IKPI bersama Kanwil DJP Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo, dan Maluku Utara Perkuat Sinergi Optimalisasi Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Dalam rangka memperkuat sinergi antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Pengurus Pusat IKPI bersama Pengurus IKPI Cabang Manado melakukan kunjungan ke Kantor Wilayah (Kanwil) DJP Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo, dan Maluku Utara. Delegasi IKPI Pusat yang dipimpin oleh Ketua Departemen Pengembangan Organisasi, Nuryadin Rahman, didampingi oleh Ketua Departemen Sistem Pengembangan Bisnis Anggota, Donny Rindorindo, serta Ketua Departemen Keanggotaan dan Etika, Robert Hutapea, disambut langsung oleh Kepala Kanwil DJP, Eureka Putra, di kantor DJP Manado.

Diceritakan Nuryadin, dalam pertemuan tersebut, Eureka Putra menyampaikan rasa gembiranya atas kunjungan rombongan IKPI. Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara DJP dan IKPI dalam mendukung optimalisasi penerimaan pajak negara. “Target pendapatan pajak di wilayah kami hampir mencapai 100 persen. Namun, untuk mencapai dan melampaui target tersebut, kami membutuhkan dukungan dan sinergi dari berbagai pihak, terutama IKPI sebagai mitra strategis DJP,” ujar Eureka.

Eureka menegaskan bahwa DJP tidak dapat bekerja sendirian dalam mengawal penerimaan negara. IKPI, sebagai organisasi yang beranggotakan para konsultan pajak profesional, memiliki peran penting dalam membantu DJP mengedukasi dan mendampingi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Dalam diskusi yang berlangsung hangat lanjut Nuryadin, Eureka juga membuka pintu lebar-lebar untuk kunjungan lanjutan dari Pengurus IKPI Cabang Manado dan menyampaikan harapannya agar silaturahmi ini dapat terus terjalin. “Kami sangat terbuka jika rekan-rekan IKPI Cabang Manado ingin berkunjung lagi. Kolaborasi yang erat antara DJP dan IKPI sangat diperlukan demi memperkuat ekosistem perpajakan di wilayah ini,” kata Nuryadin, seraya menyampaikan pesan Eureka.

Selain itu, Eureka juga berpesan agar IKPI turut serta mendukung sosialisasi Coretax, sebuah sistem perpajakan modern yang akan diterapkan pada awal Januari 2025. Sistem ini diharapkan dapat mempermudah administrasi perpajakan sekaligus meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Ia meminta agar para konsultan pajak yang tergabung dalam IKPI dapat membantu menyampaikan informasi terkait Coretax kepada klien mereka.

Selain itu, Nuryadin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala Kanwil DJP Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo, dan Maluku Utara atas sambutan yang sangat hangat dalam kunjungan tersebut.

Menurutnya, pertemuan ini menjadi momen yang sangat penting untuk mempererat sinergi antara IKPI dan DJP, terutama dalam mendukung tercapainya target penerimaan pajak di wilayah ini.

“Kami mengapresiasi pencapaian hampir 100 persen dari target pendapatan pajak yang telah diraih di bawah kepemimpinan Bapak Eureka Putra. Hal ini menjadi bukti nyata kerja keras seluruh jajaran DJP di wilayah tersebut,” kata Nuryadin.

Ia memahami bahwa penerimaan negara merupakan tanggung jawab bersama. Sebagai mitra strategis DJP, IKPI berkomitmen untuk terus mendukung tugas-tugas DJP, termasuk dalam menyosialisasikan Coretax kepada wajib pajak yang merupakan klien dari anggota IKPI.

Menurut Nuryadin, Coretax merupakan inovasi yang sangat penting untuk meningkatkan pelayanan dan efisiensi sistem perpajakan, dan mereka siap membantu memastikan bahwa informasi ini sampai kepada para wajib pajak dengan baik.

“Kami juga menyambut baik silaturahmi dan komunikasi antara pengurus IKPI, khususnya Cabang Manado, dengan DJP. Kerja sama yang erat ini menjadi fondasi kuat untuk mendukung keberhasilan sistem perpajakan yang lebih baik di masa depan,” ujarnya.

