Kepatuhan Pajak di Indonesia : Sebuah Tinjauan Teoritis

Sebagai pembuka, mari kita membedah terlebih dahulu kinerja pendapatan negara pada tahun 2024. Penerimaan pajak sampai dengan 31 Desember 2024 mencapai Rp. 1.932,4 T atau 100,5% dari target, tumbuh sebesar 3,5% yoy, pertumbuhan ini hanya berdasarkan dari penerimaan dari sektor pajak, didorong oleh pertumbungan dari jenis penerimaan pajak utama.

Melihat kondisi ini, pajak adalah bentuk salah satu sumber penerimaan utama dari penerimaan negara yang digunakan untuk membiayai dan mendanai berbagai kebutuhan publik, dimulai dari pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, layanan pendidikan, subsidi sosial, hingga proyek-proyek strategis nasional lainnya.

Mengingat keterbutuhan akan penerimaan negara dari sektor pajak itu merupakan sumber yang tergolong primer, maka hal ini, secara tidak langsung mendorong Pemerintah untuk menekankan kepada masyarakat dalam hal ini Wajib Pajak untuk meningkatkan pentingnya memenuhi kepatuhan perpajakan yang dilandasi Peraturan Perpajakan di Indonesia.

Dalam konteksnya di Indonesia, kontribusi penyerapan penerimaan negara di Indonesia dari sektor Pajak terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), mencapai lebih dari 70% di setiap tahunnya, mengingat data yang telah saya paparkan di awal penjelasan diatas, yang hal ini menegaskan bahwa Pajak secara tidak langsung pula menjadikan instrumen utama dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan nasional dalam hal pendanaan strategis nasional.

Kepatuhan terhadap perpajakan memiliki makna bahwa setiap Wajib Pajak, melaksanakan dan memenuhi kepatuhan dan kewajiban perpajakannya secara tepat waktu, jujur, dan menjalankan sesuai dengan ketentuan dan regulasi yang telah ditetapkan oleh Pemerintahan yang berwenang. Dengan, mempertimbangkan tingkat kepatuhan perpajakan yang tinggi di suatu negara, maka secara tidak langsung, hal tersebut akan mempengaruhi tingkat pengembalian terhadap negara kepada masyarakat yang sepadan, seperti fasilitas yang diberikan, sarana dan prasarana yang tersedia di publik, sumber daya yang cukup, program-program publik yang dapat dijalankan secara merata dan berkelanjutan, namun berkebalikannya, bila tingkat kepatuhan yang rendah, maka beban pajak yang dikenakan kepada masyarakat akan tidak merata, dengan asumsi bahwa hanya ada segelintir pihak saja yang taat, namun yang lainnya memiliki kecenderungan mengindar, maka hal ini akan memicu ketimpangan sosial, dan serta menimbulkan ketidak percayaan terhadap sistem perpajakan yang dibangun oleh sebuah Pemerintahan.

Di sisi lain, kepatuhan terhadap perpajakan, menggambarkan dan mencerminkan bentuk kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada Pemerintah. Masyarakat yang selama ini telah patuh menjalankan kewajiban perpajakannya, akan menunjukkan bahwa dana yang mereka setorkan dan kontribusikan kepada negara, akan dikelola secara bertanggung jawab oleh negara, dalam bentuk imbal balik yang diberikan Pemerintah seperti pelayanan yang maksimal kepada Masyarakat, pembangunan infrastruktur yang merata, layanan pendidikan dan kesehatan yang merata, yang pada dasarnya, seluruh manfaat dapat diterima secara merata oleh seluruh masyarakat Indonesia. Namun sebaliknya, bentuk ketidakpatuhan juga, dapat memberikan sinyal adanya krisis ketidakpercayaan yang dari masyarakat kepada Pemerintah akibat adanya isu transparansi dan akuntabilitas dari Pemerintah, yang pada dasarnya hal tersebut harus menjadi evaluasi dari Pemerintah dalam menjalankan good clean governance.

