Mengkaji Kembali Ketentuan Pengenaan Pajak Penghasilan Final

5

Artikel

Penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia saat ini memberlakukan 2 (dua) cara dalam menghitung PPh yaitu dari penghasilan neto dikalikan dengan tarif umum berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU PPh dan dari penghasilan bruto dikalikan dengan tarif khusus serta bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah tersendiri sesuai delegasi Pasal 4 ayat (2) UU PPh. Disebut dengan PPh Final karena setelah pelunasannya, baik melalui pemotongan oleh pihak lawan transaksi maupun penyetoran sendiri oleh Wajib Pajak, penghasilan dimaksud tidak digabungkan lagi dengan penghasilan-penghasilan lainnya yang dikenakan PPh dengan tarif umum pada akhir tahun pajak pada waktu pelaporan SPT Tahunan. PPh Final diberlakukan terhadap beberapa jenis penghasilan dari usaha tertentu termasuk antara lain perusahaan pengembang perumahan (real estate), persewaan tanah dan bangunan (property), dan jasa konstruksi (construction). Selain itu PPh Final juga diterapkan terhadap Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp.4,8 milyar dalam 1 (satu) tahun pajak. Pertimbangan Pemerintah dalam pengenaan PPh Final umumnya adalah untuk kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung pajak.

PPh Final tidak mencerminkan keadilan

Menurut John Stuart Mill (1930), prinsip daya pikul atau kemampuan membayar (ability to pay principle) adalah formulasi keadilan yang paling realistis dalam pemajakan. Ability to pay dicerminkan dengan basis pemajakan penghasilan neto yaitu penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh penghasilan tersebut. Dengan menjadikan penghasilan bruto sebagai dasar pengenaan PPh Final, maka tanpa melihat besar kecilnya penghasilan neto, bahkan dalam kondisi penghasilan neto minus atau rugi, Wajib Pajak tetap harus membayar pajak. Kondisi ini tentu tidak adil. Contohnya, bagi perusahaan-perusahaan yang penghasilannya terkena PPh Final dan terdampak Covid-19 berakibat berpotensi  mengalami kerugian  secara neto dalam tahun 2020, perusahaan-perusahaan tersebut tetap wajib membayar PPh yang dikenakan atas setiap penjualan atau penghasilan bruto.

Dengan pengenaan PPh Final dari penghasilan bruto, Wajib Pajak yang mampu menghasilkan persentase laba atau penghasilan neto besar akan diuntungkan dari sisi penghematan membayar PPh dibandingkan dengan Wajb Pajak yang hanya mampu menghasilkan persentase laba neto kecil, apalagi terhadap perusahaan rugi yang seharusnya tidak wajib membayar pajak. Hal ini menyimpang dari prinsip keadilan horizontal (horizontal equity) yang menghendaki bahwa Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan ekonomis yang sama membayar pajak dalam jumah yang sama dan juga tidak sesuai dengan prinsip keadilan vertikal (vertical equity) yang menghendaki pembayaran pajak semakin besar seiring dengan semakin besarnya penghasilan (Musgrave and Musgrave, 1989).

Diskriminasi Pemajakan Terhadap Jenis-jenis Penghasilan Tertentu

Pengaturan PPh Final yang berbasis penghasilan bruto dan dikenakan tarif pajak tersendiri berbeda dengan tarif umum bertentangan dengan asas equality yang dikemukakan oleh Adam Smith dan melanggar prinsip non-diskriminasi dalam hukum (Santoso Brotodihardjo, 1982). Hal tersebut juga merupakan penyimpangan dari prinsip keadilan bahwa penghasilan seyogianya dipajaki dengan cara yang sama tanpa membeda-bedakan sumber, jenis dan cara memperolehnya (John G.Head, dkk, 2014).

Pengenaan PPh Final akan mengakibatkan Wajib Pajak kehilangan beberapa hak perpajakan yang diberikan oleh UU PPh. Misalnya Wajib Pajak Orang Pribadi kehilangan hak untuk mengurangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Demikian pula Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah memenuhi kriteria wajib menyelenggarakan pembukuan kehilangan hak untuk mengompensasikan kerugian selama 5 (lima) tahun bertutut-turut mulai tahun pajak berikutnya. Selain itu, perusahaan masuk bursa (go public) tetapi seluruh penghasilannya terkena PPh Final yang memperdagangkan saham sedikitnya  40%

dari jumlah modal disetor dan memenuhi persyaratan lainnya, tidak mendapat fasilitas pengurangan tarif lebih rendah dari tarif umum yang diberikan oleh Undang-undang. Hal ini tentu merupakan perlakuan diskriminatif yang menyebabkan ketidakadilan di antara perusahaan masuk bursa yang memenuhi syarat untuk mendapatkan pengurangan tarif. Selanjutnya terdapat diskriminasi perlakuan di mana imbalan kepada pegawai dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang diberikan oleh perusahaan yang dikenakan pajak secara final merupakan objek PPh bagi pegawai yang menerimanya, sedangkan hal tersebut tidak berlaku bagi karyawan  perusahaan di berbagai industri yang penghasilannya tidak dikenai PPh Final.

Diskriminasi juga terjadi dalam kaitannya dengan kebijakan pemerintah menurunkan PPh Badan dari 25% menjadi 22% untuk tahun pajak 2020 dan 2021 serta 20% pada tahun 2020. Penurunan tarif tersebut tidak dinikmati oleh perusahaan-perusahaan yang terkena PPh Final. Demikian pula beberapa fasilitas PPh Dalam Rangka Penanganan Covid-19 antara lain pembelian kembali (buy back) saham yang diperjualbelikan di Bursa Efek Indonesia terkait dengan pemenuhan persyaratan dalam rangka memperoleh tarif PPh Badan sebesar 3% lebih rendah tidak berlaku dan tidak dapat dimanfaatkan oleh perusahaan go public yang penghasilannya dikenakan PPh Final.

Ketentuan Pengenaan PPh Final Perlu Ditinjau Kembali

Pemerintah perlu mengkaji kembali pengenaan PPh Final berbasis penghasilan bruto dengan tarif tersendiri menjadi PPh berbasis penghasilan neto dengan tarif umum, khususnya bagi Wajib Pajak yang berdasarkan ketentuan perpajakan wajib   menyelenggarakan pembukuan tanpa melihat sektor usaha. Dengan perusahaan mampu dan wajib menyelenggarakan pembukuan seyogianya PPh dapat dihitung dari penghasilan neto, tidak lagi dari penghasilan bruto.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 yang masih menerapkan pengenaan PPh Final bagi usaha dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp. 4,8 milyar dalam 1 (satu) tahun pajak tetapi dibatasi hingga beberapa tahun pajak mencerminkan pemerintah menyadari realita bahwa belum semua Wajib Pajak Orang Pribadi mampu menyelenggarakan pembukuan yang menghasilkan laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan laba/rugi. Kebijakan tersebut dapat dipandang tepat untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang belum wajib pembukuan karena diberikan semacam masa tenggang untuk mereka belajar memahami pembukuan. Namun demikian, pemerintah maupun organisasi profesi akuntan perlu memikirkan pedoman atau standar akuntansi sederhana agar Wajib Pajak Orang Pribadi tidak terlalu sulit untuk memenuhi kewajiban penyelenggaraan pembukuan.

Terakhir, pemerintah seyogianya tidak lagi memberlakukan pengenaan PPh Final bagi Wajib Pajak Badan yang berdasarkan ketentuan perpajakan telah diwajibkan menyelenggarakan pembukuan tanpa melihat jumlah peredaran bruto dan tanpa membedakan jenis dan sektor usaha.

5

Nama                                    :    Dr. Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax

NRA                                  :   001250

Anggota IKPI Cabang          :    Jakarta Selatan

Sekilas tentang Penulis         :  Wakil Ketua Umum IKPI, Dosen Prasetiya Mulya Business School, dan Managing Partner CITASCO

 

Bagikan Berita Ini

PERSOALAN-PERSOALAN HUKUM DALAM PENGENAAN PPN ATAS PEMAKAIAN SENDIRI

3x4 (2)

Artikel

Bambang Pratiknyo, NRA: 3244

A. Pendahuluan

Pemakaian sendiri atau private use pada umumnya diklasifikasikan sebagai penyerahan yang dikenakan PPN dalam mekanisme pemungutan PPN. Alan Tait juga mendefinisikan penyerahan yang salah satunya adalah pemakaian sendiri. Diklasifikasikannya pemakaian sendiri sebagai penyerahan sesungguhnya suatu hal yang logis dalam rangka memelihara tercapainya tujuan PPN sebagai pemajakan atas konsumsi yang menggunakan mekanisme kredit pajak. Dengan diperkenankannya PPN yang dibayar kepada Pemasok sebagai kredit pajak atau Pajak Masukan (selanjutnya disingkat dengan PM), maka pemakaian sendiri mau tidak mau harus dikenakan PPN. Jika tidak dikenakan PPN, terjadilah konsumsi barang/jasa tanpa membayar PPN yang mana hal tersebut diakibatkan oleh terjadinya PM-nya sudah dikreditkan (atau bahkan sudah direstitusi) namun tidak ada Pajak Keluarannya.

Meskipun pencegahan konsumsi (berupa pemakaian sendiri) tanpa membayar PPN dapat juga ditempuh dengan cara tidak boleh dikredirkannya PM terkait dengan pemakaian sendiri, namun dalam prakteknya alternatif memilah PM yang terkait dan yang tidak terkait dengan pemakaian sendiri lebih sulit ketimbang alternatif mengenakan PPN atas pemakaian sendiri.. Demikianlah, negara-negara yang menerapkan PPN sebagai Pajak Konsumsinya pada umumnya menjadikan pemakaian sendiri sebagai salah satu obyek PPN, seperti juga Indonesia. Sejak awal (sejak UU No. 8 Tahun 1983) sampai dengan UU terbaru (UU No. 11 Tahun 2020) pemakaian sendiri merupakan salah satu hal yang dianggap sebagai penyerahan, sehingga pemakaian sendiri atas Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan (merupakan obyek) PPN.

Isu PPN atas pemakaian sendiri meliputi definisi pemakaian sendiri, Dasar Pengenaan Pajaknya (DPP) dan tentang Faktur Pajaknya . Isu-isu tersebut akan diuraikan dalam tulisan di bawah ini dengan mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan PPN di Indonesia. Di samping itu tentu akan diuraikan persoalan-persoalan yang terkandung pada isu-isu tersebut. Penulis berharap sedikitnya tulisan ini akan memperkaya  pengetahuan Pembaca tentang perlakuan PPN atas pemakaian sendiri dan persoalan-persoalannya.

B. Isi

Definisi pemakaian sendiri menurut UU PPN yang pertama dan kedua (UU No. 8 Tahun 1983 dan UU No. 11 Tahun 1994) adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan. Selanjutnya menurut UU PPN ketiga sampai UU kelima (UU No. 11 Tahun 2020) definisi pemakaian sendiri menjadi pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri. Kedua definisi tersebut pada hakekatnya tidak berbeda, yang mana yang terakhir hanya lebih mempertegas bahwa walaupun bukan hasil produk sendiri, ,tetap atas pemakaian sendirinya merupakan obyek PPN. Pemakaian sendiri pada kegiatan usaha yang berbentuk perdagangan barang akan mudah

menjustifikasi telah terjadinya konsumsi barang. Sebaliknya, pada kegiatan usaha berbentuk produksi yang terdiri lebih dari satu tahapan akan dijumpai kemungkinan terjadinya pemakaian sendiri atas hasil dari kegiatan pada suatu tahap untuk kegiatan tahap berikutnya. Atas pemakaian sendiri seperti ini memunculkan pertanyaan, apakah sudah harus dikenakan PPN atau belum?

