Lelang Aset Penunggak Pajak Digelar 25 Juni, DJP Jakarta Barat Siap Tawarkan 15 Barang Bernilai Tinggi

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali menunjukkan keseriusannya dalam menegakkan hukum perpajakan melalui aksi nyata. Kali ini, Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat akan menggelar lelang eksekusi atas aset hasil penyitaan dari para penunggak pajak, Rabu, 25 Juni 2025 mendatang. Lelang ini diselenggarakan bekerja sama dengan Kanwil Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) DKI Jakarta dan akan dilakukan secara daring melalui situs resmi lelang.go.id.

Sebanyak 15 barang bergerak dari berbagai jenis siap ditawarkan kepada publik. Mulai dari kendaraan roda dua dan roda empat, hingga alat berat dan perangkat medis, semua berasal dari delapan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Barat. Penyitaan dan lelang ini merupakan bagian dari strategi penagihan aktif utang pajak yang terus diintensifkan.

“Aset yang telah disita ditawarkan kepada publik melalui mekanisme lelang resmi negara sebagai bentuk penegakan hukum yang tegas dan terukur,” ujar DJP dalam keterangannya, Senin (15/6/2025).

Langkah ini tidak hanya bertujuan untuk memulihkan penerimaan negara, tetapi juga memberi sinyal kuat bahwa penunggakan pajak tidak akan dibiarkan. DJP ingin menegaskan komitmennya dalam meningkatkan kepatuhan dan memberikan efek jera bagi wajib pajak yang abai terhadap kewajibannya.

Lelang dilakukan secara transparan dan terbuka bagi masyarakat umum dengan sistem open bidding tanpa kehadiran fisik peserta. Penetapan pemenang dilakukan di hari yang sama.

Deretan Barang yang Akan Dilelang:

1. Toyota HILUX 2.46 DC 4X4 MT

2. Toyota Harrier 2.4 AT

3. Toyota Rush 1.5G M.T

4. Volvo XC90 2.9 T6 (2005)

5. Nissan X-Trail 2.5 ST A/T (2010)

6. Sepeda motor Honda Revo

7. Yamaha NMAX

8. Honda Vario 150 cc

9. Sepeda motor listrik Alessa

10. Honda Vario

11. Honda Beat

12. Sistem Video Integrasi Ruang Operasi

13. 5 unit Air Purifier Novaerus NV800

14. Forklift/Reach Truck

15. Truk Tronton (Tractor Head)

Ketentuan dan Mekanisme Lelang:

  1. Waktu pelaksanaan: Rabu, 25 Juni 2025 pukul 10.00–11.30 WIB
  2. Akses objek lelang: Dapat dilihat sejak pengumuman lelang
  3. Syarat peserta: Wajib memiliki akun terverifikasi di portal.lelang.go.id
  4. Jaminan lelang: Harus diterima efektif oleh KPKNL paling lambat H-1 melalui virtual account
  5. Penawaran: Dimulai dari nilai limit, dan peserta dapat mengajukan penawaran berulang
  6. Pembayaran pemenang: Pokok Lelang + Bea Lelang 3% dibayar maksimal 5 hari kerja setelah lelang

DJP mengimbau masyarakat untuk mengikuti lelang ini secara bijak dan memanfaatkan kesempatan memiliki barang bernilai dengan prosedur resmi yang sah. Selain itu, kegiatan ini menjadi pengingat bahwa kepatuhan pajak bukan sekadar kewajiban, tapi juga kontribusi nyata dalam membangun negara.

 

 

Utang Indonesia Tembus Rp7.000 Triliun, Bank Indonesia Pastikan Masih Aman

IKPI, Jakarta: Bank Indonesia (BI) mencatat posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia mencapai US$431,5 miliar atau sekitar Rp7.039,4 triliun per April 2025. Angka ini mencerminkan pertumbuhan tahunan sebesar 8,2 persen (year-on-year), meningkat dibandingkan Maret lalu yang tumbuh 6,4 persen.