Ia juga berharap hubungan yang sudah terjalin ini dapat semakin erat, dan kami siap menjadi mitra yang andal dalam mengawal penerimaan negara sekaligus memberikan pelayanan terbaik kepada wajib pajak. (bl)

DJP: Tiket Konser Bebas dari Dampak Kenaikan PPN, Tiket Pesawat Tetap Terutang Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) menegaskan bahwa tiket konser musik tidak akan terdampak oleh kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Hal ini dikarenakan transaksi penjualan tiket konser musik bukan termasuk dalam objek PPN.

Dalam keterangan resminya pada Sabtu (21/12/2024), DJP menjelaskan bahwa tiket konser termasuk dalam objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), yang pengelolaannya berada di bawah kewenangan pemerintah kabupaten/kota sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).

Sementara itu, tiket pesawat dalam negeri tetap dikenakan PPN. Hal ini merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 1994 yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983, sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994.

DJP menegaskan bahwa transaksi penjualan tiket pesawat dalam negeri, yang bukan merupakan bagian dari tiket pesawat luar negeri, tetap menjadi objek PPN sesuai ketentuan yang berlaku.

Pernyataan ini memberikan kejelasan kepada masyarakat dan pelaku usaha terkait dampak kebijakan kenaikan PPN terhadap sektor hiburan dan transportasi. (alf)

Transaksi QRIS Kena PPN 12%? Ini Penjelasan DJP

IKPI, Jakarta: Transaksi menggunakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) semakin marak di tengah masyarakat. Namun, menjelang kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025, muncul kekhawatiran bahwa pembayaran menggunakan QRIS akan dikenakan tambahan pajak.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memberikan klarifikasi terkait hal ini. Dalam pernyataan resmi pada Sabtu (21/12/2024), DJP menegaskan bahwa transaksi pembayaran melalui QRIS merupakan bagian dari Jasa Sistem Pembayaran, yang sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022.

“Penyelenggaraan jasa sistem pembayaran bukan merupakan objek pajak baru,” jelas DJP.

DJP menjelaskan bahwa dasar pengenaan PPN adalah Merchant Discount Rate (MDR), yaitu biaya yang dikenakan oleh penyelenggara jasa pembayaran kepada pemilik merchant.

Artinya, transaksi menggunakan QRIS tidak akan dikenakan PPN tambahan di luar ketentuan yang berlaku.

Sebagai contoh, jika seseorang membeli televisi seharga Rp 5.000.000, maka PPN 12% yang terutang adalah Rp 600.000. Sehingga, total harga yang harus dibayarkan adalah Rp 5.600.000. Nominal ini berlaku sama, baik pembayarannya dilakukan melalui QRIS maupun metode pembayaran lainnya.

DJP juga menekankan pentingnya memahami regulasi terkait untuk menghindari kesalahpahaman di masyarakat.

Transaksi menggunakan QRIS tetap dipandang sebagai salah satu langkah menuju efisiensi dan inklusi keuangan digital di Indonesia.(alf)

APINDO Tolak Threshold Omzet UMKM untuk Tarif PPh Final 0,5 Persen

IKPI, Jakarta: Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menolak rencana pemerintah untuk menurunkan ambang batas (threshold) omzet usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dari Rp4,8 miliar menjadi Rp3,6 miliar per tahun sebagai syarat dikenakannya tarif Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,5 persen.

Penolakan tersebut disampaikan Analis Kebijakan Ekononi APINDO Ajib Hamdani di Jakarta, baru-baru ini.

Ajib mengungkapkan alasan penolakan tersebut. Menurutnya, kebijakan ini berpotensi kontraproduktif terhadap upaya pemerintah menjaga daya beli masyarakat dan mendorong pemulihan ekonomi nasional.

“PDB (Produk Domestik Bruto) 60 persen ditopang oleh UMKM, jadi pemerintah seharusnya fokus menjaga keberlangsungan UMKM,” ujarnya.

Ia menilai, langkah penurunan threshold tersebut tidak sesuai dengan narasi pemerintah yang ingin menstimulasi ekonomi nasional. Ia juga mengingatkan bahwa kebijakan tersebut berpotensi memicu kontraksi ekonomi akibat disinsentif fiskal.

“Jika pemerintah ingin mengevaluasi kebijakan threshold, sebaiknya dilakukan pada tahun-tahun mendatang, bukan dalam situasi ekonomi saat ini. Oleh karena itu, APINDO sangat tidak setuju dengan rencana tersebut,” katanya.