Pada awal berlakunya UU PPN pernah diterbitkan SE-09/1985 yang menegaskan bahwa pemakaian sendiri terutang PPN dengan DPP Harga Jual, namun diperkenankan untuk mengurangkan bagian labanya. Selain itu, atas pemakaian sendiri tidak perlu dibuat Faktur Pajak dan sebagai gantinya cukup dibuatkan catatan “pemakaian sendiri” pada Buku Penjualannya. Selanjutnya pada tahun 1990 diterbitkan SE-12/1990 yang menegaskan bahwa pemakaian sendiri untuk keperluan tahapan produksi berikutnya tidak perlu dipungut PPN. Akhirnya pada tahun 1991 diterbitkanlah SE-01/1991 yang secara tegas membuat pembedaan pemakaian sendiri menjadi pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif (contoh: Pabrikan Minuman menggunakan minuman hasil produksinya untuk karyawannya) dan pemakaian sendiri untuk tujuan produktif (contoh: Pabrikan Truck menggunakan Truck hasil produksinya untuk mengangkut spare part dari suatu tempat ke pabriknya atau ke tempat pembeli).  Atas pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif dikenakan PPN (dibayar Pajak keluaran) namun tidak dapat dikreditkan. Sebaliknya, atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif dibayar Pajak Keluaran, namun sekaligus dapat dikreditkan.

Pada era UU PPN yang kedua (UU PPN Tahun 1994) dan ketiga (UU PPN Tahun 2000) diterbitkan Kep. Dirjen. No.87/2002 yang diedarkan dengan SE-04/2002 yang mempertegas definisi pemakaian sendiri untuk tujuan produktif, DPP-nya serta tentang Faktur Pajaknya. Menurut Kep. Dirjen. tersebut, definisi pemakaian sendiri untuk tujuan produktif adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan. Atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif belum merupakan penyerahan sehingga tidak terutang PPN. DPP-nya adalah Harga Jual/Nilai Penggantian dikurangi Laba Kotor. Faktur Pajaknya tetap harus dibuat, tanpa membedakan pemakaian sendiri untuk tujuan produktif atau bukan.


 1. Alan A. Tait, Value Added Tax: International Practice and Problems (Washington DC: International Monetary Fund, 1988), 87.

 2. OECD Report, Taxing Consumption (Paris: OECD, 1988), 170

 3. Definisi Pemakaian Sendiri dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 1A pada semua UU PPN

Pada era UU PPN yang keempat (UU PPN tahun 2009) ketentuan tentang PPN atas pemakaian sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Merujuk kepada Pasal 19 UU PPN tahun 2009, hal ini nampaknya lebih tertib hukum dibanding sebelumnya yang langsung diatur oleh Kep. Dirjen Pajak atau Surat Edaran Dirjen Pajak. Ketentuannya diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 Pasal 5 ayat (1), (2), (3) dan (4) dan Pasal 19 ayat (2) beserta penjelasannya. Aturannya dinyatakan serta diberikan contoh secara jelas, dan kusus untuk pemakaian sendiri untuk tujuan produktif lebih dirinci perlakuannya sebagai berikut:

Contoh Pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan:

1)

Pabrikan truk mempergunakan sendiri truk yang diproduksinya untuk kegiatan usaha mengangkut suku cadang.

2)

Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti sawit sebagai pengeras jalan di lingkungan pabrik.

3)

Perusahaan telekomunikasi menggunakan saluran teleponnya untuk kegiatan operasional perusahaan dalam berkomunikasi dengan mitra bisnisnya.

Contoh Pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya:

1)

Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti sawit sebagai bahan pembakaran boiler dalam proses pabrikasi.

2)

Pabrikan kayu lapis (plywood) menggunakan hasil produksinya berupa kayu lapis (plywood) untuk membungkus kayu lapis (plywood) yang akan dipasarkan agar tidak rusak.

3)

Perusahaan telekomunikasi menggunakan sambungan saluran teleponnya untuk melakukan penyerahan jasa provider internet kepada konsumennya.

Contoh Pemakaiaan sendiri untuk tujuan produktif namun untuk penyerahan yang tidak terutang PPN adalah Pabrikan ban menggunakan produksi ban sendiri untuk kendaraan angkutan umumnya atau untuk kendaraan ambulance klinik di perusahaan.

Ketentuan tentang tidak diperlukannya pembuatan Faktur Pajak atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang diperuntukan pada kegiatan terutang PPN diatur dalam Pasal 19 ayat (2). Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa maksud ketentuan tersebut adalah untuk memberikan kemudahan administrasi Pengusaha yang bersangkutan, mengingat sekiranya dipungut PPN,  tetap saja menjadi Pajak Masukan (PM) yang dapat dikreditkan. Secara teori dan administrasi pemungutan pajak, ketentuan tersebut patut diapresiasi, karena teori pengkreditan PPN tetap dilaksanakan dengan benar dan ketentuan administrasinya memenuhi asas kesederhanaan yang memberikan kenyamanan Pengusaha (convenience dan ease administration).

Sungguhpun demikian, ditinjau dari segi tertib hukum, ternyata ketentuan pemakaian sendiri sebagaimana diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 (yang pada dasarnya hanya merupakan penegasan dan perincian dari ketentuan Kep. Dirjen No. 87/2002 yang “bibit”-nya adalah SE-12/1990) mengandung persoalan-persoalan.

Persoalan hukum dari perlakuan PPN atas pemakaian sendiri sebagaimana diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 adalah sebagaimana diuraikan dalam Uji Materiil oleh KADIN kepada Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2013 yang dikabulkan oleh MA dengan Putusan Nomor 64 P/HUM/2013. Secara ringkas Uji Materiil KADIN dapat diuraikan bahwa persoalan hukum yang pertama adalah bahwa pembedaan pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif dan produktif tidak diatur dalam Pasal 1A UU PPN. Pembedaan tersebut dianggap menyimpang dari materi yang diatur dalam UU PPN, sehingga tidak sesuai dengan kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU No.12 Tahun 2011 dan karenanya ketentuan PPN atas pemakaian sendiri dalam PP No. 1 Tahun 2012 cacat hukum. Persoalan Hukum yang kedua adalah bahwa alasan tidak dipungutnya PPN atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang terkait dengan kegiatan proses produksi atau kegiatan produksi selanjutnya tidak sesuai dengan ketentuan fasilitas PPN yang diatur dalam Pasal 16B UU PPN. Dinyatakan oleh KADIN bahwa alasan kemudahan administrasi Pengusaha pada ketentuan tersebut tidak disebutkan dalam Pasal 16B UU PPN. Persoalan hukum yang ketiga adalah tidak diharuskannya membuat Faktur Pajak atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang terkait dengan kegiatan proses produksi atau kegiatan produksi selanjutnya sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2) PP No. 1 Tahun 2012. Menurut KADIN ketentuan ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 13 UU PPN yang mengharuskan atas setiap penyerahan BKP/JKP dibuatkan Faktur Pajak. Putusan MA atas Uji Materiil oleh KADIN tentang persoalan-persoalan tersebut dikabulkan dengan pernyataan bahwa ketentuan PPN atas pemakaian sendiri yang diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 tidak berlaku umum.

Dengan adanya Putusan MA tersebut seharusnya ketentuan PPN atas pemakaian sendiri yang diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 menjadi tidak berlaku. Biasanya apabila ada Putusan MA yang membatalkan Peraturan yang diterbitkan Pemerintah, Pemerintah menerbitkan aturan yang menyesuaikan dengan Putusan tersebut. Faktanya sampai saat ini aturan PPN atas pemakaian sendiri yang diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 tetap belum diubah, bahkan dengan terbitnya PP No. 9 Tahun 2021 (yang sebagian mengubah PP No. 1 Tahun 2012) ada satu hal yang menarik, yaitu ketentuan Pasal 19 ayat (2) PP No. 1 Tahun 2012 dihapuskan. Dengan dihapuskannya ketentuan tersebut (tentang tidak perlu dibuatnya faktur pajak atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang terkait dengan kegiatan proses produksi atau kegiatan produksi selanjutnya), berarti walaupun tidak dipungut PPN, PKP yang melakukan pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang terkait dengan kegiatan proses produksi atau kegiatan produksi selanjutnya tetap harus buat Faktur Pajak. Akibatnya kemudahan administrasi yang sebelumnya dituju, menjadi tidak tercapai.

Satu persoalan hukum lainnya terkait dengan PPN atas pemakaian sendiri adalah ketentuan belum dianggapnya pemakaian sendiri sebagai penyerahan oleh Peraturan Menteri Keuangan No. 18 Tahun 2021 mengenai ketentuan PKP yang belum melakukan penyerahan dalam hubungannya dengan kewajiban membayar Kembali PPN yang telah dikreditkan/dikembalikan.  Ketentuan ini menimbulkan persoalan, karena pemakaian sendiri menurut UU PPN terutang PPN sehingga harus dibayar Pajak Keluarannya (kecuali atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang terkait dengan kegiatan proses produksi atau kegiatan produksi selanjutnya sebagaimana diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 jo PP No. 9 Tahun 2021). Dengan belum dianggapnya sebagai penyerahan, maka dalam hal terjadi pemakaian sendiri dan PKP tersebut tidak melakukan penyerahan sampai batas waktu yang ditentukan, maka terjadilah konsumsi yang dibayar PPN-nya dua kali, yaitu pertama dari Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan, dan kedua dari Pajak Keluaran yang harus diperhitungkan/dibayar.

C. Simpulan dan Saran

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peraturan perundang-undangan PPN memberlakukan PPN atas pemakaian sendiri secara hati-hati dan terukur, meskipun pada awalnya belum terpola.  Hal ini ditunjukan dengan adaanya pembedaan perlakuan atas pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif dan produktif, bahkan untuk yang bertujuan produktifpun dibedakan lagi dari sifat penyerahannya (terutang PPN atau tidak). Walaupun demikian perlakuan PPN atas kegiatan pemakaian sendiri ternyata masih menyisakan persoalan-persoalan hukum sebagaimana dikemukakan oleh KADIN dan Uji Materiil ke MA.

Untuk itu dengan ini disarankan Pemerintah dan DPR segera membuat aturan baru yang lebih memenuhi kaidah hukum tanpa terlepas dari pemenuhan teori PPN yang tepat, serta pemenuhan asas kemudahan administrasi. Sesungguhnya saat ini ada satu kesempatan terbuka luas untuk melakukan hal tersebut yaitu pada saat pembentukan UU KUP baru dalam waktu dekat nanti. Caranya adalah memindahkan ketentuan PPN atas pemakaian sendiri sesuai dengan ketentuan PP No. 1 Tahun 2012 ke Undang-Undang. Dengan cara itulah maka persoalan-persoalan hukum seperti yang diuraikan di atas menjadi sirna.

Khusus tentang ketentuan belum diakuinya pemakaian sendiri sebagai penyerahan pada kasus PKP belum melakukan penyerahan yang diatur dalam PMK No.18 Tahun 2021, kiranya dapat diubah PMK-nya dengan tidak diwajibkannya membayar kembali Pajak Masukan terkait dengan pemakaian sendiri.


 

3x4 (2)

Nama                                    :    Bambang Pratiknyo

NRA                                    :   003244

Anggota IKPI Cabang         :    Bekasi

Sekilas tentang Penulis       :    Tax Manager DSH Tax Consulting

 

Bagikan Berita Ini

Asas Lex Favor Reo/Transitoir Meningkatkan Kepastian Hukum Pajak

Pendahuluan

Pandemi Covid-19 telah menimbulkan banyak kesulitan bagi negara kita, seperti banyaknya korban yang meninggal dunia, naiknya biaya untuk menjaga kesehatan, kesulitan dalam mencari nafkah, dan perubahan dalam pola beraktifitas dan bersosialisasi dalam masyarakat. Kesulitan ini tidak hanya melanda Indonesia, namun hampir seluruh dunia mengalaminya, termasuk negara maju juga tidak luput dari badai kesulitan akibat Covid-19. Kita harus mengapresiasi semua kerja keras yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam berupaya mengatasi semua kesulitan akibat pandemi Covid-19 ini.

