Bappebti bersama Stakeholder Lanjut Bahas Evaluasi Pajak Kripto

IKPI, Jakarta: Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) melanjutkan pembahasan evaluasi pajak kripto dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder), termasuk Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo).

Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditi Bappebti Tirta Karma Senjaya mengatakan pembahasan secara internal akan dilakukan setelah adanya tanggapan dari pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan terkait evaluasi pajak kripto.

“Ada (pembahasan), kita nanti (membahas) dengan Pak Robby, Ketua Aspakrindo nanti supaya satu suara. Kemarin juga kan sudah dibicarakan di berita, Ditjen Pajak sudah menanggapi ya, kemarin mereka siap untuk bicara. Kalau begini kan, mereka sudah (memberikan) lampu hijau, kita juga enak ya masuknya seperti itu,” kata Tirta seperti dikutip dari AntaraNews.com, Jumat (15/3/2024)

Tirta menilai, pengenaan pajak terhadap aset kripto perlu dievaluasi ulang mengingat industri kripto di Indonesia saat ini masih tergolong baru. Industri yang masih baru tersebut seharusnya diberi ruang untuk bertumbuh.

Dalam pembahasan nanti, rencananya Bappebti akan mempertimbangkan untuk mengusulkan nilai pajak setengah dari pajak kripto yang berlaku saat ini.

“Sebelum ditetapkan itu (pajak kripto) kan, dulu usulan dari kita sebenarnya setengahnya ya, mungkin ada yang pernah mencatat usulan itu, jadi itu setengahnya. Jadi 0,05 (persen) dan 0,055 (persen),” ujar Tirta.

Pemerintah resmi menetapkan pajak untuk aset kripto melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor 68/PMK.03/2022 yang berlaku sejak 1 Mei 2022.

PMK tersebut mengatur tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi perdagangan aset kripto.

PPh untuk penjual aset kripto tercatat sebesar 0,1 persen dari nilai transaksi, dan PPN yang dikenakan sebesar 0,11 persen dari nilai transaksi.

Sementara itu, bagi yang belum terdaftar di Bappebti, pungutan pajaknya lebih tinggi yakni PPh 0,2 persen dan PPN sebesar 0,22 persen.

Tirta juga menyampaikan bahwa pajak yang dikenakan dalam industri kripto di Indonesia akan turut berdampak terhadap nilai transaksi kripto di dalam negeri.

Pasalnya, dengan penetapan PPn dan PPh terhadap transaksi kripto mengakibatkan banyak para nasabah yang bertransaksi kripto di luar negeri.

“Kalau dikenakan (pajak) langsung besar, industri kripto Indonesia masih embrio. Secara keseluruhan industri kripto masih baru. Industri yang masih baru perlu diberi ruang untuk bertumbuh,” kata Tirta dalam Talk Show tentang Ekosistem Kripto oleh Indodax, Selasa (27/2/2024).

Untuk itu, bertepatan dengan proses peralihan pengawasan aset kripto dari Bappebti ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maka diharapkan juga menjadi momentum evaluasi untuk aturan pajak aset kripto. (bl)

DJP Himpun Rp 22,18 Triliun Penerimaan Pajak Digital

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menghimpun penerimaan pajak sebesar Rp22,18 triliun dari sektor usaha ekonomi digital per 29 Februari 2024.

“Hingga 29 Februari 2024, pemerintah mencatat penerimaan dari sektor usaha ekonomi digital sebesar Rp22,179 triliun,” kata Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti seperti dikutip dari AntaraNews.com, Jumat (15/3/2024).

Nilai tersebut terdiri atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebesar Rp18,15 triliun, Pajak Kripto Rp539,72 miliar, Pajak Fintech (P2P Lending) Rp1,82 triliun, dan pajak yang dipungut oleh pihak lain atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (pajak SIPP) Rp1,67 triliun.

Sementara itu, sampai dengan Februari 2024 pemerintah telah menunjuk 167 pelaku usaha PMSE menjadi pemungut PPN. Jumlah tersebut termasuk empat penunjukan pemungut PPN PMSE dan satu pembetulan atau perubahan data pemungut PPN PMSE.

Penunjukan di bulan Februari 2024 yaitu Tencent Cloud International Pte. Ltd., Blacklane GmbH, Razer Online Pte Ltd, dan Social Online Payments Limited. Adapun pembetulan di bulan Februari 2024 yaitu Coda Payments Pte. Ltd.

