Ini Alasan Gubernur Jakarta Pajaki Padel!

IKPI, Jakarta: Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung buka suara terkait polemik pengenaan pajak terhadap olahraga padel yang belakangan ramai diperbincangkan. Menurutnya, pengenaan pajak atas lapangan padel sepenuhnya sesuai aturan dan bukan semata karena tren olahraga tersebut tengah naik daun.

“Saya secara jujur mengatakan bahwa itu memang diatur di pajak hiburan. Orang main tenis, squash, billiard, bulu tangkis, bahkan renang itu kena (pajak). Nah, padel juga termasuk kategori yang sama,” tegas Pramono dalam konferensi pers di Balai Kota Jakarta, Jumat (4/7/2025).

Pramono menilai, padel layak dikenai pajak karena tergolong sebagai olahraga hiburan yang banyak diminati kalangan tertentu. “Apalagi yang main padel, mohon maaf, rata-rata kan orang mampu. Untuk sewa lapangannya saja mahal,” tambahnya.

Kebijakan tersebut mengacu pada Keputusan Kepala Bapenda DKI Jakarta Nomor 257 Tahun 2025, yang merevisi aturan sebelumnya dan menetapkan fasilitas padel sebagai objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) kategori Jasa Kesenian dan Hiburan. Tarif pajak yang dikenakan adalah sebesar 10 persen.

Ketua Satuan Pelaksana Penyuluhan Pusat Data dan Informasi Pendapatan Jakarta, Andri M Rijal, juga memastikan bahwa kebijakan ini bukan karena padel sedang populer. “Ini bukan soal viral. Pajak ini diterapkan karena menyesuaikan perkembangan jenis hiburan dan olahraga di masyarakat,” ujarnya.

Lebih lanjut, Andri menjelaskan bahwa padel hanya satu dari 21 jenis fasilitas olahraga yang dikenai pajak hiburan serupa. Daftar lainnya mencakup lapangan futsal, bulutangkis, tenis, billiard, hingga studio yoga dan pilates.

“Yang penting masyarakat paham bahwa ini bukan kebijakan yang diskriminatif, tapi bagian dari optimalisasi pendapatan daerah sesuai Undang-Undang Pajak Daerah,” kata Pramono. (alf)

 

PPh 22 di Marketplace Diklaim Sebagai Senjata Baru Lawan Shadow Economy

IKPI, Jakarta: Pemerintah mulai menggandeng marketplace seperti TikTok Shop, Shopee, Tokopedia, dan Lazada untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dari pedagang yang bertransaksi di platform tersebut. Kebijakan ini menyasar merchant dengan omzet tahunan di atas Rp500 juta dan bertujuan langsung untuk menekan praktik shadow economy, yaitu aktivitas ekonomi yang tidak tercatat atau tidak dilaporkan secara resmi.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, baru-baru ini menegaskan bahwa pemungutan melalui marketplace akan membuat transaksi dagang lebih transparan karena terekam otomatis.

“Kebijakan ini bukan hanya menyederhanakan kewajiban perpajakan, tapi juga mengatasi masalah besar bernama shadow economy yang selama ini menggerus potensi penerimaan negara,” ujarnya.

Pemerintah menilai keberadaan pedagang online yang tidak terjangkau sistem perpajakan telah memperbesar sektor informal yang sulit dipantau. Dengan langkah ini, pedagang digital diwajibkan tunduk pada skema yang sama dengan pelaku usaha konvensional.

“Ini adalah langkah untuk menciptakan level playing field dan sekaligus mendorong perluasan basis pajak secara adil,” tambah Rosmauli.

Selain menertibkan pelaku usaha digital, strategi ini juga menjadi bagian dari upaya mengamankan penerimaan negara yang melambat pada kuartal pertama 2025. (alf)

 

Asosiasi UMKM Tegaskan Rencana Pajak E-Commerce 0,5% Picu Gejolak Ekonomi Ritel Digital

IKPI, Jakarta: Rencana pemerintah untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 0,5% melalui platform e-commerce menuai sorotan tajam dari pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Asosiasi UMKM menilai kebijakan tersebut berpotensi memberatkan usaha kecil dan justru bisa memicu gejolak ekonomi di sektor ritel digital.

Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Edy Misero, menyampaikan bahwa pelaku UMKM sangat mungkin menaikkan harga produk sebagai respons terhadap pungutan pajak tersebut. Kenaikan ini, kata Edy, berisiko menurunkan minat beli masyarakat.

“Pasti pelaku UMKM akan berpikir, ‘kalau begitu harga jual saya naikkan dong 0,5% untuk menutupi pajak 0,5%’,” ujar Edy, Jumat (4/7/2025).

Menurutnya, kenaikan harga di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil akan mendorong konsumen menunda pembelian. “Transaksi bisa menurun, dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi kita makin lesu,” tegas Edy.

Edy juga mempertanyakan kemampuan e-commerce dalam mendeteksi pelaku usaha dengan omzet di atas Rp500 juta per tahun. Ia mengusulkan agar pajak dikenakan langsung kepada platform e-commerce, bukan pada para penjual.

“Lebih baik aplikator yang dikenakan pajak. Mereka punya margin besar dan punya sistem yang sudah canggih. Jangan bebani penjual kecil,” katanya.

Senada dengan Edy, Ketua Umum Asosiasi IUMKM Indonesia (Akumandiri), Hermawati Setyorinny, mengungkapkan keresahan di kalangan pelaku UMKM. Menurutnya, wacana pungutan pajak melalui e-commerce sudah membuat sebagian UMKM berniat hengkang dari platform digital.

“Sudah mulai terdengar, pelaku UMKM ada yang bilang mau keluar dari e-commerce kalau ini benar-benar diberlakukan,” ujar Hermawati.

Ia menambahkan, potensi kenaikan harga barang akibat pajak bisa membebani konsumen sekaligus menggerus omzet pelaku usaha kecil. Belum lagi, UMKM yang berjualan online sudah menanggung berbagai potongan biaya lainnya dari platform.

“Potongan sudah banyak, lalu ditambah pajak, ini bisa jadi beban ganda. Jangan sampai kebijakan ini malah menyingkirkan UMKM dari ekosistem digital,” tegasnya.

Hermawati mendesak agar pemerintah mengkaji ulang rencana kebijakan ini secara komprehensif. Ia menekankan pentingnya memberikan insentif atau “reward” kepada UMKM yang telah patuh membayar pajak.

“Kalau memang ingin menarik pajak dari UMKM, negara harus hadir dengan imbal balik yang jelas. Jangan hanya menarik, tapi tak memberi manfaat nyata bagi pelaku usaha kecil,” pungkasnya.

Dengan munculnya gelombang kritik dari pelaku UMKM, pemerintah kini dituntut untuk lebih sensitif terhadap kondisi sektor riil yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Kebijakan pajak e-commerce yang tidak tepat sasaran justru bisa menciptakan efek domino yang merugikan. (alf)

 

Kemenkeu Tegaskan Pungutan PPh 22 E-Commerce Hanya Ubah Mekanisme Pembayaran

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan menegaskan bahwa rencana penerapan pungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 terhadap pedagang di platform niaga elektronik (e-commerce) bukanlah kebijakan pajak baru. Pemerintah hanya mengubah mekanisme pembayaran pajak agar lebih praktis dan efisien bagi pelaku usaha.

Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, Febrio Kacaribu, menjelaskan bahwa pola pemungutan semacam ini sudah diterapkan lebih dulu terhadap perusahaan digital berskala global seperti Google dan Netflix. Kini, mekanisme tersebut diperluas ke sektor perdagangan elektronik dalam negeri guna memperkuat kemitraan dengan marketplace sebagai pemungut pajak.

“Ini bukan pajak baru. Kita hanya mengubah cara pembayaran pajaknya agar lebih mudah dan terintegrasi. Marketplace akan membantu memungut PPh dari pedagang yang memenuhi syarat,” ujar Febrio, baru-baru ini.

