Mahkamah Konstitusi Tunda Sidang Uji Aturan Pajak Faskes

Wakil Ketua MK Saldi Isra saat mengkonfirmasi surat kuasa pemohon pada sidang uji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Selasa (05/09) di Ruang Sidang MK. (Foto: Humas MK/Ifa).

IKPI, Jakarta: Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Selasa (5/9/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor Nomor 67/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Leonardo Siahaan yang merupakan seorang karyawan swasta.

Leonardo menguji Pasal 4 ayat (1) huruf a UU HPP yang menyatakan, “penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya termasuk natura dan/atau kenikmatan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;”

Sejatinya, agenda siding hari ini adalah mendengarkan keterangan DPR dan Presiden/Pemerintah. Namun majelis hakim menyatakan persidangan ditunda karena pada persidangan kali ini Pemohon diwakili kuasanya yaitu Michael Stevenaro Justin Nainggolan dan Heriyansyah. Padahal dalam permohonan yang disampaikan pada persidangan sebelumnya, Pemohon tidak mencantumkan kuasa.  

Dalam persidangan, Wakil Ketua MK Saldi Isra meminta Pemohon prinsipal hadir di persidangan untuk menjelaskan apakah Pemohon betul-betul memberikan kuasa. “Oleh karena itu nanti disempurnakan kalau anda jadi pemegang kuasa permanennya,” kata Saldi seperti dikutip dari website resmi Mahkamah Konstitusi, Rabu (6/9/2023).

Menanggapi hal tersebut, kuasa Pemohon, Heriyansyah mengatakan Pemohon prinsipal berhalangan hadir dikarena ada kebutuhan khusus yang tidak bisa ditinggalkan. “Lalu dikuasakan kepada kami berdua dengan surat kuasa yang sudah disampaikan pertanggal empat,” tegas Heriyansyah.

Selanjutnya, Ketua MK Anwar Usman menginformasikan sidang ditunda pada Selasa, 19 September 2023 pukul 11.00 WiB. Agenda siding tetap sama, yakni mendengarkan keterangan DPR dan Presiden/Pemerintah.

Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 67/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Leonardo Siahaan yang merupakan seorang karyawan swasta. Leo mengujikan Pasal 4 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang menyatakan, “penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya termasuk natura dan/atau kenikmatan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;”

Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (10/7/2023), Leo mengatakan fasilitas kesehatan atau biaya pengobatan telah diasuransikan oleh perusahaan. Dulunya, fasilitas kesehatan atau biaya pengobatan menjadi tanggungan perusahaan dan karyawan tidak bisa untuk membayar hal ini sebagai objek pajak dan bukan dikategorikan objek pajak.

Leo mendalilkan gaji yang diterimanya akan terkuras karena membayar pajak seperti itu. Menurutnya, fasilitas kesehatan dan biaya pengobatan itu merupakan hak dari pekerja. Namun sekarang dijadikan sebagai objek pajak.

“Bahayanya di situ, yang dulu sebetulnya bukan sebagai objek pajak sekarang dikenakan sebagai objek pajak. Bayangkan saja, Yang Mulia, misal saya mempunyai gaji 2 juta kemudian itu pun belum dipotong lagi oleh objek karena ada masalah fasilitas kesehatan atau biaya perobatan. Tentu potongan itu akan merugikan pemohon sendiri, yang mana sebelumnya 2 juta menjadi mungkin 1 juta,” terangnya.

Leonardo mempertanyakan mengapa fasilitas kesehatan dimasukkan ke dalam objek pajak penghasilan. “Saya juga tidak mengerti mengapa pemerintah memasukkan fasilitas kesehatan ke dalam kategori objek pajak,” tegas Leo. (bl)

id_ID