untuk membayar pajak. Jika rakyat percaya pajaknya digunakan dengan benar, maka kepatuhan pun akan meningkat.

Jangan Ulang Kesalahan yang Sama

Tax Amnesty memang bisa menjadi jalan pintas untuk mengejar penerimaan negara, tapi bukan solusi jangka panjang. Terlalu sering memberikan pengampunan justru dapat menghancurkan fondasi utama perpajakan: keadilan, kepatuhan, dan kepastian hukum.

Waktunya kita beralih ke strategi yang lebih berkelanjutan membangun sistem perpajakan yang kuat, kredibel, dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Pajak yang sehat bukanlah hasil dari pengampunan berkala, melainkan dari sistem yang dipercaya dan ditaati oleh semua.

Penulis adalah Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Lampung

Teten Dharmawan

Email: tetendharmawan@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

Akuntansi Benteng Pertahanan Wajib Pajak Dalam Kasus Pemeriksaan Pajak

Literasi akuntansi di Indonesia masih tergolong rendah, sebagaimana terlihat dari pengalaman saya mengajar mata kuliah akuntansi di beberapa universitas di Jakarta. Bahkan, banyak mahasiswa jurusan akuntansi merasa bahwa disiplin ilmu ini merupakan tantangan yang berat.

Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor berikut:

1. Akuntansi membutuhkan ketelitian tinggi dan keterampilan berhitung di atas rata-rata.

2. Diperlukan daya nalar yang kuat serta kemampuan abstraksi untuk memahami standar akuntansi yang rigid.

3. Logika yang baik menjadi faktor krusial dalam penerapan konsep akuntansi dengan benar.

Tidak mengherankan bahwa untuk diterima masuk ke program studi akuntansi di universitas negeri terkemuka, seperti UI, UGM, UNDIP, UNPAD, UNAIR & UB (layer pertama) membutuhkan nilai UTBK yang tinggi, umumnya di atas 700, sehingga hanya kandidat dengan kecerdasan akademik unggul yang dapat diterima.

Terbatasnya Lulusan Akuntansi Berkualitas dan Dampaknya

Sehubungan daya tampung mahasiswa akuntansi di perguruan tinggi unggulan sangat terbatas, akibatnya jumlah lulusan relatif sedikit dan kebanyakan dari lulusan tersebut langsung direkrut oleh perusahaan besar. Akibatnya, perusahaan kecil dan menengah tidak kebagian, sehingga mereka terpaksa harus merekrut lulusan akuntansi dari universitas layer dua dan seterusnya, yang secara relatif kualitas akademiknya lebih rendah dibandingkan lulusan dari universitas layer pertama.

Konsekuensi dari keterbatasan tenaga akuntansi berkualitas antara lain:

1. Proses pencatatan keuangan yang tidak memenuhi standar, mengakibatkan laporan keuangan yang kurang kredibel dan reliabel.

2. Penguasaan standar akuntansi lemah, padahal standar akuntansi yang menjadikan laporan keuangan menjadi lebih berharga.

3. Kesalahan dalam pelaporan pajak, khususnya dalam penyusunan koreksi fiskal.

Urgensi Pembukuan Akurat dalam Pemeriksaan Pajak

Sesuai dengan Pasal 28 UU No. 28 Tahun 2007 tentang KUP, jumlah pajak terutang harus ditetapkan berdasarkan pembukuan yang sesuai dengan standar akuntansi. Jika pembukuan tidak akurat, pemeriksa pajak berhak menetapkan pajak terutang berdasarkan perhitungan sendiri, dan hal ini berpotensi meningkatkan risiko bagi wajib pajak dalam bentuk beban pajak menjadi tidak efisien, atau beban pajak tidak tepat.

Oleh karena itu, wajib pajak harus menyusun laporan keuangan sesuai standar akuntansi yang berlaku umum. Hal ini penting, untuk memastikan wajib pajak patuh terhadap regulasi perpajakan. Kepatuhan wajib pajak mengakibatkan laporan keuangan menjadi transparan, akuntabel sehingga dapat dijadikan sebagai rujukan dalam pengambilan keputusan.

Sebagai ilustrasi, dalam sebuah pemeriksaan pajak akibat adanya permohonan restitusi, sering ditemukan perbedaan total penjualan dalam laporan laba rugi dan SPT PPN. Perbedaan ini akan memicu pertanyaan dari pemeriksa pajak, karena perbedaan timbul pasti akibat adanya sesuatu hal yang tidak sesuai standar akuntansi atau peraturan perpajakan.

Melihat kondisi ini, pemeriksa pajak biasanya akan menguji dan memvaliditasi pembukuan dengan cara mengajukan pertanyaan sederhana seperti berikut ini:

1. Berapa jumlah penjualan yang sebenarnya? Apakah sesuai dengan SPT PPN atau laporan laba rugi?

2. Jika wajib pajak tidak dapat memberikan jawaban yang jelas, hal ini mengindikasikan bahwa pembukuan dan SPT ada masalah.

3. Ketidakmampuan menjelaskan perbedaan antara laporan keuangan dan SPT PPN dapat menjadi dasar bagi pemeriksa pajak untuk mempertanyakan kebenaran klaim restitusi pajak tersebut?

Situasi ini sering terjadi dalam praktik. Oleh karena itu, literasi akuntansi staf perpajakan perusahaan harus menjadi perhatian pengurus perusahaan, karena kalau tidak diperhatikan, artinya ada kesengajaan pengurus perusahaan untuk tidak bertanggungjawab terhadap aset perusahaan.

Studi Kasus: Dilema Laporan Keuangan yang Meragukan dalam Pengajuan Restitusi PPN.