Ia menekankan, pungutan PPh 22 hanya dikenakan kepada pedagang e-commerce yang memiliki omzet di atas Rp500 juta per tahun. Sementara itu, pelaku usaha kecil dan mikro yang penghasilannya di bawah batas tersebut tidak akan terkena pungutan ini.

“Justru ini bentuk keberpihakan pada UMKM. Mereka tetap bisa berjualan tanpa beban tambahan,” tambahnya.

Penjelasan lebih rinci juga disampaikan oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Rosmauli. Menurutnya, kebijakan ini merupakan bentuk pergeseran dari sistem self-assessment di mana pedagang membayar sendiri pajaknya menjadi sistem withholding tax, yaitu pemungutan oleh pihak ketiga yang ditunjuk, dalam hal ini marketplace.

“Marketplace seperti Tokopedia, Shopee, TikTok Shop, dan Lazada akan ditunjuk pemerintah sebagai pemungut PPh 22 atas transaksi dari pedagang yang omzetnya di atas Rp500 juta per tahun. Pemungutan dilakukan dengan tarif 0,5 persen sesuai PP Nomor 23 Tahun 2018 tentang PPh Final UMKM,” jelas Rosmauli, Kamis (26/6/2025).

Ia menambahkan, sistem ini justru memberikan kemudahan dan kepastian bagi pedagang dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Pemotongan dilakukan otomatis oleh platform, tanpa perlu proses pelaporan terpisah oleh pedagang.

“Ini bukan soal pungutan tambahan, melainkan penyederhanaan sistem. Kami ingin bantu pedagang patuh pajak tanpa harus ribet,” tegas Rosmauli.

Dengan mekanisme baru ini, pemerintah berharap kepatuhan pajak dapat meningkat, terutama dari sektor digital yang terus berkembang pesat. (alf)

Zakat Bakal Dikelola Seperti Pajak? Kemenag Siapkan Terobosan Tata Kelola Terintegrasi

IKPI, Jakarta: Kementerian Agama (Kemenag) tengah menggagas pendekatan baru dalam pengelolaan zakat nasional yang lebih modern dan terstruktur. Salah satu wacana yang mengemuka adalah menjadikan sistem tata kelola zakat menyerupai sistem perpajakan negara, dengan mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan integrasi data secara nasional.

“Zakat ini tidak cukup hanya dikelola secara normatif. Ke depan, kami dorong agar tata kelolanya bisa seperti pajak  terstruktur, terintegrasi, dan terdokumentasi,” ujar Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kemenag, Prof. Waryono Abdul Ghafur, dalam acara silaturahmi bersama mantan Wakil Presiden RI KH Ma’ruf Amin di Menara Bank Mega, Jakarta Selatan, Kamis (3/7/2025).

Ia menekankan pentingnya sistem digital dalam pelaporan dan pemantauan zakat, serta mendorong sinergi kuat antara Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Lembaga Amil Zakat (LAZ), dan pemerintah daerah. “Langkah ini diharapkan memastikan distribusi zakat menjadi lebih tepat sasaran dan berkelanjutan,” tambahnya.

Pilar Ekonomi Syariah

Menyambut gagasan tersebut, Wapres KH Ma’ruf Amin menyatakan dukungannya. Ia menegaskan bahwa zakat bukan semata kewajiban ibadah, melainkan instrumen strategis dalam membangun ekonomi syariah yang inklusif dan berkeadilan.

“Zakat ini bagian dari pilar ekonomi syariah. Kita tidak hanya mengumpulkan, tapi juga memberdayakan. Ini instrumen ekonomi,” tegasnya.

Tahun 2024 menjadi tonggak penting dengan capaian pengumpulan zakat, infak, sedekah (ZIS), dan dana sosial keagamaan lainnya (DSKL) sebesar Rp 40,5 triliun — naik 25,3% dari tahun sebelumnya. Jumlah penerima manfaat pun meningkat signifikan menjadi 119 juta jiwa, dari 97,8 juta jiwa pada 2023.

Ia juga menyoroti peran Komite Daerah Ekonomi dan Keuangan Syariah (KDEKS) sebagai perpanjangan tangan dari Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS). Hingga awal 2025, KDEKS telah hadir di 31 dari 38 provinsi di Indonesia.