Dari keseluruhan pemungut yang telah ditunjuk, 153 PMSE telah melakukan pemungutan dan penyetoran PPN PMSE sebesar Rp18,15 triliun.

Jumlah tersebut berasal dari Rp731,4 miliar setoran tahun 2020, Rp3,90 triliun setoran tahun 2021, Rp5,51 triliun setoran tahun 2022, Rp6,76 triliun setoran tahun 2023, dan Rp1,24 triliun setoran tahun 2024.

Sedangkan penerimaan Pajak Kripto senilai Rp539,72 miliar tersebut berasal dari Rp246,45 miliar penerimaan tahun 2022, Rp220,83 miliar penerimaan tahun 2023, dan Rp72,44 miliar penerimaan 2024.

Penerimaan itu terdiri atas Rp254,53 miliar penerimaan PPh 22 atas transaksi penjualan kripto di exchanger dan Rp285,19 miliar penerimaan PPN DN atas transaksi pembelian kripto di exchanger.

Kemudian, sumber penerimaan pajak fintech (P2P lending) berasal dari Rp446,40 miliar penerimaan tahun 2022, Rp1,11 triliun penerimaan tahun 2023, dan Rp259,35 miliar penerimaan tahun 2024.

Pajak Fintech terdiri atas PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima wajib pajak dalam negeri (WPDN) dan bentuk usaha tetap (BUT) sebesar Rp596,1 miliar, PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima wajib pajak luar negeri (WPLN) sebesar Rp219,72 miliar, dan PPN DN atas setoran masa sebesar Rp999,5 miliar.

Penerimaan pajak atas usaha ekonomi digital lainnya berasal dari penerimaan pajak SIPP, yang berasal dari Rp402,38 miliar penerimaan tahun 2022, sebesar Rp1,1 triliun penerimaan tahun 2023, dan Rp151,27 miliar penerimaan tahun 2024. Penerimaan pajak SIPP terdiri dari PPh sebesar Rp113,85 miliar dan PPN sebesar Rp1,56 triliun.

Dalam rangka menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha (level playing field) bagi pelaku usaha baik konvensional maupun digital, pemerintah masih akan terus menunjuk para pelaku usaha PMSE yang melakukan penjualan produk maupun pemberian layanan digital dari luar negeri kepada konsumen di Indonesia.

Selain itu, pemerintah akan menggali potensi penerimaan pajak usaha ekonomi digital lainnya seperti pajak kripto atas transaksi perdagangan aset kripto, pajak fintech atas bunga pinjaman yang dibayarkan oleh penerima pinjaman, dan pajak SIPP atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah. (bl)

Tolak Kenaikan PPN, Apindo: Pemerintah Harusnya Memperluas Cakupan Wajib Pajak

IKPI, Jakarta: Para pengusaha meminta pemerintah untuk mengurus perusahaan informal yang belum membayar pajak, ketimbang menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) pada 2025 sebesar 12%.

“Jadi sebetulnya target yang sebenarnya pemerintah harus lakukan ekstensifikasi, itu menambah jumlah base pembayar pajak,” kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Jumat (15/3/2024).

Shinta mengatakan, kebijakan ekstensifikasi atau perluasan cakupan wajib pajak harus dilakukan saat ini karena perusahaan informal masih sangat banyak. Akibatnya, mereka tak tercakup ke dalam perusahaan yang harus membayar pajak.

Apalagi, ia melanjutkan, dengan arah kebijakan PPN yang sebetulnya menyasar konsumsi masyarakat, malah bisa menekan daya beli. Dengan begitu, akan berimplikasi pada semakin menurunnya penjualan produk-produk industri, karena pembelinya makin sedikit.

“Dengan besarnya kelompok informal di Indonesia, ini yang agak sulit. Maka, bagaimana caranya mereka bisa masuk ke formal supaya bayar pajak, sebetulnya kuncinya di situ, karena kenaikan PPN ini cuma pengalihan ke konsumen,” ucapnya.

Meski begitu, Shinta mengakui, kenaikan PPN itu sudah menjadi amanat Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10% diubah menjadi 11% mulai berlaku pada 1 April 2022. Lalu, kembali dinaikkan menjadi sebesar 12% paling lambat pada 1 Januari 2025.