Namun demikian, Ajib memberikan apresiasi terhadap keputusan pemerintah untuk memperpanjang pemanfaatan tarif PPh final 0,5 persen bagi UMKM hingga tahun 2025.

Sebelumnya, berdasarkan amanat PP Nomor 23 Tahun 2018 yang dipertegas dengan PP Nomor 55 Tahun 2022, fasilitas ini hanya berlaku selama tujuh tahun dan akan berakhir pada 2024.

“Kebijakan perpanjangan ini patut diapresiasi karena mendukung keberlanjutan UMKM sebagai penopang utama ekonomi nasional. UMKM tidak hanya menjaga daya beli masyarakat, tetapi juga menyerap tenaga kerja yang tidak terserap di sektor formal,” kata Ajib.

Diberitakan sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, juga menegaskan bahwa perpanjangan kebijakan tarif PPh final 0,5 persen bertujuan untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional.

“PPh final ini akan diperpanjang sampai 2025. Seharusnya, berdasarkan regulasi yang ada, kebijakan ini selesai pada 2024. Namun, demi memberikan kemudahan bagi UMKM, pemerintah memutuskan untuk memperpanjang,” ujar Airlangga dalam konferensi pers di Jakarta (16/12/2024).

Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap UMKM dapat terus tumbuh sebagai mesin utama perekonomian, menjaga daya beli masyarakat, dan mendukung stabilitas ekonomi nasional. (alf)

Pemerintah Pastikan UMKM Tak Terkena Dampak Kenaikan PPN 12%

IKPI, Jakarta: Menteri Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Maman Abdurahman, memberikan penjelasan terkait kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025. Ia menegaskan bahwa langkah ini adalah bagian dari strategi jangka panjang pemerintah untuk menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan negara, terutama pasca pandemi Covid-19.

Maman menjelaskan, kebijakan ini berasal dari konsensus bersama antara pemerintah dan DPR untuk mendukung sektor ekonomi riil masyarakat, khususnya selama pandemi. Pada masa itu, pemerintah menurunkan pajak korporasi untuk meringankan beban perusahaan dan mencegah pemutusan hubungan kerja secara massal.

Namun kata Maman, kebijakan ini harus diimbangi dengan langkah menjaga keseimbangan keuangan negara, salah satunya melalui kenaikan PPN secara bertahap.

“PPN ini naik secara bertahap, dari 10% menjadi 11%, dan akan menjadi 12% mulai 2025. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah kenaikan ini hanya berlaku pada barang dan jasa premium. Bahan makanan pokok dan kebutuhan masyarakat umum tidak terkena dampak,” ujar Maman di Jakarta, Jum’at (20/12/2024).

Ia mencontohkan bahwa bahan makanan seperti daging wagyu dan layanan mewah di hotel-hotel berbintang menjadi salah satu objek kenaikan pajak ini. “Apakah seluruh masyarakat kita mengonsumsi daging wagyu atau menggunakan layanan hotel berbintang? Tentu tidak,” katanya.

Lebih lanjut, Maman menegaskan bahwa sektor UMKM dan masyarakat kelas menengah ke bawah tidak akan terkena dampak dari kebijakan ini. Pemerintah bahkan konsisten memberikan insentif kepada UMKM sebagai bentuk apresiasi atas peran penting mereka dalam menjaga perekonomian selama pandemi.

“UMKM adalah tulang punggung ekonomi negara. Pemerintah tetap berpihak pada sektor ini dengan memberikan langkah afirmatif untuk memastikan mereka tetap terlindungi,” ujarnya.

Dengan adanya kebijakan ini, pemerintah berharap masyarakat memahami bahwa kenaikan PPN 12% tidak akan membebani kebutuhan dasar. Fokusnya adalah pada segmen premium untuk menjaga keberlanjutan keuangan negara tanpa mengorbankan kesejahteraan rakyat kecil. (alf)

Menteri UMKM: Insentif Pajak Diperpanjang, Kenaikan PPN Tak Bebani Masyarakat Kecil

IKPI, Jakarta: Menteri Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Maman Abdurahman, memastikan insentif pajak penghasilan (PPh) final sebesar 0,5% bagi pelaku UMKM dengan omzet maksimal Rp4,8 miliar per tahun diperpanjang hingga 2025. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan waktu lebih bagi pelaku usaha kecil agar lebih mandiri secara finansial.

