Kenaikan Upah Minimum Provinsi 2025 Ditetapkan 6,5%, Ini Data Lengkapnya

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5% pada tahun 2025, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2024 tentang Upah Minimum. Kenaikan ini berlaku mulai 1 Januari 2025 di seluruh provinsi di Indonesia.

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menjelaskan bahwa kenaikan ini bertujuan untuk menjaga daya beli pekerja, sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto.

“Kebijakan ini diambil untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah tantangan global,” ujarnya, baru-baru ini.

Rincian Kenaikan UMP

Sebagai contoh, UMP DKI Jakarta mengalami kenaikan dari Rp5.067.381 pada 2024 menjadi Rp5.396.761 tahun ini. Di Banten, UMP naik menjadi Rp2.905.119 dari Rp2.727.812, sedangkan di Papua UMP naik menjadi Rp4.285.850 dari Rp4.024.270.

Berikut adalah rincian UMP tahun 2025 dari semua provinsi setelah kenaikan 6,5%:

1. Aceh: Rp3.685.615 (sebelumnya Rp3.460.672)

2. Sumatera Utara: Rp2.992.599 (sebelumnya Rp2.809.915)

3. Sumatera Barat: Rp2.994.193 (sebelumnya Rp2.811.449)

4. Sumatera Selatan: Rp3.681.570 (sebelumnya Rp3.456.874)

5. Kepulauan Riau: Rp3.623.653 (sebelumnya Rp3.402.492)

6. Riau: Rp3.508.775 (sebelumnya Rp3.294.625)

7. Lampung: Rp2.893.069 (sebelumnya Rp2.716.497)

8. Bengkulu: Rp2.670.039 (sebelumnya Rp2.507.079)

9. Jambi: Rp3.234.533 (sebelumnya Rp3.037.121)

10. Bangka Belitung: Rp3.876.600 (sebelumnya Rp3.640.000)

11. Banten: Rp2.905.119 (sebelumnya Rp2.727.812)

12. DKI Jakarta: Rp5.396.760 (sebelumnya Rp5.067.381)

13. Jawa Barat: Rp2.191.232 (sebelumnya Rp2.057.495)

14. Jawa Tengah: Rp2.169.348 (sebelumnya Rp2.036.947)

15. Jawa Timur: Rp2.305.984 (sebelumnya Rp2.165.244)

16. DI Yogyakarta: Rp2.264.080 (sebelumnya Rp2.125.897)

17. Bali: Rp2.996.560 (sebelumnya Rp2.816.672)

18. Nusa Tenggara Timur (NTT): Rp2.328.969 (sebelumnya Rp2.186.826)

19. Nusa Tenggara Barat (NTB): Rp2.602.931 (sebelumnya Rp2.444.067)

20. Kalimantan Barat: Rp2.878.286 (sebelumnya Rp2.702.616)

21. Kalimantan Tengah: Rp3.473.621 (sebelumnya Rp3.261.616)

22. Kalimantan Selatan: Rp3.496.194 (sebelumnya Rp3.282.812)

23. Kalimantan Utara: Rp3.580.160 (sebelumnya Rp3.361.653)

24. Kalimantan Timur: Rp3.579.313 (sebelumnya Rp3.360.858)

25. Sulawesi Utara: Rp3.775.425 (sebelumnya Rp3.545.000)

26. Sulawesi Tengah: Rp2.914.583 (sebelumnya Rp2.736.698)

27. Sulawesi Tenggara: Rp3.073.551 (sebelumnya Rp2.885.964)

28. Sulawesi Selatan: Rp3.657.527 (sebelumnya Rp3.443.298)

29. Sulawesi Barat: Rp3.104.430 (sebelumnya Rp2.914.958)

30. Gorontalo: Rp3.221.731 (sebelumnya Rp3.025.100)

31. Maluku Utara: Rp3.408.000 (sebelumnya Rp3.200.000)

32. Maluku: Rp3.141.699 (sebelumnya Rp2.949.953)

33. Papua: Rp4.285.850 (sebelumnya Rp4.024.270)

34. Papua Barat: Rp3.615.000 (sebelumnya Rp3.393.500)

35. Papua Barat Daya: Rp3.614.000 (sebelumnya Rp3.393.500)

36. Papua Tengah: Rp4.285.848 (sebelumnya Rp4.024.270)

37. Papua Selatan: Rp4.285.850 (sebelumnya Rp4.024.270)

38. Papua Pegunungan: Rp4.285.847 (sebelumnya Rp4.024.270)

Kenaikan UMP diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja sekaligus mendukung perekonomian nasional.

