Jika Pajak Global Diterapkan, Tax Holiday Dinilai Tak Lagi Relevan

Istimewa

IKPI, Jakarta: Saat ini negara-negara Organisation for Economic Cooperation and Development sedang mematangkan ketentuan mengenai tarif pajak minimum global yang tertuang di dalam Pilar Dua Ketentuan Pajak Global.

Dalam Pilar Dua: Global Anti Base Eresion (GloBE) tersebut mensyaratkan penerapan pajak penghasilan (PPh) korporasi dengan tarif minimum sebesar 15% .

Pajak minimum tersebut akan diterapkan pada perusahaan multinasional dengan penerimaan di atas EUR 750 juta pada 2023. Dengan begitu, seluruh negara tidak terkecuali Indonesia wajib menerapkan PPh badan dengan tarif minimum 15% pada 2024.

Adanya kesepakatan tersebut, fasilitas insentif pembebasan pajak atau tax holiday sudah tak relevan lagi untuk diberikan pemerintah. Sehingga apabila Indonesia tetap kukuh akan memberikan fasilitas tersebut, maka pemerintah berpotensi akan kehilangan penerimaan dari perusahaan.

Hal tersebut juga tertuang dalam laporan OECD dengan tajuk Tax Incentives and the Global Minimum Corporate Tax: Reconsidering Tax Incentives after the GloBE Rules.

OECD menyebut, akan ada dua kerugian yang dialami ketika penerapan pajak minimum global tersebut mulai berlaku.

Pertama, negara atau yurisdiksi tersebut tetap harus mengelola pemberian insentif yang tidak bermanfaat.

Kedua, negara tersebut akan kehilangan potensi penerimaan pajak, sementara negara lain akan mendapatkan manfaat pajak dari pemberlakuan top-up tarif pajak dari ketentuan global tersebut.

“Tax holiday yang tersebar luas di negara-negara berkembang merupakan salah satu instrumen insentif pajak yang membawa risiko paling besar bagi negara-negara. Hal ini terutama berlaku untuk tax holiday yang menargetkan semua pendapatan dari perusahaan tertentu, yang bertentangan dengan kategori pendapatan tertentu,” dikutip dari laporan OECD, Rabu (2/11/2022).

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar juga mengatakan hal yang sama. Dirinya sependapat dengan OECD bahwa tax holiday tidak relevan lagi untuk diterapkan oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Fajry menyebut, tujuan adanya Pilar Dua tersebut adalah agar negara-negara tidak lagi mengobral atau menjual insentif hanya untuk menarik investasi.

Bahkan dirinya menyarankan agar pemerintah lebih fokus ke dalam perbaikan birokrasi, kepastian hukum, hingga infrastruktur untuk menarik investor.

“Jelas sudah tak relevan, karena tujuan dari Pilar Dua agar negara tidak lagi menjual insentif pajak untuk menarik investasi,” ujar Fajry seperti dikutip Kontan.co.id, Rabu (2/11/2022).

Namun Fajry tidak setuju apabila pemerintah mencari instrumen insentif baru sebagai pengganti tax holiday agar investor masih mau menanamkan modalnya di Indonesia.

Menurutnya, daripada uang negara digunakan untuk memberikan insentif pajak bagi perusahaan besar (tax expenditure), maka lebih baik dimanfaatkan untuk hal lain yang lebih tepat. Contohnya saja pembangunan infrastruktur dan memberikan bantuan sosial (bansos) kepada kelompok tidak mampu.

“Memang ada yang merekomendasikan insentif non pajak sebagai penggantinya, namun saya tidak setuju. Tujuan dari Pilar Dua sebenarnya adalah better spending,” katanya.

Guna mencegah kehilangan penerimaan, Fajry menyarankan pemerintah untuk dapat mengimplementasikan Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT).

Dengan adanya QDMTT tersebut maka pemajakan perusahaan multinasional yang tercakup ke dalam ketentuan GloBE tidak akan menggerus basis pajak Indonesia ke depannya.(bl)

id_ID