Menariknya, keterlibatan kepala daerah lintas agama dalam mengelola KDEKS menjadi sorotan positif. KH Ma’ruf Amin menceritakan pengalaman seorang gubernur non-Muslim dari Indonesia Timur yang bangga memimpin KDEKS dan bahkan meminta testimoni darinya untuk dimuat dalam biografi pribadinya.

“Dia bilang, ‘kalau ada orang Islam yang nggak bangga dengan ekonomi syariah, saya yang Kristen justru bangga,'” ungkap Ma’ruf, menekankan bahwa prinsip ekonomi syariah bersifat inklusif dan adaptif dalam mendukung pembangunan daerah.

Kiai Ma’ruf menegaskan bahwa integrasi zakat dan wakaf dalam kebijakan pembangunan daerah merupakan bagian dari strategi nasional jangka panjang. Menurutnya, ekonomi syariah harus dikelola secara profesional, berbasis data, dan terukur tidak lagi hanya menjadi konsep idealis. (alf)

 

RUU Pajak AS Picu Melesatnya Harga Bitcoin

IKPI, Jakarta: Pasar kripto global kembali menunjukkan performa impresif dalam 24 jam terakhir, dipicu oleh sentimen positif dari Amerika Serikat. Harga Bitcoin (BTC) melesat seiring munculnya Rancangan Undang-Undang (RUU) pajak kripto baru di Senat AS yang dinilai pro-investor.

Mengutip data dari Coinmarketcap pada Jumat (4/7/2025) pukul 06.50 WIB, kapitalisasi pasar kripto global naik 0,46% menjadi US$ 3,38 triliun. Bitcoin sebagai aset kripto dengan kapitalisasi terbesar, menguat 0,71% dan kini diperdagangkan di level US$ 109.620 atau sekitar Rp 1,76 miliar per koin (kurs Rp 16.087).

Aset kripto lainnya turut mencatat penguatan. Ethereum (ETH) naik 0,73% menjadi US$ 2.590, Binance Coin (BNB) menguat 0,45% ke US$ 663, Dogecoin (DOGE) melonjak 1,91% ke US$ 0,172, XRP naik 1% ke US$ 2,25, dan Solana (SOL) turut terdongkrak 0,1% ke US$ 152 per koin.

RUU Pajak Pro-Kripto

Pendorong utama penguatan pasar datang dari Senat AS, di mana Senator Cynthia Lummis dari Wyoming mengajukan draft RUU pajak kripto yang berpotensi merevolusi perlakuan pajak atas aset digital di negara tersebut.

RUU ini mengusulkan pembebasan pajak untuk transaksi aset digital dengan keuntungan hingga US$ 300 per transaksi, dengan batas tahunan sebesar US$ 5.000.

Donasi amal dan perjanjian peminjaman aset kripto juga akan dikecualikan dari pajak.

Tak hanya itu, hadiah dari aktivitas mining dan staking tidak akan dikenakan pajak hingga aset tersebut dijual.

“Ini adalah regulasi yang seimbang dan visioner, yang memungkinkan inovasi tetap berjalan tanpa membebani warga dengan risiko pajak tak disengaja,” ujar Lummis dalam pernyataannya.

Ancaman Siber Masih Bayangi

Di tengah euforia pasar, Koi Security mengingatkan pengguna akan kampanye phishing besar-besaran yang menyasar pengguna Mozilla Firefox. Sebanyak lebih dari 40 ekstensi palsu yang meniru dompet kripto populer seperti MetaMask, Trust Wallet, dan Coinbase, ditemukan mencuri data pengguna secara diam-diam.