Secara keseluruhan, kenaikan ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas hidup pekerja dan memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah.

Kenaikan UMP ini disambut baik oleh sebagian besar pekerja, meskipun masih menuai tantangan dari beberapa sektor usaha kecil dan menengah yang mengaku perlu waktu untuk menyesuaikan biaya operasional. Pemerintah juga memastikan pengawasan implementasi kenaikan UMP berjalan lancar, guna mencegah pelanggaran oleh pihak perusahaan.

Dengan kebijakan ini, pemerintah optimis bahwa daya beli masyarakat akan terjaga, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 2025. (alf)

Wajib Pajak Keluhkan Lambatnya Akses Aplikasi Coretax

IKPI, Jakarta: Sejumlah wajib pajak mengeluhkan lambatnya akses pada aplikasi pelayanan pajak digital Direktorat Jenderal Pajak (DJP) (Coretax). Keluhan ini mencuat di tengah diberlakukannya sistem tersebut pada 1 Januari 2025.

Beberapa pengguna mengeluhkan bahwa mereka mengalami kesulitan saat mencoba masuk ke aplikasi, dengan proses login yang memakan waktu lama. Selain itu, beberapa fitur, seperti pelaporan SPT dan pembayaran pajak, dilaporkan sering mengalami kegagalan atau waktu muat yang terlalu lama.

“Saya sudah mencoba sejak pagi untuk melaporkan SPT, tetapi selalu gagal masuk. Bahkan saat berhasil, sistemnya lambat sekali,” ujar Aditya, seorang wajib pajak di Jakarta, Jumat (3/1/2025).

Keluhan serupa juga datang dari pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) yang merasa terganggu oleh kendala teknis ini.

Menanggapi keluhan ini, DJP mengakui adanya gangguan teknis pada aplikasi Coretax. “Coretax DJP saat ini sedang dalam proses peningkatan kualitas layanan demi memberikan pengalaman terbaik bagi Anda. Kami sangat memahami dan menyesali ketidaknyamanan yang mungkin Anda rasakan selama proses ini. Kami berkomitmen untuk segera mengembalikan layanan Coretax DJP agar dapat melayani Anda sebaik mungkin. Terima kasih atas kesabaran dan pengertian Anda.” tulis DJP dalam aplikasi itu.

Menanggapi permasalahan itu, Ketua Departemen Humas, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Jemmi Sutiono, menilai permasalahan ini mencerminkan pentingnya peningkatan infrastruktur digital (software dan hardware/server) di sektor perpajakan. “Digitalisasi adalah langkah maju, tetapi tanpa dukungan sistem yang andal, kepercayaan wajib pajak bisa menurun,” katanya.

Ia menegaskan, DJP diharapkan segera menyelesaikan permasalahan pada periode transisi dan migrasi sistem ini, mengingat data transaksi harian berjalan harus terselesaikan dengan baik dan minim risiko kerusakan data (data crash). “Penyempurnaan sistem harus terus dilakukan DJP, karena Coretax adalah satu-satunya sarana andalan dan unggulan administrasi pajak yang disediakan pemerintah mulai 01 Januari 2025. Jadi jika implementasi aplikasi itu bermasalah, maka secara otomatis akan berimbas kepada wajib pajak,” kata Jemmi di Jakarta, Jumat (3/1/2025). (bl)

DJP Beri Waktu Tiga Bulan untuk Peritel Menyesuaikan Sistem Tarif PPN 11%

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memberikan waktu tiga bulan kepada pelaku usaha ritel untuk menyesuaikan sistem mereka dengan kebijakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) terbaru.

Pemerintah memastikan tarif efektif PPN barang dan jasa non-mewah tetap 11% per 1 Januari 2025, meskipun sejumlah peritel sudah menerapkan tarif 12%.

Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengungkapkan, diskusi dengan para pelaku usaha telah dilakukan untuk memberikan masa transisi. “Kami sedang berdiskusi, apakah waktu tiga bulan cukup bagi mereka untuk mengubah sistem. Ini yang kami coba pastikan,” ujar Suryo dalam media briefing di Jakarta, Kamis (2/1/2025).