Kesulitan ekonomi nasional yang timbul dari pandemi Covid-19 kita harapkan akan segera berakhir. Oleh karena itu kita perlu meningkatkan apa saja yang dapat mendukung ekonomi nasional kembali bangkit. Kita harapkan investor tertarik berinvestasi di Indonesia. Salah satu faktor yang sangat diperhitungkan investor adalah kepastian hukum. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh Indonesia untuk meningkatkan kepastian hukum pajak adalah dengan cara mengadopsi dengan tegas Asas Lex Favor Reo/Transitoir dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Indonesia, tepatnya di Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 11 Tahun 2020, yang selanjutnya disebut UU KUP.

Asas Lex Favor Reo/Transitoir

Eddy O.S. Hiariej menjelaskan Asas Lex Favor Reo/Transitoir adalah sebuah asas yang menganut prinsip pengenaan sanksi berdasarkan hukuman yang teringan bila terjadi perubahan perundang-undangan. Dalam hukum perpajakan dapat dimaknai sebagai prinsip penerapan sanksi pajak kepada Wajib Pajak berdasarkan sanksi yang teringan dalam hal terjadi perubahan peraturan perundang-undangan perpajakan Indonesia. Sebagai contoh, bila peraturan perundang-undangan yang lama mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% atas setiap bulan keterlambatan pembayaran pajak, tetapi kemudian diundangkan dan diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru yang mengatur sanksi administrasi berupa bunga menjadi 1% atas setiap bulan keterlambatan pembayaran pajak, maka sesuai Asas Lex Favor Reo/Transitoir, yang berlaku adalah sanksi yang lebih ringan, yaitu sanksi bunga yang sebesar 1%. Pengenaan sanksi ini diberlakukan, walaupun keterlambatan pembayaran pajak terjadi sebelum berlakunya peraturan perundang-undangan yang baru.

Dalam peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja, dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang “Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha” yang merupakan ketentuan peralihan, telah mengatur pengenaan sanksi pajak yang dihitung berdasarkan UU Cipta Kerja untuk Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan sejak 2 November 2020. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa sanksi pajak yang diatur dalam UU Cipta Kerja lebih ringan dibandingkan UU KUP yang terdapat dalam UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2009. Dalam UU Cipta Kerja klaster perpajakan tidak diatur aturan peralihan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 PP Nomor 9 Tahun 2021. Tujuan Pasal 9 PP Nomor 9 Tahun 2021 adalah “untuk mendukung kemudahan dalam berusaha” yang selaras dengan tujuan lahirnya UU Cipta Kerja. Penerapan pengenaan sanksi pajak yang lebih ringan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 PP Nomor 9 Tahun 2021 adalah bentuk penerapan Asas Lex Favor Reo/Transitoir. Sanksi pajak ini sifatnya hanya terbatas antara ketentuan sanksi pajak yang diatur dalam UU KUP sebelum diberlakukannya UU Cipta Kerja dibandingkan dengan sanksi pajak yang diatur dalam UU Cipta Kerja, namun ini tidak berlaku terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan secara keseluruhan.

 

Makna Terjadinya Perubahan Perundang-Undangan

Menurut Wirjono Prodjodikoro, makna perubahan perundang-undangan adalah jika dalam suatu perundang-undangan terdapat pasal yang telah berubah sedemikian rupa, atau pasal tersebut telah dihapus, atau jumlah ancaman hukumannya berubah. Dalam penerapan Asas Lex Favor Reo/Transitoir, jika terjadi perubahan perundang-undangan, maka sanksi yang akan dikenakan adalah sanksi yang teringan dari peraturan yang lama dibandingkan dengan peraturan yang baru atas peristiwa kesalahan yang terjadi pada masa lampau sebelum perundang-undangan baru diberlakukan. Bila sanksi yang lebih ringan terdapat dalam peraturan yang baru, maka yang berlaku adalah peraturan yang baru. Sebaliknya, bila sanksi dalam peraturan perundang-undangan yang baru ternyata lebih berat dibandingkan dengan sanksi yang diatur dalam perundang-undangan yang lama, maka sanksi yang dapat dikenai adalah tetap berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lama.

Wirjono Prodjodikoro berpendapat, bahwa Asas Lex Favor Reo/Transitoir tidak berlaku untuk suatu perundang-undangan yang diberlakukan hanya untuk suatu periode tertentu, maka sanksi tetap dikenakan (temporaire strafbepalingen) kepada orang yang melakukan pelanggaran selama periode tertentu tersebut berlaku, walaupun pelanggarnya baru diadili setelah periode tertentu tersebut, karena tidak terjadi perubahan peraturan perundang-undangan dalam kondisi seperti ini. Sanksi yang berlaku dalam suatu peraturan perundang-undangan yang diberlakukan untuk suatu periode tertentu tetap dapat dikenakan kepada pelanggarnya, walaupun terdapat Asas Lex Favor Reo/Transitoir dalam perundang-undangan yang berlaku.

Manfaat Asas Lex Favor Reo/Transitoir

Pemerintah yang menerapkan Asas Lex Favor Reo/Transitoir akan memberikan jaminan kepastian hukum yang tinggi dalam hukum perpajakan kita. Bila dikemudian hari terjadi perubahan peraturan perundang-undangan perpajakan yang menerapkan sanksi yang lebih berat dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang lama, maka secara otomatis Asas Lex Favor Reo/Transitoir berfungsi sebagai benteng yang mencegah diberlakukannya sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang baru, sehingga pasal yang memberikan sanksi yang lebih berat dalam perundang-undangan yang baru menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat atas kesalahan di masa yang lampau. Jaminan ini tentu dapat meningkatkan kepastian hukum perpajakan Indonesia. Investor akan mengetahui dengan pasti bahwa mereka telah mendapat jaminan dari UU KUP akan kepastian hukum atas sanksi yang dapat dikenakan kepada mereka jika terjadi kesalahan tidak akan lebih berat bila terjadi perubahan perundang-undangan perpajakan dikemudian hari.

Asas Lex Favor Reo/Transitoir juga akan mencegah multitafsir dalam penerapan pengenaan sanksi pajak di lapangan. Hal ini menjadi sederhana karena Fiskus dan Wajib Pajak cukup melihat ketentuan sanksi pajak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lama saat terjadinya pelanggaran dibandingkan dengan ketentuan sanksi pajak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku. Sanksi yang diterapkan adalah peraturan yang pengenaan sanksinya yang lebih ringan. Dalam hal ini, asas Lex Favor Reo/Transitoir juga memberikan keadilan dalam pengenaan sanksi pajak. Ini tentu akan mengurangi sengketa pajak di tingkat keberatan dan tingkat banding, bahkan sampai ke tingkat peninjauan kembali. Oleh karena itu asas Lex Favor Reo/Transitoir juga membantu mengurangi beban sengketa pajak di pengadilan pajak.

Penerapan secara tegas asas Lex Favor Reo/Transitoir dalam UU KUP dapat menjadi andalan pemerintah dalam mempromosikan kepastian hukum perpajakan di Indonesia kepada investor asing. Diharapkan Asas Lex Favor Reo/Transitoir yang memberikan kepastian hukum ini dapat menjadi iklan yang sangat produktif bagi Indonesia dalam menarik investor asing untuk berinvestasi di Indonesia. Jika investasi di Indonesia dapat meningkat, tentu multiplier effect ekonomi yang timbul akan sangat mendukung pertumbuhan ekonomi nasional dan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Hal ini pada akhirnya akan menaikkan penerimaan negara dari Pajak.

Penerapan Asas Lex Favor Reo/Transitoir dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional

Asas Lex Favor Reo/Transitoir telah diterapkan dalam hukum nasional sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UU KUHP. Adapun ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU KUHP adalah sebagai berikut: “Apabila ada perubahan perundang-undangan sesudah perbuatan itu terjadi, maka haruslah dipakai ketentuan yang teringan bagi terdakwa”.

Asas Lex Favor Reo/Transitoir juga telah diterapkan dalam hukum internasional, diantaranya diatur dalam Pasal 11 ayat (2) International Institute of Human Right. Menurut Eddy O.S. Hiariej, secara implisit Pasal 11 ayat (2) International Institute of Human Right mengatur penerapan hukum yang teringan antara hukum saat perbuatan dilakukan dengan hukuman yang berlaku saat hukuman akan dijatuhkan dalam hal terjadi perubahan peraturan. Lebih lanjut Eddy O.S. Hiariej menyampaikan isi ketentuan Pasal 11 ayat (2) International Institute of Human Right adalah sebagai berikut: “No one shall be had guilty of any penal offence on account of any act or omission which did not constitute a penal offence, under national or international law, at the time when it was committed. Nor shall a heavier penalty be imposed than the one that was applicable at the time the penal offence was committed”.

Kesimpulan

Kondisi pandemi Covid-19 telah menyebabkan kesulitan ekonomi nasional dan melemahkan sebagian besar daya beli masyarakat kita. Oleh karena itu perlu dukungan dari semua pihak agar perekonomian Indonesia betul-betul dapat bertumbuh secara signifikan guna memberikan kesejahteraan bagi masyarakat kita. Salah satu cara yang dapat kita lakukan adalah meningkatkan kepastian hukum pajak di negara kita yang dapat kita promosikan kepada investor asing untuk mau berinvestasi di Indonesia. Cara yang paling praktis dan tidak banyak mengeluarkan biaya dalam meningkatkan kepastian hukum pajak Indonesia adalah melalui penerapan dengan tegas Asas Lex Favor Reo/Transitoir dalam UU KUP. Asas Lex Favor Reo/Transitoir juga telah diterapkan di UU KUHP dalam hukum nasional dan juga telah diterapkan dalam hukum internasional. Manfaat lain Asas Lex Favor Reo/Transitoir adalah dapat memberikan kontribusi dalam mengurangi beban sengketa pajak yang semakin hari semakin menumpuk di pengadilan pajak.

Semoga pemerintah dapat mempertimbangkan penerapan Asas Lex Favor Reo/Transitoir secara tegas dalam UU KUP. Bila penerapan Asas Lex Favor Reo/Transitoir dalam UU KUP dapat dilakukan, tentu akan memberikan kenyamanan bagi investor dalam berinvestasi di Indonesia. Penerapan Asas Lex Favor Reo/Transitoir dalam UU KUP sangat mungkin akan menjadikan Indonesia  menjadi negara favorit tujuan investasi. Salam Indonesia Maju, Jaya, dan Sejahtera


Penulis : Dr. Arifin Halim, S.E., S.H., M.H.

Penulis lulus Program Doktor Ilmu Hukum Angkatan 2018 Universitas Brawijaya.

Anggota Litbang IKPI Pusat Kepengurusan Periode 2019 – 2024.

Konsultan Pajak, Kuasa Hukum Pengadilan Pajak, dan Advokat.

Kepastian Hukum dan Kesederhanaan Administrasi Perpajakan Meningkatkan Investor Berinvestasi di Indonesia

Pentingnya Kepastian Hukum Bagi Investor

Kepastian hukum pajak perlu dijaga dan ditingkatkan. Kepastian hukum menjadi salah satu faktor utama bagi investor dalam menentukan negara tujuan investasinya. Kepastian hukum tidak hanya menjadi perhatian dari investor asing, namun juga menjadi perhatian bagi investor domestik. Kepastian hukum pajak yang diterapkan dengan baik, diharapkan investor mau menanamkan investasinya di Indonesia. Investor asing akan bergairah berinvestasi di Indonesia dan investor lokal tetap nyaman berinvestasi di dalam negeri dan tidak menanamkan modalnya di luar negeri.

