Mahkamah Konstitusi Gelar Sidang Pengujian UU HPP, Kenaikkan PPN jadi Sorotan

(Foto: DOK. Humas MK)

IKPI, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan terkait pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada Senin (10/3/2025) di Ruang Sidang MK. Sidang ini memeriksa perkara yang terdaftar dengan nomor 11/PUU-XXIII/2025.

Dikutip dari website resmi MK, para pemohon dalam perkara ini berasal dari berbagai latar belakang, termasuk ibu rumah tangga, mahasiswa, pekerja swasta, pelaku usaha mikro, pengemudi ojek daring, dan organisasi yang bergerak di bidang kesehatan mental.

Mereka menguji konstitusionalitas sejumlah ketentuan dalam UU HPP, yakni Pasal 4A ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf a, g, j, serta Pasal 7 ayat (1), (3), dan (4). Pasal-pasal tersebut mengatur penghapusan barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, pendidikan, serta angkutan umum dari daftar barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

UU HPP juga menetapkan ketentuan baru mengenai tarif PPN dan mekanisme perubahannya. Kuasa hukum para Pemohon, Novia Sari, menyampaikan bahwa Pasal 4A ayat (2) UU HPP bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. “Kenaikan PPN menjadi 12% terhadap barang pokok yang dibutuhkan masyarakat telah menimbulkan lonjakan harga di tengah kondisi penghasilan yang stagnan, menurun, atau bahkan tidak ada sama sekali.

Akibatnya, para Pemohon terpaksa menurunkan kualitas barang kebutuhan pokok yang mereka konsumsi atau bahkan tidak dapat membeli barang dengan kualitas yang sama,” ujar Novia dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

Novia juga menyoroti dampak kenaikan harga pada berbagai kebutuhan lain akibat penerapan PPN 12%, termasuk bahan bakar minyak (BBM), paket data internet, dan biaya listrik yang turut membebani masyarakat.

“Para Pemohon juga menghadapi kesulitan dalam mengakses lingkungan tempat tinggal yang bersih dan sehat karena meningkatnya biaya sewa,” tambah Novia.

Dalam petitumnya, para Pemohon meminta MK menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Khusus untuk Pasal 7 ayat (3) UU HPP, para Pemohon berharap MK menyatakan ketentuan tersebut konstitusional bersyarat, sepanjang tarif PPN ditetapkan berdasarkan indikator ekonomi, sosial, atau lingkungan yang jelas.

Selain itu, Pasal 7 ayat (4) UU HPP dimohonkan agar dinyatakan konstitusional bersyarat, dengan ketentuan bahwa perubahan tarif PPN hanya boleh dilakukan melalui undang-undang, bukan peraturan pemerintah.

Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyoroti penyusunan legal standing para Pemohon. “Di bagian posita, kok Anda uraikan lagi legal standing-nya,” kata Enny dalam sidang.

Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari bagi para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Perbaikan tersebut harus disampaikan ke MK paling lambat Senin, 24 Maret 2025. (alf)

 

id_ID