Masa Transisi untuk Penyesuaian Sistem

DJP juga akan mencermati perubahan sistem internal yang diperlukan untuk memastikan kebijakan tarif PPN berjalan lancar. “Kami masih mengecek sistem kami dan bagaimana transisi ini bisa dijalankan dengan baik, sehingga aplikasinya pun dapat berjalan optimal,” tambah Suryo.

Suryo juga menjamin bahwa kelebihan pungutan PPN 12% yang terlanjur dikenakan kepada konsumen akan dikembalikan. “Hak negara tetap harus masuk, tetapi hak wajib pajak yang bukan menjadi hak negara harus dikembalikan,” tegasnya.

Namun, mekanisme pengembalian kelebihan pungutan ini masih dirumuskan. Selama ini, pengembalian bisa dilakukan melalui kompensasi langsung dari retailer kepada konsumen atau melalui koreksi faktur pajak. DJP berencana membuat mekanisme yang seragam agar lebih mudah diimplementasikan.

Penerapan Tarif 12% di Platform Digital

Beberapa transaksi di platform digital seperti Google, Apple, Shopee, dan Tokopedia diketahui telah menerapkan tarif PPN 12%. Misalnya, pelanggan layanan Apple One yang membayar Rp 149.000 per bulan mencatatkan Rp 15.964 sebagai PPN 12%. Hal serupa juga terjadi pada pengisian saldo iklan di Shopee dan Tokopedia, di mana PPN 12% diterapkan pada transaksi.

DJP berharap masa transisi ini dapat memberikan waktu yang cukup bagi pelaku usaha untuk memperbaiki sistem dan mencegah kebingungan konsumen. Kebijakan ini diharapkan mampu menjaga keadilan dan kepastian hukum dalam penerapan tarif PPN. (alf)

Pemerintah akan Tingkatkan Jumlah Wajib Pajak untuk Capai Target Penerimaan 2025 

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo, memaparkan strategi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mencapai target penerimaan pajak dalam APBN 2025 yang sebesar Rp 2.189,3 triliun. Ia menegaskan pentingnya dua langkah utama, yakni ekstensifikasi dan intensifikasi, dalam memastikan target tersebut tercapai.

“Ekstensifikasi adalah upaya menambah jumlah wajib pajak, sedangkan intensifikasi berarti menggali potensi penerimaan dari objek pajak yang sudah terdaftar. Kedua langkah ini akan menjadi fokus utama kami di tahun 2025,” ujar Suryo dalam media briefing di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

Strategi ini juga mencakup adaptasi terhadap kebijakan baru mengenai tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025, namun hanya diterapkan pada barang mewah. Barang non-mewah tetap dikenakan tarif PPN sebesar 11%, sesuai dengan skema dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain.

Menurut Suryo, kebijakan ini berpotensi mengurangi tambahan penerimaan pajak yang sebelumnya diproyeksikan mencapai Rp 75 triliun jika PPN 12% diberlakukan secara umum. Namun, ia optimis bahwa optimalisasi dari sumber penerimaan lain dapat menutup kekurangan tersebut. “Untuk mencari penggantinya, kita akan memaksimalkan sumber-sumber lain,” kata Suryo.

Dukungan DPR untuk Kebijakan PPN 12%

Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, mendukung langkah pemerintah yang memutuskan tarif PPN 12% hanya untuk barang mewah. Ia menyebut keputusan ini mencerminkan keberpihakan Presiden Prabowo Subianto kepada rakyat kecil, meskipun potensi penerimaan pajak menjadi lebih kecil.

“Potensi tambahan penerimaan sebesar Rp 3,2 triliun dari kebijakan ini tentu lebih rendah dibandingkan Rp 75 triliun jika tarif 12% diberlakukan secara umum. Namun, ini adalah pilihan sulit yang harus diambil untuk melindungi masyarakat kecil,” ujar Misbakhun.

Keputusan ini diambil setelah evaluasi mendalam terhadap dampaknya pada ekonomi masyarakat. Dengan fokus pada barang mewah, pemerintah berupaya menjaga daya beli masyarakat umum sekaligus mengoptimalkan penerimaan dari segmen yang lebih mampu.

Pemerintah dan DJP optimis bahwa melalui strategi yang terintegrasi, target penerimaan pajak dalam APBN 2025 dapat tercapai, tanpa membebani rakyat kecil secara berlebihan. (alf)

DJP Jelaskan Skema Penerapan PPN dan PPnBM 

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menyampaikan kebijakan pemerintah terkait PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) yang diberlakukan untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak sekaligus menjaga keseimbangan penerimaan negara.

