Penerimaan Pajak Merosot, Sri Mulyani Optimistis APBN 2025 Tetap Jadi Penyangga Ekonomi

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan melaporkan bahwa realisasi penerimaan pajak hingga 30 April 2025 mencapai Rp557,1 triliun. Angka tersebut mencatat penurunan 10,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yang mencapai Rp624,2 triliun. Meski begitu, capaian ini menunjukkan tren pemulihan dibandingkan realisasi Maret 2025 yang hanya sebesar Rp322,6 triliun.

Dengan capaian tersebut, penerimaan pajak baru mencapai 25,4% dari target tahun ini yang dipatok dalam APBN sebesar Rp2.189,3 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam paparannya menyebutkan bahwa total pendapatan negara hingga akhir April 2025 adalah Rp810,5 triliun, turun 12,4% secara tahunan dari Rp925,2 triliun tahun sebelumnya.

“Penerimaan negara, khususnya dari sektor perpajakan, memang mengalami tekanan. Namun, kita tetap melihat adanya sinyal pemulihan ekonomi yang mulai menguat,” ungkap Sri Mulyani dalam rapat paripurna DPR, Rabu (21/5/2025).

Secara lebih rinci, penerimaan perpajakan tercatat sebesar Rp657 triliun termasuk di dalamnya penerimaan pajak sebesar Rp557,1 triliun dan kepabeanan serta cukai sebesar Rp100 triliun. Menariknya, sektor kepabeanan dan cukai justru tumbuh 4,4% dibandingkan tahun lalu yang sebesar Rp95,7 triliun.

Sementara itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mengalami penurunan tajam sebesar 24,7% menjadi Rp153,3 triliun, dibandingkan dengan Rp203,6 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Dari sisi pengeluaran, belanja negara hingga April 2025 mencapai Rp806,2 triliun terkontraksi 5,1% secara tahunan. Angka ini terdiri atas belanja pemerintah pusat sebesar Rp546,8 triliun, turun 7,6%, dan transfer ke daerah sebesar Rp259,4 triliun yang tumbuh tipis 0,7%.

Kendati demikian, APBN 2025 mencatatkan kejutan positif. Setelah tiga bulan berturut-turut defisit, kini APBN mencatatkan surplus sebesar Rp4,3 triliun per April. Bahkan, keseimbangan primer mencatatkan surplus Rp173,9 triliun, dan posisi kas negara menguat dengan SILPA sebesar Rp283,6 triliun.

“Ini menandakan APBN tetap menjadi instrumen yang efektif sebagai shock absorber. Ia menjaga stabilitas ekonomi, melindungi rakyat, dan mendukung dunia usaha dalam menghadapi tekanan global,” tegas Sri Mulyani.

Kinerja APBN yang menunjukkan ketahanan fiskal di tengah tekanan global ini menjadi sinyal positif bahwa pemerintah masih memiliki ruang gerak untuk menjalankan program prioritas nasional tanpa mengorbankan stabilitas makroekonomi. (alf)

 

Strategi Penagihan Pajak Daerah Menjadi Penghambat Pertumbuhan Ekonomi

Beberapa waktu lalu, klien saya melakukan pembelian sebuah Bangunan melalui laman yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) atas Bangunan sitaan salah satu Bank di Jakarta. Pada saat proses pelelangan tersebut menimbulkan hak dan kewajiban perpajakan yang harus diselesaikan masing-masing pihak, antara lain Pajak Penjualan (PPh Final 2,5%) yang harus dilunasi oleh Penjual dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB 5%) yang harus dilunasi oleh Pembeli.

Namun, kewajiban BPHTB yang hendak dilunasi oleh Pembeli terhambat oleh salah satu syarat yaitu atas tunggakan yang belum dibayar selama lima tahun terakhir atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang merupakan kewajiban dari yang memanfaatkan dan/atau menguasai bangunan tersebut pada saat terutang.

Hambatan tersebut tertuang dalam Pasal 3 Ayat (1) Peraturan Gubernur (Per-Gub) Provinsi DKI Jakarta No. 34 Tahun 2022 yang menyatakan sebagai berikut:
“Wajib Pajak atau Kuasa Wajib Pajak yang sudah melunasi ketetapan PBB-P2 atas objek perolehan untuk 5 (tahun) pajak terakhir membuat akun pajak online dan melakukan pengisian data SSPD BPHTB secara elektronik, dst…”

Sementara dalam Pasal 2 Per-Gub yang sama juga disebutkan:
“Wajib Pajak wajib membayar dan melaporkan sendiri BPHTB yang terutang melalui sistem e-BPHTB”.