“Ini adalah serangan yang masif dan masih berlangsung. Ekstensi jahat ini secara aktif menyedot data dari dompet kripto pengguna,” tegas Koi Security. (alf)

 

DJP Jatim II Gandeng Kejati dan DPMD Jombang Awasi Pajak Desa

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Timur II terus memperkuat sinergi dengan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Jombang dalam memastikan kepatuhan pajak pemerintah desa. Melalui kegiatan Monitoring dan Evaluasi (Monev) Kewajiban Perpajakan Instansi Pemerintah Desa (IPDes), sebanyak 69 kepala desa dari Kabupaten Jombang dikumpulkan di Ruang Bung Tomo, Pemkab Jombang, Kamis (3/7/2025).

Kegiatan ini diinisiasi untuk membangun kesadaran kolektif bahwa pengelolaan dana desa tak lepas dari tanggung jawab perpajakan. Kepala DPMD Jombang, Sholahuddin Hadi Sucipto, menekankan pentingnya aspek administrasi pajak dalam tata kelola desa. “Aspek perpajakan harus menjadi perhatian serius agar penggunaan dana desa tepat sasaran dan terhindar dari penyimpangan,” tegasnya.

Kepala KPP Pratama Jombang, Syaiful Rakhman, menyebut IPDes memiliki kontribusi besar terhadap penerimaan negara. “Kami ingin kerja sama ini terus ditingkatkan. Pelayanan kami harus makin baik, dan kesadaran pajak desa pun makin tumbuh,” ucapnya.

Dalam paparannya, Koordinator Kolaborasi PPNS DJP Jatim II, Paduanta Hutahayan, menjelaskan tanggung jawab pajak desa dan risiko pidana jika kewajiban tidak dipenuhi. Hal ini diperkuat oleh Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jatim, Windhu Sugiarto, yang mengingatkan para kepala desa akan potensi kerugian negara bila pajak tidak disetor.

“Kami ingin para kepala desa memahami sepenuhnya konsekuensi hukum agar tak terjerumus dalam pelanggaran perpajakan,” kata Windhu dalam keterangan tertulisnya, Jumat (4/7/2025).

Sebagai bentuk komitmen bersama, kegiatan ditutup dengan penandatanganan Berita Acara Kolaborasi Penegakan Hukum oleh perwakilan kepala desa, KPP Pratama Jombang, dan Tim Kolaborasi PPNS DJP Jatim II. Dokumen ini menjadi pijakan kuat dalam memastikan pemenuhan kewajiban pajak dana desa periode 2021–2025.

Sementara itu, Kepala Kanwil DJP Jatim II, Agustin Vita Avantin, menegaskan bahwa kegiatan serupa akan digelar di seluruh wilayah kerja DJP Jatim II. “Kami maksimalkan kolaborasi dengan Kejati untuk memastikan aparat desa tak terjerat sanksi pidana akibat kelalaian perpajakan,” ujarnya.

Dengan pendekatan kolaboratif dan preventif, DJP Jatim II berharap kepatuhan perpajakan di tingkat desa dapat terjaga, sekaligus menghindarkan pemerintah desa dari jerat hukum yang merugikan pembangunan di akar rumput. (bl)

 

WHO Dorong Kenaikan Harga Rokok, Alkohol, dan Minuman Manis hingga 50% Lewat Pajak Kesehatan

IKPI, Jakarta: Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyerukan langkah global untuk menaikkan harga produk rokok, alkohol, dan minuman manis hingga 50% melalui mekanisme perpajakan dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan. Seruan ini disampaikan dalam Konferensi PBB tentang Pembiayaan untuk Pembangunan yang digelar di Seville, Spanyol.

Melalui inisiatif bertajuk “3 by 35”, WHO menargetkan tercapainya peningkatan harga secara menyeluruh pada ketiga jenis produk tersebut, dengan proyeksi tambahan penerimaan negara mencapai US$1 triliun atau sekitar Rp16,2 kuadriliun pada 2035.

Langkah ini merupakan bentuk dukungan terkuat WHO terhadap penggunaan pajak sebagai instrumen untuk mencegah penyakit tidak menular (PTM) yang semakin membebani sistem kesehatan di banyak negara. PTM seperti diabetes dan kanker banyak dikaitkan dengan konsumsi minuman manis, alkohol, dan produk tembakau.