Pada media briefing yang digelar di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta, Kamis (2/1/2025), beberapa skenario penghitungan pajak disampaikan untuk memberikan pemahaman lebih baik kepada pelaku usaha dan masyarakat umum.

Salah satu contoh yang diangkat DJP adalah penyerahan kendaraan bermotor dengan kapasitas mesin 2.000 cc.

Contoh Kasus 1:

Transaksi: Penyerahan 1 unit mobil 2.000 cc oleh PT B (pabrikan) kepada PT C (dealer).

Harga Jual: Rp500.000.000,00

PPN (12%): Rp60.000.000,00

PPnBM (15%): Rp75.000.000,00

Total Pajak Terutang: Rp135.000.000,00

Contoh Kasus 2:

Transaksi: Penyerahan 1 unit mobil 2.000 cc oleh PT C (dealer) kepada PT D untuk keperluan usaha.

Harga Jual: Rp600.000.000,00

PPN (12%): Rp72.000.000,00

PPnBM: Tidak dikenakan.

PPN Disetor: Rp12.000.000,00 (selisih Pajak Keluaran dan Pajak Masukan).

Contoh Kasus 3:

Transaksi: Penyerahan 1 unit mobil 2.000 cc oleh PT C (dealer) kepada Tuan E (konsumen akhir).

Harga Jual: Rp600.000.000,00

PPN (12%): Rp72.000.000,00

PPnBM (15%): Rp90.000.000,00

Implikasi Kebijakan

Suryo menekankan bahwa penerapan pajak ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam mengatur konsumsi barang mewah sekaligus meningkatkan pendapatan negara. “Dengan kebijakan ini, diharapkan wajib pajak dapat lebih memahami mekanisme penghitungan pajak atas barang mewah, sehingga mendukung transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan pajak,” ujarnya.

Ia menegaskan, DJP akan terus memberikan edukasi kepada para pengusaha kena pajak terkait pengisian faktur pajak yang benar, termasuk penggunaan kode transaksi yang sesuai.

Menurutnya, langkah ini menjadi bagian dari strategi besar pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan negara melalui pajak tanpa membebani masyarakat luas. (alf)

Dirjen Pajak Beri Contoh Penghitungan Baru PPN Barang Mewah hingga Barang Tak Berwujud

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengumumkan penerapan penghitungan baru Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Peraturan ini mengatur tarif PPN untuk berbagai jenis barang dan jasa, termasuk barang mewah, barang selain barang mewah, jasa, dan barang tidak berwujud.

PPN untuk Barang Mewah

Dirjen Pajak Suryo Utomo dalam media briefing di kantor pusat DJP, Jakarta, Kamis (2/1/2025), menjelaskan bahwa barang mewah akan dikenakan PPN sebesar 12% dari nilai impor untuk impor barang, dan 12% dari harga jual untuk penyerahan di dalam negeri. Khusus untuk konsumen akhir dengan faktur pajak eceran, tarif PPN hingga 31 Januari 2025 adalah 12% dari 1/12 harga jual.

Namun, mulai 1 Februari 2025, tarifnya menjadi 12% dari harga jual penuh. Sementara itu, ekspor barang mewah dikenai tarif PPN 0%.

Sebagai contoh, pada 2 Januari 2025, PT A, sebuah perusahaan otomotif, mengimpor satu unit mobil 2.000 CC senilai Rp500.000.000. Berdasarkan aturan ini, PT A wajib membayar PPN sebesar Rp60.000.000 (12% x Rp500.000.000) dan PPnBM sebesar Rp75.000.000 (15% x Rp500.000.000).

PPN untuk Barang Selain Barang Mewah, Jasa, dan Barang Tidak Berwujud

Untuk barang selain barang mewah, jasa, dan barang tidak berwujud, PPN dihitung sebesar 12% dari 11/12 nilai impor atau harga jual. Untuk pemanfaatan barang tidak berwujud dan jasa dari luar negeri, PPN juga dihitung sebesar 12% dari 11/12 penggantian. Ekspor barang dan jasa dalam kategori ini dikenakan tarif PPN 0%.