Sebagai ilustrasi, PT XYZ adalah perusahaan properti yang telah terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) sejak awal berdiri tahun 2022. Dalam dua tahun pertama, PT XYZ tidak memiliki penjualan sehubungan dengan properti yang dimilikinya sedang dalam proses konstruksi, sehingga belum bisa disewakan dan konsekwensinya tidak ada penjualan dan tidak bisa menerbitkan Faktur Pajak Keluaran. Sementara itu, sejak awal berdirinya perusahaan, tetap menerima Faktur Pajak Masukan atas pengeluaran yang dibayarkan kepada kontraktornya, akibatnya terjadilah PPN lebih bayar Rp30.000.000.000,-.

Dalam kasus ini, diasumsikan bahwa proses pembukuan PT XYZ tidak disusun sesuai dengan kaidah atau standar akuntansi yang berlaku umum, misalnya tidak terdapat dokumen pengeluaran kas berupa bukti transfer, invoice dan faktur pajak terkait. Selain itu, terdapat perhitungan beban tidak berlandaskan kontrak atau berita acara penerimaan pekerjaan yang jelas, sehingga pertanggungjawaban aset perusahaan menjadi tidak jelas dan lengkap. Semua kejadian ini, diakibatkan oleh karena staff akuntansi yang bertanggungjawab menjalankan proses akuntansi tidak memahami konsekwensi logis dan hukum atas keteledorannya.

Selanjutnya, ketika melihat dan menimbang jumlah PPN lebih bayar tersebut, Direktur Keuangan menghadapi dilema: dimana, jika pemeriksaan pajak kelak hanya mengakui pajak lebih bayar sebesar Rp20 miliar, dengan demikian, perusahaan akan mencatatkan kerugian Rp10 miliar. Kondisi ini pasti mengakibatkan implikasi yang sangat besar dan konsekwensinya berat terhadap Direktur Keuangan, karena mentriger adanya pertanyaan kritis dari pemegang saham perusahaan.

Untuk menghindari risiko tersebut, Direktur Keuangan biasanya akan memilih untuk tidak mengajukan restitusi yang berimplikasi terhadap pemeriksaan, melainkan akan memilih jalur dengan cara mengklaim PPN lebih bayar secara bertahap melalui pengkreditan PPN lebih bayar hingga jumlahnya mencapai Rp10 miliar.

Disinilah pembuktian bahwa, Akutansi merupakan benteng pertahanan wajib pajak dalam menghadapi pemeriksaan pajak. Dalam kasus ini, bilamana laporan keuangan yang dimiliki oleh PT XYZ reliable dan akuntabel, pasti Direktur Keuangan PT XYZ tidak ragu sedikitpun untuk melakukan restitusi PPN lebih bayar yang berimplikasi adanya pemeriksaan. Karena dengan bekal penerapan standar akuntansi yang benar, Direktur Keuangan akan berani fight mempertahakan kebenaran yang disajikan dalam laporan keuangan.

Kesimpulan: Akuntansi dan Pajak Harus Terintegrasi

Setiap pencatatan dalam pembukuan perusahaan memiliki dampak hukum dan harus dipertanggungjawabkan secara akurat. Oleh karena itu, akuntansi tidak dapat dianggap sebagai sekadar proses administrasi pencatatan transaksi yang bisa dimanipulasi sesuka hati anda.

Perusahaan harus memastikan bahwa individu yang bertanggung jawab dalam bidang akuntansi harus memiliki kompetensi teknis tinggi dan professional serta mampu mengintegrasikan aspek akuntansi dan perpajakan dalam laporan keuangan dan SPT Pajak.

Dampak Rendahnya Literasi Akuntansi terhadap Kepatuhan Pajak

Minimnya pemahaman akuntansi dapat mengakibatkan:

1. Kesalahan dalam penyusunan laporan keuangan, yang berujung pada ketidaksesuaian dengan SPT pajak.

2. Lemahnya posisi wajib pajak saat pemeriksaan, sehingga lebih mudah menerima koreksi pajak yang berpotensi merugikan.

3. Kurangnya kontrol terhadap aspek krusial yang memastikan laporan keuangan sesuai dengan regulasi dan standar akuntansi.

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Bekasi

Dr. Subur Harahap, SE, Ak, MM, CA, CMA, CFP, CPA, BKP, FPM, MT.BNSP

www.suhaconsulting.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

Perintis Reformasi Profesi Keuangan dan Pendukung Lahirnya UU Konsultan Pajak

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan kembali mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpengalaman dan berdedikasi tinggi. Dr. Erawati, S.H., K.N., M.T. saat ini resmi menjabat sebagai Direktur Pembinaan dan Pengawasan Profesi Keuangan di Direktorat Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan, Kemenkeu. Penugasan ini diumumkan langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, menandai langkah lanjutan penguatan tata kelola profesi keuangan di Indonesia.

Sosok ceria dan pembawa energi positif ini lahir di Temanggung, 1 Maret 1971, Dr. Erawati telah meniti karier panjang di Kementerian Keuangan sejak 1997. Ia dikenal sebagai birokrat andal yang konsisten memperjuangkan profesionalisme, integritas, dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara. Salah satu kontribusi terbesarnya adalah dukungan aktif terhadap ide lahirnya Undang-Undang Konsultan Pajak—sebuah tonggak penting dalam sejarah regulasi perpajakan Indonesia.