“Pajak kesehatan adalah salah satu alat paling efektif dan efisien untuk menyelamatkan nyawa sekaligus meningkatkan pendapatan negara,” ujar Asisten Direktur Jenderal WHO untuk Promosi Kesehatan dan Pencegahan Penyakit, Jeremy Farrar seperti dikutip dari Reuters, Kamis (3/7/2025).

Ia menambahkan, dunia tak bisa lagi menunda aksi nyata menghadapi krisis kesehatan yang semakin kronis.

Dampak Ganda

WHO menyebutkan bahwa kebijakan ini dapat menjadi solusi ganda, tidak hanya untuk menekan konsumsi produk berisiko, tetapi juga membantu negara-negara berkembang yang sedang menghadapi defisit anggaran, utang publik yang menanjak, serta penurunan bantuan pembangunan.

Contoh penerapan pajak serupa di Kolombia dan Afrika Selatan menjadi rujukan utama dalam menyusun estimasi potensi penerimaan pajak global. WHO sendiri selama puluhan tahun telah aktif mendorong pajak tembakau, dan dalam beberapa tahun terakhir memperluas seruan untuk mencakup alkohol dan minuman bergula.

Namun, untuk pertama kalinya, WHO menetapkan target kuantitatif dan waktu pelaksanaan untuk ketiga kategori tersebut secara bersamaan.

Tak berhenti di situ, WHO juga mengisyaratkan kemungkinan ekspansi kebijakan pajak ke produk makanan ultra-proses seperti camilan tinggi gula dan garam yang selama ini dianggap berkontribusi besar terhadap meningkatnya beban penyakit metabolik. WHO kini tengah menyusun definisi resmi untuk kategori makanan tersebut dan berencana mengumumkannya dalam waktu dekat.

Inisiatif “3 by 35” diklaim mendapat dukungan kuat dari berbagai lembaga internasional, termasuk Bloomberg Philanthropies, Bank Dunia, dan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Selain advokasi, inisiatif ini juga menawarkan dukungan teknis dan kebijakan bagi negara yang siap melaksanakan reformasi pajak kesehatan secara nyata.

Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO, menegaskan bahwa inisiatif ini adalah jawaban terhadap tantangan kesehatan dan ekonomi global yang semakin kompleks.

“Dengan kebijakan fiskal yang cerdas, kita tidak hanya menyelamatkan nyawa, tapi juga memperkuat ketahanan sistem kesehatan nasional,” ujarnya.(alf)

 

 

 

Ekonom Imbau Pemerintah Tunda Kenaikan PPN dan Cukai: Bisa Tekan Daya Beli

IKPI, Jakarta: Rencana pemerintah untuk mengerek sejumlah tarif pajak dan cukai pada 2026, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, cukai minuman berpemanis, serta cukai rokok, menuai sorotan tajam dari kalangan ekonom.

Ekonom senior Raden Pardede menilai langkah ini belum tepat sasaran dan justru berisiko menekan daya beli masyarakat serta mendorong praktik ekonomi ilegal.

“Dalam situasi ekonomi seperti sekarang, yang dibutuhkan bukan tarif yang lebih tinggi, tapi kepatuhan pajak yang lebih baik,” kata Raden dikutip dari Cuap Cuap Cuan yang disiarkan CNBC Indonesia, Kamis (3/7/2025).

Raden mencontohkan persoalan pada sektor cukai rokok. Menurutnya, alih-alih meningkatkan penerimaan, kenaikan tarif justru mendorong peredaran rokok ilegal yang merugikan negara. “Cukai rokok itu sumber penerimaan besar, tapi justru yang terjadi makin banyak rokok ilegal. Katanya angkanya bisa sampai Rp100 triliun. Itu yang harus dibereskan dulu,” ujarnya.

Ia mengingatkan bahwa upaya peningkatan tarif di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih sepenuhnya hanya akan membuat masyarakat dan pelaku usaha mencari jalan pintas ke sektor informal, bahkan ilegal. Hal ini berpotensi memperburuk pengawasan dan menggerus basis pajak yang sah.

“Kalau tarif dinaikkan sekarang, ya orang bakal cari yang lebih murah, bahkan ilegal. Sama saja negara kehilangan pendapatan,” tambahnya.