Suryo menegaskan bahwa perubahan ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan memastikan keadilan dalam sistem perpajakan. Dengan penerapan tarif baru ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan negara sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. (alf)

Direktur DJP: Wajib Pajak Bisa Gunakan Skema Penggantian Faktur Pajak untuk Tarik Tarif PPN 11%

IKPI, Jakarta: Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Hestu Yoga Saksama, menjelaskan langkah yang bisa diambil wajib pajak terkait perbedaan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11% dan 12%. Dalam masa transisi sebelum kebijakan final ditetapkan oleh DJP, Hestu menyebut bahwa wajib pajak dapat memanfaatkan skema penggantian faktur pajak.

“Ini sudah terlanjur diumumkan 12%, banyak Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang membuat sistem 12%, sehingga ada masa transisi. Tapi saya kasih clue, kalau faktur pajak dibuat dan salah, harusnya menjadi 11% dalam konteks hitungannya, ada skema seperti penggantian faktur pajak,” kata Hestu dalam dalam media briefing di Kantor Pusat DJP, Kamis (2/1/2025).

Hestu menegaskan, jika penjual bersedia melakukan perubahan, pembeli dapat menerima faktur pajak baru dengan tarif yang benar, yakni 11%. Namun, jika penjual tetap menggunakan tarif 12% dan telah melaporkannya, pembeli masih memiliki hak untuk meminta pengembalian atas kelebihan pembayaran tersebut sesuai regulasi.

“Sepanjang itu 12% disetor dan dilaporkan oleh penjual, sebenarnya di regulasi kita si pembeli boleh minta pengembaliannya,” tegasnya.

Langkah ini dinilai penting untuk menjaga keakuratan penerapan tarif PPN, sekaligus memberikan kepastian hukum bagi para wajib pajak di tengah masa transisi kebijakan tarif. (alf)

DJP Siapkan Masa Transisi Pungutan PPN 12%

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo merespons keluhan masyarakat terkait penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% untuk barang-barang non-mewah. Suryo menegaskan bahwa tarif PPN 12% seharusnya hanya berlaku untuk barang mewah yang sebelumnya termasuk dalam daftar barang terkena Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Untuk barang non-mewah, tarif efektif tetap 11%, sesuai dengan dasar pengenaan pajak nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual.

“Kami sedang mempersiapkan masa transisi untuk mengatur ketentuan penyelesaian barang yang terlanjur dipungut tarif PPN 12% atau pengusaha yang sudah menerapkan tarif ini dalam sistem faktur pajaknya,” kata Suryo dalam media briefing di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta, Kamis (2/1/2025).

Pertemuan dengan Pengusaha

Suryo menyebutkan bahwa pihaknya telah mengadakan pertemuan dengan para pengusaha kena pajak untuk menyusun mekanisme masa transisi. Upaya ini dilakukan agar sistem pemungutan yang telah didesain untuk tarif 12% pada faktur pajak dapat disesuaikan kembali ke tarif efektif 11% untuk barang non-mewah.

Namun, hingga saat ini, DJP belum memastikan durasi masa transisi tersebut, apakah akan berlangsung selama tiga bulan atau lebih. Suryo juga menjelaskan bahwa beberapa pengusaha sudah menggunakan tarif yang sesuai, sementara sebagian lainnya masih mencampurkan tarif 11% dan 12%.

“Kita sedang mendudukkan aturan ini, termasuk soal penerbitan faktur pajak, karena tidak semua faktur pajak diterbitkan secara insidental, terutama bagi perusahaan besar yang sudah menggunakan sistem,” jelasnya.

Hak Konsumen Dijamin

Suryo menegaskan bahwa pemerintah memastikan hak konsumen tetap terlindungi. Konsumen akhir yang telah membayar kelebihan PPN akan mendapatkan haknya melalui mekanisme yang sedang dirumuskan.

“Secara teknis, ini akan kami atur. Yang jelas, hak wajib pajak harus kami kembalikan, dan kami berjanji prosesnya tidak akan memberatkan wajib pajak,” tegasnya.

Presiden Prabowo Subianto sebelumnya telah memutuskan bahwa tarif PPN untuk barang mewah sebesar 12%, sementara barang non-mewah tetap 11%. Pemerintah terus berupaya menyelaraskan kebijakan ini agar tidak menimbulkan beban tambahan bagi masyarakat maupun pengusaha. (alf)

Sri Mulyani: Pajak adalah Wujud Gotong Royong untuk Membangun Bangsa

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan pentingnya masyarakat membayar pajak, meskipun kerap dipertanyakan manfaatnya. Menurutnya, pajak memainkan peran signifikan dalam menciptakan keadilan sosial dan membantu berbagai golongan masyarakat.