UU Konsultan Pajak, Pilar Kepastian dan Integritas

Keberadaan Undang-Undang Konsultan Pajak sangat krusial untuk memberikan landasan hukum yang kuat bagi praktik profesi konsultan pajak di Indonesia. Selama ini, konsultan pajak berperan sebagai perantara (intermediaries) penting antara wajib pajak dan otoritas pajak, namun belum memiliki kerangka hukum yang komprehensif. Hal ini kerap menimbulkan celah dalam pengawasan dan potensi pelanggaran etika profesional.

Melalui UU ini, batasan kewenangan, standar kompetensi, serta mekanisme pengawasan dan sanksi terhadap konsultan pajak menjadi lebih jelas. Tidak hanya melindungi wajib pajak dari praktik jasa perpajakan yang tidak profesional, UU ini juga mendorong konsultan pajak untuk berperan lebih aktif dalam mendorong kepatuhan pajak secara sukarela.

Bagi negara, hal ini berdampak langsung pada peningkatan kualitas penerimaan pajak dan kepastian hukum.

Rekam Jejak dan Prestasi

Dr. Erawati menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum di Universitas Gadjah Mada (1995), kemudian meraih gelar Magister Teknik di Institut Teknologi Bandung (2006), dan gelar Doktor Bidang Ilmu Hukum Keuangan Negara di UGM pada 2021. Perpaduan keilmuan hukum dan teknokratis menjadikannya figur unik dalam birokrasi fiskal.

Kariernya mencakup berbagai posisi strategis di Direktorat Jenderal Anggaran, termasuk Kepala Seksi Dukungan Teknis (2007), Kepala Subdirektorat Anggaran IC (2011), serta Kepala Subdirektorat Anggaran Sektor Pertanian, Kelautan dan Kehutanan (2016).

Ia juga pernah menjabat sebagai Kepala Subdirektorat Data dan Dukungan Teknis Penyusunan APBN (2019), dan terakhir, Kepala Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (2023).

Kini, sebagai Direktur Pembinaan dan Pengawasan Profesi Keuangan, Dr. Erawati diharapkan menjadi motor penggerak dalam memperkuat tata kelola profesi strategis seperti konsultan pajak, akuntan publik, aktuaris, dan penilai. Dengan pendekatan yang integratif dan berbasis regulasi yang kuat, ia membawa harapan akan hadirnya ekosistem profesi keuangan yang kredibel, beretika, dan berpihak pada kepentingan publik. (bl)

Skema Pemungutan PPN, Berdasarkan Pasal 4(1) atau Pasal 16D UU PPN

Adanya koreksi DPP atas penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri dari fiskus atas penyerahan BKP sering menjadi perdebatan apakah menggunakan dasar hukum Pasal 4 (1) UU PPN atau Pasal 16D UU PPN

Perlu diteliti terlebih dahulu apakah BKP dihasilkan atau diperoleh dengan maksud :

• dijual (kembali)…dikenakan PPN berdasarkan Pasal 4(1)huruf a UU PPN

• tidak ada tujuan untuk menjual namun karena kondisi tertentu (usang, rusak, tidak terpakai lagi, dll) yang menyebabkan PKP akhirnya menjual BKP tersebut…dikenakan PPN berdasarkan Pasal 16D UU PPN

Penggunaan Dasar Hukum Pasal 4(1) UU PPN

Penjelasan Pasal 4 ayat (1 ) huruf a dan huruf c UU PPN, penyerahan BKP/JKP yang terutang PPN harus memenuhi syarat antara lain penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya;

Secara gramatikal, frasa: ‘dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya’ mengandung makna bahwa penyerahan tersebut merupakan kegiatan usaha sesuai dengan proses bisnis usahanya, baik sebagai produk kegiatan usaha utama (core business) maupun produk usaha sampingan;

Hal ini sudah sejalan dengan netralitas PPN bahwa pemungutan PPN tidak menyebabkan distorsi timbulmya perbedaan BKP berupa produk utama atau sampingan; sejalan dengan norma dalam Pasal 8 ayat (4) PP No. 44 Tahun 2022, bahwa penyerahan terutang PPN berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf a merupakan seluruh penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan baik dalam aktivitas operasional maupun aktivitas nonoperasional;

Penggunanaan Dasar Hukum Pasal 16D UU PPN

PPN dikenakan atas penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c UU PPN;

Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha yang terutang PPN dan perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan, walaupun kemudian huruf c sudah dihapuskan di UU HPP.

Pemungutan PPN berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU PPN, yaitu penyerahan BKP yang semula memang untuk diperjualbelikan sesuai dengan proses bisnis usahanya, sedangkan pengenaan PPN berdasarkan Pasal 16D UU PPN atas penyerahan BKP yang semula tidak untuk diperjualbelikan, di mana tidak ada tujuan atau maksud awal saat perolehan untuk menjual (kembali) BKP

Pemungutan PPN berdasarkan Pasal 16D UU PPN adalah untuk menetralisasi Pajak Masukan yang telah dikreditkan,tujuan awal perolehan BKP a quo untuk menghasilkan penyerahan yang terutang PPN sehingga dapat mengkreditkan Pajak Masukannya. Ketika BKP ternyata dijual, sesuai dengan prinsip pengkreditan Pajak Masukan atas Pajak Keluaran dalam pemungutan PPN, harus terdapat Pajak Keluaran atas penjualan BKP a quo karena Pengusaha Kena Pajak telah mengkreditkan Pajak Masukannya;

Apabila PKP menghasilkan produk sampingan yang dari awal sudah direncanakan akan dijual, dianggap masih mempunyai nilai ekonomis dan tidak ada niat untuk disimpan sebagai aset, sehingga telah menjadi proses bisnis, ini dapat diartikan produk tersebut memang ditujukan untuk dijual kembali yang terutang Pasal 4(1) huruf a UU PPN.