Mengenal Berbagai Teori Kepatuhan Perpajakan

Tidak lengkap rasanya, bila kita membahas kepatuhan perpajakan, namun tidak membahas latar belakang akademis yang melandasinya. Latar belakang akademik, memiliki peranan sentral yang nantinya akan memberikan dampak praktis dalam bentuk kebijakan yang diterapkan oleh masing-masing-masing Pemerintahan di berbagai negara, bergantung dengan setiap kebutuhan ekonomis di masing-masing negara tersebut. Pada pembahasan, teori-teori kepatuhan perpajakan ini, saya membagi 3 (tiga) kluster utama dari pandangan para ahli yang perlu rekan-rekan pahami dalam memahami mengapa kepatuhan perpajakan itu penting, 3 (tiga) teori pandangan para ahli tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :

Tax Compliance Theory oleh Allingham dan Sandmo (1972)

Teori ini, merupakan salah satu grand theory yang sering kali digunakan oleh para peneliti yang meneliti di subjek Perpajakan dan Akuntansi, yang dikembangkan oleh Michael G. Allingham dan Agnar Sandmo pada tahun 1972 dalam artikelnya yang berjudul “Income Tax Evasion: A Theoretical Analysis”, premis sederhana, dari teori ini adalah teori ini menekankan akan pentingnya mematuhi kewajiban perpajakan, dan Wajib Pajak wajib menghitung secara rasional atas setiap untung dan ruginya bila tidak mematuhi kewajiban perpajakan, artinya secara sadar, Wajib Pajak bila dengan sengaja menghindar (tax avoidance) atau dengan sengaja melakukan penggelapan yang mengarah ke tindak pidana (tax evasion), maka terdapat ancaman maksimal yang akan diterima.

Oleh karena itu, dalam memutuskan apakah akan mematuhi atau melakukan penghindaran, setiap Wajib Pajak baik Badan Usaha maupun Orang Pribadi, akan terlebih dahulu menghitung baik buruknya, sebab, di setiap keputusan maupun langkah yang diambil, Wajib Pajak akan melakukan kalkulasi untung rugi secara logis, hal ini sangat relevan dengan kondisi yang menggambarkan situasi Wajib Pajak di seluruh belahan dunia. Model ini menjelaskan bahwa kepatuhan pajak bukan hanya soal kesadaran moral atau etika, melainkan hasil dari keputusan ekonomi yang rasional, seperti keputusan investasi yang mempertimbangkan untung ruginya.

Model teori ini, secara umum memberikan dasar bagi para pemangku kepentingan seperti para regulator maupun Pemerintah dalam menetapkan kebijakan fiskal, dalam merancang sistem bentuk pengawasan maupun kepatuhan perpajakan Wajib Pajak dan bentuk pemeriksaan Wajib Pajak. Namun, teori ini pula banyak mengundang kritik, karena terlalu menyederhanakan teknis tanpa mempertimbangkan faktor-faktor humanis yang bahkan dapat memberikan pengaruh signifikan dalam pengambilan keputusan Wajib Pajak seperti faktor sosial, moral, maupun psikologis, dalam hal ini berperan besar dalam perilaku Perpajakan Wajib Pajak.

Teori ini, menjadi penting dan tetap menarik untuk terus dilakukan studi lebih lanjut dalam hal studi kepatuhan perpajakan dan menjadi titik awal dari berbagai pengembangan teori lanjutan di bidang perpajakan, dan bahkan banyak teori yang berkembang atas dikenalkannya teori ini.

Tax Compliance Theory oleh Graetz dan Wilde (1985) 

Berbeda konsep dengan teori yang ditawarkan oleh Allingham dan Sandmo (1972), pada teori ini Graetz dan Wilde (1985) yang dituangkan dalam artikel yang berjudul “The Economics of Tax Compliance: Facts and Fantasy”, memberikan warna yang berbeda. Teori kepatuhan pajak ini mengkritisi teori yang telah diusung sebelumnya, bahwa kepatuhan pajak harus didorong dengan konsep “tax morale”, nilai-nilai humanisme yang sebelumnya tidak ditawarkan oleh teori sebelumnya.