Dalam unggahan di akun Instagram resminya, @smindrawati, Kamis (2/1/2025) Sri Mulyani menekankan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang sebagian besar berasal dari pajak, hadir di hampir semua segmen masyarakat. Pajak digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari subsidi energi hingga mendukung pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

“APBN itu hadir di hampir semua ruang segmen masyarakat dalam berbagai bentuk. Karena banyak yang masih sampai hari ini bertanya, kenapa saya harus membayar pajak, dan apa manfaatnya pajak buat saya,” ujar Sri Mulyani.

Ia menjelaskan bahwa pajak adalah instrumen yang digunakan pemerintah untuk mewujudkan keadilan. Meski belum sempurna, pemerintah terus berupaya agar manfaat pajak tepat sasaran dan dapat dirasakan oleh kelompok yang membutuhkan.

Subsidi LPG dan Peran Pajak

Sri Mulyani mencontohkan subsidi LPG 3 kilogram sebagai salah satu bentuk nyata pemanfaatan pajak. Pada tahun 2024, pemerintah mengalokasikan Rp 81 triliun untuk menjaga harga LPG tetap terjangkau. Harga asli LPG 3 kilogram seharusnya sekitar Rp 50 ribu, namun masyarakat hanya perlu membayar sekitar Rp 20 ribu.

“Bayangkan, siapa yang menikmati subsidi ini? Masyarakat yang membeli LPG 3 kilogram, atau warung-warung kecil seperti penjual bakso yang menggunakannya,” kata Sri Mulyani.

Pajak dan Gotong Royong

Menteri Keuangan ini juga menyoroti konsep keadilan dalam pajak sebagai bentuk gotong-royong membangun bangsa. Ia mengakui bahwa membayar pajak mungkin terasa berat bagi sebagian masyarakat, tetapi kontribusi ini penting untuk menjaga keberlangsungan pembangunan di Indonesia.

“Konsep keadilan itu adalah ikhtiar yang harus terus kita upayakan. Mungkin terasa berat untuk membayar pajak, tapi ini adalah bentuk gotong-royong kita untuk menjaga Indonesia bersama,” ujarnya.

Melalui penjelasan ini, Sri Mulyani berharap masyarakat semakin memahami pentingnya pajak sebagai tulang punggung pembangunan negara. Pajak bukan hanya kewajiban, tetapi juga bentuk kontribusi nyata dalam membangun Indonesia yang lebih baik.(alf)

DJP Informasikan Cara Penggunaan Coretax

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) resmi meluncurkan sistem administrasi pajak baru (Coretax). Sistem ini mulai berlaku efektif pada 1 Januari 2025, setelah melalui tahap praimplementasi pada 16-31 Desember 2024.

Coretax dirancang untuk memberikan kemudahan kepada wajib pajak dalam mengelola administrasi perpajakan secara online. Sistem ini merupakan bagian dari Proyek Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018.

Menurut informasi dari situs resmi DJP, Coretax mengintegrasikan seluruh proses administrasi perpajakan, mulai dari pendaftaran wajib pajak, pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT), pembayaran pajak, hingga pemeriksaan dan penagihan pajak. Sistem ini dibangun menggunakan teknologi COTS (Commercial Off-the-Shelf) yang memungkinkan proses bisnis administrasi perpajakan berjalan lebih modern dan efisien.

Cara Akses Coretax

Coretax dapat diakses oleh wajib pajak yang memiliki akun DJP Online melalui tautan resmi https://www.pajak.go.id/coretaxdjp. Berikut langkah-langkah untuk login:

1. Masukkan ID Pengguna berupa NIK atau NPWP 16 digit.

2. Masukkan kata sandi DJP Online.

3. Masukkan kode captcha, lalu klik login.

Setelah berhasil masuk, wajib pajak akan diminta untuk mengatur ulang kata sandi melalui email atau nomor telepon. Selain itu, wajib pajak juga perlu membuat frasa sandi Coretax yang akan digunakan sebagai pengganti tanda tangan digital.

Peluncuran Coretax diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam administrasi perpajakan serta mempermudah wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan.

Sistem ini menjadi langkah penting dalam modernisasi administrasi perpajakan di Indonesia. Wajib pajak yang memerlukan informasi lebih lanjut dapat mengunjungi situs resmi DJP atau menghubungi saluran bantuan DJP. (alf)

en_US