Sebaliknya apabila atas produk yang sedari awal tidak direncanakan akan dijual yang disimpan sebagai aset, bukan bagian dari proses bisnis dikategorikan sebagai aktiva yang tidak semula untuk diperjual belikan yang terutang Pasal 16D UU PPN.

Penulis adalah anggota Departemen Keanggotaan dan Pembinaan IKPI

Eddy Christian, SE., M.Ak., BKP

Email : eddychris1090@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sri Mulyani Percayakan Aktivis Kampus Jabat Sesditjen Pajak

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan resmi mengangkat Sigit sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak (Sesditjen Pajak). Penunjukan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ini mempertegas pentingnya sosok berintegritas dan berwawasan hukum dalam mengawal transformasi otoritas pajak di tengah tantangan reformasi yang belum selesai.

Sigit bukan nama baru di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sebelum menjabat Sesditjen, ia dipercaya memimpin Kanwil DJP Jawa Timur I dan pernah menduduki berbagai posisi penting, termasuk sebagai Kepala Subdirektorat Bantuan Hukum DJP. Namun, tak banyak yang tahu bahwa pria kelahiran Yogyakarta, 7 April 1976 ini memulai kiprah publiknya sebagai aktivis kampus pada masa reformasi 1998.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) ini dikenal aktif di organisasi mahasiswa dan pernah menjadi Koordinator Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Yogyakarta. Ia mengaku sempat turun ke jalan saat reformasi bergulir. “Saya ingin memperjuangkan perubahan lewat jalur legal dan institusional,” kenangnya dalam sebuah podcast bersama Hermanto Tanoko, pengusaha asal Surabaya.

Sigit bergabung dengan Kementerian Keuangan sejak tahun 2002 atas dorongan ibunya. Ia kemudian mendapatkan beasiswa dari pemerintah Prancis untuk menempuh studi perpajakan di dua kampus ternama: Sorbonne University dan Université Paris Dauphine. Bekal akademik internasional inilah yang memperkuat perspektif dan kapasitasnya dalam membenahi sistem perpajakan nasional.

Salah satu pengalaman yang membekas dalam kariernya adalah ketika DJP dilanda krisis kepercayaan akibat kasus Gayus Tambunan. Sigit menyebut masa itu sebagai titik refleksi penting. “Waktu itu kalau naik metromini ke kantor, orang langsung bilang ‘Gayus turun’. Saya sedih sekali,” katanya.

Rasa malu sebagai pegawai pajak justru menjadi dorongan bagi Sigit untuk tampil sebagai bagian dari solusi.

Pada 2019, ia bahkan diminta mencalonkan diri sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Saya ingin buktikan bahwa dari DJP, ada juga orang yang mampu dan mau berjuang dalam pemberantasan korupsi,” ujarnya.

Sigit lalu terlibat dalam tim Staf Khusus Presiden untuk reformasi perpajakan pasca-skandal Gayus, yang dipimpin oleh Dirjen Pajak saat itu, Mochammad Tjiptardjo. Ia ikut merumuskan awal mula Stranas PPK (Strategi Nasional Pencegahan Korupsi) dan sempat ditarik ke UKP4, lembaga pengawasan pembangunan yang dipimpin Kuntoro Mangkusubroto.

Tak hanya di bidang pajak, Sigit juga pernah menjadi bagian dari Satgas Anti Mafia Hukum dan ikut mendorong pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Totalitasnya membuat ia kerap dijuluki sebagai birokrat lintas dimensi: ahli hukum, praktisi perpajakan, sekaligus reformis sistemik.

Laporan harta kekayaannya terakhir pada 27 Februari 2023 menunjukkan total kekayaan sebesar Rp 3,5 miliar, nilai yang tergolong wajar dan transparan bagi pejabat eselon tinggi di Kementerian Keuangan.

“Pajak itu dinamis. Aturan berubah, bisnis berubah, dunia berubah. Kalau sistem kita statis, kita akan tertinggal,” kata Sigit. Kini, di kursi Sekretaris Ditjen Pajak, ia memikul tanggung jawab besar: memastikan roda birokrasi perpajakan berjalan bersih, efisien, dan adaptif terhadap zaman.

Tak kalah penting, Sigit juga sangat mendorong lahirnya Undang-Undang (UU) Konsultan Pajak. Menurutnya, keberadaan UU tersebut sudah sangat dibutuhkan untuk memberikan kepastian hukum guna melindungi wajib pajak dan konsultan pajak. (bl)

PER-9/PJ/2025: Upaya Tegas DJP Menangkal Faktur Pajak Fiktif

Pada 22 Mei 2025 Direkrorat Jenderal Pajak menerbitkan aturan baru yaitu  PER 09 2025 yang mengatur tentang Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-9/PJ/2025 tentang Penonaktifan Akses Pembuatan Faktur Pajak dalam Rangka Penanganan terhadap Kegiatan Penerbitan dan/atau Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah.

Peraturan ini menjadi tonggak penting dalam upaya pemberantasan praktik penerbitan dan penggunaan faktur pajak tidak sah yang selama ini menyebabkan kebocoran penerimaan negara.

Latar Belakang Dikeluarkannya PER-9/PJ/2025

Faktur pajak merupakan dokumen penting dalam administrasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun, dalam praktiknya, ditemukan banyak penyalahgunaan, seperti penerbitan faktur fiktif (tidak berdasarkan transaksi sebenarnya) atau faktur yang dikeluarkan oleh pihak yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Kondisi ini tidak hanya mencederai sistem perpajakan, tetapi juga menimbulkan kerugian nyata bagi negara. Oleh karena itu,

DJP mengambil langkah strategis dengan memberikan kewenangan kepada dirinya untuk menonaktifkan akses pembuatan faktur pajak bagi Wajib Pajak yang terindikasi melakukan penyimpangan.

