Pemajakan Dividen Tak Cerminkan Prinsip Kesetaraan

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen Hubungan Luar Negeri Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menilai pemajakan atas distribution of profit to shareholder (dividen) di Indonesia bukanlah objek pajak yang bersifat final (general principle). Alasannya, dividen merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 UU Pajak Penghasilan dengan tarif 15 persen.

“Mengingat aturan yang demikian, pajak penghasilan Pasal 23 UU PPh atas dividen sebesar 15 persen tersebut merupakan ‘prepaid tax’ sehingga pada akhirnya pajak tersebut dapat dikreditkan dengan kewajiban pajak yang dihitung pada akhir tahun,” kata Arsono dalam keterangan tertulisnya, Minggu (3/12/2023).

Menurutnya, penerapan general principle atas penghasilan dividen sebagaimana yang demikian akan menciptakan “economic double taxations”.

Pertama, pengenaan pajak atas taxable profit pada level corporate. Kedua pengenaan pajak saat profit after taxes tersebut dibagikan sebagai dividen, dikenakan kembali pada level shareholders.

Untuk meminimalkan double taxes tersebut; maka dalam hal dividen tersebut dibagikan kepada badan (corporate) yang kemudian dikenal intercompany dividen, maka dividen tersebut diklasifikasi sebagai bukan objek pajak (lihat Pasal 4 ayat 3) huruf f UU Pajak Penghasilan)

Namun demikian, kata Arsono, dalam hal penghasilan berupa dividen yang diterima oleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri (kemudian diperluas kepada koperasi sebagai wujud keberpihakan negara kepada koperasi), BUMN, BUMD. “Perseroan terbatas diperluas kepada BUMN dan BUMD dengan syarat shareholding pada perusahaan yang membayarkan dividen paling rendah 25% dari jumlah yang disetor, dan dividen tersebut bukan merupakan objek pajak,” ujarnya.

Lebih lanjut dia mengungkapkan, bahwa kemudian dengan pertimbangan kemudahan administrasi, atas dividen yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi (dalam negeri) merupakan objek pajak sebesar 10 persen, itulah pajak yang bersifat final.

Dalam situasi demikian kata Arsono, nantinya akan berujung pada hasil akhir yang berbeda. Artinya dalam hal penerima merupakan wajib pajak pribadi dalam negeri.

Dengan demikian terjadinya economic double taxation tidak bisa dihindarkan. (lihat Peraturan Pemerintah Nomor 19/2009 tentang Pajak Penghasilan atas Dividen Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri).

“Situasi dan pengaturan yang demikian merupakan perlakuan belum menggambarkan prinsip kesetaraan ‘unequal treatment’ meskipun penerima penghasilan dividen sangat bisa jadi berada pada situasi yang setara ‘comparable circumstance’ sehingga saya mengartikan pengaturan yang demikian belum memberikan kebebasan dalam berinvestasi ‘free movement of capital’ bagi business operator),” katanya.

Dia menegaskan, di dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 pengaturan Pasal 4 ayat 3) huruf f) semakin diperluas yakni

dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak a) orang pribadi dalam negeri sepanjang dividen tersebut diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu; dan/atau b) badan dalam negeri;

dividen yang berasal dari luar negeri dan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri atau Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu, dan memenuhi persyaratan berikut a) dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan tersebut paling sedikit sebesar 30 persen dari laba setelah pajak; atau b) dividen yang berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek diinvestasikan di Indonesia sebelum Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas dividen tersebut sehubungan dengan penerapan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

“Kita mesti mengakui upaya meminimalkan terjadinya double taxation terus diupayakan sehingga system pemajakan atas distribution of profit to shareholder menjadi lebih efisien. Sesuatu yang patut diapresiasi,” ujarnya.

Namun demikian, Arsono mengimbau bahwa pengaturan tersebut masih perlu lebih disempurnakan. Tujuannya, agar free movement of capital dapat terjamin sehingga cita cita ASEAN sebagai Epicentrum of Growth bisa terwujud. (bl)

 

en_US