Bahwa kepatuhan pajak akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana cara pandang Wajib Pajak memandang penggunaan dana pajak oleh negara. Jika merasa bahwa dana pajak yang selama ini secara terpaksa maupun sukarela disetorkan kepada negara namun peruntukkan dan penggunaannya untuk kemaslahatan masyarakat secara luas dan memiliki dampak yang positif bagi masyarakat secara umum, maka tercipta kepercayaan yang mendorong kepatuhan secara sukarela tanpa harus adanya dorongan dari Pemerintah untuk menekankan akan pentingnya pemenuhan kewajiban perpajakan, namun sebalknya, jika Wajib Pajak merasa bahwa sistem pajak koruptif dan tidak berpihak kepada rakyat, maka akan muncul resistensi dan kecenderungan untuk menghindari kewajiban perpajakan.

Dengan demikian, teori ini, menjadi bentuk resistensi dari teori sebelumnya, dan bentuk dari pengembangan dan perluasan atas pendekatan perilaku terhadap bentuk kepatuhan pajak, sebab meningkatkan kepatuhan perpajakan Wajib Pajak tidak hanya melalui penetapan atau ancaman sanksi, namun Pemerintah atau dalam hal ini regulatur dapat memperkuat legitimasi dan kepercayaan publik dengan institusi pajak beserta dengan organisasi-organisasi masyarakat yang dianggap mampu mendekatkan diri dengan masyarakat akan pentingnya pemenuhan kewajiban perpajakan.

Slippery Slope Framework oleh Erich Kirchler (2007) 

Teori kepatuhan pajak yang dikembangkan oleh Erich Kirchler pada tahun 2007, yang dituangkan dalam bukunya “The Economic Psychology of Tax Behaviour”, menandai pergeseran penting dari pendekatan ekonomi rasional menuju pendekatan psikologi perilaku dalam studi kepatuhan perpajakan. Kirchler berangkat dari kritik terhadap teori Allingham dan Sandmo yang mengasumsikan bahwa wajib pajak adalah individu rasional yang hanya mempertimbangkan risiko audit dan sanksi. Sebaliknya, ia menekankan bahwa kepatuhan pajak adalah hasil dari interaksi antara kekuatan otoritas pajak (power of authority) dan kepercayaan wajib pajak terhadap otoritas pajak (trust in authority).

Kirchler (2007), memperkenalkan konsep Slippery Slope Framework, yang menggambarkan bahwa tingkat kepatuhan tidak hanya dapat ditingkatkan dengan pengawasan dan hukuman (coercive power), tetapi juga melalui pembangunan hubungan yang berbasis kepercayaan, transparansi, dan persepsi keadilan. Dalam kerangka ini, jika otoritas pajak terlalu mengandalkan kekuatan koersif, maka hubungan antara negara dan wajib pajak akan menjadi kaku dan penuh tekanan, bahkan bisa mendorong perlawanan pasif.

Namun, jika otoritas mampu menumbuhkan rasa kepercayaan melalui pelayanan yang baik, keterbukaan, dan perlakuan yang adil, maka akan muncul kepatuhan sukarela yang jauh lebih stabil dan berkelanjutan. Kirchler juga menegaskan bahwa keseimbangan antara kekuatan dan kepercayaan merupakan kunci untuk menciptakan sistem perpajakan yang efektif dan berkeadilan.

Dalam konteks ini, kepercayaan tidak hanya mencerminkan harapan bahwa otoritas pajak bertindak jujur dan profesional, tetapi juga mencakup persepsi bahwa kebijakan pajak dibuat secara partisipatif dan digunakan untuk kepentingan publik.

Oleh karena itu, teori Kirchler menjadi sangat relevan dalam upaya reformasi administrasi perpajakan di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, yang sering menghadapi tantangan rendahnya kepercayaan publik terhadap lembaga perpajakan.

