Uji Materi UU Pajak di MK: Pemerintah Tegaskan Pajak Berdasarkan Konstitusi 

IKPI, Jakarta: Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang lanjutan perkara pengujian materiil atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN), Kamis (5/6/2025). Sidang yang berlangsung di ruang utama MK ini mengadili perkara Nomor 188/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh dua entitas usaha, PT Gemilang Prima Semesta dan CV Belilas Permai.

Dipimpin langsung oleh Ketua MK Suhartoyo bersama delapan hakim konstitusi lainnya, sidang menghadirkan Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo sebagai ahli dari pemerintah. Dalam paparannya, Yustinus menegaskan bahwa sistem perpajakan Indonesia dibangun di atas fondasi konstitusional yang kokoh, sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945.

“Pemungutan pajak yang bersifat memaksa harus diatur melalui undang-undang. Hal ini demi menjamin keadilan dan menghindari potensi penyalahgunaan kewenangan,” jelas Yustinus. Ia menambahkan bahwa aturan turunan seperti tarif, subjek, dan objek pajak harus merujuk pada undang-undang sebagai dasar legalitas utama.

Yustinus juga menanggapi keberatan pemohon terkait definisi penghasilan dan objek pajak yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan Pasal 4 ayat (1) UU PPN. Menurutnya, ketentuan tersebut merujuk pada teori Schanz-Haig-Simons yang mengartikan penghasilan sebagai setiap tambahan kemampuan ekonomis, tanpa memperhitungkan sumber dan penggunaannya.

“Definisi luas ini justru dimaksudkan untuk menjamin keadilan horizontal—yakni agar setiap wajib pajak dengan penghasilan setara menanggung beban yang sama,” ujarnya.

Namun, ia juga menekankan bahwa aturan tersebut tidak bersifat mutlak karena sejumlah jenis penghasilan tertentu seperti hibah, warisan, dan sumbangan telah dikecualikan dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh.

Dalam sidang yang sama, isu Harga Eceran Tertinggi (HET) turut mencuat. Yustinus menjelaskan bahwa HET merupakan bagian dari kebijakan pengendalian harga oleh pemerintah dan bukan dasar penetapan objek pajak. “HET adalah instrumen stabilisasi dan bukan fiskal. Tujuannya mengatur agar harga barang strategis seperti LPG 3 kg tetap terjangkau,” jelasnya.

Ia juga menegaskan bahwa peraturan daerah (Perda) yang mengatur HET tidak dimaksudkan untuk memperluas cakupan objek pajak. “HET dan pemajakan margin laba adalah dua ranah yang berbeda. Perda soal HET bukan dasar pungutan pajak, tetapi pengendalian harga di daerah,” kata Yustinus.

Sementara itu, dalam sidang pendahuluan yang digelar sebelumnya pada 4 Maret 2025, para pemohon mengungkapkan bahwa mereka mengalami kerugian konstitusional akibat ketidakpastian hukum dalam penerapan pasal-pasal pajak yang diuji.

Mereka menilai bahwa pengenaan pajak atas biaya transportasi yang ditetapkan oleh kepala daerah—dan bukan melalui undang-undang—telah menimbulkan kerugian yang nyata, terutama dalam distribusi gas LPG 3 kg.

Pemohon menuntut agar Mahkamah menyatakan frasa “… diterima atau diperoleh Wajib Pajak …” dalam Pasal 4 Ayat (1) UU PPh bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat, kecuali dimaknai sebagai penghasilan yang secara langsung diperoleh melalui perbuatan berdasarkan undang-undang.

Dengan sorotan terhadap ketidaksinkronan antara kebijakan fiskal dan aturan daerah, perkara ini menjadi salah satu uji materi strategis yang menguji batas konstitusional dalam sistem perpajakan nasional.

Putusan akhir MK atas perkara ini akan menjadi preseden penting bagi harmonisasi antara regulasi perpajakan dan kebijakan pengendalian harga, terutama dalam sektor barang kebutuhan pokok. (alf)

 

 

en_US