IKPI, Jakarta: Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 menargetkan pendapatan negara dari sektor pajak mencapai Rp 2.189 triliun. Risiko global, hingga banyaknya sektor informal dan maraknya digitalisasi diprediksi akan menjadi tantangan pemerintah untuk mencapai target tersebut.
Dikutip dari Buku II Nota Keuangan RAPBN 2025, pemerintah menyebut tantangan pertama datang dari risiko global yang masih tinggi berupa pelemahan ekonomi, tensi geopolitik, dan disrupsi perdagangan. Hal tersebut diprediksi akan berdampak pada volatilitas harga komoditas, tekanan terhadap inflasi, nilai tukar, dan suku bunga.
“Disrupsi perdagangan dan meningkatnya konflik geopolitik menyebabkan ketidakpastian harga komoditas pada perdagangan internasional sehingga akan mempengaruhi penerimaan perpajakan terutama pada sektor pertambangan, perkebunan, dan industri pengolahan terkait komoditas tersebut,” seperti dikutip dari Buku II Nota Keuangan RAPBN 2025, Senin, (26/8/2024).
Pemerintah berpandangan inflasi dan suku bunga sebenarnya berkorelasi positif terhadap penerimaan pajak. Namun, hal itu juga berdampak pada penurunan tingkat konsumsi masyarakat jika tak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan. “Kebijakan perpajakan dan insentif perpajakan yang tepat sangat diperlukan,” tulis pemerintah.
Tantangan kedua datang dari pergeseran aktivitas ekonomi konvensional ke ekonomi digital. Pemerintah menyebut perlu upaya untuk menangkap potensi perpajakan dari pergeseran aktivitas ini.
“Digitalisasi di satu sisi memang memberikan kemudahan berusaha pada hampir seluruh sektor, namun di sisi lain, digitalisasi juga harus diikuti oleh sistem perpajakan yang dapat mengakomodasi pemungutan pajak.”
Sementara itu, tantangan ketiga yang diantisipasi pemerintah adalah pergeseran struktur ekonomi dari sektor manufaktur ke sektor jasa yang mayoritas masih informal. Pemerintah menyebut hal ini menjadi tantangan bagi sistem perpajakan Indonesia karena sektor informal sulit dideteksi.
“Hal ini disebabkan oleh tidak terdaftarnya pelaku bisnis sektor informal pada sistem perpajakan,” sebut pemerintah.
Selain itu, pelaku bisnis formal yang terdaftar sebagian besar memiliki peredaran usaha yang kecil atau menengah kurang dari Rp300 juta. Dengan demikian, mereka tidak termasuk dalam golongan yang dapat dikenai pajak.
Untuk mengatasi ini, pemerintah menyebut pemberian insentif perpajakan yang mendorong usaha untuk berkembang amat diperlukan. Sebab peningkatan sektor formal di Indonesia pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan negara.