IKPI, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menolak gugatan uji materiil terkait pengenaan pajak atas pesangon dan uang pensiun. Putusan Nomor 186/PUU-XXIII/2025 yang dibacakan pada Kamis (13/11/2025) menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima karena dianggap tidak jelas atau obscuur libel.
Gugatan tersebut diajukan oleh 12 pekerja dari berbagai bank swasta, termasuk seorang ketua umum serikat karyawan. Mereka sebelumnya mendaftarkan permohonan pada 10 Oktober 2025 dengan argumentasi bahwa pajak pesangon dan pensiun melanggar hak konstitusional pekerja. Beberapa pemohon yang tercatat antara lain Jamson Frans Gultom, Agus Suwargi, Budiman Setyo Wibowo, Wahyuni Indrjanti, Jamil Sobir, Lyan Widiya, Muhammad Anwar, Cahya Kurniawan, dan Aldha Reza Rizkiansyah.
Ketua MK Suhartoyo menjelaskan bahwa permohonan tidak dapat diproses lebih lanjut karena mengandung kekeliruan dalam perumusan. Mahkamah menemukan bahwa pemohon menyebut adanya frasa “tunjangan dan uang pensiun” pada Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPh, padahal frasa tersebut tidak pernah ada. UU hanya memuat kata “tunjangan” dan frasa “uang pensiun” secara terpisah, sehingga dasar keberatan pemohon dinilai tidak akurat.
Selain itu, MK menilai para pemohon tidak disiplin dalam menyusun permohonan. Bagian petitum berisi alasan-alasan yang seharusnya ditempatkan pada posita, sehingga membuat permohonan menjadi tidak runtut. Lebih jauh lagi, para pemohon meminta Pasal 17 UU PPh dinyatakan konstitusional bersyarat, tetapi dalam alasan permohonannya mereka justru menyebut pasal tersebut bertentangan secara keseluruhan—sebuah inkonsistensi yang kembali memperkuat alasan ditolaknya permohonan.
“Karena permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur atau obscuur, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan para Pemohon lebih lanjut,” ujar Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan.
Dalam permohonannya, para pekerja perbankan tersebut menilai pesangon, pensiun, Jaminan Hari Tua (JHT), dan Tabungan Hari Tua (THT) bukanlah tambahan kemampuan ekonomis, tetapi hak normatif pekerja yang bersifat sosial dan kompensatif setelah puluhan tahun mengabdi. Mereka menganggap pengenaan pajak atas dana pascakerja tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 mengenai penghidupan yang layak.
Karena itu, para pemohon meminta MK mengecualikan pesangon dan dana pensiun dari objek pajak serta menafsirkan Pasal 17 UU PPh hanya konstitusional bersyarat apabila tidak mengenakan pajak atas dana pascakerja.
Namun permohonan tersebut kandas sebelum masuk tahap pemeriksaan materiil. MK menegaskan bahwa cacat formil dalam permohonan membuatnya tidak dapat diterima.
Putusan ini menambah daftar penolakan terhadap gugatan serupa. Sebelumnya, pada 30 Oktober 2025, MK juga menolak permohonan terkait pajak pesangon dalam perkara Nomor 170/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh dua karyawan swasta, Rosul Siregar dan Maksum Harahap. (alf)