Kendati begitu, pemerintah memiliki kewenangan untuk mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5% dan maksimal 15% melalui penerbitan peraturan pemerintah atau PP setelah dilakukan pembahasan dengan DPR, sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat 3 UU PPN.

“Cuma dengan kondisi sekarang ini memang pasti akan berdampak ke daya beli, karena itu kan basic-nya nanti kenaikan PPN kan, ini kan ke konsumen, jadi akan pengaruh ke daya beli konsumen,” ungkap Shinta.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya sudah mengakui sulit menaikkan angka rasio pajak di Indonesia yang tertinggal jauh dari negara-negara tetangga, seperti Thailand dan Filipina. Sebab, 47% sektor ekonomi tak masuk sebagai wajib pajak, termasuk industri informal.

Rasio pajak pu tercatat turun ke posisi 10,21% dari PDB pada 2023. Sebelumnya, rasio pajak tercatat mencapai 10,39% pada 2022. Angka tersebut naik 9,12% pada 2021.

“Kita tahu Indonesia masih kesulitan untuk meningkatkan tax ratio (rasio pajak),” ungkap Sri Mulyani dalam Mandiri Investment Forum 2024 di Hotel Fairmont, Jakarta, dikutip Rabu (6/3/2024).

Oleh sebab itu, ia menekankan letak permasalahan peningkatan tax ratio di Indonesia ada pada basis perpajakan. Sebanyak 47% perekonomian di Indonesia yang tidak masuk dalam basis perpajakan di Indonesia. Alhasil, Indonesia hanya mengandalkan 53% dari basis pajak.

“Intinya dari pengumpulan atau penagihan pajak, kita hanya mengandalkan 53 persen. Ini terjadi bukan saja karena banyak ekonomi informal di Indonesia, tapi juga banyak pengecualian perpajakan di mana kegiatan-kegiatan ekonomi masih belum dikenakan pajak, yang diatur dalam kebijakan dan regulasi. Ini juga terjadi karena kami memberikan sejumlah insentif,” paparnya. (bl)

DJP Catat 7,48 Juta Wajib Pajak Sudah Lapor SPT

IKPI, Jakarta: Jumlah wajib pajak yang telah melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan terus meningkat.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyampaikan bahwa sudah 7,48 juta wajib pajak yang melaporkan SPT Tahunan hingga 12 Maret 2024. Jumlah tersebut terdiri dari 226,67 ribu SPT Tahunan PPh Badan dan 7,25 juta SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti mengatakan, jumlah tersebut meningkat 1,83% secara tahunan (yoy).

Dwi pun mengimbau para wajib pajak untuk segera melaporkan SPT Tahunan mereka melalui berbagai kanal yang telah disediakan. Karena penyampaian laporan SPT lebih awal, akan membuat wajib pajak lebih nyaman.

“Kami telah menyediakan sejumlah opsi untuk melaporkan SPT secara elektronik, seperti melalui e-filling maupun e-form,” kata Dwi seperti dikutip dari Antara, Kamis (14/3/2024).

Kendati demikian, Ditjen Pajak tetap menerima laporan SPT yang dilakukan secara manual. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan jumlah wajib pajak yang menyampaikan laporan SPT Tahunan. (bl)

 

Pengusaha Karaoke Perbaiki Permohonan Uji Ketentuan Pajak Hiburan

IKPI, Jakarta: Sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) terhadap UUD 1945 kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Rabu (13/3/2024) dengan agenda Perbaikan Permohonan. Perkara Nomor 31/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Santoso Setyadji, seorang pengusaha karaoke keluarga. Dalam hal ini, Pemohon menguji ketentuan Pasal 58 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 58 UU HKPD.

Sebagaimana diketahui, Pemerintah resmi menetapkan tarif efektif pajak penghasilan Pasal 21 (PPh 21) yang berlaku mulai 1 Januari 2024. Ketentuan ini telah diatur dalam Pasal 58 ayat (2) UU HKPD. Pasal 58 ayat (2) UU HKPD menyatakan, “Khusus tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen)”.

Seperti dikutip dari website resmi MK, dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Arsul Sani, Pemohon yang diwakili oleh Annee William Siadari menyampaikan telah melakukan penyempurnaan terkait surat kuasa khusus mengenai tanda tangan kuasa pemberi kuasa telah diperbaiki dan diganti. “Terhadap alat bukti kami juga menambahkan taxpayer pemohon yang meliputi NPWP pemohon, surat setoran pajak dan bukti pembayaran PBJT,” terangnya.