Kenaikan ULN ini terutama berasal dari sektor pemerintah, dengan nilai mencapai US$208,8 miliar atau naik 10,4 persen secara tahunan. BI menjelaskan bahwa pertumbuhan utang tersebut dipengaruhi oleh penarikan pinjaman luar negeri serta meningkatnya aliran dana asing ke pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik. Hal ini menjadi sinyal positif atas kepercayaan investor global terhadap stabilitas ekonomi Indonesia, meski pasar keuangan global tengah diliputi ketidakpastian.

Dari sisi pemanfaatannya, ULN pemerintah difokuskan untuk sektor-sektor strategis. Sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial menyerap 22,3 persen dari total utang pemerintah, disusul administrasi pemerintahan dan pertahanan (18,7 persen), jasa pendidikan (16,4 persen), konstruksi (12 persen), serta transportasi dan pergudangan (8,7 persen).

Sementara itu, ULN swasta tercatat sebesar US$194,8 miliar. Meski angkanya tetap besar, ULN swasta justru mengalami kontraksi 0,6 persen (yoy), melandai dari kontraksi 1 persen pada bulan sebelumnya.

Meski total utang meningkat, BI menegaskan posisi ULN Indonesia masih dalam kategori terkendali. Hal ini dikarenakan dominasi utang berjangka panjang. Tercatat, 99,9 persen dari total ULN pemerintah dan 76,9 persen dari ULN swasta merupakan utang jangka panjang, yang dinilai lebih aman bagi ketahanan eksternal negara.

BI memastikan akan terus memantau perkembangan ULN secara cermat guna menjaga stabilitas makroekonomi dan mendukung keberlanjutan pembiayaan pembangunan nasional. (alf)

 

 

Penerimaan PPN dan PPnBM Terkoreksi 19,6%, Restitusi Jadi Penyebab Utama

IKPI, Jakarta: Hingga April 2025, penerimaan neto dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) tercatat sebesar Rp175,7 triliun. Namun, capaian tersebut mengalami kontraksi tajam sebesar 19,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Padahal, pemerintah telah menaikkan tarif PPN menjadi 12%, meskipun terbatas untuk penyerahan barang mewah. Kebijakan ini semula diharapkan menjadi pendorong tambahan bagi penerimaan pajak konsumsi, namun realisasi di lapangan belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengakui bahwa dampak dari kenaikan tarif tersebut terhadap total penerimaan PPN dan PPnBM masih dalam tahap evaluasi lebih lanjut. Pihak otoritas fiskal berhati-hati dalam membaca tren karena sejumlah faktor eksternal mempengaruhi arus masuk pajak.

Pengamat perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, turut menanggapi kondisi ini. Ia menyebut bahwa kontribusi kenaikan tarif PPN 12% terhadap barang mewah hanya menyumbang sedikit terhadap penerimaan nasional.

“Simulasi kami menunjukkan potensi tambahan penerimaan hanya sekitar Rp1,7 triliun. Pemerintah memproyeksikan hingga Rp3 triliun, tapi angka itu tetap belum cukup besar secara proporsional,” ujar Fajry, dikutip Minggu (15/6/2025).

Fajry menjelaskan bahwa faktor utama penurunan penerimaan bukan terletak pada lesunya konsumsi, melainkan ledakan klaim restitusi pajak pada awal tahun. Menurutnya, tren peningkatan restitusi PPN telah terjadi dalam dua tahun terakhir.

“Kondisinya mirip dengan tahun lalu. Saat restitusi PPN melonjak di awal tahun, penerimaan neto ikut tertekan. Ini murni karena pajak masukan yang besar, utamanya dari pembelian bahan baku,” jelasnya.

Fenomena yang disebut front loading ini terjadi ketika pelaku usaha melakukan pembelian besar-besaran bahan baku sebelum tren kenaikan harga atau ketidakpastian ekonomi. Tahun ini, ketidakpastian dipicu oleh situasi global pasca-terpilihnya Donald Trump dan memanasnya geopolitik.