Dua pasal ini menimbulkan kontradiksi: Siapa yang seharusnya dianggap sebagai Wajib Pajak dalam konteks pelunasan tunggakan PBB? Penjual sebagai pihak yang sebelumnya menguasai aset, atau Pembeli yang akan mencatat perolehan hak?
Definisi dalam Pasal 1 Angka 1 Per-Gub menegaskan bahwa Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang memiliki hak dan kewajiban sesuai peraturan perpajakan.

Maka jelas, dalam konteks BPHTB, Pembeli adalah Wajib Pajak. Namun dalam konteks pelunasan PBB lima tahun ke belakang, seharusnya yang bertanggung jawab adalah Penjual. Inilah yang menunjukkan bagaimana strategi penagihan pajak daerah, khususnya lewat syarat administratif yang tidak fleksibel, justru dapat menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi.

Pembeli yang telah siap menginvestasikan dana dan mengaktifkan kembali aset yang dibeli nya, terkendala karena harus menanggung kewajiban yang bukan menjadi tanggung jawabnya.

Dampaknya? Aset tidak dapat segera dimanfaatkan. Jika bangunan tersebut hendak dijadikan hotel, maka hilanglah kesempatan untuk menyerap tenaga kerja lokal, menghasilkan Pajak Hotel 10%, Pajak Restoran 10%, PPh pusat 22%, PPh Pasal 21 atas penghasilan karyawan, dan berbagai retribusi lainnya. Potensi Pendapatan Asli Daerah pun melayang.

Pemerintah daerah perlu menyadari bahwa penagihan pajak seharusnya tidak mematikan potensi ekonomi. Ketika peraturan daerah justru menempatkan investor baru dalam posisi serba salah, maka strategi fiskal yang dimaksudkan untuk mendorong pendapatan daerah malah menjadi kontra-produktif.

Revisi kebijakan diperlukan. Idealnya, penetapan subjek pajak harus jelas dan tidak membebani pihak yang tidak semestinya. Selain itu, perlunya mekanisme khusus untuk objek hasil sitaan atau lelang DJKN, agar proses transaksinya tidak tersandera masalah historis perpajakan yang tidak relevan dengan pihak baru.

Tanpa pembenahan semacam ini, strategi penagihan pajak daerah hanya akan menjadi lingkaran birokrasi yang mengorbankan momentum investasi dan memupus harapan terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi, baik di tingkat lokal maupun nasional.

Penulis adalah Anggota Departemen Pengembangan Organisasi, IKPI

Muhammad Fadhil, S.Ak., S.AP., Ak., BKP

Email: fadhilalhinduan@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

IKPI Sebut Suryo Utomo Berhasil Pimpin DJP: Bawa Banyak Perubahan Positif

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menyampaikan apresiasi atas kepemimpinan Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo yang dinilai berhasil membawa berbagai perubahan positif selama menjabat. Dari capaian penerimaan hingga reformasi sistem, Suryo dianggap sukses memimpin Ditjen Pajak (DJP) di masa penuh tantangan.

“Pak Suryo Utomo mencatat sejarah dengan empat tahun berturut-turut berhasil melampaui target penerimaan pajak nasional, dari 2020 sampai 2024. Ini yang kami sebut sebagai ‘quadtrick’ dan sangat jarang terjadi,” ujar Vaudy dalam pernyataannya, Rabu (21/5/2025).

Vaudy juga menyoroti masa awal jabatan Suryo yang dimulai , pada 1 November 2019 menggantikan Robert Pakpahan. Meski pada tahun 2020 Indonesia dan dunia berada dalam situasi pandemi Covid-19, penerimaan negara dari sektor pajak tetap tercapai bahkan selama empat tahun berturut .

Menurutnya, hal itu menunjukkan strategi adaptif yang diterapkan oleh Suryo cukup efektif dalam menjaga stabilitas fiskal.

Tak hanya soal capaian penerimaan, Vaudy menggarisbawahi keberhasilan Suryo dalam mendorong integrasi dan modernisasi sistem administrasi perpajakan melalui peluncuran Coretax Administration System. “Meskipun implementasinya masih berproses, ini langkah besar menuju efisiensi dan transparansi yang lebih baik,” jelasnya.