Kemudian, kuasa hukum Pemohon lainnya, Adong menyebut terdapat pada bagian kedudukan hukum. Dalam perbaikan, Pemohon telah menguraikan dasar yang berdasarkan fakta. Sedangkan alasan permohonan, ruang lingkup ketentuan hukum yang diuji masih seperti semula.

Sebelumnya, Pemohon mendalilkan pasal a quo inkonstitusional. Pemohon menilai sebelumnya dalam UU HKPD terdapat perubahan tarif PBJT terhadap jasa kesenian dan hiburan yang sifatnya diskriminatif. Sebelum berlakunya ketentuan tersebut, pelaku usaha telah membayar pajak kepada pemerintah daerah sesuai peraturan yang berlaku. Pemohon menyatakan tarif PBJT terbaru akan berpengaruh terhadap konsumen yang dikenakan pajak PBJT minimal 40% dari jumlah konsumsi jasa karaoke yang digunakan. Menurut Pemohon, konsumen akan memperhitungkan nilai sejumlah biaya yang harus dibayarkan atas konsumsi barang dan/atau jasa yang telah dikonsumsi karena belum termasuk pengenaan pajak yang tinggi.

Untuk itu, Pemohon meminta MK menambah kata/frasa “dikecualikan terhadap karaoke keluarga” dalam pasal 58 ayat (2) yang berbunyi “Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen)” dan Pasal 58 Undang-Undang No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (bl)

THR 2024 Kena Potongan TER Bulanan PPh 21

IKPI, Jakarta: Guyuran uang Tunjangan Hari Raya (THR) pada tahun ini tampaknya belum akan mendorong konsumsi rumah tangga pada kuartal II-2024 secara signifikan.

Pasalnya, karyawan dengan status pegawai tetap harus bersiap untuk menerima potongan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 yang lebih besar pada bulan ini.

Apabila pegawai tetap menerima THR pada Maret 2024, maka akan dikenai PPh Pasal 21 dengan tarif efektif bulanan yang lebih besar jika dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya.

Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023, besaran PPh Pasal 21 dihitung dengan mengalikan tarif efektif bulanan PP 58/2023 dengan jumlah penghasilan bruto yang diterima pegawai tetap dalam satu masa pajak.

Nah, penghasilan teratur dan penghasilan tidak teratur yang diterima karyawan tidak dapat dipisahkan dalam penghitungan pajak, sehingga kedua jenis penghasilan tersebut dijumlahkan dan dikenai pemotongan sebesar tarif efektif rata-rata (TER).

Artinya, jika pegawai tetap menerima penghasilan tidak teratur seperti THR dan bonus dalam suatu masa pajak, maka penghasilan tersebut digabungkan ke dalam penghasilan bruto kemudian dikalikan dengan TER bulanan sesuai status PTKP dari pegawai tetap yang menerima penghasilan.

Misalnya, seorang pegawai tetap bernama Tuan X (TK/0) menerima penghasilan bruto dari pemberi kerja senilai Rp 8 juta sebulan pada masa pajak Februari 2024. Atas penghasilan bruto tersebut, maka Tuan X dikenai PPh Pasal 21 dengan tarif efektif bulanan kategori A sebesar 1,5%.

Kemudian, pada masa pajak Maret 2024, Tuan X menerima THR satu kali gaji sehingga penghasilan bruto yang diterima Tuan X menjadi Rp 16 juta. Oleh karena itu terdapat perubahan tarif, di mana tarif efektif bulanan kategori A atas penghasilan bruto senilai Rp 16 juta adalah 7%.

Namun perlu diingat, penerapan tarif efektif ini tidak menimbulkan perbedaan beban pajak dalam satu tahun untuk seluruh tingkat penghasilan dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya.

Meski begitu, banyak para karyawan yang mengeluh di media sosial X (twitter) mengenai besarnya potongan pajak pada bulan Maret 2024 lantaran adanya THR.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) Fajry Akbar sependapat bahwa potongan PPh Pasal 21 pada saat menerima THR akan lebih besar, sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap jumlah uang atau penghasilan yang diterima oleh karyawan.