Ia juga menyoroti bagaimana pengelolaan kas negara mempengaruhi pola restitusi. Di akhir 2024, beban belanja pemerintah meningkat tajam karena Pemilu dan Pilkada. Untuk menjaga likuiditas, sebagian besar restitusi ditunda pembayarannya dan baru dicairkan di awal 2025.

Meski demikian, ia tetap optimistis kondisi akan membaik seiring berjalannya waktu. “Pertumbuhan restitusi secara tahunan sudah mulai melandai. Artinya, tekanan terhadap penerimaan neto PPN dan PPnBM mulai berkurang di bulan-bulan berikutnya,” kata Fajry. (alf)

 

 

Pemkot Malang akan Kembali Berlakukan Pajak Kos 

IKPI, Jakarta: Setelah setahun kehilangan potensi pendapatan hingga Rp 8 miliar per tahun akibat pembebasan pajak kos, Pemerintah Kota Malang mulai menggodok rencana untuk kembali mengenakan pajak atas bisnis kos-kosan. Langkah ini tengah dipertimbangkan seiring pesatnya pertumbuhan rumah kos (rukos) di kota tersebut.

Pajak kos resmi ditiadakan sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), yang menghapus kategori pajak kos dari daftar pungutan daerah. Namun, perkembangan signifikan sektor kos-kosan mendorong Pemkot Malang untuk mencari celah hukum agar pungutan bisa diberlakukan kembali.

“Dua tahun terakhir ini bisnis rukos berkembang pesat, terutama di kawasan Lowokwaru. Tren rukos menawarkan fasilitas lebih lengkap dan keleluasaan bagi penghuni karena biasanya tanpa pemilik tinggal serumah,” ungkap Kepala Dinas Naker-PMPTSP Kota Malang, Arif Tri Sastyawan, dikutip Senin (16/6/2025).

Melihat geliat sektor ini, Pemkot Malang berharap pemerintah pusat dapat memberikan keringanan atau opsi kebijakan agar pajak kos bisa kembali dipungut. Menurut Arif, tingginya pertumbuhan jumlah kos menjadikan sektor ini sumber pendapatan daerah yang layak dioptimalkan.

Sementara itu, DPRD Kota Malang melalui Komisi B menyatakan tengah membahas rencana ini bersama Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda). Anggota Komisi B, Indra Permana, menilai sudah saatnya ada revisi regulasi lokal untuk mengakomodasi potensi tersebut. “Sebagai kota pendidikan, Malang harus memiliki formulasi kebijakan yang adil namun tetap produktif,” katanya.

Namun, Kepala Bapenda Kota Malang, Handi Priyanto, menegaskan bahwa pihaknya tetap mengacu pada ketentuan UU HKPD. Ia menyebutkan, selama aturan pusat belum berubah, pihaknya belum bisa melakukan pungutan pajak atas kos-kosan.

“Kami masih patuh pada regulasi yang ada. Pajak kos sebelumnya masuk kategori pajak hotel, dengan kriteria lebih dari 10 kamar dan sistem sewa bulanan,” jelasnya.

Dengan potensi penerimaan miliaran rupiah dan kondisi riil di lapangan yang mendukung, wacana pemungutan kembali pajak kos di Kota Malang kini menjadi salah satu isu strategis dalam penyusunan ulang regulasi perpajakan daerah. (alf)

 

PKP Pedagang Eceran Kini Bisa Buat Faktur Pajak 

IKPI, Jakarta: Pemerintah memberi kemudahan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) pedagang eceran dalam pembuatan faktur pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang memperoleh fasilitas perpajakan.

Berdasarkan Pasal 54 ayat (2) PER-11/PJ/2025, PKP pedagang eceran diperbolehkan membuat faktur pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2), khusus untuk transaksi yang mendapatkan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) tidak dipungut, dibebaskan, atau ditanggung pemerintah (DTP).

Dalam regulasi tersebut juga ditegaskan bahwa faktur pajak jenis ini dapat dilengkapi keterangan mengenai fasilitas yang diberikan, termasuk dasar hukum perpajakan yang mendasarinya. Artinya, transparansi informasi tetap dijaga meskipun format faktur disederhanakan.