 

Kurangnya minat investor asing berinvestasi di Indonesia terlihat dari fenomena investor asing yang tidak memilih Indonesia sebagai negara tujuan investasinya, namun memilih negara tetangga kita. Pasca perang dagang Amerika Serikat dengan China, pada periode Juni sampai dengan Agustus 2019 ada 33 perusahaan dari China yang memutuskan melakukan relokasi pabriknya keluar China, tidak satu pun yang merelokasi pabriknya ke Indonesia, yang memilih Vietnam ada 23 perusahaan, 10 perusahaan memilih Thailand, Malaysia, Kamboja, India, Mexico, dan Serbia (World Bank, 2019). Awal tahun 2020 Nissan Motor Co., Ltd. mengumumkan secara resmi penutupan pabriknya di Purwakarta, Jawa Barat (Dadan Kuswaraharja/detikOto, 2020). Pada tanggal 23 Oktober 2020, Nissan dalam laman resminya di asia.nissannews mengumumkan merekrut karyawan baru sebanyak 2.000 orang untuk pabriknya di Samut Prakan, Thailand (detikOto, 2020). Fenomena relokasi perusahaan dari China yang tidak memilih Indonesia dan Nissan Motor yang meninggalkan Indonesia pada tahun 2020 dan berkonsentrasi di Thailand, tentu harus menjadi perhatian kita semua dan menjadi tantangan bagi bangsa kita untuk meraih kembali kepercayaan dari Investor. Menurut penulis, salah satu faktor yang mengurangi minat investor asing berinvestasi di Indonesia adalah ketidakpastian hukum di Indonesia.

Pajak dan Sanksi Pajak yang Dikhawatirkan Investor

Bagi investor, pengenaan pajak penghasilan dari keuntungan yang diperoleh adalah hal yang wajar dan praktek yang lazim di dunia. Keuntungan yang diperoleh investor dikenai pajak sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku tentu sudah dipahami sewaktu investor akan melakukan investasi di suatu negara. Investor akan kapok berinvestasi di suatu negara jika investor tersebut mengalami pengenaan pajak dan/atau sanksi pajak yang terjadi karena administrasi. Berita peristiwa seperti ini tentu akan dengan cepat menyebar di kalangan investor baik di negara asalnya maupun negara lain. Berita ini akan menjadi iklan yang kontraproduktif bagi iklim investasi di negara terjadinya peristiwa itu. Ada adagium bahwa pajak itu mengambil sebagian dari telur yang ditelurkan oleh ayam dan tidak mengambil ayamnya. Bila ayamnya diambil, maka sudah tidak ada lagi telur yang dapat diambil dikemudian hari. Ayam harus diberikan kondisi yang nyaman, sehingga ayamnya semakin produktif bertelur dan sebagian telurnya dapat diambil sebagai pajak.

 

Peraturan Harus Sinkron dan Harmonis

Peraturan akan memberikan kepastian hukum jika peraturan yang berlaku sinkron dengan peraturan di atasnya dan harmonis dengan peraturan lainnya yang sederajat. Di Indonesia, sinkron dan harmonisnya suatu peraturan harus sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 yang mengatur jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Peraturan yang bertentangan dengan peraturan di atasnya mengakibatkan peraturan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Adapun peraturan yang tidak harmonis dengan peraturan lainnya akan menimbulkan konflik hukum yang melahirkan ketidakpastian hukum.

 

 

Kesederhanaan Administrasi Pajak Menjadi Daya Tarik Investasi

Disamping kepastian hukum yang dibutuhkan oleh investor, kesederhanaan administrasi perpajakan juga akan menjadi daya tarik investasi bagi investor. Kesederhanaan administrasi perpajakan akan memberikan iklim yang kondusif bagi dunia usaha, karena pengusaha dapat lebih fokus untuk memajukan pertumbuhan usahanya dan dapat bersaing dalam menjalankan usahanya. Waktu pengusaha tidak terbuang untuk mengurusi administrasi yang rumit. Ini akan mendukung perusahaan di Indonesia lebih efisien dan mampu bersaing di dunia, sehingga ekspor dapat ditingkatkan. Pertumbuhan yang terjadi di dunia usaha, tentu pada akhirnya juga memberikan kontribusi yang positif bagi meningkatnya penerimaan negara dari sisi pajak.

 

Kesederhanaan Administrasi Pajak yang Dapat Dipertimbangkan

Kesederhanaan administrasi dalam pemungutan pajak akan meringankan beban administrasi Wajib Pajak. Hal ini akan membuat Wajib Pajak lebih mudah dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Kesederhanaan administrasi ini tentu dilakukan dengan tidak mengorbankan penerimaan negara. Adapun kesederhanaan administrasi perpajakan yang dapat dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

1. Jangka waktu penerbitan Faktur Pajak dapat disederhanakan menjadi dilakukan paling lambat pada akhir bulan dilakukannya penyerahan. Seperti kita ketahui bersama, sesuai dengan Pasal 13 ayat (1a) huruf a UU PPN, Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Penyederhanaan administrasi pajak dengan memberikan fleksibelitas waktu penerbitan Faktur Pajak menjadi paling lambat pada akhir bulan dilakukannya penyerahan akan sangat mendukung dunia usaha, sehingga pengusaha dapat menagih lebih cepat kepada customer-nya. Disisi yang lain, tidak ada kerugian negara dengan diberikannya fleksibelitas penerbitan Faktur Pajak ini. Hal ini juga telah didukung dengan sistem penerbitan Faktur Pajak dengan cara e-Faktur melalui aplikasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang sudah sangat bagus dalam pelaksanaannya.

2. Memberikan fleksibelitas atas penerbitan Faktur Pajak Gabungan sesuai kebutuhan PKP yang melakukan penyerahan dalam Masa Pajak yang sama. Saat ini sesuai dengan Pasal 13 ayat (2) UU PPN, penerbitan Faktur Pajak Gabungan hanya dapat diberikan untuk menerbitkan 1 (satu) Faktur Pajak yang meliputi seluruh penyerahan selama 1 (satu) bulan kalender. Perlu diberikan keleluasaan bagi PKP untuk menerbitkan Faktur Pajak Gabungan atas beberapa penyerahan dalam 1 (satu) Faktur Pajak, atau untuk penyerahan yang telah dilakukan untuk beberapa hari dalam 1 (satu) Faktur Pajak Gabungan. Fleksibelitas ini akan sangat membantu PKP dalam menjalankan usahanya. Pembatasan menerbitkan 1 (satu) Faktur Pajak untuk seluruh penyerahan dalam satu bulan kalender tentu tidak memberikan banyak manfaat bagi PKP.

3. Dokumen ekspor berupa Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang saat ini telah diterbitkan dengan sistem elektronik melalui aplikasi dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, sehingga sudah sangat baik dan bagus dalam pelaksanaannya. Guna mendorong ekspor, investor perlu mendapat kenyamanan dengan tidak ada sanksi administrasi yang dapat dikenakan dari dokumen PEB. Pengenaan sanksi administrasi yang dapat dikenakan berdasarkan Pasal 14 ayat (4) UU KUP tentu sangat memberatkan Wajib Pajak yang dapat diibaratkan mereka akan mengalami kehilangan ayam bila dikenakan sanksi ini.

4. Penyederhanaan sistem withholding tax, yaitu hanya menunjuk Wajib Pajak Badan saja sebagai pemotong pajak dan hanya memotong pajak penghasilan dari Wajib Pajak yang memberikan jasa dan statusnya Bukan Pengusaha Kena Pajak. Bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang memberikan Jasa Kena Pajak (JKP) yang saat ini masuk dalam objek pemotongan PPh Pasal 23, dapat disederhanakan dengan melakukan pembayaran yang dilakukan sendiri oleh PKP yang bersangkutan berdasarkan Nilai Penyerahan JKP yang tercantum dalam Faktur Pajak yang diterbitkan. Ini sekaligus dapat dijadikan model angsuran PPh Pasal 25. Bila cara ini dapat diadopsi oleh peraturan perpajakan kita, akan sangat banyak efisiensi administrasi pemotongan PPh yang akan terjadi.

5. Surat Ketetapan Pajak (SKP) berdasarkan hasil pemeriksaan yang diterbitkan untuk setiap Masa Pajak perlu disederhanakan menjadi diterbitkan SKP atas satu Tahun Pajak atas Tahun Pajak yang diperiksa. Sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku saat ini, satu surat permohonan keberatan atau permohonan banding hanya untuk satu SKP dan tidak dapat digabungkan dengan SKP yang lain, walaupun jenis pajaknya sama dan tahun pajaknya sama. Penyederhanaan ini guna memberikan jaminan keadilan bagi Wajib Pajak yang mencari keadilan. Hal ini juga akan mengurangi beban sengketa pajak di pengadilan pajak yang semakin hari semakin menumpuk.

6. Guna memberikan keadilan, perlu ditinjau kembali pengenaan sanksi administrasi berupa denda 50% bila permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 25 ayat (10) UU KUP. Demikian juga dengan denda 100% bila permohonan keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 ayat (5d) UU KUP. Bila denda ini tetap ingin dipertahankan, maka Wajib Pajak juga perlu diberikan imbalan yang persentasenya minimal sama dengan yang dapat dikenakan kepada Wajib Pajak. Sehingga kelak denda akan dikenakan kepada Wajib Pajak hanya terhadap netto yang ditolak setelah di-offset dengan yang dikabulkan sebagian, dalam hal nilai yang ditolak lebih besar dari yang dikabulkan. Atau imbalan diberikan kepada Wajib Pajak bila atas netto yang dikabulkan setelah dioffset dengan sebagian nilai yang ditolak, hal ini bila nilai yang dikabulkan lebih besar dari nilai yang ditolak.

 

Kesimpulan

Peraturan Perpajakan yang memberikan kepastian hukum, memberikan keadilan dan penyederhanaan administrasi perpajakan dengan tetap mempertahankan tingkat penerimaan negera, akan memberikan iklim usaha yang kondusif di Indonesia. Hal ini diharapkan akan menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, sehingga banyak lapangan pekerjaan yang akan dibuka, pertumbuhan ekonomi yang semakin baik, multiplier effect yang positif dalam perekonomian nasional, yang pada akhirnya akan menaikkan penerimaan negara dari Pajak.

 

Semoga dengan regulasi pajak yang semakin kondusif, Indonesia menjadi negara yang menarik bagi investor dan investor mau menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini akan mendorong membaiknya dan pulihnya perekonomian nasional, sehingga kesejahteraan rakyat semakin cepat dapat dicapai. Salam Indonesia Maju, Jaya, dan Sejahtera.

_____________________________________________________________________________________________________________________

Penulis : Dr. Arifin Halim, S.E., S.H., M.H.

Penulis lulus Program Doktor Ilmu Hukum Angkatan 2018 Universitas Brawijaya.

Anggota Litbang IKPI Pusat Kepengurusan Periode 2019 – 2024.

Konsultan Pajak, Kuasa Hukum Pengadilan Pajak, dan Advokat.

Menyoal Kewajiban PPh Badan Atas Nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation)

Artikel

Pendahuluan

Tulisan saya dengan judul Ketidakpastian Atas Perlakuan Perpajakan Joint Operation (JO) Dalam Bidang Usaha Konstruksi yang dimuat di media ORTax ini tiga belas tahun tahun lalu, tepatnya 27 Juli 2007 menyimpulkan bahwa perlakuan perpajakan JO melalui beberapa surat penegasan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak tidak konsisten satu sama lain. Ketidakpastian terjadi dalam hal penentuan wajib tidaknya suatu bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation) mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP), apakah berpatokan pada hakekat atau keadaan nyata dari transaksi (substance) atau pada isi (form) dari kontrak perjanjian antara JO dengan pihak pemberi kerja (pemilik proyek) atau sebaliknya.

Lima tahun kemudian sejak penulisan artikel tersebut, terbit Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 sebagai peraturan pelaksanaan UU PPN sehingga lebih memberi kepastian di mana dalam hal apakah JO diwajibkan sebagai PKP atau tidak, yang utama dilihat adalah hakekat atau substansi siapa pihak yang nyata-nyata melakukan penyerahan Barang Kena Pajak/ Jasa Kena Pajak kepada Pemberi Kerja atau Pemilik Proyek, apakah atas nama JO atau atas nama masing-masing anggota JO, bukan pada isi atau bentuk formal kontrak/perjanjian kerja. Dengan kata lain dalam kaitannya dengan Pengukuhan PKP, PP 1 Tahun 2012 pada dasarnya menerapkan asas materiil (substance over form).