Apa Saja yang Diatur dalam PER-9/PJ/2025?

1.       Penonaktifan Akses Pembuatan Faktur Pajak, DJP berwenang menonaktifkan akses pembuatan faktur pajak terhadap:

a.       Wajib Pajak Terindikasi Penerbit: Diduga menerbitkan faktur pajak tidak sah.

b.      Wajib Pajak Terindikasi Pengguna: Diduga mengkreditkan pajak masukan dari faktur pajak tidak sah.

Penonaktifan dilakukan berdasarkan hasil kegiatan intelijen perpajakan oleh petugas yang berwenang.

2.      Kriteria Penonaktifan

Penilaian dilakukan berdasarkan dua hal:

a.       Keberadaan dan kewajaran lokasi usaha

b.       Kesesuaian kegiatan usaha

Jika lokasi usaha tidak jelas atau aktivitas usaha tidak sesuai dengan profil yang dilaporkan, DJP dapat menonaktifkan akses faktur pajak secara elektronik. Untuk pengguna faktur, penilaian difokuskan pada penggunaan faktur pajak yang tidak sah dalam pelaporan PPN.

3.       Pemberitahuan dan Hak Klarifikasi, Setiap Wajib Pajak yang dinonaktifkan akan menerima pemberitahuan resmi dari DJP. Mereka tetap diberikan hak untuk melakukan klarifikasi, dengan ketentuan:

a.       Klarifikasi disampaikan langsung ke Kantor Wilayah DJP (tidak dapat dikuasakan).

b.       Wajib disertai dokumen pendukung, seperti: Identitas Wajib Pajak dan dokumen usaha, Surat keterangan domisili usaha, Rekening koran, bukti transaksi, Foto lokasi usaha dan daftar supplier.

4.       Keputusan DJP atas Klarifikasi

a.       DJP wajib memberikan keputusan dalam waktu 30 hari sejak dokumen klarifikasi diterima.

b.      Jika klarifikasi diterima, akses pembuatan faktur akan diaktifkan kembali.

c.       Jika ditolak, atau tidak ada klarifikasi dalam 30 hari, maka: Pengukuhan sebagai PKP akan dicabut secara jabatan. Namun, jika tidak ada keputusan setelah 30 hari, klarifikasi dianggap dikabulkan secara otomatis.

5.       Penyesuaian dengan Aturan Lama

Bagi Wajib Pajak yang sebelumnya sudah berstatus “Suspend”, penyelesaiannya tetap mengacu pada aturan lama, yakni PER-19/PJ/2017 sebagaimana diubah dengan PER-16/PJ/2018. Namun, kedua peraturan lama ini kini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku setelah berlakunya PER-9/PJ/2025.

Kesimpulan

Pentingnya Kepatuhan dan Transparansi, PER-9/PJ/2025 memberikan sinyal kuat bahwa DJP akan semakin tegas terhadap praktik perpajakan yang tidak sesuai aturan. Bagi pelaku usaha, penting untuk menjaga dokumen usaha tetap tertib dan hanya melakukan transaksi yang sah. Langkah preventif seperti ini bertujuan bukan hanya untuk meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga menciptakan sistem perpajakan yang adil, transparan, dan akuntabel.

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Kota Tangerang

Ratri Widiyanti 

Email: ratri.widiyanti@midplaza.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

Rasio Pajak: Cermin Relasi Negara dan Ekonomi 

Artikel (1)

Pajak bukan sekadar kewajiban, melainkan denyut nadi bagi pembangunan. Melalui pajak, negara membiayai pendidikan, kesehatan, infrastruktur, hingga perlindungan sosial. Namun, untuk memahami seberapa besar peran pajak dalam perekonomian, kita perlu melihat rasio pajak sebagai alat ukur yang sangat penting.

Rasio pajak merupakan perbandingan antara total penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) dalam periode yang sama. Angka ini bukan hanya statistik di atas kertas, melainkan potret tentang bagaimana negara mengelola sumber daya ekonomi, seberapa efektif sistem perpajakannya, dan seberapa kuat hubungan kepercayaan antara pemerintah dan rakyat. Semakin tinggi rasio pajak, umumnya menunjukkan bahwa sistem perpajakan berjalan dengan baik, perekonomian tumbuh, dan masyarakat memiliki kemampuan membayar yang lebih baik.

Di sisi lain, rasio pajak yang stagnan atau rendah bisa menjadi tanda bahwa masih banyak potensi ekonomi yang belum tergarap secara optimal, atau bahwa sistem perpajakan belum menjangkau secara luas.

Untuk memahami lebih jauh, kita juga harus memahami PDB. Produk Domestik Bruto (PDB) adalah total nilai semua barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh suatu negara dalam satu periode.

PDB mencerminkan kekuatan ekonomi, pertumbuhan, daya saing, dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Bahkan, PDB menjadi landasan utama dalam pengambilan kebijakan ekonomi nasional. Salah satu cara meningkatkan PDB adalah melalui ekspor, yang memperkuat posisi negara dalam perdagangan global.

Dalam menghitung rasio pajak, ada dua pendekatan umum: sempit dan luas. Dalam arti sempit, yang dihitung hanyalah penerimaan pajak dari pemerintah pusat seperti PPh, PPN, PPnBM, dan PBB. Sementara itu, dalam arti luas, perhitungan juga mencakup penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor sumber daya alam seperti migas dan minerba.