Menariknya, PKP pedagang eceran tidak wajib mencantumkan identitas pembeli atau penerima jasa, serta tanda tangan pihak yang berwenang, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 huruf b dan g. Ketentuan ini berlaku khusus untuk penyerahan kepada konsumen akhir, di mana identitas pembeli cenderung tidak relevan untuk keperluan administratif perpajakan.

Meski bersifat ringkas, faktur pajak tersebut tetap harus memuat unsur minimum, yakni nama, alamat, dan NPWP pihak yang menyerahkan BKP atau JKP, jenis dan jumlah barang atau jasa, nilai transaksi, besaran PPN atau PPnBM yang dipungut, serta kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan faktur.

Nama dan alamat pelaku usaha harus sesuai dengan data yang terdaftar dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Selain itu, alamat kegiatan usaha juga dapat dicantumkan jika berbeda dengan alamat pengukuhan PKP.

Kemudahan ini diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan PKP eceran dalam pelaporan pajak serta memperlancar administrasi fiskal, khususnya pada transaksi retail yang berfrekuensi tinggi namun nilainya relatif kecil. (alf)

 

Sah! Kota Malang Pungut Pajak 10% untuk  Usaha Beromzet Rp15 Juta 

IKPI, Jakarta: DPRD Kota Malang akhirnya mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menetapkan usaha dengan omzet minimal Rp15 juta per bulan akan dikenakan pajak sebesar 10 persen. Keputusan ini diambil dalam rapat paripurna yang sempat berlangsung panas dan bahkan diskors selama 15 menit akibat perdebatan tajam antar fraksi.

Salah satu penolakan datang dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menganggap batasan omzet Rp15 juta terlalu rendah dan dapat memberatkan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Anggota DPRD dari Fraksi PKB, Arif Wahyudi, menilai seharusnya batas minimum omzet yang dikenai pajak dinaikkan menjadi Rp25 juta per bulan.

“Rp15 juta itu kecil bagi pelaku usaha kecil. Kita dari PKB mengusulkan batasan Rp25 juta agar tidak membebani UMKM,” tegas Arif di sela sidang paripurna.

Namun, usulan PKB tersebut tidak diakomodasi dalam keputusan akhir. DPRD bersama Pemerintah Kota Malang tetap bersikukuh pada angka Rp15 juta, sebagaimana telah dirumuskan oleh Panitia Khusus (Pansus) Raperda.

Arif juga menyoroti ketidakhadiran klausul perlindungan terhadap pedagang kaki lima (PKL) dalam draf perda tersebut. “Tidak ada satu kata pun yang menyebutkan PKL atau usaha tenda bongkar-pasang. Padahal mereka sangat rentan,” ujarnya dengan nada kecewa.

Sementara itu, Ketua DPRD Kota Malang, Amithya Ratnanggani Sirraduhita, menilai ketetapan omzet minimal sebesar Rp15 juta justru sudah merupakan bentuk kompromi. “Dari awalnya Rp5 juta menjadi Rp15 juta itu sudah hasil dari proses evaluasi. Soal teknis pelaksanaan, kita kawal lewat Perwali nantinya,” kata Amithya.

Ia menambahkan bahwa saat ini fokus utama adalah pada penetapan standar omzet. Mengenai jenis usaha yang terdampak, termasuk PKL dan restoran, masih akan dikaji lebih lanjut melalui regulasi pelaksana.

Di pihak eksekutif, Wakil Wali Kota Malang Ali Muthohirin menyampaikan bahwa keberadaan PKL dalam skema pajak ini masih akan dibahas lebih detail. Ia membuka kemungkinan adanya perda tambahan atau ketentuan khusus dalam Peraturan Wali Kota (Perwali) sebagai bentuk perlindungan bagi sektor usaha informal tersebut.

“Soal PKL akan menjadi perhatian. Bisa saja ada Perwali yang mengatur lebih rinci agar mereka tidak dirugikan,” ujar Ali.

