PBB Peringatkan Gagalnya Pajak Minimum Global akibat Penolakan Trump

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Upaya global untuk mewujudkan keadilan perpajakan internasional menghadapi tantangan serius setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, secara resmi menarik dukungan dari kesepakatan pajak minimum global. Dalam World Investment Report 2025 yang dirilis pada Kamis (19/6), badan PBB untuk perdagangan dan pembangunan (UNCTAD) mengungkapkan keprihatinan atas arah baru kebijakan AS yang berpotensi menggagalkan implementasi Pilar Dua OECD kerangka perpajakan global yang telah diadopsi oleh puluhan negara.

UNCTAD menyebut bahwa hingga saat ini, sedikitnya 49 negara, mayoritas negara-negara maju di Eropa, telah memasukkan ketentuan pajak minimum global ke dalam hukum nasional mereka. Pilar Dua, lebih dikenal dengan skema Global Anti-Base Erosion (GloBE), mewajibkan perusahaan multinasional dengan pendapatan di atas €750 juta untuk membayar tarif pajak efektif minimum sebesar 15% atas keuntungan di setiap yurisdiksi tempat mereka beroperasi.

Namun, hasil pemilihan presiden AS tahun ini membawa dinamika baru. Kemenangan Trump dan kebijakannya untuk menghentikan partisipasi AS dalam Pilar Dua dinilai UNCTAD sebagai ancaman langsung terhadap stabilitas dan keberlangsungan reformasi perpajakan internasional.

“Penarikan AS dari pembahasan Pilar Dua dan ancaman tindakan balasan terhadap negara-negara yang menerapkannya berpotensi mengubah arah reformasi perpajakan global yang tengah berlangsung,” tulis UNCTAD dalam laporannya dikutip, Jumat (20/6/2025).

Indonesia Tetap Jalan Terus

Di tengah gejolak global, Indonesia termasuk negara yang telah berkomitmen penuh terhadap penerapan pajak minimum global. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136/2024, pemerintah Indonesia mengadopsi Pilar Dua dengan tiga instrumen utama: Domestic Minimum Top-up Tax (DMTT), Income Inclusion Rule (IIR), dan Undertaxed Payment Rule (UTPR).

DMTT dan IIR telah berlaku sejak 1 Januari 2025, sementara UTPR akan mulai diterapkan pada 1 Januari 2026. Langkah ini diambil untuk menutup celah penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional dan mencegah pengalihan laba ke negara-negara tax haven yang menawarkan tarif pajak sangat rendah atau bahkan nihil.

Trump: “Kesepakatan Ini Hambat Kepentingan Amerika”

Satu hari setelah resmi menjabat untuk periode 2025–2029, Presiden Trump menerbitkan memorandum yang menegaskan penarikan Amerika Serikat dari Kesepakatan Pajak Global. Ia menyatakan bahwa komitmen pemerintah sebelumnya tidak sah tanpa pengesahan dari Kongres AS.

“Setiap komitmen yang dibuat oleh pemerintahan sebelumnya atas nama Amerika Serikat tidak memiliki kekuatan hukum tanpa tindakan legislatif oleh Kongres,” tegas Trump dalam keterangan di laman resmi Gedung Putih.

Lebih lanjut, ia memandang bahwa kesepakatan pajak global OECD membuka celah bagi negara lain untuk “memajaki penghasilan Amerika secara ekstrateritorial,” yang menurutnya merugikan kepentingan nasional dan menggerus daya saing ekonomi Negeri Paman Sam.

Sebagai respons, Trump memerintahkan Menteri Keuangan AS dan Perwakilan Dagang AS (USTR) untuk melakukan investigasi terhadap kebijakan pajak di negara lain yang dianggap mendiskriminasi perusahaan asal AS. Ia juga meminta daftar tindakan balasan yang bisa diambil guna melindungi kepentingan korporasi dan pekerja AS dari “aturan pajak tidak adil.”

“Menteri Keuangan akan menyampaikan rekomendasi kepada Presiden dalam 60 hari,” tulis memorandum tersebut.

Penolakan Amerika Serikat, sebagai ekonomi terbesar dunia, tentu menjadi pukulan bagi koalisi negara-negara yang selama ini mendorong sistem perpajakan internasional yang lebih adil. Meski demikian, UNCTAD menilai bahwa implementasi Pilar Dua tetap memiliki prospek cerah jika komunitas global tetap bersatu dan mengedepankan prinsip keadilan pajak lintas batas. (alf)

 

 

id_ID