IKPI, Jakarta: Rencana pemerintah untuk menaikkan pajak rumah tapak menuai kritik keras dari kalangan pengembang. Wakil Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI), Bambang Ekajaya, menyebut kebijakan tersebut tidak tepat sasaran di tengah kondisi pasar properti yang masih lesu.
“Jujur saja, kami kaget. Saat industri properti sedang mengalami kelesuan, malah muncul wacana beban pajak baru. Ini sangat tidak bijak,” ujar Bambang, Minggu (8/6/2025).
Menurutnya, rencana pemerintah justru bisa menjadi “pukulan telak” bagi sektor perumahan, terutama karena rumah tapak masih menjadi andalan sebagian besar masyarakat baik dalam skema subsidi maupun non-subsidi.
Bambang mengingatkan bahwa rumah subsidi yang didanai melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) juga termasuk kategori rumah tapak. Ia khawatir kenaikan pajak ini akan menghambat pencapaian target pengentasan backlog perumahan yang masih tinggi, yakni mencapai 15 juta unit berdasarkan data Badan Standardisasi Nasional (BSN) per 2024.
“Saat ini, rumah tapak non-subsidi pun penjualannya tersendat. Masyarakat sedang menahan belanja, daya beli menurun, dan ancaman PHK di berbagai sektor menambah tekanan,” jelasnya.
Bambang menduga kebijakan ini didesain untuk mendorong masyarakat beralih ke hunian vertikal seperti apartemen atau rumah susun sederhana milik (Rusunami). Namun, menurutnya, ekosistem hunian vertikal belum cukup matang untuk menjadi solusi jangka pendek.
“Kalau memang ingin mendorong vertical housing, harus disiapkan infrastrukturnya. Harga patokan rusunami tidak sebanding dengan biaya konstruksinya, jadi developer swasta masih enggan terlibat,” katanya.
Ia juga menyoroti masalah-masalah yang kerap muncul dalam pengelolaan rumah susun, seperti konflik dalam Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) yang sering berujung ke ranah hukum.
Pernyataan kontroversial soal pajak rumah tapak ini pertama kali diungkap Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Fahri Hamzah, dalam acara Simposium Nasional Sumitronomics, Selasa (3/6/2025). Ia menyebut bahwa kenaikan pajak bisa menjadi “senjata” untuk mengubah pola tinggal masyarakat dari rumah tapak ke rumah susun.
“Nanti yang bikin rumah landed pajaknya dinaikin saja sampai dia gak bisa tinggal di landed. Pasti dia akan tinggal di rumah susun,” kata Fahri dalam pernyataan yang memicu polemik.
Dengan ketimpangan antara kebutuhan dan ketersediaan hunian yang belum teratasi, wacana pajak ini justru dinilai berisiko memperdalam masalah. Industri properti kini menunggu langkah konkret pemerintah dalam memperbaiki regulasi, bukan menambah beban. (alf)