Aplikasi Ketiga Teori Kepatuhan Perpajakan di Indonesia 

Dalam konteks Indonesia, penerapan teori kepatuhan pajak yang dikembangkan oleh Allingham dan Sandmo (1972), Graetz dan Wilde (1985), serta Erich Kirchler (2007) memberikan kerangka analitis yang saling melengkapi untuk menjelaskan kompleksitas perilaku wajib pajak cukup menarik bila efektif diterapkan di Indonesia khususnya.

Secara khusus, misalnya, pada teori Allingham dan Sandmo (1972) yang menekankan pendekatan rasionalitas ekonomi, yaitu keputusan wajib pajak ditentukan oleh perbandingan antara manfaat menghindari pajak dan risiko dikenai sanksi apabila terdeteksi, relevan diterapkan di Indonesia sebagai dasar pembentukan kebijakan penegakan hukum.

Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa rasio audit terhadap jumlah wajib pajak masih sangat rendah, ditambah keterbatasan sumber daya manusia dan infrastruktur teknologi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sanksi perpajakan, meskipun telah diatur secara hukum, sering kali tidak dijalankan secara konsisten dan tidak menimbulkan efek jera yang memadai.

Akibatnya, kepatuhan yang didasarkan pada rasa takut menjadi kurang efektif. Hal ini juga diperburuk dengan adanya persepsi publik bahwa tindakan tegas lebih banyak menyasar pelaku UMKM atau wajib pajak individu kecil, sementara pelanggaran oleh korporasi besar atau elite ekonomi sering kali tidak tersentuh. Oleh sebab itu, pendekatan ini tetap penting namun membutuhkan penguatan melalui reformasi sistem audit berbasis risiko (risk-based audit), transparansi sanksi, dan konsistensi penegakan hukum terhadap semua lapisan wajib pajak tanpa pandang bulu.

Sementara itu, bila kita menelaah lebih dalam pada teori Graetz dan Wilde (1985) serta konsep yang ditawarkan pada teori Slippery Slope Framework dari Kirchler (2007) menawarkan pendekatan yang lebih sesuai dengan konteks sosial-politik Indonesia. Graetz dan Wilde (1985)  menekankan pentingnya faktor moral pajak (tax morale) dan persepsi keadilan dalam sistem perpajakan.

Di Indonesia, banyak wajib pajak yang memilih tidak patuh bukan karena perhitungan rasional terhadap risiko hukum, melainkan karena munculnya ketidakpercayaan terhadap institusi negara, persepsi bahwa pajak tidak digunakan untuk kepentingan publik, serta keteladanan yang buruk dari sebagian pejabat publik.

Hal ini diperkuat oleh kerangka kerja Kirchler (2007) yang menyatakan bahwa kepatuhan pajak akan meningkat jika terdapat keseimbangan antara kekuatan otoritas pajak (audit dan sanksi) dan tingkat kepercayaan wajib pajak terhadap institusi perpajakan. Oleh karena itu, strategi DJP tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan koersif, melainkan harus diimbangi dengan peningkatan kualitas layanan, edukasi publik, dan upaya transparansi dalam pengelolaan penerimaan negara.

Program reformasi perpajakan yang mengarah pada digitalisasi (seperti core tax administration system) adalah langkah tepat, tetapi akan sia-sia tanpa diiringi perubahan dalam budaya organisasi dan sikap pelayanan yang humanis.

Dalam masyarakat yang masih bersifat kolektif seperti Indonesia, norma sosial dan pengaruh lingkungan sekitar juga sangat menentukan perilaku kepatuhan. Maka, kolaborasi antara negara, sektor swasta, tokoh masyarakat, dan akademisi menjadi krusial untuk menumbuhkan ekosistem pajak yang sehat, adil, dan dipercaya. Kombinasi ketiga teori ini secara strategis dapat membentuk pendekatan yang menyeluruh: mendorong kepatuhan dengan kontrol yang kuat, memperkuat legitimasi sistem pajak, serta membangun kepercayaan jangka panjang antara negara dan warganya.