“Bergantung seberapa besar dampaknya. Kalau kemudian TER ini berpengaruh besar terhadap jumlah uang yang diterima nanti, saya kira perlu sosialisasi bersama,” ujar Fajry seperti dikutip dari Kontan.co.id, Kamis (14/3/2024).

Dia melihat, ada kenaikan beban pajak secara signifikan sehingga hal ini akan berpengaruh pula terhadap belanja dari THR tersebut.

“Ada kenaikan beban pajak secara signifikan meski dalam satu tahun tetap sama. Kenaikan ini akan mempengaruhi jumlah bersih yang diterima pegawai. Dengan begitu spending-nya akan berkurang. Meski tidak semua pegawai dampaknya akan sama,” kata dia.

Padahal, kata Fajry, momen Lebaran memiliki dampak yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Namun dengan penghasilan yang diterima setelah dipotong pajak akan berkurang, maka belanja dari uang THR juga tidak akan signifikan mendorong perekonomian.

“Tentu kita semua ingin merayakan hari raya dari THR yang didapatkan, terlebih lagi hari raya punya dampak ekonomi yang signifikan, waktunya orang spending,” imbuh Fajry.

Senada, Konsultan Pajak di PT Botax Consulting Indonesia Raden Agus Suparman menyampaikan bahwa melalui skema TER maka potongan pajak pada Maret 2024 akan lebih besar jika dibandingkan bulan sebelumnya lantaran adanya pemberian THR.

“Jadi dengan nominal yang sama dengan tahun lalu, THR yang diterima pegawai kemungkinan sekarang lebih besar,” ujar Raden.

Apalagi dengan kondisi kenaikan harga-harga kebutuhan pokok saat ini, potongan pajak tersebut akan sangat dirasakan oleh karyawan.

“Apalagi sekarang diiringi dengan kenaikan harga kebutuhan pokok akibat siklus musim yang bergeser, pasti akan dirasakan oleh pegawai lebih besar,” kata Raden.

Meski begitu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Dwi Astuti menjelaskan, pemberian THR, bonus maupun penambah penghasilan bruto lainnya yang termasuk ke dalam objek pajak pada komponen penghasilan pegawai akan mengakibatkan bertambahnya jumlah pajak yang dipotong pada masa atau tahun pajak tersebut.

Namun, Dwi menegaskan, PMK 168/2023 pada dasarnya sudah mengantisipasi agar jumlah pajak yang dipotong setiap bulan mendekati jumlah pajak terutang selama setahun dengan catatan pihak pemberi kerja menerapkan aturan perhitungan secara konsisten.

Artinya, apabila terjadi perubahan besarnya penghasilan pada bulan tertentu, pihak pemberi kerja harus segera melakukan penyesuaian penghitungan.

“Namun, apabila memang terjadi kelebihan pemotongan pajak yang terutang, maka dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya,” ujar Dwi kepada Kontan.co.id, Selasa (12/3).

Dwi menyebut, penerapan TER tidak akan mengakibatkan adanya tambahan beban pajak baru. Penerapan tarif efektif bulanan bagi pegawai tetap hanya digunakan untuk melakukan penghitungan PPh Pasal 21 untuk masa pajak selain masa pajak terakhir, sedangkan penghitungan PPh Pasal 21 setahun di masa pajak terakhir tetap menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh.

Nah, pada masa pajak terakhir akan dilakukan penghitungan dengan tarif Pasal 17 ayat (1) UU PPh yang akan menghasilkan jumlah PPh terutang selama setahun menjadi sama apabila dihitung tanpa penerapan tarif efektif.

“Artinya sepanjang tidak ada perubahan Penghasilan Kena Pajak (PKP), maka PPh terutang dalam setahun totalnya akan sama dengan PPh terutang sebelum diterapkannya tarif efektif,” kata Dwi. (bl)

Deadline Lapor SPT Orang Pribadi 31 Maret, Segera Lapor Secara Online!

IKPI, Jakarta: Tenggat waktu atau deadline melaporkan surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak 2023 ditetapkan pada 31 Maret 2024. Adapun, wajib pajak pribadi bisa melaporkan SPT secara online dengan mengakses layanan DJP Online pada website https://djponline.pajak.go.id/.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Dwi Astuti caranya melapor SPT sangat mudah karena tidak datang ke kantor pajak, cukup online saja pada website https://djponline.pajak.go.id/. Wajib pajak bisa menggunakan fitur e-Form maupun e-Filling.

