Pada tanggal 14 Oktober 2024, Pemerintah mengeluarkan PMK 81 Tahun 2024 Tentang Ketentuan Perpajakan Dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau yang dikenal dengan istilah PMK Sapu Jagat (omnibus) yang salah satu pasalnya mengatur ulang mengenai pengkreditan faktur pajak masukan. Pengaturan tersebut ada di Pasal 376 ayat (1), tentunya menjadi tanda tanya, apakah Pasal 376 ayat (1) tersebut sudah sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku ?
Untuk memudahkan melihat masalah pengkreditan faktur pajak masukan tersebut, penulis menggunakan perbandingan antara Pasal 9 UU No 42 Tahun 2009 dengan PMK 81 tersebut, sebagai berikut:
Jika kita telaah maka Pasal 376 ayat (1) mempersempit jenis faktur pajak masukan yang dapat dikreditkan untuk masa pajak yang tidak sama, yaitu hanya untuk Pajak Masukan dalam bentuk dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, adapun jenis-jenis dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak di atur dalam Peraturan Dirjen Pajak No. 16 Tahun 2021 :
Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak adalah:
a. Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/dikeluarkan oleh BULOG/DOLOG untuk penyaluran tepung terigu;
b. bukti tagihan atas penyerahan jasa telekomunikasi oleh perusahaan telekomunikasi;
c. bukti penerimaan pembayaran (setruk) yang dibuat oleh Penyelenggara Distribusi atas penjualan pulsa dan/atau penerimaan komisi/fee terkait dengan distribusi token dan/atau voucher;
d. bukti tagihan atas penyerahan listrik oleh perusahaan listrik;
e. bukti tagihan atas penyerahan BKP dan/atau JKP oleh perusahaan air minum;
f. tiket, tagihan surat muatan udara (airway bill), atau delivery bill, yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri;
g. nota penjualan jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhanan;
h. dstnya….
Dengan berlakunya PMK 81 Tahun 2024 sejak tanggal 1 Januari 2025 ini, maka tidak ada lagi fasilitas bagi WP untuk melaporkan faktur pajak masukan di masa pajak tidak sama, sehingga seandainya masih ada FP masukan yang belum dikreditkan oleh WP di salah satu bulan, maka WP dapat mengkreditkan FP Masukan tersebut dengan mekanime pembetulan SPT Masa PPN di bulan yang bersangkutan, dan ini yang harus menjadi perhatian.
Yang menjadi pertanyaan, apakah Pasal 376 ayat (1) tersebut sudah tepat dan tidak menyalahi kaidah / asas-asas hukum yang umum dipakai dan harus diperhatikan?. Jika kita kaji perbandingan antara Pasal 9 ayat (9) UU PPN dan Pasal 376 ayat (1) PMK 81 Tahun 2024 maka dapat disimpulkan, keberadaan Pasal 376 ayat (1) tersebut:
1. Melanggar Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori, asas ini memiliki makna bahwa undang-undang (norma/aturan hukum) yang lebih tinggi dapat meniadakan keberlakuan undang-undang (norma/aturan hukum) yang lebih rendah. Artinya, peraturan yang lebih tinggi dapat mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah. Asas lex superior derogat legi inferiori ini hanya berlaku terhadap dua peraturan yang secara hierarki tidak sederajat dan saling bertentangan. Namun pada ketentuan pasal 376 ayat (1) ini malah diatur kebalikannya, yaitu meniadakan aturan yang lebih tinggi.
2. Melanggar Pasal 7 UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu :
Ayat (1) :
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :
a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat;
c. Undang-undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.
Ayat (2) :
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3. Melanggar Pasal 8 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011 yaitu
“Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.”
Dalam hal ini Pasal 9 ayat (9) UU PPN tidak memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengatur ulang terkait dengan pengkreditan PPN Masukan. Sehingga berdasarkan Pasal 8 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011 tersebut, maka keberadaan Pasal 376 ayat (1) PMK 81 Tahun 2024 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Terbitnya PMK 81 Tahun 2024 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2025, sudah seharusnya memperhatikan asas-asas pembentukan hukum yang baik, dan memperhatikan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, karena Indonesia menganut negara hukum sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yaitu: “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Menjadi tugas kita semua untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang sesungguhnya dengan memperhatikan rambu-rambu dalam pembuatannya.
Penulis :
Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal, IKPI
Pino Siddharta, S.E, S.H, M.Si
Disclaimer :
Tulisan ini hanya pendapat pribadi dan tidak mewakili institusi / lembaga.