Pengertian Joint Operation selama ini masih mengacu pada surat penegasan Dirjen Pajak No.                             S-323/PJ.42/1989 di mana bentuk JO adalah merupakan bentuk kerjasama operasi, yaitu perkumpulan dua badan atau lebih yang bergabung untuk menyelesaikan suatu proyek dan penggabungan bersifat sementara hingga proyek selesai. Surat ini juga menegaskan bahwa bentuk penggabungan atau kerja sama operasi tersebut bukan merupakan subjek dari pengenaan PPh Badan, namun pengenaan PPh Badan tetap dikenakan atas penghasilan yang diperoleh pada masing-masing badan yang bergabung tersebut sesuai dengan porsi/bagian pekerjaan atau penghasilan yang diterimanya. Oleh karena itu pemberian NPWP terhadap suatu joint operation adalah semata-mata untuk keperluan pemungutan PPN dan pemotongan Pajak Penghasilan antara lain PPh Pasal 21, Pasal 23/26 dan Pasal 4 ayat (2).  

Bahwa JO bukan merupakan subjek pengenaan PPh Badan terindikasi dari terbitnya Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-44/PJ./1994 yang mengatur mekanisme pemecahan bukti potong PPh pasal 23. Selanjutnya berdasarkan S-251/PJ.313/1999 ditegaskan bahwa SE-44/PJ./1994 tersebut juga dapat diberlakukan untuk pemecahan bukti pemotongan PPh Final bagi anggota JO.

Selain itu, SE-30/PJ/2013 yang mencabut SE-80/PJ./2009 menyatakan bahwa dalam hal terdapat Kerja Sama Operasi (KSO)/Joint Operation (JO) melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan maka PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dibayar oleh masing-masing anggota KSO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterima masing-masing anggota KSO. SE ini jelas membuktikan bahwa ketentuan yang diberlakukan adalah JO tidak mempunyai kewajiban PPh Badan.

Selanjutnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 261/PMK.03/2016 memberikan contoh bahwa dalam hal terdapat perjanjian kerja sama antara perusahaan pengembang dengan pemilik tanah, penyetoran PPh Final merupakan kewajiban masing-masing, bukan kewajiban JO.

Pengenaan PPh pada anggota JO, bukan pada JO itu sendiri, juga diterapkan di negara lain seperti Filipina untuk JO yang melaksanakan pekerjaan jasa konstruksi. Dalam hal ini JO diperlakukan seperti halnya partnership di Amerika Serikat yaitu sebagai “pass- through entity”.

PER-04/PJ/2020 terkait JO

Terdapat ketentuan baru yang terbit tanggal 13 Maret 2020 yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, Dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, yang mencabut PER-20/PJ/2013 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PER-02/PJ/2018, serta mencabut juga beberapa Perdirjen lainnya yang terkait.

Meskipun tujuan penerbitan PER-04/PJ/2020 tersebut sebagaimana tercantum dalam konsideransnya adalah untuk memberikan kepastian hukum dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak terkait petunjuk teknis pelaksanaan administrasi NPWP, sertifikat elektronik, dan pengukuhan PKP, ternyata Peraturan Dirjen Pajak ini juga mengatur (regeling) kewajiban PPh Badan atas nama JO.

Secara ringkas, terkait dengan kewajiban PPh Badan JO,  PER-04/PJ/2020 mengatur sebagai berikut:

1. JO termasuk dalam pengertian Badan

PER-04/PJ/2020 ini memperluas definisi Badan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU KUP, Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) huruf b UU PPh dan Pasal 1 angka 13 UU PPN di mana Peraturan Dirjen Pajak tersebut secara eksplisit menambahkan Kerja Sama Operasi (joint operation) termasuk dalam pengertian Badan. Definisi Badan menurut PER-04/PJ/2020 selengkapnya adalah sebagai berikut:

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif, bentuk usaha tetap, kerja sama operasi (joint operation), serta kantor perwakilan perusahaan asing dan kontrak investasi bersama.

Definisi tersebut juga berbeda dengan definisi Badan menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak Dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak Serta Pengukuhan Dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak yang merupakan salah satu dasar hukum terbitnya PER-04/PJ/2020 di mana dalam PMK tersebut kerja sama operasi (joint operation) sama sekali tidak disebut sebagai yang termasuk dalam bentuk badan lainnya. JO termasuk sebagai bentuk badan lainnya dari pengertian Badan hanya terkait dengan kewajiban untuk pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak sesuai Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 sebagai peraturan pelaksanaan UU PPN, tidak dalam konteks PPh Badan.

Pertanyaan muncul dari perspektif ketentuan peraturan perundang-undangan, apakah peraturan setingkat Peraturan Direktur Jenderal Pajak mempunyai kewenangan untuk memperluas atau menafsirkan sendiri definisi Badan yang tercantum dalam UU?

Berdasarkan Bab II A Lampiran II Angka 198 dari Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2019 diatur bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah. Namun Angka 213 dari Lampiran II UU tersebut menegaskan bahwa pendelegasian kewenangan mengatur dari suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh didelegasikan kepada direktur jenderal, sekretaris jenderal, atau pejabat yang setingkat. Selanjutnya Angka 214 Lampiran II UU 12 Tahun 2011 mengatur bahwa pendelegasian langsung kepada direktur jenderal atau pejabat yang setingkat hanya dapat diberikan oleh Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah daripada Undang-Undang. Faktanya tidak terdapat pendelegasian dimaksud ke Perdirjen baik dari peraturan setingkat Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri Keuangan.

JO sendiri terbentuk dari adanya perjanjian diantara para anggotanya dalam rangka melaksanakan kegiatan bersama untuk mendapatkan keuntungan dan bukan merupakan badan hukum tersendiri (rechtspersoon) sebagaimana halnya ventura bersama (joint venture) yang berbentuk Peseroan Terbatas (PT). Bagaimana bentuk dari sebuah JO sesungguhnya tidak jelas diatur dalam KUH Perdata maupun KUH Dagang di Indonesia sehingga sering menimbulkan masalah dalam persoalan hubungan hukum dengan pihak ketiga. Jika JO diartikan sebagai perkumpulan yang tidak berbadan hukum, maka seyogianya termasuk dalam salah satu perkumpulan yang tidak berbadan hukum yaitu: persekutuan perdata, persekutuan firma  atau persekutuan komanditer (Chidir Ali, 2005).

Mahkamah Agung pada kasasi satu perkara kepailitan Nomor 01 K/N/1999 dalam pertimbangan hukumnya mengatakan bahwa dengan penggunaan nama bersama dua badan hukum dalam suatu Joint Operation, maka kerja sama operasi tersebut dapat dikategorikan sebagai perseroan firma sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 KUH Dagang. Sementara itu dalam perkara kepailitan No. 42/Pailit/PN.Niaga Jakarta Pusat, mantan Hakim Agung M.Yahya Harahap sebagai Ahli dalam persidangan berpendapat bahwa Joint Operation dapat dikategorikan sebagai Persekutuan Perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1618 – 1652 KUH Perdata (Christian Frank Sinatra, 2012).

Pengkategorian JO baik sebagai Firma maupun Persekutuan Perdata adalah sebatas pertimbangan hukum Hakim Agung dan pendapat Ahli dalam perkara tersebut, tidak dengan sendirinya dapat mengikat publik, kecuali jika hal tersebut diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan.

2. Definisi JO mengadopsi PSAK 66

PER-04/PJ/2020 memberikan definisi baru terhadap Kerja Sama Operasi (Joint Operation) yaitu pengaturan bersama antar para pihak yang mengatur bahwa para pihak yang disebut operator bersama memiliki pengendalian bersama atau memiliki hak atas aset, dan kewajiban terhadap liabilitas, yang melakukan penyerahan dan/atau jasa atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation).

Definisi tersebut tampaknya merujuk pada definisi Operasi Bersama dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 66 Pengaturan Bersama yang mengadopsi IFRS 11 Joint Arrangement tentang Operasi Bersama dan Ventura Bersama menggantikan PSAK 39 (Akuntansi Kerjasama Operasi) serta PSAK 12 (Bagian Partisipasi Dalam Ventura Bersama). PSAK 66 mengatur pencatatan Aset, Liabilitas, Pendapatan dan Biaya dilakukan oleh anggota JO masing-masing berdasarkan porsinya. JO sendiri tidak menyelenggarakan pembukuan tersendiri terpisah dari pembukuan anggotanya.

Sementara itu Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-214/PJ./2001 (belum dicabut hingga saat ini) mengatur bahwa pada saat menyampaikan SPT Tahunan PPh pasal 21 (sekarang tidak ada lagi SPT Tahunan PPh Pasal 21 melainkan hanya SPT Masa), JO wajib melampirkan Laporan Keuangan atas kegiatan JO. Dengan pemahaman bahwa Laporan Keuangan adalah merupakan hasil akhir dari suatu proses pembukuan maka dapat diambil kesimpulan bahwa JO wajib menyelenggarakan pembukuan, meskipun bukan untuk tujuan penghitungan dan pelaporan PPh Badan atas nama JO. JO yang diwajibkan pembukuan dalam hal ini adalah JO yang melakukan penyerahan BKP/JKP atas nama JO, sering disebut dengan JO Administratif, sehingga JO wajib memotong dan memungut PPh (potput) serta wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak untuk memungut PPN.

3. Pemenuhan kewajiban PPh Badan atas JO

Pasal 6 ayat (1) PER-04/PJ/2020 mengatur bahwa NPWP merupakan nomor identitas yang digunakan Wajib Pajak dalam administrasi pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan.

Selanjutnya dalam Pasal 6 ayat (3) diatur bahwa kewajiban perpajakan untuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation), meliputi:

a. pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan Badan atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan;

b. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan; dan/atau

c. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, dalam hal Kerja Sama Operasi (Joint Operation) melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai.

Ketentuan Pasal 6 ayat (3) huruf a dari PER-04/PJ/2020 cukup mengagetkan karena mengacu pada surat-surat penegasan dari DJP sebelumnya, Surat Edaran, maupun Peraturan Menteri Keuangan terkait dengan usaha kerja sama, JO bukan merupakan subjek pengenaan PPh Badan tetapi hanya mempunyai kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh serta pemungutan PPN dalam hal JO melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak atas nama JO (administratif JO). Apakah memperluas definisi Badan dengan mencantumkan Kerja Sama Operasi (joint operation) termasuk sebagai badan lainnya dan memberi definisi baru terhadap JO dengan mengadopsi definisi Operasi Bersama dalam PSAK 66 lalu dengan sendirinya mengakibatkan JO menjadi wajib PPh Badan?

Berhubung butir a Pasal 6 ayat (3) PER-04/PJ/2020 di atas menyebutkan bahwa pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan Badan atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan maka rujukannya tentu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dan peraturan-peraturan pelaksanaannya. Namun, selama ini satu-satunya ketentuan terkait Pajak Penghasilan yang pernah diterbitkan sehubungan dengan JO adalah SE-44/PJ./1994 tentang mekanisme pemecahan bukti potong PPh pasal 23. Selebihnya hanya berupa surat-surat penegasan sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Wajib Pajak, termasuk  S-323/PJ.42/1989 yang  menegaskan bahwa JO bukan merupakan subjek pengenaan PPh Badan.