Lembaga internasional pun punya pendekatan berbeda. IMF memasukkan pajak pusat, daerah, dan penerimaan SDA. Sedangkan OECD menambahkan kontribusi jaminan sosial ke dalam rumusnya.

Ketiga pendekatan, yaitu: Production Approach, Income Approach, dan Expenditure Approach (akan dibahas pada artikel ke-2).

Sementara itu, PDB sendiri dapat dihitung dengan tiga pendekatan utama: produksi, pendapatan, dan pengeluaran. Pendekatan produksi menghitung nilai tambah dari setiap sektor industri.

Pendekatan pendapatan menghitung seluruh imbalan yang diterima oleh faktor-faktor produksi. Sedangkan pendekatan pengeluaran menjumlahkan seluruh pengeluaran konsumsi rumah tangga, investasi, belanja pemerintah, dan selisih ekspor-impor.

Semua ini menunjukkan bahwa rasio pajak bukan hanya tentang angka yang dibagi dengan angka lain. Ia merupakan refleksi dari banyak elemen struktur ekonomi, cakupan sistem perpajakan, potensi fiskal, dan efektivitas kebijakan pemerintah.

Penulis adalah anggota IKPI dan Dosen Program S1 & S2,

Dr. H. JALIDIN Koderi, SE, MM, BKP
Email: koderij@yahoo.co.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

 

Gugatan di Pengadilan Pajak dalam perspektif Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2024

Sehubungan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.2 Tahun 2024 Tentang Pemberlakuan Hasil Rumusan Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan yang ditetapkan tanggal 17 Desember 2024 yang salah satu tujuannya untuk menjaga kesatuan penerapan hukum dan konsistensi keputusan.

Pada lampiran di bagian E Hasil Rumusan Kamar Tata Usaha Negara di poin nomor 4 Sengketa Pajak huruf b “ Upaya Hukum bagi Wajib Pajak yang Tidak Puas Terhadap Materi/Isi Ketetapan Jumlah Pajak “ disebutkan ………………………

Upaya hukum bagi wajib pajak yang tidak puas terhadap isi/materi ketetapan jumlah pajak adalah melalui keberatan/banding berdasarkan Pasal 25 jo Pasal 27 UU KUP . Pemeriksaan tentang kewenangan, prosedur dan/atau pelaksanaan penerbitan putusan atau ketetapan pajak dan semua keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 diajukan melalui gugatan berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP

Perlu diketahui bahwa pengajuan gugatan khusus yang menyangkut penerbitan putusan atau ketetapan pajak yang tidak sesuai prosedur sudah diatur berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf d jo Pasal 36 ayat (1) huruf d UU KUP, misalnya untuk penerbitan SKP ataupun Surat Keberatan yang tidak sesuai prosedur.

Dalam SEMA No.2 Tahun 2024 ini lebih menekankan pada pengajuan gugatan atas Surat Keputusan Pajak (SKP) yang mengandung ketidakpuasan isi/materi berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 ayat (2) huruf b UU KUP supaya terdapat suatu pedoman bagi para Majelis dalam memutus suatu perkara gugatan di Pengadilan Pajak.

Penegasan kepada Majelis Hakim di Pengadilan Pajak diatas dapat dimaknai bahwa sejak SEMA ini ditetapkan maka hasil putusan atas setiap gugatan terhadap SKP berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 (1) huruf b UU KUP yang mengandung materi (diluar prosedur penerbitan) akan ditolak.

Sebelumya dapat ditemukan banyak putusan Pengadilan terkait gugatan berdasarkann Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 ayat (1) huruf b yang mengandung isi/ materi telah dikabulkan Majelis, sehingga praktis putusan yang diucapkan setelah SEMA ini ditetapkan akan menolak semua gugatan terhadap Surat Ketetapan Pajak yang mengandung materi.

Selanjutnya timbul pertanyaan, akankah kedepannya berimplikasi atas gugatan terhadap Surat Keputusan Pembetulan berdasarkann Pasal 16 ayat (1) UU KUP yang mengandung materi (sengketa) tersebut ? Sebagaimana diketahui terdapat beberapa putusan atas gugatan terhadap Surat Keputusan Pembetulan yang mengandung materi (sengketa) dibahas materinya oleh Majelis, bahkan ada yang dikabulkan.

Lalu bagaimana halnya apabila gugatan dilakukan terhadap keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan (misal STP) berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 (1) huruf a, huruf c UU KUP terkait pengurangan/ penghapusan sangsi administrasi dan pengurangan/ pembatalan STP apakah juga berimplikasi sehubungan ditetapkannya SEMA No.2 Tahun 2024 ini, seperti apa implikasinya ?

Mengacu pada Pasal 23 ayat (2) huruf c UU KUP yang menjadi dasar dilakukan gugatan apabila timbulnya dua keputusan yaitu keputusan perpajakan dan keputusan pelaksanaan keputusan perpajakan, lalu UU Pengaadilan Pajak dan Surat Edaran Ketua Pengadilan Pajak Nomor SE-07/PP/2018 , Pengadilan Pajak hanya berwenang untuk memeriksa prosedur penerbitan Surat Keputusan, bukan materi atau isi SKP. Pengadilan Pajak memastikan seluruh prosedur pemeriksaan telah dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan

Pasal 36 ayat (1) Huruf b UU KUP memberikan kewenangan diskresioner kepada Direktur Jenderal Pajak untuk mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar. Kata “dapat” dalam pasal tersebut menunjukkan kewenangan diskresioner tersebut. Kewenangan ini juga didukung oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;