Lebih lanjut, Raden menekankan bahwa pemerintah perlu membenahi sistem pemungutan dan memperluas basis pajak, bukan hanya menaikkan tarif bagi mereka yang sudah patuh. Ia mengibaratkan kebijakan pajak saat ini sebagai perburuan yang tidak adil.

“Jangan berburu di kebun binatang. Jangan hanya membebani wajib pajak yang itu-itu saja. Perluasan dan penegakan kepatuhan jauh lebih penting,” ujarnya. (alf)

 

Pejabat hingga Mahasiswa Kini Bisa Impor Barang Pindahan Tanpa Bea Masuk

IKPI, Jakarta: Pemerintah memperluas cakupan fasilitas pembebasan bea masuk atas barang pindahan dari luar negeri bagi Warga Negara Indonesia (WNI). Kini, pejabat negara turut masuk dalam daftar penerima fasilitas, menyusul diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 25 Tahun 2025 yang mulai berlaku pada 27 Juni 2025.

Sebelumnya, dalam PMK Nomor 28 Tahun 2008, ketentuan ini hanya berlaku untuk kalangan terbatas seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota TNI, dan Polri yang bertugas atau belajar di luar negeri. Dengan aturan baru, cakupan subjek makin luas termasuk pejabat negara, serta Warga Negara Asing (WNA) yang sedang menempuh pendidikan di Indonesia.

“Dalam pengaturan ini, jangkauan subjeknya lebih luas. Ada pejabat negara, dan WNA yang belajar. Sebelumnya hanya WNA yang bekerja,” ujar Kepala Subdirektorat Impor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Chotibul Imam, dalam media briefing virtual pada Rabu (2/7/2025).

Barang Rumah Tangga Tak Dibatasi Nilai

Barang pindahan didefinisikan sebagai barang rumah tangga milik pribadi atau anggota keluarga yang sebelumnya berdomisili di luar negeri, kemudian dibawa pulang ke Indonesia. Tidak seperti barang penumpang yang dibatasi hingga US$500 atau barang kiriman umum yang dibatasi US$3, barang pindahan tidak memiliki batas nilai asalkan memenuhi kriteria.

“Nilainya bisa saja US$1.000 atau lebih, tidak masalah selama sesuai definisi barang pindahan. Tidak dikenakan PPN dan dikecualikan dari pemungutan PPh,” jelas Imam.

Namun demikian, pembebasan tidak berlaku untuk kendaraan bermotor seperti mobil dan sepeda motor, kapal cepat, pesawat udara, barang kena cukai, dan barang dalam jumlah berlebihan yang tidak wajar untuk barang pindahan.

Proses Semakin Mudah dan Gratis

Pengajuan fasilitas pembebasan bea masuk kini dapat dilakukan secara daring melalui laman barangpindahan.beacukai.go.id. Fasilitas ini disediakan tanpa pungutan biaya, kecuali jika menggunakan jasa pihak ketiga seperti Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK).

“Layanan Bea Cukai gratis. Kalau memakai jasa perusahaan, tentu ada biaya tersendiri dari perusahaan tersebut,” imbuh Imam.

Adapun ketentuan waktu mengatur bahwa barang pindahan harus tiba bersamaan dengan pemiliknya atau dalam rentang waktu paling lama 90 hari sebelum atau setelah kedatangan pemilik. Syarat lainnya, barang harus dikirim dari negara tempat domisili dan pemilik telah tinggal di luar negeri sekurang-kurangnya 12 bulan.

Pembaruan Aturan Sesuai Kebutuhan Zaman

Imam menegaskan bahwa pembaruan regulasi ini dilakukan karena aturan sebelumnya dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Penyusunan aturan baru ini pun dilakukan secara lebih rinci untuk memperkuat tata kelola pelayanan kepabeanan.

“Kita revisi dengan menyusun regulasi yang sedemikian detail. Tujuannya tentu untuk memperbaiki tata kelola dan menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat,” pungkasnya. (alf)

 

en_US