Sebagaimana yang berlaku di dalam praktik, baik oleh Wajib Pajak, Direktorat Jenderal Pajak maupun oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak, joint operation bukan merupakan subjek PPh Badan. Jika seandainya JO dianggap sebagai subjek PPh Badan, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana perlakuan bukti potong PPh yang oleh SE-44/PJ./1994 harus atas nama anggota JO atau dipecah menjadi atas nama anggota JO jika bukti potongnya masih atas nama JO? Pertanyaan lain juga timbul dikaitkan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 261/PMK.03/2016 yang mengatur bahwa dalam hal ada kerja sama antara perusahaan  pengembang dengan pemilik tanah, maka penyetoran PPh Final merupakan kewajiban masing-masing pihak yang terlibat dalam kerjasama, bukan kewajiban JO. Apakah ketentuan-ketentuan tersebut menjadi batal? Tentu tidaklah sesuai dengan hierarki perundang-undangan jika ada Peraturan Direktur Jenderal Pajak mengatur lain dari apa yang sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Mengacu pada asas preferensi dalam hukum lex superior derogat legi inferiori, seharusnya peraturan yang tingkatannya secara hierarki lebih tinggi mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah.

Kesimpulan

PER-04/PJ/2020 tidak hanya mengatur petunjuk teknis pelaksanaan administrasi NPWP, sertifikat elektronik, dan pengukuhan PKP namun juga mengatur pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan Badan atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation). Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut perlu ditinjau kembali karena tidak sinkron dengan ketentuan lainnya terkait pemajakan penghasilan yang diperoleh dari bentuk JO sehingga menimbulkan ketidakpastian.

Ketentuan pemajakan penghasilan yang diperoleh melalui bentuk Kerja Sama Operasi hendaknya dituangkan secara tegas dan pasti dalam bentuk peraturan yang sesuai dengan ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan hierarki sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2019. Selain menyangkut objek dan tarif, pembebanan pajak kepada masyarakat Wajib Pajak juga terkait erat dengan penentuan subjek sehingga seyogianya diatur dengan peraturan setingkat Undang-undang. Hal ini sesuai amanat Pasal 23A UUD Negara RI 1945 bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-undang.

Nama Penulis                  :    Dr. Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax

Anggota IKPI Cabang     :    Jakarta Selatan

Tentang Penulis               :    Wakil Ketua Umum IKPI, Dosen Prasetiya Mulya Business School, dan Managing Partner CITASCO

Bagikan Berita Ini

Dinamika Perlakuan PPN Atas Hasil Pertanian Di Indonesia

Artikel

Bambang Pratiknyo, NRA: 3244

Pemungutan PPN atas penyerahan barang-barang hasil pertanian merupakan bidang yang memerlukan perhatian khusus dan harus dilakukan secara hati-hati. Bidang pertanian di sini meliputi pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, perburuan dan penangkaran. Kekhususan dan kehati-hatian dibutuhkan dalam pemungutan PPN, karena pertanian menyangkut hajat hidup orang banyak dan tidak sedikit kegiatannya dilakukan oleh orang-orang yang cenderung tidak melakukan pembukuan yang mana hal ini merupakan persoalan spesial dalam pengadministrasian PPN. Terlebih lagi, sudah dimaklumi bahwa pertanian di banyak negara sulit ditangani dan sensitif dari segi politik.[1]

[1] Tait, Alan: Value Added-International Practices and Problems, IMF, Washington D.C., 1988, hal. 141-142

Tentu saja pertanian sangat terkait dengan makanan sebagai salah satu kebutuhan pokok rakyat yang biasanya diberikan fasilitas perpajakan baik pembebasan, dikenakan PPN dengan tarif 0% atau tarif rendah/khusus atau bahkan tidak dikenakan PPN.  Pemberian fasilitas-fasilitas dalam PPN sendiri membutuhkan kecermatan atau kehati-hatian, mengingat semua itu terkait dengan tujuan ideal PPN yaitu menekan pajak atas pajak (cascading effect) yang dapat mendistorsi netralitas, menekan regresifitas tarif tetapi tetap dalam bingkai kecukupan penerimaan negara serta kesederhanaan administrasinya.

Dengan demikian mengetahui perlakuan PPN atas barang hasil pertanian di Indonesia menjadi suatu hal yang penting dan menarik. Dinyatakan penting karena meskipun kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto hanya sekitar 13%[1] tetapi sektor pertanian menyangkut kehidupan rakyat banyak. Disebut menarik disebabkan kecenderungan ketidaksederhanaan perlakuannya terkait dengan tujuan PPN seperti disebutkan di atas. Untuk itu di bawah ini disajikan uraian mengenai perlakuan PPN atas barang hasil pertanian di Indonesia. Guna lebih memahami perlakuannya, maka penyajiannya tidak hanya tentang perlakuan berrdasarkan ketentuan yang saat ini berlaku, melainkan juga meliputi perlakuannya secara historis sejak UU PPN berlaku.

[1] Data tahun 2011, 2015 dan 2019 dari BPS yang disampaikan oleh Badan Kebijakan Fiskal dalam Media Briefing dalam kanal Youtube Kamis 6 Agustus 2020.

Perlakuan PPN atas Barang hasil Pertanian di awal UU PPN berlaku

Pada awal PPN diberlakukan yang mana didasarkan oleh UU No.8 Tahun 1983, Barang Kena Pajak (BKP) hanya mencakup barang hasil pengolahan (pabrikasi). Akibatnya barang hasil pertanian yang tidak diolah lebih lanjut tidak termasuk BKP. Kegiatan memetik hasil pertanian,atau memelihara hewan dan menangkap atau memelihara ikan serta mengeringkan atau menggarami makanan dinyatakan oleh UU bukan sebagai kegiatan menghasilkan sehingga hasilnya bukan merupakan BKP. Termasuk yang dinyatakan sebagai kegiatan memetik hasil pertanian,atau memelihara hewan dan menangkap atau memelihara ikan serta mengeringkan atau

[1] Tait, Alan: Value Added-International Practices and Problems, IMF, Washington D.C., 1988, hal. 141-142
[2]Data tahun 2011, 2015 dan 2019 dari BPS yang disampaikan oleh Badan Kebijakan Fiskal dalam Media Briefing dalam kanal Youtube Kamis 6 Agustus 2020.

menggarami makanan menurut Peraturan Pemerintah Pelaksanaan UU PPN (PP No. 22 Tahun 1985) adalah :

  1. Kegiatan menuai, memungut, mengupas, membersihkan, menyortir, menguliti, merajang, memotong, merangkai, mengeringkan dan mengawetkan untuk sementara barang-barang hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan baik yang dikerjakan dengan tangan maupun dengan cara lainnya.
  2. Kegiatan memelihara, menangkap, menyortir, menguliti, memotong, memerah atau mengeringkan dan mengawetkan untuk sementara barang-barang hasil peternakan, perikanan dan hasil laut lainnya baik yang dikerjakan dengan tangan maupun dengan cara lainnya.

Bahkan oleh PP tersebut dinyatakan bahwa  definisi pengolahan tidak termasuk kegiatan menuai, mengupas padi atau kacang-kacangan, mengupas dan membersihkan kapuk/kapas dari kulit/biji dan hati kapuk/kapas; memotong dan menguliti kayu bulat, atau hewan menjadi daging segar dalam bentuk potongan kecil dan besar baik dibekukan atau tidak, atau buah kopi menjadi biji kopi; merangkai bunga atau buah segar; membersihkan, mengupas, mengeringkan dan menggarami udang, kodok, ikan dan hasil laut lainnya atau hasil pertanian sepanjang dilakukan tidak melalui proses memasak; menyortir dan merajang tembakau, bwang dan cengkeh.

Dengan demikian, sekalipun sudah ada proses mengubah bentuk, namun sepanjang mengubah bentuknya masih masuk kegiatan yang disebutkan dalam PP tersebut, maka barang hasil pengubahan bentuk dari kegiatan tersebut masih dikategorikan sebagai bukan BKP. Perlakuan seperti ini juga berarti bahwa hasil pertaniannya tidak membedakan antara hasil pertanian berupa kebutuhan pokok atau bukan yang mana seluruhnya merupakan bukan BKP, kecuali barang hasil pertanian yang telah diolah selain dari kegiatan sebagaimana disebut oleh PP No.22 Tahun 1985. Dengan tidak dikategorikan sebagai BKP, maka atas penyerahannya tidak perlu dibuatkan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 UU PPN. Lebih jauh, hal ini berarti bahwa bagi Petani yang kegiatannya hanya menyerahkan barang hasil pertanian tidak perlu membuat SPT PPN (dengan kata lain Petani diposisikan berada di luar system PPN), dan inilah yang tampaknya merupakan salah satu tujuan barang hasil pertanian tidak dikategorikan sebagai bukan BKP.

Perlakuan PPN atas Hasil Pertanian Periode UU PPN ke 2 (UU No. 11 Tahun 1994)

Seiring dengan perubahan definisi BKP pada UU No. 11 Tahun 1994 yang meninggalkan konsep pabrikasi sebagai penentu BKP atau bukan, serta mengganti dengan konsep Negative List untuk Barang Tidak Dikenai Pajak[1], perlakuan PPN atas hasil pertanian pada UU No. 11 Tahun 1994 mulai memisahkan barang hasil pertanian untuk kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak (selanjutnya disingkat dengan kebutuhan pokok) dan barang hasil pertanian bukan untuk kebutuhan pokok, meskipun keduanya masih diklasifikasikan sebagai Barang Tidak Dikenai Pajak sebagaimana disebut dalam Penjelasan Pasal 4A UU No. 11 tahun 1994.

Barang hasil pertanian yang merupakan barang kebutuhan pokok dalam Penjelasan hanya disebut Beras, tetapi dalam PP-50 Tahun 1994 disebutkan bahwa gabah, jagung, sagu, dan kedelai juga

[1] Berdasar Pasal 4A UU No. 11 Tahun 1994 jenis Barang Tidak Dikenai Pajak ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

[3] Berdasar Pasal 4A UU No. 11 Tahun 1994 jenis Barang Tidak Dikenai Pajak ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

merupakan kebutuhan pokok. Sedangkan barang hasil pertanian lainnya yang termasuk dalam barang yang tidak dikenai pajak menurut PP-50 Tahun 1994 adalah barang hasil pertanian yang dipetik langsung, diambil langsung, disadap langsung dari sumbernya. Rinciannya dimuat dalam Pasal 4 yang mendefinisikan barang hasil pertanian sedemikian luas dengan kalimat: “Hasil tanaman pertanian lainnya yang belum termasuk pada butir-butir yang disebutkan di atas”

Dengan demikian sekalipun definisi BKP dalam UU No. 11 Tahun 1994 tidak lagi menggunakan konsep barang pabrikasi untuk penentuan BKP, tetapi atas barang hasil pertanian  yang belum diolah secara signifikan tetap dikategorikan sebagai bukan BKP, sehingga atas penyerahannya tidak terutang PPN, dan tidak perlu dibuatkan Faktur Pajak.

Perlakuan PPN atas Hasil Pertanian Periode UU PPN ke 3 (UU No. 18 Tahun 2000)

Pada UU No. 18 Tahun 2000 mulailah barang hasil pertanian yang merupakan kebutuhan pokok dan yang bukan merupakan kebutuhan pokok dipisahkan perlakuan PPN-nya secara nyata. Barang hasil pertanian yang merupakan kebutuhan pokok tetap dikategorikan sebagai bukan BKP (tetap diatur dalam Pasal 4A UU PPN), sedangkan barang hasil pertanian yang bukan merupakan kebutuhan pokok menjadi BKP tetapi dibebaskan dari pengenaan PPN yang diatur berdasarkan Pasal 16B UU PPN.

Barang hasil pertanian yang merupakan barang kebutuhan pokok pada periode UU PPN ke tiga pada penjelasan UU langsung disebut beras, gabah, jagung, sagu dan kedelai. Jenis barang-barang tersebut juga disebutkan lagi sebagai barang kebutuhan pokok pada PP-144 Tahun 2000.  Barang hasil pertanian lainnya dibebaskan berdasarkan PP-12 Tahun 2001 namun sebatas barang hasil pertanian yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang: a. pertanian, perkebunan, dan kehutanan, b. peternakan, perburuan, atau penangkapan, maupun penangkaran atau c. perikanan baik penagkapan atau budidaya.