Berdasarkan UU Pengadilan Pajak, telah ditentukan perbedaan yang tegas antara upaya hukum banding dan gugatan. Banding merupakan upaya hukum yang diajukan terhadap Keputusan Keberatan atau keputusan lain yang dapat diajukan banding sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perpajakan. Adapun gugatan adalah upaya hukum yang diajukan terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan tertentu yang secara eksplisit dapat digugat berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan;

Berdasarkan UU Pengadilan Pajak dan UU KUP, banding merupakan upaya hukum utama yang ditujukan untuk menyelesaikan perselisihan materi atas ketetapan pajak. Dengan kata lain, jika Wajib Pajak tidak setuju atas jumlah, dasar pengenaan, atau kewajiban perpajakan yang ditetapkan dalam SKPN, saluran yang semestinya digunakan adalah melalui pengajuan keberatan terlebih dahulu, dan apabila tidak puas terhadap keputusan keberatan tersebut, barulah diajukan banding ke Pengadilan Pajak;

Gugatan menurut Pasal 23 ayat (2) UU KUP dan UU Pengadilan Pajak pada prinsipnya diperuntukkan bagi pengujian atas prosedur penerbitan keputusan tertentu, tindakan penagihan, atau keputusan lain yang dapat digugat secara administrasi, bukan untuk menilai ulang substansi atau materi pokok suatu ketetapan pajak. Dengan demikian, Gugatan tidak diperuntukkan untuk membahas materi utang pajak atau SKP secara substansial;

Proses hukum pajak mengutamakan kepastian hukum dan kemanfaatan. UU Pengadilan Pajak menekankan penyelesaian sengketa pajak secara cepat, sederhana, efisien, dan memiliki kekuatan hukum tetap. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengaturan mengenai batas waktu pengajuan Banding (3 bulan) dan Gugatan (30 hari atau 14 hari) telah ditetapkan secara tegas, termasuk pengaturan kewenangan dan ruang lingkup masing-masing upaya hukum;

bahwa dengan membiarkan materi sengketa pajak dibawa ke ranah Gugatan, maka kepastian hukum akan terganggu. Gugatan yang pada dasarnya ditujukan untuk memeriksa prosedur akan berubah menjadi forum untuk menguji materi ketetapan pajak, mengacaukan sistem penanganan sengketa pajak yang telah diatur dengan rinci. Hal ini dapat menyebabkan sengketa berlarut-larut, mengaburkan fungsi utama banding, serta menghambat kepastian dan kelancaran penerimaan negara;

Menimbang bahwa penyelesaian materi melalui Gugatan akan berakibat pada tereduksinya fungsi dan nilai upaya hukum keberatan dan banding. Banding telah ditentukan sebagai upaya hukum utama untuk menyelesaikan perselisihan materi, karena di dalam proses banding terdapat jangka waktu dan prosedur yang memungkinkan materi ketetapan pajak dipertimbangkan secara komprehensif. Sedangkan Gugatan dengan jangka waktu dan lingkup yang terbatas, serta tidak adanya penangguhan jatuh tempo utang pajak, tidak dirancang untuk menyelesaikan sengketa materi;

bahwa selain itu, sistem pajak menganut self assessment, di mana tanggung jawab penghitungan dan pembayaran pajak berada pada Wajib Pajak, dan koreksi yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak menjadi objek utama penyelesaian melalui keberatan dan banding. Apabila materi ini dibawa ke jalur Gugatan, maka upaya hukum yang telah dirancang dalam sistem hukum pajak untuk menjaga keseimbangan dan kepastian akan terganggu;

tujuan pembedaan upaya hukum gugatan dan banding telah dinyatakan Pasal 36 ayat (1) Huruf b UU KUP yang memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk mengurangkan atau membatalkan suatu surat ketetapan pajak yang tidak benar, sehingga Pengadilan Pajak tidak dapat melakukan pemeriksaan atas materi pajak dalam upaya hukum Gugatan;

Majelis hanya memastikan sepanjang pihak Tergugat sudah menyelenggarakan proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan maka tidak terdapat cacat prosedur yang dapat dibebankan kepada Tergugat. Di sisi lainm perlunya bukti kuat dari Penggugat untuk mendukung dalilnya apabila ditengarai adanya prosedur penerbitan yang dilanggar , tidak sesuai dengan ketentuang perundang-undangan perpajakan.

Dalam hal Penggugat tidak melakukan upaya hukum keberatan untuk menyatakan ketidaksetujuannya atas materi koreksi suatu SKP, Majelis dapat menilai tidak dilakukannya upaya hukum dalam jangka waktu tersebut menunjukkan persetujuan Penggugat atas Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan Tergugat;

Lalu bagaimana kedudukan Surat Edaran (SE) dalam hierarki peraturan perundang-undangan? Surat Edaran adalah naskah dinas, tidak dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, dan hanya memuat pemberitahuan tentang hal tertentu yang dianggap mendesak.

Surat Edaran tidak juga dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, bukan merupakan suatu norma hukum sebagaimana norma dari suatu peraturan perundang-undangan. Sehingga SEMA ini tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir peraturan Mahkamah Agung, apalagi peraturan berhierarki lainnya.

SEMA ini merupakan pedoman bagi Majelis Hakim di Pengadilan Pajak untuk memperjelas makna dari kebijakan yang dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan perpajakan diatas, SEMA ini tentunya tidak memiliki unsur sanksi apabila tidak diterapkan oleh Majelis.