Dwi mengatakan khusus untuk pelaporan SPT melalui layanan e-filling, wajib pajak dapat mengisi dan mengirim SPT tahunan dengan mudah dan efisien. Adapun, wajib pajak cukup mengisi formulir elektronik di layanan pajak online. Karena bersifat online, maka layanan pajak ini dapat diakses dimanapun dan kapanpun sehingga penyampaian SPT dapat dilakukan setiap saat selama 24 jam.

Ditjen Pajak mengingatkan bagi WP orang pribadi berstatus pegawai, ada dua jenis formulir yang harus dipilih berdasarkan besaran penghasilannya selama setahun, yakni formulir 1770 dan formulir 1770 S. WP dapat mengisi formulir tersebut melalui laman DJP Online.

Adapun perbedaan masing-masing formulir yakni formulir 1770 diperuntukkan untuk WP yang berpenghasilan di bawah Rp 60 juta, sedangkan untuk yang berpenghasilan di atas Rp 60 juta per tahun menggunakan formulir 1770 S.

Berikut ini, cara wajib pajak mengisi formulir secara online:

1. Wajib pajak masuk ke laman resmi DJP Online, www.pajak.go.id melalui handphone ataupun laptop.

2. Login dengan memasukkan nomor NIK/NPWP dan password serta kode keamanaan.

3. Jika sudah login, maka klik lapor dan pilih e-filing serta buat SPT.

4. Setelah itu akan ada opsi pengisian formulir SPT yang diberikan kepada anda baik 1770 dan 1770 S. Pilih yang sesuai dengan penghasilan anda per tahun.

5. Isi formulir berdasarkan tahun pajak dan status SPT dan klik langkah selanjutnya.

6. Di sini anda akan diarahkan untuk mengisi data langkah demi langkah yang terdiri dari 18 tahap. Mulai isi data terkait penghasilan final, harta yang dimiliki hingga akhir tahun pajak, hingga daftar utang yang dimiliki pada tahun pajak tersebut.

7. Jika Anda tidak memiliki utang pajak dan lainnya maka akan muncul status SPT Anda, yakni nihil, kurang bayar, atau lebih bayar. Kemudian, lakukan isi SPT sesuai dengan status.

8. Jika telah selesai maka klik tombol setuju dan kode verifikasi akan dikirimkan ke alamat email atau nomor telepon terdaftar.

9. Masukkan kode verifikasi yang dikirimkan dan klik tombol kirim SPT.

10. Lalu, wajib pajak akan mendapatkan tanda terima elektronik SPT Tahunan yang dikirimkan ke email.

Ekonom Sebut Kenaikan PPN 12 Persen Lahirkan Orang Miskin Baru

IKPI, Jakarta: Ekonom mengkhawatirkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Mereka khawatir itu akan menimbulkan permasalahan.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan kebijakan tersebut akan membebani masyarakat terutama kelas menengah. Pasalnya kenaikan tarif PPN bisa lebih tinggi dari kenaikan upah.

“Jadi bisa dibayangkan mencari kerja sekarang sulit, persaingan semakin ketat, kenaikan upah minimum juga tidak seberapa. Tapi dari sisi kebijakan pemerintah justru menahan daya beli dan mengurangi konsumsi rumah tangga,” katanya seperti dikutip dari CNNIndonesia, Kamis  (14/3/2024).

Bhima mengatakan karena kenaikan PPN itu, kelas menengah tidak hanya bisa mengurangi belanja, tetapi juga terpaksa menggunakan tabungan karena harga barang yang mereka beli akan semakin mahal.

“Kalau sudah tidak ada lagi yang ditabung tapi tetap harus membeli barang, maka dikhawatirkan dia akan turun menjadi orang miskin baru atau di bawah garis kemiskinan,” katanya.

Pemerintah bakal menaikkan tarif PPN jadi 12 persen pada 2025. Kenaikan PPN sejalan dengan pelaksanaan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Dalam beleid itu pemerintah dan DPR menetapkan PPN naik jadi 11 persen mulai 2022 dan menjadi 12 persen mulai 2025.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan PPN bakal tetap naik menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 meski presiden berganti.

