Penerapan Aplikasi Coretax Resmi Dimulai, IKPI Soroti Kendala dan Berikan Masukan kepada DJP

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pino Siddharta, menyampaikan pandangannya terkait penerapan aplikasi Coretax yang resmi berjalan sejak 1 Januari 2025. Langkah ini dianggap sebagai upaya pamungkas pemerintah dalam menciptakan sistem administrasi perpajakan yang modern, akurat, sistematis, dan terintegrasi, dengan mengacu pada single identification number.

Menurut Pino, Coretax memungkinkan administrasi perpajakan dilakukan secara real-time melalui sistem online yang terhubung langsung dengan server Direktorat Jenderal Pajak (DJP), tanpa batasan waktu dan tempat.

Sekadar informasi, hingga kini data milik DJP sudah terhubung dengan 106 perbankan; 9 entitas lain di kementerian keuangan; 190 kementerian dan lembaga (K/L); 38 pemerintah provinsi; 98 pemerintah kota; 416 pemerintah kabupaten; serta 20 entitas lain, seperti badan usaha milik negara nonperbankan, perusahaan fintech, dan marketplace. Hal ini diharapkan mampu menyederhanakan proses administrasi perpajakan.

Lebih lanjut Pino mengatakan, meskipun sudah berjalan selama 16 hari, berbagai kendala teknis masih ditemui dalam penerapan sistem ini. “Beberapa masalah seperti server DJP yang error, menu yang belum dapat diakses, hingga data yang belum sinkron dengan data AHU Kemenkumham menjadi sumber kekhawatiran wajib pajak dan konsultan pajak. Walau DJP telah berupaya keras mengatasi masalah ini, situasi ini tetap menambah tekanan bagi kedua belah pihak,” ujar Pino di Jakarta, Kamis (16/1/2025).

Untuk mengurangi dampak tersebut, DJP telah mengeluarkan Peraturan Dirjen Pajak No. 1 Tahun 2025, yang memberikan masa transisi tiga bulan (1 Januari – 31 Maret 2025) terkait pembuatan faktur pajak, khususnya untuk barang non-mewah. Dalam masa ini, wajib pajak dapat memilih dasar pengenaan pajak (DPP) yang digunakan, baik dengan tarif lama 11% maupun tarif baru 12%.

Namun, Pino mengusulkan langkah tambahan berupa penerapan masa kahar (force majeure) selama aplikasi Coretax belum sepenuhnya berfungsi dengan optimal. “Masa kahar ini diperlukan agar DJP membebaskan sanksi perpajakan akibat keterlambatan yang disebabkan oleh kendala aplikasi Coretax. Hal ini akan memberikan rasa keadilan bagi wajib pajak yang sudah berusaha menjalankan kewajibannya,” jelasnya.

IKPI melalui departemen terkait telah mengumpulkan masukan dari anggotanya terkait implementasi Coretax. Hingga 13 Januari 2025, tercatat 34 permasalahan yang dihadapi wajib pajak dan konsultan pajak. Laporan tersebut telah disampaikan kepada DJP pada 14 Januari 2025 untuk ditindaklanjuti.

Pino menegaskan bahwa IKPI sebagai mitra strategis pemerintah akan terus mengawasi dan memberikan masukan demi kemajuan sistem perpajakan nasional. “Kami akan terus menyampaikan kendala yang dihadapi wajib pajak agar Coretax bisa menjadi sistem yang lebih baik dan mendukung penerimaan pajak dengan tetap menjunjung asas keadilan, kepastian hukum, dan kemudahan administrasi,” ujarnya.

Langkah penerapan Coretax ini diharapkan dapat menjadi pondasi bagi modernisasi perpajakan Indonesia meskipun tantangan di awal implementasi tidak dapat dihindari. Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan diimbau untuk terus bersinergi demi tercapainya sistem perpajakan yang lebih baik dan berkelanjutan. (bl)

en_US