Sepengetahuan penulis putusan-putusan sehubungan gugatan berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 ayat (1) huruf b yang diucap semenjak SEMA ini ditetapkan, sudah menolak gugatan yang mengandung isi/materi ketetapan, Majelis Pengadilan Pajak sudah berpedoman pada SEMA ini. Tinggal selanjutnya mari kita kawal bersama, bagaimana pelaksanaannya di waktu-waktu yang akan datang.

Lalu bagaimana dengan nasib putusan Pengadilan Pajak terkait gugatan berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP maupun gugatan terhadap Surat Keputusan Pembetulan Pasal 16 ayat (1) UU KUP yang mengandung isi/materi dimana sudah dikabulkan sebelumya, apakah jika dibawah ke ranah Peninjauan Kembali , Penggugat kemudian akan di kalahkan ?

Pada akhirnya timbul pertanyaan dalam benak kita, apabila gugatan atas isi/materi harus ditolak, namun penerbitan putusan SKP itu sendiri berasal dari materi yang nyata-nyata jelas tidak sesuai dengan UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dimanakah letak keadilan dan kepastian hukum bagi Penggugat ? Disatu sisi pasal-pasal dalam UU AP memberikan andil atas gugatan yang mengandung isi/materi harus ditolak, disisi lain terdapat pasal-pasal dalam UU AP memberikan andil atas gugatan yang mengandung isi/materi dapat dikabulkan.

Penulis : Anggota Departemen Keanggotaan dan Pembinaan IKPI

Eddy Christian, SE., M.Ak., BKP

Email : eddychris1090@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dividen Konstruktif: Celah Pajak atau Ketidakjelasan Regulasi?

Dalam perpajakan di Indonesia, salah satu area yang sangat diawasi dalam ialah transaksi antarpihak yang memiliki hubungan istimewa (afiliasi) ialah Transfer Pricing. Tujuannya memastikan transaksi tersebut sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU). Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan Istimewa, demi menerapkan PPKU yang bisa berujung pada penyesuaian sekunder. Wewenang tersebut tercermin dalam Pasal 18 Ayat 4 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh).

Persoalan dalam hal ini ialah ambiguitas yang timbul sebagai akibat dari tidak adanya kejelasan dan konsistensi dalam penerapan Secondary Adjusment, dalam hal ini penulis hanya merujuk kepada transaksi afiliasi dalam negeri. Mari kita bedah dengan awal mula menarik aturan aturan yang relevan berkaitan dengan hal tersebut.

Terlihat pada tabel diatas terdapat perbedaan makna antar pasal dalam Undang-Undang dan aturan pelaksana, pada bagian penjelasan Pasal 4 Ayat (1) huruf UU PPh memberi contoh atas Transaksi Afiliasi dimana Pemegang Saham Orang Pribadi dan/atau Badan memberikan suntikan dana kepada perusahaan dalam bentuk Saham dan Pinjaman yang melebihi Kewajaran (diatas suku bunga pasar) dalam hal ini Penulis memfokuskan pembahasan pada kelebihan pembayaran atas Imbalan Bunga kepada Afiliasi. Berikut adalah Ilustrasi bagaimana penerapan Dividen Konstruktif diterapkan dalam transaksi afiliasi:

Dalam hal Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan oleh Direktur Jenderal Pajak dan mendapati kejadian sebagaimana tabel diatas, apakah dapat ditetapkan pada Pemberi Pinjaman atau Penerima Pinjaman? Hal ini yang membuat penerapan Secondary Adjusment Dividen Konstruktif yang perlu ditinjau kembali karena apabila Direktur Jenderal Pajak menetapkan pada Pemberi Pinjaman maka tidak sesuai dengan konsep penyebaran yuridiksi (Kantor Pelayanan Pajak) pemotongan pajak atas Dividen. Lalu bagaimana perlakuan Dividen Konstruktif terhadap aturan yang kontra dalam hal ini Dividen Dalam Negeri bukan merupakan Objek Pajak tanpa Syarat bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bersyarat bagi Wajib Pajak Orang Pribadi.

Aturan manakah yang perlu kita terapkan dalam hal apabila terdapat 2 Aturan setingkat Peraturan Menteri Keuangan No. 172/2023 dengan No. 18/2021 berbasis pada Asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis (hukum yang khusus menyampingkat hukum yang umum). Asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa:

1) Jika ada dua aturan yang sama, diatur khusus dan umum, maka yang dipergunakan adalah aturan khusus atau;

2) Jika tidak ada diaturan khusus, maka yang dipergunakan adalah aturan umum.

Dividen secara umum merupakan Objek Pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf g UU PPh, namun terdapat aturan lain yang menyatakan Dividen bukan merupakan objek pajak penghasilan disebabkan terdapat hal-hal khusus yang mengecualikan dividen sebagai objek pajak penghasilan. Dalam ilustrasi diatas Dividen berasal dari PT XYZ (Dalam Negeri) yang diterima oleh PT A (Dalam Negeri) yang memenuhi syarat Dividen dikecualikan sebagai Objek Pajak Penghasilan disebabkan memenuhi kriteria khusus.

Juga berbeda apabila dividen konstruktif diterima atau diperoleh oleh Orang Pribadi yang mengharuskan Investasi Dalam Negeri sebagai syarat dikecualikan sebagai objek pajak penghasilan akan menjadi perdebatan apabila ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam pemeriksaan PT XYZ, sedangkan penerapan tidak ada kewajiban pemotongan Pajak (with holding tax) yang perlu dilakukan oleh PT XYZ.

Penulis adalah anggota Departemen Pengembangan Organisasi, IKPI

Muhammad Fadhil, S.Ak., S.AP., Ak., BKP

Email: fadhilalhinduan@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

en_US