Dengan pengesahan perda ini, pelaku usaha di Kota Malang diimbau bersiap menghadapi penerapan pajak 10% yang akan diberlakukan dalam waktu dekat. Pemerintah kota pun berjanji akan terus melakukan sosialisasi dan pendampingan agar kebijakan ini tidak menjadi beban yang menyulitkan pelaku usaha kecil. (alf)

 

 

Filipina Permudah Restitusi PPN, Sinyal Positif bagi Investor Asing

IKPI, Jakarta: Pemerintah Filipina terus mendorong reformasi perpajakan guna meningkatkan iklim investasi, salah satunya dengan menyederhanakan proses pengembalian kelebihan pembayaran atau restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Inisiatif ini diharapkan mampu menarik lebih banyak investor asing untuk menanamkan modal di negara tersebut.

Kepala Biro Pendapatan Dalam Negeri (Bureau of Internal Revenue/BIR), Romeo Lumagui, menjelaskan bahwa penyederhanaan prosedur restitusi PPN merupakan bagian dari pelaksanaan Undang-Undang Corporate Recovery and Tax Incentives for Enterprises to Maximize Opportunities for Reinvigorating the Economy (CREATE MORE), yang dirancang untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi.

“Kami ingin menunjukkan kepada komunitas bisnis internasional bahwa Filipina serius menciptakan lingkungan usaha yang ramah. Penyederhanaan restitusi PPN adalah langkah konkret kami untuk itu,” ujar Lumagui dalam keterangan resminya, dikutip, Sabtu (14/6/2025).

Melalui regulasi baru ini, pelaku usaha kini tidak perlu lagi menyertakan sejumlah dokumen yang sebelumnya diwajibkan saat mengajukan restitusi. Berdasarkan Surat Edaran BIR No. 37/2025 yang diterbitkan pada 10 April lalu, dokumen yang diperlukan telah dipangkas untuk mempercepat proses klaim.

Antara lain, salinan faktur atau tanda terima yang sah kini dapat menggantikan dokumen asli. Selain itu, tiga jenis dokumen administratif seperti bukti pendaftaran di Komisi Sekuritas dan Bursa Efek atau Kementerian Perdagangan dan Industri, serta dokumen impor seperti single administrative document, tidak lagi diwajibkan dalam beberapa kasus.

Untuk klaim atas pajak masukan terkait barang modal, pelaku usaha juga dapat menggunakan ulang sertifikasi dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai apabila dokumen tersebut telah diajukan sebelumnya. Bahkan, khusus eksportir, bukti pengiriman asli seperti bill of lading kini dapat diganti dengan sertifikasi dari Kementerian Perdagangan dan Industri.

Lumagui menegaskan bahwa penyederhanaan ini bukanlah langkah terakhir. “Kami sedang meninjau lebih banyak proses bisnis yang bisa dipangkas atau dipermudah. Tujuannya jelas: menjadikan Filipina destinasi investasi yang lebih kompetitif di kawasan,” tutupnya.

Reformasi ini menandai komitmen kuat pemerintah Filipina dalam mendorong kemudahan berusaha dan memperkuat daya tariknya di mata investor global. (alf)

 

Penerimaan Neto PPN dan PPnBM April 2025 Terkontraksi 19,6%, Relaksasi Jatuh Tempo Jadi Pemicu

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat penerimaan neto dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) hingga April 2025 mencapai Rp175,7 triliun. Angka ini mencerminkan penurunan atau kontraksi sebesar 19,6% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.

Dwi Astuti, Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Selatan II yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, menjelaskan bahwa kontraksi ini dipengaruhi oleh kebijakan relaksasi jatuh tempo pembayaran PPN dalam negeri (DN). Menurutnya, kebijakan ini memberi keleluasaan waktu bagi wajib pajak untuk menyetor kewajiban mereka, yang berdampak langsung pada realisasi penerimaan di awal tahun.

“Kontraksi ini salah satunya karena terdapat relaksasi jatuh tempo pembayaran PPN DN,” ujar Dwi dikutip, belum lama ini.