Suryo Utomo juga membidani lahirnya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada tahun 2021. “UU HPP adalah upaya besar untuk menyatukan berbagai aturan perpajakan dalam satu kerangka hukum yang lebih jelas dan konsisten,” katanya.

Menurut Vaudy, Suryo juga aktif dalam memperluas basis pajak, termasuk dengan menyasar sektor digital yang semakin dominan dalam perekonomian. Upaya ini dinilai sebagai bagian dari strategi jangka panjang untuk keberlanjutan penerimaan negara.

Lebih jauh, IKPI menilai hubungan antara DJP dan konsultan pajak selama masa kepemimpinan Suryo berlangsung baik. “DJP sangat terbuka terhadap dialog, dan bahkan menghadiri pelantikan-pelantikan pengurus IKPI di berbagai daerah.

Hubungan yang erat ini perlu dipertahankan,” ungkap Vaudy.

Menutup pernyataannya, Vaudy berharap jika benar ada pergantian Dirjen Pajak diharapkan hubungan IKPI yang sudah terjalin sangat baik dengan DJP dapat terus dilanjutkan bahkan dengan semangat kolaboratif dan agenda reformasi yang sudah dirintis.

“Tantangannya tidak kecil, tapi fondasi yang dibangun Pak Suryo sudah kuat,” pungkasnya. (bl)

Pemerintah Siapkan RAPBN 2026: Menkeu Sebut Penyusunan di Tengah Ketidakpastian Global

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menetapkan asumsi dasar makroekonomi sebagai pijakan awal penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2026. Penetapan ini tertuang dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026 yang dipaparkan dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-18 Masa Persidangan III Tahun Sidang 2024–2025.

Dalam pidato pengantarnya, Menteri Keuangan Sri (Menkeu) Mulyani Indrawati menegaskan bahwa penyusunan RAPBN 2026 tidak dilakukan dalam kondisi normal. Ia menyebut bahwa dunia tengah mengalami transformasi global yang bersifat drastis, fundamental, bahkan dramatis.

“Dalam lanskap tatanan dunia saat ini, globalisasi yang dulu menjadi fondasi kerja sama antarnegara kini bergeser menjadi fragmentasi dan persaingan yang sangat tajam di berbagai lini,” ungkap Sri Mulyani di hadapan anggota dewan, Selasa (20/5/2025)

Ia menjelaskan bahwa tren proteksionisme dan kebijakan ekonomi yang berfokus ke dalam negeri (inward-looking) telah menggantikan semangat kolaborasi global yang dibangun pasca Perang Dunia II. Blok-blok dagang dan investasi internasional yang sebelumnya dijunjung tinggi, kini ditinggalkan dan diabaikan.

“Akibatnya, rantai pasok global mengalami gangguan serius. Ini tidak hanya menghambat distribusi barang, tetapi juga menambah biaya transaksi internasional secara signifikan,” paparnya.

Sri Mulyani juga menyoroti dampak lanjutan dari gejolak global tersebut, mulai dari pelemahan aktivitas ekspor-impor, hingga tekanan terhadap stabilitas keuangan dalam negeri.

“Volatilitas global telah mendorong arus modal keluar dan memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Ini memicu risiko inflasi, sementara suku bunga global tetap berada pada level tinggi,” ujar dia.

KEM-PPKF 2026 menjadi fondasi penting dalam menyusun RAPBN tahun depan, yang diharapkan mampu menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah gelombang tantangan internasional yang terus berkembang. (alf)

 

Penerimaan Pajak Turun, Sri Mulyani Pede APBN Masih Tangguh

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan mengungkapkan penerimaan pajak negara hingga April 2025 mencapai Rp 557,1 triliun. Angka ini baru memenuhi 25,4% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, sekaligus menunjukkan penurunan signifikan sebesar 10,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang menyentuh Rp 624,2 triliun.

Data tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Sidang Paripurna DPR RI saat memaparkan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2026, Selasa (20/5/2025).

Meski tekanan penerimaan masih terasa, APBN hingga April 2025 tetap mencatatkan surplus sebesar Rp 4,3 triliun atau setara 0,02% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Surplus ini didorong oleh pendapatan negara yang mencapai Rp 810,5 triliun, sedikit lebih tinggi dibanding belanja negara yang berada di angka Rp 806,2 triliun.

“Hal ini menunjukkan bahwa di tengah masa transisi pemerintahan, APBN 2025 tetap mampu menjalankan peran strategisnya dalam mendukung program-program prioritas yang manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat,” ujar Sri Mulyani di hadapan anggota dewan.