Refleksi atas Peran Strategis IKPI dalam Membangun Kepatuhan Pajak di Indonesia 

Sebagai penutup, penting rasanya membahas peran sentral IKPI sebagai fondasi penting akan pemenuhan kepatuhan perpajakan masyarakat dan Wajib Pajak di Indonesia secara luas, tidak hanya sebagai Organisasi profesi yang mewadahi para Konsultan Pajak, namun IKPI memiliki peranan sentral yang dalam mitra strategis pemenuhan kewajiban perpajakan di Indonesia.

Dalam lanskap perpajakan modern yang terus berubah, peran aktor non-pemerintah dalam memperkuat sistem perpajakan semakin diakui sebagai bagian penting dari tata kelola fiskal yang berkelanjutan. Salah satu aktor strategis tersebut adalah Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), yang merupakan organisasi profesi resmi dan independen yang mewadahi para konsultan pajak di Indonesia. Sebagai organisasi profesional, IKPI tidak hanya bertanggung jawab menjaga kompetensi dan integritas anggotanya, tetapi juga memiliki tanggung jawab etik dan sosial yang lebih luas dalam mendukung peningkatan kepatuhan pajak nasional.

Dalam posisi ini, IKPI dapat berfungsi sebagai jembatan penghubung yang kredibel antara wajib pajak dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), baik dalam aspek teknis, edukatif, maupun strategis. Peran IKPI menjadi sangat relevan ketika dikaji melalui kerangka pemikiran teoretis tentang kepatuhan pajak yang menekankan bahwa perilaku wajib pajak tidak hanya dipengaruhi oleh sanksi hukum, tetapi juga oleh kesadaran moral, persepsi keadilan, dan relasi sosial dengan institusi perpajakan.

Dari perspektif Tax Compliance Theory oleh Allingham dan Sandmo (1972), kepatuhan pajak lahir dari kalkulasi rasional antara manfaat menghindari pajak dan risiko hukuman jika ketahuan. Dalam konteks ini, IKPI memainkan peran teknokratik yang sangat penting, yaitu membantu wajib pajak memahami, mematuhi, dan menyesuaikan pelaporan perpajakan dengan peraturan yang berlaku.

Dengan kompleksitas regulasi perpajakan yang tinggi di Indonesia, baik dari sisi substansi hukum, dinamika perubahan kebijakan, maupun keterkaitan dengan sistem digital banyak wajib pajak yang kesulitan mengakses pemahaman yang memadai.

Di sinilah konsultan pajak yang tergabung dalam IKPI menjadi instrumen kunci untuk menutup kesenjangan informasi (compliance gap) yang sering kali justru menjadi akar ketidakpatuhan administratif, bukan karena niat jahat, tetapi karena minimnya literasi pajak. Kehadiran konsultan pajak profesional yang menjunjung integritas dapat meminimalisasi risiko pelanggaran pajak, sekaligus menghindari potensi sanksi yang merugikan wajib pajak dan negara.

Namun, pendekatan rasional semata tidak cukup menjelaskan seluruh aspek kepatuhan. Dalam perspektif Graetz dan Wilde (1985), kepatuhan tidak hanya bergantung pada risiko hukum, tetapi juga pada “tax morale”, yakni motivasi intrinsik untuk patuh terhadap kewajiban perpajakan karena alasan etis, sosial, dan budaya.

Di Indonesia, dengan karakter masyarakat yang kolektif dan sangat dipengaruhi oleh norma sosial, persepsi terhadap keadilan fiskal dan integritas institusi pajak menjadi faktor krusial. Jika wajib pajak melihat bahwa sistem perpajakan bersifat timpang, prosedurnya tidak transparan, atau pejabat publik tidak memberi keteladanan, maka moral pajak akan melemah, dan kepatuhan sukarela akan menurun.

Dalam hal ini, IKPI dapat menjalankan peran moral dan edukatif, yaitu membimbing kliennya untuk mematuhi pajak bukan hanya karena takut diperiksa, tetapi karena sadar bahwa membayar pajak adalah bagian dari kontribusi kolektif terhadap pembangunan nasional.