Kendati mengalami penurunan secara neto, Dwi mengungkapkan bahwa dari sisi bruto, penerimaan PPN dan PPnBM justru menunjukkan pertumbuhan positif sebesar 1,1%. Hal ini menjadi indikasi bahwa aktivitas ekonomi dan konsumsi barang tetap berlangsung meski pelunasan pajaknya ditunda.

Sebagaimana diketahui, pemerintah telah menaikkan tarif PPN menjadi 12% sejak awal 2025, namun hanya diberlakukan untuk barang-barang mewah tertentu. Ketika ditanya mengenai kontribusi kebijakan ini terhadap total penerimaan negara, Dwi menyampaikan bahwa evaluasi masih terus dilakukan.

“Dapat kami sampaikan bahwa dampak kenaikan tarif PPN untuk barang tertentu masih dalam perhitungan lebih lanjut,” imbuhnya. (alf)

 

 

 

Lonjakan Wisman Kembali Dongkrak Penerimaan Pajak di Bali 

IKPI, Jakarta: Bali kembali bersinar sebagai primadona pariwisata dunia. Dalam lima bulan pertama tahun 2025, kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Pulau Dewata mencatat lonjakan signifikan. Berdasarkan data Dinas Pariwisata Pemprov Bali, BPS, dan Kantor Imigrasi Bandara Ngurah Rai, jumlah wisman yang masuk ke Bali mencapai lebih dari 2,66 juta orang naik 11,29% dibanding periode Januari–Mei 2024 yang berjumlah 2,39 juta. Angka ini bahkan jauh melampaui capaian sepanjang periode yang sama tahun 2023 yang hanya 1,87 juta kunjungan.

Ketua Bali Tourism Board (BTB), Ida Bagus Partha Adnyana, menyampaikan bahwa lonjakan kunjungan wisatawan ini tidak hanya membawa semarak di destinasi wisata, tetapi juga berdampak nyata terhadap penerimaan daerah. Ia menyebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pajak melonjak tajam di tiga kawasan utama Kabupaten Badung, Gianyar, dan Kota Denpasar.

“Realisasi penerimaan pajak di Mei 2025 di ketiga wilayah ini melampaui capaian dua tahun terakhir. Ini menandakan bahwa pemulihan ekonomi Bali terus bergerak ke arah positif, dengan sektor pariwisata dan jasa sebagai penggerak utama,” ujar Gus Agung, sapaan akrabnya, Jumat (13/6/2025).

Secara rinci, Pemkab Badung berhasil menghimpun pajak sebesar Rp2,41 triliun, Pemkab Gianyar mencatat Rp423 miliar, sementara Pemkot Denpasar meraup Rp639 miliar. Kontribusi terbesar bersumber dari pajak hotel, restoran, dan hiburan (PHR), yang menyumbang sekitar 75% dari total penerimaan pajak daerah di ketiga wilayah tersebut.

“Setiap kamar hotel yang ditempati, setiap hidangan yang disantap di restoran, dan setiap atraksi yang disaksikan pengunjung semuanya ikut menambah pemasukan daerah. Ini menunjukkan bagaimana sektor pariwisata menjadi jantung perekonomian Bali,” tambah Gus Agung.

Ia menambahkan, kawasan favorit seperti Nusa Dua, Kuta, Seminyak, Canggu, Sanur, dan Ubud menunjukkan tingkat hunian hotel (occupancy rate) yang meningkat signifikan sepanjang Januari hingga Mei 2025 jika dibandingkan tahun sebelumnya.

Optimisme pun menguat, bahwa sisa tahun 2025 akan terus menjadi momentum emas bagi kebangkitan ekonomi Bali yang berbasis pariwisata. (alf)

 

Pajak Saham di Filipina Kini Hanya 0,1%, Siap Bersaing Dengan Bursa Asia 

IKPI, Jakarta: Mulai 1 Juli 2025, Bursa Efek Filipina (PSE) akan menerapkan tarif pajak transaksi saham (stock transaction tax/STT) yang jauh lebih rendah, dari sebelumnya 0,6% menjadi hanya 0,1%. Kebijakan ini diharapkan menjadi magnet baru bagi investor global.