Namun demikian, pendapatan negara secara keseluruhan tetap mengalami penurunan tahunan sebesar 12,4%, dari Rp 719,9 triliun menjadi Rp 810,5 triliun.

Penurunan ini disebut sebagai cerminan dari tantangan global dan domestik yang turut menekan aktivitas ekonomi nasional.

Pemerintah menyatakan akan terus memperkuat strategi pengelolaan fiskal dan menjaga keseimbangan belanja agar tetap produktif, serta responsif terhadap dinamika perekonomian yang terus berkembang. (alf)

 

 

Jangan Kejar Tax Ratio dengan Bebani Rakyat, Ekonom Kritik Rencana BMAD Benang Tekstil

IKPI, Jakarta: Pengamat ekonomi senior Ichsanuddin Noorsy menyoroti rencana pemerintah mengenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk benang Partially Oriented Yarn (POY) dan Drawn Textured Yarn (DTY) yang dianggapnya bisa menjadi pukulan telak bagi industri tekstil nasional. Menurut Ichsanuddin, kebijakan tersebut berpotensi mendorong restrukturisasi biaya besar-besaran di sektor tekstil, yang pada akhirnya bisa memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Kalau BMAD diterapkan, jalan keluar satu-satunya adalah restrukturisasi biaya. Dan langkah paling cepat adalah PHK,” ujarnya kepada wartawan, Selasa (20/5/2025).

Ia menyebut kebijakan fiskal semacam itu tidak adil. Industri tekstil, katanya, tidak bisa disamakan dengan sektor lain karena menyangkut kebutuhan pokok masyarakat, yakni sandang. “Industri tekstil tidak bisa sepenuhnya dilepas ke mekanisme pasar. Ini soal hajat hidup orang banyak,” tegasnya.

Kebijakan Pajak Dinilai Usang

Ichsanuddin juga menilai sistem perpajakan Indonesia saat ini sudah tertinggal jauh dibandingkan negara-negara lain. Ia mencontohkan negara seperti Jepang, India, Bangladesh, dan Vietnam yang masih memberikan insentif fiskal untuk melindungi industri tekstil mereka.

“Di banyak negara, industri tekstil diperlakukan sebagai sektor strategis. Pemerintah mereka memberi berbagai bentuk keringanan pajak untuk menjaga daya saing,” jelasnya.

Ia mengingatkan pemerintah agar tidak menjadikan BMAD sebagai solusi tunggal untuk meningkatkan rasio pajak nasional. Menurutnya, peningkatan penerimaan negara seharusnya difokuskan pada pembenahan sistem pengawasan dan penegakan hukum pajak, terutama terhadap korporasi besar yang kerap menghindari kewajiban mereka.

“Masalah utamanya adalah lemahnya penindakan terhadap kejahatan perpajakan oleh korporasi, baik dalam maupun luar negeri. Jangan sampai rakyat terus dibebani, sementara korporasi besar dibiarkan lolos,” pungkasnya. (alf)

 

 

PKN STAN Gelar Pelatihan Pemeriksa Pajak Daerah

IKPI, Jakarta: Politeknik Keuangan Negara (PKN) STAN kembali menunjukkan komitmennya dalam mendukung penguatan kapasitas fiskal daerah dengan menggelar Pelatihan Pemeriksa Pajak Daerah Batch 1 dan Batch 2. Kegiatan ini berlangsung serentak pada 19 hingga 23 Mei 2025 di Gedung Nusantara Lantai 1 Kampus PKN STAN.

Sebanyak 42 peserta dari berbagai kabupaten dan kota di seluruh Indonesia ambil bagian dalam pelatihan ini, dengan 20 peserta di kelas batch 1 dan 22 peserta di batch 2. Selama lima hari, mereka mendapatkan fasilitas lengkap mulai dari konsumsi harian, bahan ajar digital, hingga sertifikat pelatihan.

Dalam sesi pembukaan, hadir Kepala Unit Pengembangan Layanan dan Bisnis, Bravasta Ananta Hartandi, serta Manajer Investasi Layanan Bisnis, M Fath Kathin.

Dalam sambutannya, Bravasta menyampaikan bahwa pelatihan yang diselenggarakan PKN STAN memiliki keunggulan yang membedakannya dari pelatihan serupa. “Durasi pelatihan kami lebih panjang, mulai pukul 08.00 hingga 17.00 atau lebih, namun tetap kami jaga agar suasana belajar tetap nyaman,” ujarnya dikutip, Selasa (20/5/2025).

