IKPI Bali Sebut Penerapan Pajak Hiburan Berpotensi Gerus Sektor Pariwisata

Ketua Pengda IKPI Bali Adi Krisna. (Foto: Dok. Pribadi)

IKPI, Bali: Ketua Pengurus Daerah Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (Pengda IKPI) Bali Adi Krisna, mengungkapkan penerapan pajak hiburan sebesar 40-75 persen berpotensi menggerus sektor pariwisata, khususnya di Bali.

“Menurut pandangan saya, tarif pajak hiburan khusus sebesar 40 persen ini sangat besar dan akan sangat berdampak pada sektor pariwisata, di mana itu merupakan andalan pendapatan asli daerah Provinsi Bali. Karena, penyediaan hiburan tidak bisa dipisahkan dari penyediaan jasa pariwisata lainnya seperti kamar hotel, restaurant, tour, dan sebagainya,” kata Adi melalui keterangan tertulisnya, Rabu (10/1/2024).

Selain itu lanjut Adi, ancaman kebangkrutan bagi pelaku usaha di sektor ini juga sangat tinggi, karena kenaikan pajak yang signifikan (sebelumnya 15 persen) menjadi 40-75 persen akan mempengaruhi tingkat kunjungan wisatawan ke lokasi hiburan.

“Pelaku jasa di Bali banyak didominasi UMKM khususnya untuk usaha mandi uap (SPA). Jelas, konsumen akan berpikir ribuan kali mengunjungi SPA karena mereka harus membayar pajak minimal 40 persen,” katanya.

Dengan demikian kata Adi, pelaku UMKM akan berpikir untuk melanjutkan usahanya dan lebih memilih menutup dan otomatis memberhentikan seluruh pekerja. “Usaha SPA di Bali sangat banyak menyerap tenaga kerja, saya tidak tahu persis berapa jumlahnya tetapi mencapai ratusan orang,” ujarnya. 

Adi menuturkan, dirinya sudah menerima Surat Edaran dari beberapa Pemda di Bali yang memberitahukan penerapan pajak Hiburan Khusus sebesar 40 persen. Atas surat tersebut, dia mengaku ada beberapa kliennya yang bergerak dalam bisnis ini sudah mulai memikirkan dampak yang akan mereka terima setelah penerapan Perda yang baru ini.

“Pemprov Bali mengambil batas bawah atas pungutan pajak hiburan tersebut, yakni sebesar 40 persen. Namun, kabarnya itu masih akan diperjuangkan lagi ke pemerintah pusat agar bisnis hiburan dan sektor pariwisata di bali tetap kondusif,” ujarnya.

Diceritakan Adi, kebijakan ini berawal dari Undang-Undang No. 1 tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang diundangkan tanggal 5 Januari 2022.

Dalam Pasal 58 ayat 2 disebutkan Khusus Tarif PBJT (Pajak Barang Jasa Tertentu) atas jasa hiburan pada Diskotik, Karaoke, Klub Malam, Bar, dan Mandi Uap/Spa ditetapkan paling rendah  40% dan paling tinggi 75%.

Kemudian, aturan ini diperjelas lagi dalam pasal 94 UU No 1 2022 disebutkan untuk seluruh jenis pajak dan retribusi ditetapkan dalam 1 Perda dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah.

Tentunya, berdasarkan pasal tersebut masing-masing kabupaten dan kota menetapkan Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, semisal di Kota Denpasar telah menetapkan Perda Kota Denpasar No 5 Tahun 2023 22 Desember 2023 dan berlaku di awal tahun 2024.

“Dari tarif yang diamanatkan oleh UU No. 1 tahun 2022 antara 40- 75 persen Pemprov Bali menetapkan tarif batas bawah yaitu 40 persen,” ujarnya. (bl)

 

Catatan: Berita ini merupakan tanggapan pribadi Adi Krisna, dan bukan merupakan tanggapan resmi dari Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI).

id_ID