Penurunan drastis ini merupakan hasil dari pengesahan Republic Act No. 12214 atau Capital Markets Efficiency Promotion Act (CMEPA) yang diteken Presiden Ferdinand Marcos Jr pada 29 Mei 2025. Undang-undang ini menjadi tonggak reformasi perpajakan pasar modal di Filipina.

“Jika publikasi undang-undang selesai sebelum 1 Juli, maka STT 0,1% akan mulai berlaku untuk seluruh transaksi di bursa pada tanggal tersebut,” jelas Presiden dan CEO PSE, Ramon S. Monzon, dalam keterangannya tertanggal 11 Juni.

Lebih Murah dari Tetangga ASEAN

CMEPA menurunkan STT lima kali lipat langsung dalam satu kebijakan. Penurunan ini membuat Filipina menjadi salah satu negara dengan biaya transaksi saham terendah di kawasan Asia Tenggara. Langkah ini dinilai strategis untuk meningkatkan daya saing pasar modal domestik.

“Biaya transaksi yang lebih rendah akan mendorong lebih banyak investor besar—baik lokal maupun asing—untuk masuk ke pasar saham Filipina,” ujar Michael L. Ricafort, Kepala Ekonom Rizal Commercial Banking Corp.

PSE sendiri meyakini penurunan STT akan menjadi katalis utama bagi peningkatan volume perdagangan dan likuiditas pasar. Reformasi ini juga memberikan kepastian hukum terkait perlakuan pajak pada berbagai instrumen pasar modal, tidak hanya saham.

Dorong Aktivitas Perdagangan

Kepala Riset First Metro Investment Corp, Cristina S. Ulang, menilai kebijakan ini sebagai angin segar yang dapat memperkuat pasar dalam jangka panjang.

“Penurunan friction cost membuat investasi saham menjadi lebih efisien dan menarik, serta akan membantu meningkatkan nilai transaksi harian di bursa,” ujarnya.

Senada, Managing Director China Bank Capital Corp, Juan Paolo E. Colet, menyebut penurunan STT sangat menguntungkan trader aktif.

“Trader jangka pendek akan sangat diuntungkan. Spread harga beli dan jual (bid-ask spread) akan menyempit karena biaya transaksi yang lebih rendah,” ucapnya.

Reformasi Pajak Pasif Ikut Dirombak

CMEPA tidak hanya fokus pada STT. Sejumlah aturan pajak atas penghasilan pasif juga disederhanakan dan diseragamkan. Berikut beberapa poin penting lainnya:

• Bunga deposito dan dana keuangan: Kini dikenai pajak final 20%, termasuk simpanan dalam mata uang asing. Sebelumnya, tarifnya bervariasi atau bahkan bebas pajak.

• Royalti: Dikenai pajak final 20%, kecuali untuk buku, musik, dan karya sastra yang dikenai tarif 10%.

• Capital gain saham asing: Kini dikenai pajak final 15%, selaras dengan saham domestik.

• Bea meterai saham baru: Turun dari 1% menjadi 0,75%.

• Insentif pensiun (PERA): Perusahaan dapat mengklaim pengurangan pajak tambahan hingga 50% dari kontribusinya, maksimal 100.000 peso (sekitar Rp29 juta) per tahun.

Sinyal Positif bagi Pasar Modal Filipina

CMEPA disebut sebagai langkah berani yang menunjukkan komitmen pemerintah Filipina dalam memperbaiki iklim investasi. Dengan beban pajak yang lebih ringan dan kepastian hukum yang lebih jelas, pasar modal negara itu diproyeksikan akan semakin atraktif, tidak hanya bagi investor lokal, tapi juga regional dan global.

“Ini reformasi yang telah lama dinanti. Bukan hanya menguntungkan investor, tapi juga membuka jalan bagi modernisasi dan efisiensi pasar modal Filipina ke depan,” kata Monzon. (alf)

 

en_US