Ia juga menekankan bahwa sebagai institusi vokasi, PKN STAN menitikberatkan pada metode pembelajaran berbasis praktik. Peserta diajak untuk melakukan roleplay dan memecahkan kasus nyata yang dihadapi di daerah masing-masing, dengan pendampingan langsung dari dosen berpengalaman.

Tak hanya fokus pada peningkatan keterampilan teknis, pelatihan ini juga menjadi ajang pertukaran pengalaman antar pemerintah daerah. Peserta didorong untuk berdiskusi dan mencari solusi atas persoalan nyata di lapangan.

PKN STAN membuka peluang kerja sama lebih lanjut bagi instansi daerah dalam bentuk pelatihan lanjutan, kajian, atau asistensi penyusunan regulasi. Bagi yang berminat menjalin kolaborasi, dapat menghubungi Manajer Informasi Layanan Bisnis, Satria Adhitama, melalui email: layananbisnis@pknstan.ac.id.

Dengan kegiatan ini, PKN STAN menegaskan peran strategisnya dalam memperkuat SDM keuangan daerah yang profesional, adaptif, dan responsif terhadap tantangan fiskal di lapangan. (alf)

 

 

IKPI Jakarta Utara Tekankan Pentingnya Adaptasi Konsultan Pajak terhadap PMK 15/2025 dan Coretax

IKPI, Jakarta: Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Utara, Franky Foreson, mengajak seluruh konsultan pajak untuk terus meningkatkan kompetensi dan kepekaan terhadap dinamika regulasi perpajakan dalam sambutannya pada acara Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL) yang digelar di El-Hotel, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Selasa (20/5/2025).

Mengangkat tema “Konsultan Pajak Kudu Paham Neh: PMK 15/2025 & Update Aturan Coretax”, kegiatan ini dihadiri oleh 90 peserta yang terdiri dari anggota IKPI se-Jabodetabek dan peserta umum.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Dalam sambutannya, Franky menegaskan bahwa konsultan pajak saat ini dihadapkan pada tantangan besar, tidak hanya dalam memahami aturan teknis seperti PMK 15/2025, tetapi juga dalam beradaptasi dengan sistem digitalisasi pajak yang terus berkembang, salah satunya melalui platform Coretax.

“Kita tidak bisa lagi bekerja dengan pendekatan lama. Dunia perpajakan sudah sangat dinamis. PMK 15/2025 menjadi penanda penting perubahan paradigma, dan Coretax adalah masa depan. Konsultan pajak wajib siap dan paham,” ujar Franky.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Acara ini juga menjadi momen mempererat solidaritas antaranggota IKPI, di samping memperkaya wawasan teknis. Panitia menekankan pentingnya peran konsultan pajak dalam memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat melalui pelayanan profesional yang akuntabel dan berbasis regulasi terkini.

Dengan antusiasme peserta dan relevansi tema, PPL kali ini menjadi bukti nyata komitmen IKPI dalam mencetak konsultan pajak yang adaptif, kompeten, dan siap menjawab tantangan zaman.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

(bl)

Penjualan Mobil Menurun, Industri Otomotif Desak Evaluasi Pajak dan Insentif Baru

IKPI, Jakarta: Industri otomotif nasional menghadapi tantangan berat untuk kembali menembus angka penjualan 1 juta unit mobil per tahun. Setelah sempat bangkit usai pandemi, tren penjualan kembali menurun, mendorong pelaku industri mendesak pemerintah agar meninjau ulang kebijakan insentif dan perpajakan kendaraan bermotor.

Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara, menyatakan insentif terbukti menjadi penyelamat industri saat terjadi krisis. Ia mengingatkan bagaimana pada masa pandemi COVID-19, insentif pemerintah berhasil mendongkrak penjualan dari 532.000 unit pada 2020 menjadi lebih dari 1 juta unit pada 2022 dan 2023. Namun, tren itu tak bertahan lama. Penjualan kembali turun ke 865.000 unit pada 2024 dan diperkirakan hanya mencapai 850.000 unit pada 2025.

“Insentif jangka pendek memang sangat membantu, tapi daya beli masyarakat dan kondisi ekonomi tetap menjadi penentu utama,” ujar Kukuh dalam diskusi Forum Wartawan Industri, Senin (19/5/2025).