Lebih lanjut dalam penjelasan PP tersebut dinyatakan bahwa barang hasil pertanian yang dibebaskan dari pengenaan PPN adalah barang hasil pertanian yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk hasil pemrosesannya yang dilakukan dengan cara: dikeringkan dengan cara dijemur atau cara lain, dirajang, diasinkan/diagram, dibekukan atau didinginkan, dipecah, dicuci atau disucihamakan, direndam, direbus, disayat, dikupas, dibelah, diperam digaruk, pemisahan dari kulit, atau biji atau pelepah, atau dikemas dengan cara yang sederhana untuk tujuan melindungi barang yang bersangkutan yang diserahkan oleh Petani atau Kelompok Petani.

Petani didefinisikan sebagai orang yang melakukan kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perburuan, atau penangkapan, penangkaran, penangkapan atau budidaya perikanan.  Dengan demikian barang hasil pertanian di luar kebutuhan pokok yang dibebaskan dari pengenaan PPN tidak lagi menyebutkan nama barangnya, melainkan hanya menyebutkan pengambilan dan pemrosesannya serta syarat penyerahannya, yaitu yang hanya dilakukan oleh Petani atau Kelompok Petani. Hal ini berarti bahwa sekalipun barang yang diserahkan adalah barang hasil pertanian selain barang kebutuhan pokok sebagaimana yang diuraikan di atas, namun apabila yang menyerahkan bukan Petani, maka tetap tidak dibebaskan dari pengenaan PPN.

Meskipun barang hasil pertanian sudah menjadi BKP dan atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, namun apabila Petani kegiatannya semata-mata melakukan penyerahan barang hasil pertanian yang dibebaskan dari pengenaan PPN tersebut, maka Petani tersebut tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)[1]. Dalam hal Petani tersebut penjualannya melebihi Batasan Pengusaha Kecil, tentu ketentuan ini menajdi menyimpang dari ketentuan UU PPN yang mengatur bahwa  siapapun yang melakukan penyerahan BKP harus dikukuhkan sebagai PKP, kecuali Pengusaha Kecil. Selanjutnya atas penyerahan BKP oleh PKP harus dibuatkan Faktur Pajak. Jika atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, maka Fakturnya mencantumkan kode nomor seri khusus PPN dibebaskan serta dibubuhi keterangan PPN dibebaskan. Namun demikian, penyimpangan dari ketentuan UU PPN ini tentunya bertujuan untuk meringankan beban administrasi Petani yang memang patut dimaklumi mengingat kemampuan administrasi Petani cenderung rendah.

Selain itu, PP-12 Tahun 2001 juga tidak membebaskan impor barang hasil pertanian (sebagaimana hasil pemrosesan seperti diuraikan di atas) selain barang kebutuhan pokok oleh siapapun (termasuk oleh Petani atau Kelompok Tani. Di sini terlihat bahwa barang hasil pertanian dalam negeri selain barang kebutuhan pokok dilindungi (diproteksi), meskipun cara ini tentunya tidak sesuai dengan prinsip netralitas PPN. Perlakuan pembebasan barang hasil pertanian selain yang merupakan kebutuhan pokok  sebagaimana diatur dalam PP-12 Tahun 2001 tetap berlangsung meskipun PP tersebut telah diubah dengan PP-43 Tahun 2002, dan PP-46 Tahun 2003.

Baru sejak 1 Januari 2007 melalui PP-7 Tahun 2007 atas impor  barang hasil pertanian selain yang merupakan kebutuhan pokok juga dibebaskan dari pengenaan PPN. Selain itu atas penyerahan di dalam negeri oleh bukan Petani atau bukan Kelompok Petani menjadi dibebaskan dari pengenaan PPN. Rincian barang hasil pertanian yang dibebaskan disebutkan secara detail pada Lampiran PP-7 Tahun 2007. Setelah diterbitkannya PP-7 Tahun 2007 ini ketentuan pengecualian menjadi PKP bagi Petani yang semata-mata hanya menyerahkan barang hasil pertanian dibatalkan oleh PMK No.11/PMK.03/2007. Nampaknya perubahan ini bertujuan untuk menyelaraskan dengan ketentuan UU PPN, meskipun upaya meringankan beban administrasi Petani menjadi ditinggalkan. Selanjutnya pada PP-31 Tahun 2007 tetap memberlakukan sama atas barang hasil pertanian sebagai barang strategis sehingga dibebaskan dari pengenaan PPN.

Hal yang menarik pada periode UU PPN ketiga adalah mulai terjadinya kekurang-jelasan perlakuan PPN atas sebagian barang hasil pertanian apakah tidak kena PPN (bukan BKP karena barang kebutuhan pokok) atau dibebaskan dari pengenaan PPN karena barang strategis. Beras, Gabah dinyatakan oleh UU sebagai bukan BKP, sedangkan Padi oleh PP dinyatakan barang strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Terlebih lagi, atas penyerahan jagung yang mana jelas bahwa jagung dinyatakan sebagai barang kebutuhan pokok oleh UU, tetapi pada PP-7 Tahun 2007 juga dinyatakan sebagai barang strategis. Walaupun dualisme perlakuan ini bagi konsumen tidak berpengaruh secara keuangan (karena sama-sama tidak perlu membayar PPN), namun bagi pihak yang menyerahkan (Penjual) secara administratif dapat membingungkan. Ketika dinyatakan bukan BKP seharusnya si Penjual tidak perlu membuat Faktur Pajak. Ketika dinyatakan sebagai BKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN, maka Penjual tetap harus membuat Faktur Pajak

[1] Diatur dalam Pasal 6 KMK No.155/KMK.03/2001 jo. KMK No.371/KMK.03/2003

[4] Diatur dalam Pasal 6 KMK No.155/KMK.03/2001 jo. KMK No.371/KMK.03/2003

dengan kode faktur 08. Kesalahan memperlakukan penyerahan barang tersebut  tentu berisiko. Jika seharusnya membuat faktur, namun apabila penjual beranggapan barang tersebut bukan BKP yang karenanya tidak membuat Faktur Pajak, maka si penjual akan dikenakan sanksi 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (suatu jumlah yang tidak sedikit). Dalam prakteknya akhirnya Penjual menentukan sendiri berdasarkan siapa pembelinya. Sekiranya dijual kepada Produsen untuk diproses produksi lebih lanjut, maka atas penyerahannya diperlakukan sebagai penyerahan yang dibebaskan PPN. Contoh: jika jagung dijual kepada Perusahaan Pembuat Pakan Ternak, maka diperlakukan sebagai penyerahan barang strategis yang PPN-nya dibebaskan. Sedangkan, apabila jagung dijual untuk dikonsumsi maka atas penyerahannya menjadi tidak dikenakan PPN.

Perlakuan PPN atas Hasil Pertanian Periode UU PPN ke 4 (UU No. 42 Tahun 2009)

UU No. 42 Tahun 2009 melalui Penjelasannya (Pasal 4A) menambah jenis barang Non-BKP dari barang-barang hasil pertanian yaitu:

  1. daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
  2. telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
  3. susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
  4. buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
  5. sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.

Dengan penambahan tersebut, maka dualisme perlakuan PPN atas penyerahan sebagian barang hasil pertanian menjadi bertambah, yaitu penyerahan daging, telur, susu, dan sayur-sayuran. Atas penyerahan barang-barang tersebut oleh UU (Penjelasannya) dinyatakan tidak kena PPN (karena bukan BKP), namun oleh PP-31 Tahun 2007 -yang belum dicabut ketika UU Baru diberlakukan-  dinyatakan dibebaskan dari pengenaan PPN.

Di tengah dualisme tersebut terjadilah peristiwa yang menarik yaitu adanya Uji Materil oleh Kadin kepada MA terkait dengan dibebaskannya penyerahan atas barang hasil pertanian. Kadin berpendapat bahwa seharusnya hanya atas barang kebutuhan pokok saja yang tidak dikenakan PPN. Selain barang kebutuhan pokok harusnya tidak boleh diberikan pembebasan PPN. Barang Pertanian yang bukan barang kebutuhan pokok menurut Kadin harusnya dikenakan PPN. Lebih lanjut Kadin beralasan bahwa dengan dibebaskannya barang hasil pertanian maka Perusahaan Perkebunan yang sekaligus sebagai produsen turunan hasil perkebunan (misalnya minyak sawit) akan mengalami tekanan persaingan karena atas PPN Masukan sehubungan dengan produksi hasil pertanian (yang akan digunakan dalam proses produksi berikutnya) menjadi tidak dapat dikreditkan sehingga menambah harga pokok produksi turunan/akhir barang hasil pertanian. MA akhirnya mengabulkan permohonan Kadin, sehingga atas penyerahan barang hasil pertanian selain barang kebutuhan pokok tidak dibebaskan PPN.[1]

[1] Putusan MA Nomor 70 P/HUM/2013

[5] Putusan MA Nomor 70 P/HUM/2013

Menyikapi adanya Putusan MA ini Pemerintah menerbitkan SE-24/PJ/2014 yang isinya :

  1. Barang hasil pertanian berupa buah-buahan dan sayur-sayuran sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 termasuk barang yang tidak dikenakan PPN (Bukan Barang Kena Pajak) sesuai Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang PPN sehingga atas penyerahan, impor, maupun ekspornya tidak dikenai PPN
  2. Barang hasil pertanian lain yang tidak ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, yaitu beras, gabah, jagung, sagu dan kedelai adalah barang yang tidak dikenakan PPN (Bukan Barang Kena Pajak) sesuai Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang PPN sehingga atas penyerahan, impor, maupun ekspornya tidak dikenai PPN
  3. Barang hasil pertanian yang merupakan hasil perkebunan, tanaman hias dan obat, tanaman pangan, dan hasil hutan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 yang semula dibebaskan dari pengenaan PPN berubah menjadi dikenakan PPN sehingga atas penyerahan dan impornya dikenai PPN dengan tarif 10%, sedangkan atas ekspornya dikenai PPN dengan tarif 0%
  4. Sehubungan dengan huruf c di atas, maka Pengusaha (orang pribadi maupun badan) yang melakukan penyerahan barang hasil pertanian tersebut wajib memungut PPN dan untuk itu wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, kecuali pengusaha yang termasuk pengusaha kecil dengan omzet sampai dengan Rp 4,8 milyar per tahun sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai.

Butir b sesungguhnya kurang sesuai dengan kenyataan, karena jagung termuat dalam Lampiran PP-31 Tahun 2007.

Setelah itu, uji materil terjadi lagi yaitu adanya permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) atas Penjelasan UU PPN yang membatasi jenis-jenis barang yang diklasifikasikan sebagai bahan kebutuhan pokok. Pemohon Uji Materil mempersoalkan tidak dimasukannya Ikan dan Kacang sebagai barang kebutuhan pokok dengan alasan barang tersebut menjadi lebih mahal akibat terkena PPN. Pemerintah sebagai Termohon mempertahankan bahwa atas Ikan dan Kacang sudah tidak terdampak PPN karena PPN-nya telah dibebaskan berdasarkan PP. MK akhirnya mengabulkan permohonan Pemohon dengan memutuskan bahwa Penjelasan UU PPN bertentangan dengan Undang-Undang dasar 1945 sepanjang dimaknai bahwa barang kebutuhan pokok meliputi sebatas yang dinyatakan dalam Penjelasan.[1] Akibatnya atas ikan dan kacang harus dinyatakan sebagai barang kebutuhan pokokyang bukan BKP.

