Efisiensi PPN Indonesia Masih Rendah, AMRO Dorong Reformasi Ambang Batas dan Pengecualian Pajak

IKPI, Jakarta: ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) mengkritisi performa pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Indonesia yang masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga di kawasan. Dalam laporan terbarunya, AMRO menilai rendahnya efisiensi PPN nasional dipicu oleh kebijakan pengecualian pajak yang terlalu luas dan ambang batas registrasi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang dinilai terlalu tinggi.

“Efisiensi PPN Indonesia tetap rendah dibandingkan beberapa negara tetangga, terutama karena banyaknya barang dan jasa yang dikecualikan,” tulis AMRO dalam laporan yang dikutip Senin (22/6/2025).

Efisiensi tersebut diukur melalui rasio C-efficiency—perbandingan antara penerimaan aktual PPN dengan potensi maksimalnya. Data AMRO mencatat, Indonesia hanya mampu mencatat C-efficiency sebesar 46,3% selama pandemi 2019–2020, turun dari rata-rata 53,4% pada periode 2014–2019.

Meskipun tren meningkat sejak 2021 seiring pemulihan ekonomi, performa Indonesia masih tertinggal jauh dibanding Thailand dan Vietnam.

“Rendahnya C-efficiency juga menunjukkan bahwa potensi penerimaan PPN belum dimanfaatkan secara optimal, baik karena pengecualian pajak maupun kelemahan dalam sistem pemungutan,” ujar AMRO.

Lebih lanjut, AMRO menggarisbawahi membengkaknya belanja perpajakan pemerintah yang diproyeksikan mencapai Rp445,5 triliun pada 2025 atau setara 1,83% dari PDB. Angka ini meningkat 11,4% dibanding tahun sebelumnya. Dari total tersebut, insentif PPN menjadi penyumbang terbesar dengan nilai Rp265,6 triliun atau sekitar 1% dari PDB.

Selain itu, ambang batas omzet tahunan untuk wajib registrasi PKP yang ditetapkan sebesar Rp4,8 miliar (sekitar US$315.100) turut dinilai sebagai penghambat perluasan basis pajak. Bandingkan dengan negara-negara seperti Vietnam, Thailand, dan Filipina yang memberlakukan batas jauh lebih rendah, bahkan di bawah US$55.000.

Meskipun kebijakan ini awalnya ditujukan untuk mendorong UMKM dan mempermudah kepatuhan pajak, praktiknya kerap dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk menghindari kewajiban PPN dengan cara sengaja membatasi omzet.

“Ambang batas yang tinggi justru mendorong pelaku usaha menjaga pendapatan mereka di bawah Rp4,8 miliar. Ini mempersempit basis pajak dan memperlambat pertumbuhan bisnis,” tambah AMRO.

Sebagai solusi, AMRO merekomendasikan agar Indonesia melakukan reformasi menyeluruh terhadap kebijakan pengecualian PPN dan mempertimbangkan penurunan ambang batas registrasi PKP.

“Menurunkan ambang batas akan memperluas basis pajak, mengurangi penghindaran, serta meningkatkan kepatuhan dan penerimaan negara secara keseluruhan,” tulis lembaga riset tersebut. (alf)

 

en_US