IKPI juga dapat mengadvokasi pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan pembaruan sistem yang adil, sekaligus menjadi bagian dari kontrol sosial dan teknokratik yang mendukung legitimasi sistem perpajakan nasional.

Selanjutnya, melalui kacamata Slippery Slope Framework yang dikembangkan oleh Erich Kirchler (2007), kepatuhan pajak merupakan hasil dari kombinasi antara kekuatan otoritas (power) dan kepercayaan (trust). DJP memiliki kekuatan hukum untuk memeriksa, menyanksi, dan menegakkan peraturan.

Namun, untuk meningkatkan kepatuhan jangka panjang yang berkelanjutan, kekuatan ini harus diimbangi dengan upaya membangun kepercayaan masyarakat terhadap integritas dan efektivitas institusi perpajakan.

Di sinilah posisi IKPI menjadi sangat strategis sebagai co-creator trust. Konsultan pajak berada dalam posisi unik berinteraksi langsung dengan wajib pajak dan memahami sistem internal DJP, sehingga dapat memainkan fungsi diplomatik dan edukatif yang tidak bisa dilakukan sepenuhnya oleh negara.

Melalui pelayanan profesional, komunikasi yang etis, dan komitmen pada integritas, anggota IKPI dapat membentuk persepsi publik bahwa sistem perpajakan bukan alat pemaksaan, melainkan sarana kerja sama antara negara dan masyarakat. IKPI juga bisa mendorong DJP untuk meningkatkan kualitas layanan, menyederhanakan prosedur, dan meminimalkan ruang abu-abu yang bisa mengikis kepercayaan publik.

Refleksi atas peran IKPI dalam konteks ketiga teori ini menunjukkan bahwa kolaborasi antara DJP dan organisasi profesi seperti IKPI bukan hanya bersifat administratif atau teknis, tetapi merupakan bagian dari strategi kebijakan nasional untuk memperkuat struktur fiskal negara.

Dalam kondisi penerimaan negara yang semakin bergantung pada pajak, dan tekanan fiskal yang meningkat karena kebutuhan pembiayaan pembangunan, keberadaan konsultan pajak yang profesional, independen, dan berintegritas menjadi salah satu penopang utama. Maka, penting bagi IKPI untuk terus memperkuat kapabilitas anggotanya melalui pelatihan berkelanjutan, pembinaan etik profesi, serta keterlibatan aktif dalam reformasi perpajakan nasional.

Sinergi antara DJP dan IKPI akan menjadi model kemitraan yang menunjukkan bahwa keberhasilan sistem pajak tidak hanya ditentukan oleh seberapa keras negara menegakkan hukum, tetapi juga oleh seberapa besar masyarakat, melalui para profesionalnya, bersedia menjadi bagian dari ekosistem pajak yang adil, berkelanjutan, dan dipercaya.

SUMBER REFERENSI

Allingham, M. G., & Sandmo, A. (1972). Income tax evasion: A theoretical analysis. Journal of Public Economics, 1(3–4), 323–338. https://doi.org/10.1016/0047-2727(72)90010-2ScienceDirect+4SCIRP+4EconPapers+4

Graetz, M. J., & Wilde, L. L. (1985). The economics of tax compliance: Fact and fantasy. National Tax Journal, 38(3), 355–363.CaltechAUTHORS+3CaltechAUTHORS+3IDEAS/RePEc+3

Kirchler, E. (2007). The economic psychology of tax behaviour. Cambridge University Press.Google Scholar+3SCIRP+3Universität Wien+3

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2024, Januari 2). Pendapatan negara tahun 2024 tumbuh positif. https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/Pendapatan-Negara-Tahun-2024-Tumbuh-Positif

 

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Kota Bekasi/Mahasiswa Program Doktoral Keuangan Universitas Brawijaya/Dosen Universitas Nasional

M. Abdul Rahman

Email: rahman@rahman-muhaimin.com,

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

en_US