Sejiwa dengan persoalan dibatasinya barang kebutuhan pokok yang hanya disebutkan dalam PMK No. 116/PMK.10/2017, maka atas PMK tersebut juga diajukan Uji Materil ke Mahkamah Agung (MA) yang mempersoalkan tidak dimasukannya ikan, dan kacang-kacangan sebagai barang kebutuhan pokok. Sama halnya dengan MK, MA pun mengabulkan Uji Materil tersebut.[2]

[1] Putusan MK Nomor 39/PUU-XIV/2016

[2] Putusan MA Nomor 32 P/HUM/2018

[6] Putusan MK Nomor 39/PUU-XIV/2016 [7] Putusan MA Nomor 32 P/HUM/2018

Respon Pemerintah terhadap dikabulkannya Permohonan Uji Materil atas PMK No.116/PMK.10/2017 oleh MA adalah dengan dikeluarkannya PMK No. 99/2020 yang menyebutkan Ikan sebagai Barang Kebutuhan Pokok. Sungguhpun demikian pada PP-48 Tahun 2020 tentang PPN atas Penyerahan Barang Strategis ikan masih dinyatakan sebagai Barang Strategis. Dengan kata lain dualisme perlakuan antara tidak dikenakan PP (karena bukan BKP) dan dibebaskan PPN (karena BKP) tetap berlangsung. Demikian pula halnya jagung yang pada PMK No.99/2020 disebut sebagai barang kebutuhan pokok, namun di PP-48 Tahun 2020 dinyatakan sebagai BKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN.

Respon lanjutan dari dikabulkannya Uji Materil oleh Kadin terhadap PP-31 Tahun 2007 adalah dikeluarkannya PMK No.89/2020 yang mengatur tentang penggunaan nilai lain atas penyerahan barang hasil pertanian tertentu (lagi-lagi Jagung termasuk di dalamnya). Nilai lain 10% sebagai DPP dapat dipilih oleh pihak yang menyerahkan barang hasil pertanian tertentu tersebut. Atas penyerahan barang hasil pertanian tertentu oleh Pengusaha yang menggunakan nilai lain kepada Badan Usaha Industri yang melakukan pengolahan dilakukaan pemungutan PPN oleh Industri tersebut. Dengan ketentuan ini diharapkan kepentingan Pengusaha pembuat Minyak Kelapa Sawit yang juga mempunya kebun kelapa sawit dan kepentingan Pengusaha yang semata-mata pekebun kelapa sawit bisa terpenuhi keduanya. Bagi Pengusaha pembuat Minyak Kelapa Sawit yang juga mempunya kebun kelapa sawit tidak akan terkena tidak diakuinya pajak masukan atas perolehan barang terkait dengan produksi Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit, karena pemakaian sendiri TBS bagi produksi minyak kelapa sawit sebagai penyerahan kena pajak yang terutang pajak yang dilain pihak tergolong sebagai  pemakaian sendiri untuk tujuan produktif sehingga tidak perlu pula dibuatkan faktur pajaknya sebagaimana diatur oleh PP-1 tahun 2012. Bagi Pengusaha yang hanya sebagai Pekebun barang hasil pertanian tertentu pada sisi lain tidak perlu direpotkan dengan kewajiban administratif pajak masukan, sebab daoat menggunakan nilai lain. Persoalannya adalah ketika Pekebun menyerahkan kepada Industri Pengolahan, maka pembayaran atas penyerahan tersebut dipungut PPN oleh Industri Pengolahan. Dengan terkena mekanisme pemungutan PPN maka tidak dipertimbangkan lagi apakah Pekebun tersebut Pengusaha Kecil atau bukan.

Simpulan

Dari uraian di atas terlihat bahwa Perlakuan PPN atas penyerahan barang hasil pertanian mengalami dinamika yang tidak sederhana. Pada dua UU PPN yang pertama (ketika seluruh barang hasil pertanian masih dikategorikan sebagai bukan BKP) belum terjadi dualisme antara sebagian barang hasil pertanian sebagai bahan kebutuhan pokok yang tidak dikenakan PPN dengan yang dibebaskan PPN. Sejak UU PPN ketiga sampai sekarang terjadilah dualisme tersebut. Selain itu luasnya kepentingan yang terjadi terkait dengan barang hasil pertanian juga memunculkan beberapa kali Uji Materil atas peraturan yang ada. Bahkan Lembaga Peradilan mengabulkan permohonan Uji-Uji Materil tersebut sehingga mau tidak mau Pemerintah harus mendesain ulang peraturan-peraturan yang sudah diterbitkan.

Bagikan Berita Ini

Mengkaji Kembali Ketentuan Pengenaan Pajak Penghasilan Final

Artikel

Penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia saat ini memberlakukan 2 (dua) cara dalam menghitung PPh yaitu dari penghasilan neto dikalikan dengan tarif umum berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU PPh dan dari penghasilan bruto dikalikan dengan tarif khusus serta bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah tersendiri sesuai delegasi Pasal 4 ayat (2) UU PPh. Disebut dengan PPh Final karena setelah pelunasannya, baik melalui pemotongan oleh pihak lawan transaksi maupun penyetoran sendiri oleh Wajib Pajak, penghasilan dimaksud tidak digabungkan lagi dengan penghasilan-penghasilan lainnya yang dikenakan PPh dengan tarif umum pada akhir tahun pajak pada waktu pelaporan SPT Tahunan. PPh Final diberlakukan terhadap beberapa jenis penghasilan dari usaha tertentu termasuk antara lain perusahaan pengembang perumahan (real estate), persewaan tanah dan bangunan (property), dan jasa konstruksi (construction). Selain itu PPh Final juga diterapkan terhadap Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp.4,8 milyar dalam 1 (satu) tahun pajak. Pertimbangan Pemerintah dalam pengenaan PPh Final umumnya adalah untuk kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung pajak.

PPh Final tidak mencerminkan keadilan

Menurut John Stuart Mill (1930), prinsip daya pikul atau kemampuan membayar (ability to pay principle) adalah formulasi keadilan yang paling realistis dalam pemajakan. Ability to pay dicerminkan dengan basis pemajakan penghasilan neto yaitu penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh penghasilan tersebut. Dengan menjadikan penghasilan bruto sebagai dasar pengenaan PPh Final, maka tanpa melihat besar kecilnya penghasilan neto, bahkan dalam kondisi penghasilan neto minus atau rugi, Wajib Pajak tetap harus membayar pajak. Kondisi ini tentu tidak adil. Contohnya, bagi perusahaan-perusahaan yang penghasilannya terkena PPh Final dan terdampak Covid-19 berakibat berpotensi  mengalami kerugian  secara neto dalam tahun 2020, perusahaan-perusahaan tersebut tetap wajib membayar PPh yang dikenakan atas setiap penjualan atau penghasilan bruto.

Dengan pengenaan PPh Final dari penghasilan bruto, Wajib Pajak yang mampu menghasilkan persentase laba atau penghasilan neto besar akan diuntungkan dari sisi penghematan membayar PPh dibandingkan dengan Wajb Pajak yang hanya mampu menghasilkan persentase laba neto kecil, apalagi terhadap perusahaan rugi yang seharusnya tidak wajib membayar pajak. Hal ini menyimpang dari prinsip keadilan horizontal (horizontal equity) yang menghendaki bahwa Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan ekonomis yang sama membayar pajak dalam jumah yang sama dan juga tidak sesuai dengan prinsip keadilan vertikal (vertical equity) yang menghendaki pembayaran pajak semakin besar seiring dengan semakin besarnya penghasilan (Musgrave and Musgrave, 1989).

Diskriminasi Pemajakan Terhadap Jenis-jenis Penghasilan Tertentu

Pengaturan PPh Final yang berbasis penghasilan bruto dan dikenakan tarif pajak tersendiri berbeda dengan tarif umum bertentangan dengan asas equality yang dikemukakan oleh Adam Smith dan melanggar prinsip non-diskriminasi dalam hukum (Santoso Brotodihardjo, 1982). Hal tersebut juga merupakan penyimpangan dari prinsip keadilan bahwa penghasilan seyogianya dipajaki dengan cara yang sama tanpa membeda-bedakan sumber, jenis dan cara memperolehnya (John G.Head, dkk, 2014).

Pengenaan PPh Final akan mengakibatkan Wajib Pajak kehilangan beberapa hak perpajakan yang diberikan oleh UU PPh. Misalnya Wajib Pajak Orang Pribadi kehilangan hak untuk mengurangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Demikian pula Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah memenuhi kriteria wajib menyelenggarakan pembukuan kehilangan hak untuk mengompensasikan kerugian selama 5 (lima) tahun bertutut-turut mulai tahun pajak berikutnya. Selain itu, perusahaan masuk bursa (go public) tetapi seluruh penghasilannya terkena PPh Final yang memperdagangkan saham sedikitnya  40%

dari jumlah modal disetor dan memenuhi persyaratan lainnya, tidak mendapat fasilitas pengurangan tarif lebih rendah dari tarif umum yang diberikan oleh Undang-undang. Hal ini tentu merupakan perlakuan diskriminatif yang menyebabkan ketidakadilan di antara perusahaan masuk bursa yang memenuhi syarat untuk mendapatkan pengurangan tarif. Selanjutnya terdapat diskriminasi perlakuan di mana imbalan kepada pegawai dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang diberikan oleh perusahaan yang dikenakan pajak secara final merupakan objek PPh bagi pegawai yang menerimanya, sedangkan hal tersebut tidak berlaku bagi karyawan  perusahaan di berbagai industri yang penghasilannya tidak dikenai PPh Final.

Diskriminasi juga terjadi dalam kaitannya dengan kebijakan pemerintah menurunkan PPh Badan dari 25% menjadi 22% untuk tahun pajak 2020 dan 2021 serta 20% pada tahun 2020. Penurunan tarif tersebut tidak dinikmati oleh perusahaan-perusahaan yang terkena PPh Final. Demikian pula beberapa fasilitas PPh Dalam Rangka Penanganan Covid-19 antara lain pembelian kembali (buy back) saham yang diperjualbelikan di Bursa Efek Indonesia terkait dengan pemenuhan persyaratan dalam rangka memperoleh tarif PPh Badan sebesar 3% lebih rendah tidak berlaku dan tidak dapat dimanfaatkan oleh perusahaan go public yang penghasilannya dikenakan PPh Final.

Ketentuan Pengenaan PPh Final Perlu Ditinjau Kembali

Pemerintah perlu mengkaji kembali pengenaan PPh Final berbasis penghasilan bruto dengan tarif tersendiri menjadi PPh berbasis penghasilan neto dengan tarif umum, khususnya bagi Wajib Pajak yang berdasarkan ketentuan perpajakan wajib   menyelenggarakan pembukuan tanpa melihat sektor usaha. Dengan perusahaan mampu dan wajib menyelenggarakan pembukuan seyogianya PPh dapat dihitung dari penghasilan neto, tidak lagi dari penghasilan bruto.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 yang masih menerapkan pengenaan PPh Final bagi usaha dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp. 4,8 milyar dalam 1 (satu) tahun pajak tetapi dibatasi hingga beberapa tahun pajak mencerminkan pemerintah menyadari realita bahwa belum semua Wajib Pajak Orang Pribadi mampu menyelenggarakan pembukuan yang menghasilkan laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan laba/rugi. Kebijakan tersebut dapat dipandang tepat untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang belum wajib pembukuan karena diberikan semacam masa tenggang untuk mereka belajar memahami pembukuan. Namun demikian, pemerintah maupun organisasi profesi akuntan perlu memikirkan pedoman atau standar akuntansi sederhana agar Wajib Pajak Orang Pribadi tidak terlalu sulit untuk memenuhi kewajiban penyelenggaraan pembukuan.

Terakhir, pemerintah seyogianya tidak lagi memberlakukan pengenaan PPh Final bagi Wajib Pajak Badan yang berdasarkan ketentuan perpajakan telah diwajibkan menyelenggarakan pembukuan tanpa melihat jumlah peredaran bruto dan tanpa membedakan jenis dan sektor usaha.

Dr. Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax

Kualifikasi Pendidikan
Pekerjaan saat ini
Kegiatan Mengajar

Apr 2005 – sekarang Dosen tidak tetap pada Program Reguler Magister Manajemen (MM) – Prasetiya Mulya Business School (PMBS),

Mata kuliah : Taxation

Keanggotaan Organisasi / Kegiatan lainnya
Sharing is caring
id_ID