Pengusaha Bioskop Sebut UU HKPD Sudah Cukup Mengatur Batas Pungutan Pajak

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) mengaku heran dengan wacana aturan baru standardisasi pajak bioskop. Pasalnya, aturan yang ada saat ini sudah baik.

Ketua GPBSI Djonny Syafruddin merujuk pada UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), yang baru disahkan Presiden Joko Widodo tahun lalu. Menurutnya, beleid tersebut sudah menjawab tuntutan pengusaha terkait pajak bioskop.

“Menurut saya yang sudah berlaku (UU HKPD), sudah bagus, mau apalagi? Iya, sudah pakai itu saja. Nanti jadi bingung (kalau ada aturan baru lagi),” kata Djonny seperti dikutip dari CNN Indonesia, Kamis (30/11/2023).

“Itu kan setinggi-tingginya 10 persen (pungutan pajak bioskop di UU HKPD). Semuanya kan nanti melalui peraturan daerah (aturan teknisnya). Karena uangnya buat (pemerintah) daerah, bukan pusat,” sambungnya.

Di UU HKPD, bioskop digolongkan sebagai aktivitas hiburan dan dikenakan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT). Pada Pasal 58 ayat (1) beleid tersebut, pajak PBJT ditetapkan paling tinggi 10 persen.

Sedangkan tarif PBJT dikenakan 40 persen hingga 75 persen untuk klasifikasi hiburan lain, seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa.

Terlepas dari kebingungan pengusaha, Djonny menceritakan awal mula mengapa muncul angka maksimal 10 persen. Menurutnya, itu adalah salah satu perjuangan GPBSI yang didengar Jokowi.

Sebelum ada UU HKPD, pajak bioskop diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Bioskop atau tontonan film masuk dalam pajak hiburan. Pasal 45 ayat (1) UU PDRD mengatur besaran tarif pajak maksimal 35 persen.

“Beberapa tahun lalu saya memang pernah ngomongnya agak keras, kira-kira 2 atau 3 tahun lalu. Saya bilang ke Pak Jokowi ‘NKRI harga mati’, saya gituin. Kalau betul NKRI, berarti semuanya (pajak bioskop) harus sama,” tuturnya.

“Saya kan pernah tinggal di negara federal, di Jerman Barat dulu 1970-an. Itu pajak dari Hamburg sampai ke Muenchen sama, jenisnya, subjek, dan objeknya. Di Indonesia enggak. Medan 30 persen, Palembang 20 persen, beda-beda lah. Jakarta 10 persen, itu saya yang berjuang waktu itu,” ungkapnya.

“Jadi beda-beda, saya bilang kenapa enggak disamakan? Objek dan subjeknya sama, film, ya sama dong. Keluarlah itu (UU HKPD), setinggi-tingginya 10 persen,” jelas Djonny.

Kalaupun pada akhirnya akan ada standardisasi pajak bioskop baru melalui peraturan presiden, Djonny berharap angkanya turun dari yang berlaku di UU HKPD. Meski ia ragu akan ada aturan baru soal besaran tarif pajak bioskop, karena UU HKPD pun baru efektif berlaku 2024.

Sebelumnya, rencana standardisasi pajak bioskop ini dibocorkan Menteri BUMN Erick Thohir. Ia menyampaikan dalam rapat yang dihadiri perwakilan Kemenko Marves, Kemendagri, Kemenparekraf, PT Produksi Film Negara (PFN), hingga aktor Indonesia.

Ucapan Erick tidak dalam kesatuan utuh. Ia hanya mengatakan Presiden Jokowi akan mengumumkan aturan yang pro-industri film nasional.

Setelah itu, video unggahan Instagram @erickthohir beralih kepada klip baru. Bagian inilah yang menyinggung soal standardisasi pajak bioskop di seluruh daerah Indonesia.

“Bahwa seluruh pungutan pajak, karcis bioskop itu sama di semua daerah. Nanti akan ditaruh satu fund untuk khusus film nasional,” kata Erick via akun Instagram resminya, Senin (27/11).

“Bahwa kemungkinan harus ada perpres yang bisa memayungi seluruh ekosistem yang kita bisa lakukan, baik dari segi perpajakan, perizinan, lalu juga pendanaan. Sehingga juga kita titik akhirnya bagaimana proses keuangan mesti clear and clean,” tandasnya. (bl)

id_ID