Menurutnya, hal ini dikarenakan Prabowo-Gibran yang unggul dalam Pilpres 2024 ini akan melanjutkan program Presiden Joko Widodo (Jokowi) termasuk dalam urusan perpajakan. (bl)

Sebanyak 62,4% Permohonan Banding Wajib Pajak Dikabulkan Pengadilan

IKPI, Jakarta: Pemerintah ‘babak belur’ dalam menghadapi sengketa banding wajib pajak di Pengadilan Pajak selama tahun 2023. Pasalnya jumlah sengketa pajak yang dikabulkan oleh majelis pengadilan pajak naik dibandingkan tahun sebelumnya.

Dikuti dari Bisnis.com, sengketa pajak terjadi jika terjadi perbedaan pendapat tentang pajak terutang antara fiskus atau petugas pajak dengan wajib pajak (WP). WP diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan di DJP.

Kalau keberatan belum memuaskan, wajib pajak bisa mengajukan banding ke Pengadilan Pajak hingga peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

Data Pengadilan Pajak menunjukkan bahwa total penyelesaian sengketa banding pajak selama tahun 2023 lalu mencapai 16.278 atau naik 4,6% dari tahun 2022 yang hanya sebanyak 15.561 sengketa.

Menariknya dari jumlah tersebut, pengadilan pajak telah memutus mengabulkan seluruhnya banding wajib pajak sebanyak 7.399 atau sekitar 45%, dikabulkan sebagian sebanyak 2.769 atau 17%, dan membatalkan sebanyak 21 sengketa.

Adapun rasio sengketa banding yang dikabulkan seluruhnya jika digabungkan dengan putusan dikabulkan sebagian mencapai 10.168 atau 62,4% dari total penyelesaian sengketa di Pengadilan Pajak. Rasio ini naik dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya di kisaran 60%.

Sementara itu, jumlah sengketa pajak yang menolak permohonan banding  wajib pajak hanya sebesar 4.574. Sedangkan banding yang tidak dapat diterima sebanyak 1.174.

Data pengadilan pajak juga mengungkap bahwa selama tahun 2023 lalu, jumlah berkas banding yang masuk sebanyak 12.714 dengan perincian banding terbanyak diajukan wajib pajak kepada Dirjen Pajak alias DJP sebanyak 10.038, Bea Cukai 2.615 dan Pemda 61 berkas.

Ekonom Sebut Kenaikan PPN 12% Kerek Penerimaan Negara hingga 80 Triliun

IKPI, Jakarta: Pemerintah akan menerapkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% pada 2025. Kenaikan PPN ini diharapkan dapat menambah pundi-pundi penerimaan negara.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro da Keuangan Kemenko Perekonomian, Ferry Irawan, mengatakan, kenaikan tarif PPN diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

“Tujuan dari penyesuaian tarif tersebut untuk optimalisasi penerimaan negara dengan tetap mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum,” ujarnya seperti dikutip dari Kontan.co.id, Rabu (13/3/2024).

Pengamat Pajak Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) Fajry Akbar memperkirakan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% akan berefek positif terhadap penerimaan pajak, khususnya PPN.

Bahkan, dia memprediksi tambahan penerimaan dari kenaikan PPN 12% akan menyumbang lebih dari Rp 80 triliun ke kas negara. Maklum, hingga akhir Maret 2023, pemerintah telah mengantongi Rp 80,08 triliun ke kas negara usai menaikkan tarif PPN menjadi 11% sejak April 2022.

Oleh karena itu, Fajry menduga potensi penerimaan dari kenaikan tarif PPN pada 1 Januari 2025 akan lebih besar dari kenaikan tarif PPN 11% pada 2022.

Di samping itu, dengan adanya kenaikan harga-harga di tahun depan maka otomatis besaran penerimaan PPN akan meningkat.

“Kemungkinan akan lebih besar karena pada tahun 2022 diimplementasikan dari bulan April. Dan juga ada dampak dari kenaikan harga atau inflasi,” ujar dia, kemarin.

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menambahkan, tepat atau tidaknya tarif PPN naik menjadi 12% bergantung pada penggunaan anggaran yang didapat.

“Jika dana kenaikan PPN digunakan untuk belanja sosial yang bertujuan meningkatkan daya beli masyarakat atau belanja sosial untuk mengurangi ketimpangan, saya kira saya sangat tepat,” kata dia. (bl)

en_US