Ia juga menyoroti ketimpangan regulasi perpajakan Indonesia dibanding negara tetangga. Menurut Kukuh, pajak kendaraan di Indonesia tergolong paling tinggi di kawasan, bahkan mencapai 50% dari harga kendaraan. Hal ini membuat harga mobil melonjak tajam dari harga pabrik ke konsumen.

Sebagai perbandingan, ia menyebut di Malaysia, pajak kendaraan seperti PKB dan BBN hanya sekitar Rp 1 juta untuk mobil sekelas Avanza, jauh di bawah Indonesia yang bisa mencapai Rp 6 juta. Malaysia, lanjutnya, masih mempertahankan insentif era pandemi, membuat pasar domestik mereka mampu menjual lebih dari 816 ribu unit mobil tahun lalu, meski jumlah penduduknya jauh lebih sedikit.

Senada dengan Kukuh, Peneliti LPEM FEB UI Riyanto menyatakan industri otomotif nasional telah mengalami stagnasi sejak 2013 dan kini cenderung menurun. Penjualan periode Januari-April 2025 tercatat hanya 256.368 unit, turun hampir 3% dibanding tahun lalu. Bila tren ini berlanjut, total penjualan mobil tahun ini diproyeksikan hanya sekitar 769 ribu unit penurunan lebih dari 11% dari tahun sebelumnya.

“Secara teknikal, industri otomotif kita ini sedang resesi,” ujar Riyanto.

Ia memperingatkan bahwa struktur pajak kendaraan yang terlalu tinggi menjadi beban berat, di mana sekitar 42% dari harga mobil adalah pajak. “Jika harga mobil Rp 300 juta, maka sekitar Rp 126 juta adalah pajak. Ini tidak sehat dalam jangka panjang,” tambahnya.

Riyanto menekankan pentingnya keseimbangan baru dalam kebijakan pajak dan insentif. Ia menyebutkan simulasi yang menunjukkan bahwa insentif PPnBM 0% dapat berkontribusi hingga 0,793% terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Dari sisi pemerintah, Mahardi Tunggul Wicaksono, Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian, menyampaikan bahwa pemerintah terbuka untuk mengevaluasi berbagai masukan dari pelaku industri. Baik insentif fiskal maupun non-fiskal akan dipertimbangkan, dengan tetap memperhitungkan kondisi keuangan negara.

“Kami juga tidak akan hanya fokus pada satu teknologi saja. Pemerintah sedang mengkaji pemberian insentif bagi semua jenis kendaraan, termasuk mobil berbahan bakar hidrogen,” ungkap Mahardi.

Indonesia saat ini memiliki 32 produsen mobil dan 73 produsen motor, dengan kapasitas produksi tahunan mencapai 2,35 juta unit mobil dan 10,72 juta unit motor. Total investasi sektor ini mencapai Rp 174,31 triliun. Dengan potensi sebesar itu, pelaku industri berharap pemerintah dapat segera merespons dengan kebijakan yang pro-pertumbuhan. (alf)

 

PMK 81/2025 Ubah Cara Hitung Pajak BUMN dan BUMD

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 melakukan reformulasi penghitungan angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Ketentuan yang tertuang dalam Pasal 229 PMK tersebut bertujuan mendorong transparansi dan akurasi pembayaran pajak sepanjang tahun berjalan.

Dalam pasal tersebut, penghitungan angsuran PPh 25 bagi BUMN dan BUMD selain yang berstatus bank, perusahaan terbuka, atau Wajib Pajak tertentu lainnya tidak lagi mengacu hanya pada perhitungan tahun sebelumnya. Kini, dasar penghitungan menggunakan proyeksi penghasilan neto fiskal berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham.

Besarnya angsuran dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh terhadap penghasilan neto fiskal tersebut, lalu dikurangi dengan pajak-pajak yang telah dipotong atau dipungut di dalam maupun luar negeri, dan dibagi 12 bulan.

Kementerian Keuangan mewajibkan RKAP disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar sebelum batas waktu pembayaran angsuran PPh 25 Masa Pajak pertama. Jika batas waktu terlewati, penghitungan angsuran tidak dapat mengacu pada RKAP.

Langkah ini diyakini akan mengurangi potensi overpayment atau underpayment pajak, serta mendorong perencanaan keuangan korporasi negara yang lebih disiplin dan terukur.

Kebijakan baru ini menjadi salah satu strategi besar reformasi perpajakan nasional yang tengah digalakkan hingga 2027. (alf)

 

en_US