“Insentif ini bentuk pembinaan agar UMKM dapat berkembang tanpa beban pajak berat. Setelah masa 7 tahun selesai, diharapkan mereka siap menggunakan skema pajak normal,” ujar Maman di Jakarta, Jum’at (20/12/2024).

Menurut Maman, UMKM dengan penghasilan di bawah Rp500 juta per tahun tetap bebas dari PPh. Sementara itu, bagi UMKM yang baru mendapatkan insentif 2-3 tahun, mereka masih akan menikmati kebijakan ini hingga mencapai total 7 tahun.

Ia juga meluruskan isu penurunan ambang batas (threshold) omzet insentif PPh dari Rp4,8 miliar menjadi Rp3,6 miliar. “Tidak ada perubahan. Batas omzet tetap Rp4,8 miliar, jadi pelaku UMKM tidak perlu khawatir,” katanya.

Terkait kenaikan PPN menjadi 12%, Maman menjelaskan bahwa kebijakan ini hanya berlaku untuk barang premium atau mewah. Barang esensial seperti sembako, transportasi umum, dan layanan kesehatan tetap bebas PPN.

Untuk mengantisipasi dampak kenaikan PPN, pemerintah telah menyiapkan insentif sebesar Rp265 triliun. Sebanyak 95% dari anggaran ini diarahkan untuk mendukung pelaku UMKM dan masyarakat menengah ke bawah.

“Pemerintah berkomitmen menjaga stabilitas ekonomi masyarakat kecil. Kami memastikan tidak ada pihak yang dirugikan dengan kebijakan ini,” kata Maman. (alf)

 

APINDO: Kebijakan Multitarif PPN Berpotensi Bebani Pengusaha dan Lemahkan Daya Beli

IKPI, Jakarta: Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) multitarif yang diterapkan pemerintah memunculkan kekhawatiran di kalangan pengusaha. Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Ajib Hamdani, menyebutkan bahwa kebijakan ini memiliki kompleksitas administrasi yang tinggi dan meningkatkan risiko perpajakan bagi pelaku usaha.

Ajib mengkritisi penerapan PPN 11 persen, 12%, dan 1% ditanggung pemerintah (DTP). Menurutnya, kebijakan tersebut menciptakan tantangan administratif yang dapat memicu potensi sanksi akibat kesalahan teknis.

“PPN adalah pajak tidak langsung, tetapi administrasi dan penyetoran pajaknya dilakukan oleh pengusaha. Dengan kebijakan yang rumit, seperti tarif 11%, 12%, dan insentif 1 persen DTP, risiko kesalahan teknis semakin besar. Jika faktur pajak tidak diakui, pengusaha bisa dikenakan denda,” ujar Ajib di Jakarta, Kamis (19/12/2024).

Ia juga menyoroti dampak kebijakan PPN 12%yang diberlakukan pada semua Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP), termasuk barang kebutuhan pokok seperti tepung terigu dan Minyak Kita. Hal ini, katanya, telah berdampak pada penurunan daya beli masyarakat, tercermin dari tren deflasi selama lima bulan berturut-turut.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,03 persen pada Mei 2024, 0,08 persen pada Juni, 0,18% pada Juli, 0,03 persen pada Agustus, dan 0,12% pada September. Selain itu, Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia juga menunjukkan kontraksi, berada di level 49,2 pada September 2024.

Ajib mengingatkan bahwa pengusaha menghadapi tantangan ganda pada 2025, dengan kenaikan tarif PPN menjadi 12% dan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5%. Menurut survei internal APINDO, 4 dari 10 pengusaha melaporkan stagnasi volume bisnis sepanjang 2024, kondisi yang dikhawatirkan akan memburuk di tahun mendatang.

“Pemerintah perlu duduk bersama pengusaha untuk mendesain kebijakan yang kondusif. Jika tidak, tekanan ekonomi akan semakin besar, baik bagi pengusaha maupun masyarakat,” pungkasnya.

Kebijakan multitarif PPN diharapkan dapat dievaluasi secara menyeluruh agar tidak hanya meringankan beban administrasi pengusaha, tetapi juga menjaga daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi nasional. (alf)

Pemerintah Beri Diskon 50% Persen untuk Iuran JKK

IKPI. Jakarta: Pemerintah mengumumkan serangkaian kebijakan ekonomi untuk tahun 2025 yang bertujuan mendukung sektor padat karya serta membantu pekerja yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK). Salah satu kebijakan utama adalah pemberian diskon 50% untuk iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) bagi sektor padat karya. Kebijakan ini dijelaskan dalam Konferensi Pers Paket Stimulus Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, pada Senin (16/12/2024).

Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Anggoro Eko Cahyo, menjelaskan bahwa diskon iuran sebesar 50% ini akan diberikan selama lima bulan kepada sekitar 3,76 juta pekerja dan 110 ribu perusahaan. Meskipun ada relaksasi, Anggoro menegaskan bahwa manfaat yang diterima peserta BPJS Ketenagakerjaan tidak akan terpengaruh.

“Iuran akan diturunkan sebesar 50%, namun manfaatnya tetap sama. Kebijakan ini bertujuan untuk meringankan beban perusahaan dan pekerja tanpa mengurangi perlindungan yang diberikan,” ujarnya.

Kebijakan ini dirancang sebagai respons terhadap kontribusi besar sektor padat karya terhadap perekonomian nasional. Selain itu, bagi pekerja yang mengalami PHK, pemerintah juga akan meningkatkan manfaat dari program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Keuntungan baru bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan meliputi kenaikan manfaat tunai yang menjadi 60% dari upah selama enam bulan, manfaat pelatihan senilai Rp2,4 juta, serta kemudahan akses ke berbagai layanan.

Sebagai perbandingan, sebelumnya manfaat JKP hanya mencakup 45% dari upah pada tiga bulan pertama dan 25% pada tiga bulan berikutnya. Kebijakan baru ini diharapkan dapat memberikan perlindungan yang lebih baik bagi pekerja yang terdampak PHK.

Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, menambahkan bahwa kebijakan ini juga merupakan upaya untuk meringankan beban perusahaan dan pekerja, terutama mengingat adanya kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025.

“Relaksasi iuran JKK ini akan sangat membantu sektor padat karya, dan kami memastikan bahwa diskon ini tidak akan mempengaruhi manfaat yang diterima oleh pekerja,” jelas Yassierli.

Lebih lanjut, pemerintah juga sedang mengkaji kemungkinan untuk memperluas akses program JHT bagi perusahaan skala kecil, yang selama ini terhalang oleh syarat wajib tertentu. Upaya ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi sektor-sektor yang padat karya, serta memperkuat jaring pengaman sosial bagi pekerja di seluruh Indonesia. (alf)

Pemerintah Tegaskan Tak Ada Rencana Menurunkan Ambang Batas Omzet UMKM

IKPI, Jakarta: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa pemerintah tidak memiliki rencana untuk menurunkan ambang batas omzet bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang bisa memanfaatkan tarif pajak penghasilan (PPh) final dan status pengusaha kena pajak (PKP). Hal ini menanggapi isu yang berkembang terkait kemungkinan penurunan batas omzet dari Rp 4,8 miliar menjadi Rp 3,6 miliar per tahun.

Dalam keterangan yang disampaikan pada Kamis malam (19/12/2024) Airlangga menyatakan, belum ada rencana untuk menurunkan ambang batas (threshold) omzet UMKM dan tetap di angka Rp 4,8 miliar. Ia juga mengungkapkan bahwa meskipun pemerintah melakukan evaluasi terkait ambang batas omzet UMKM yang dapat menikmati PPh Final 0,5%, ambang batas tersebut tetap pada angka Rp 4,8 miliar.

Sebelumnya, isu mengenai penurunan ambang batas ini mencuat setelah pernyataan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, yang mengungkapkan bahwa rencana tersebut berkaitan dengan rekomendasi dari Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).

Dalam laporan Survei Ekonomi Indonesia edisi November 2024, OECD menilai bahwa batasan omzet yang terbebas dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia masih terbilang tinggi. Dengan nilai batasan sebesar Rp 4,8 miliar atau sekitar US$ 300.000, OECD mendorong agar threshold ini disesuaikan dengan praktik terbaik negara-negara lain untuk menciptakan keadilan fiskal dan memperluas basis pajak.

Meskipun demikian, Susiwijono menegaskan bahwa kebijakan ini masih dalam tahap kajian internal dan belum ada keputusan resmi dari pemerintah. Ia menambahkan bahwa kebijakan tersebut tidak akan masuk dalam paket kebijakan ekonomi terkait PPh Final UMKM orang pribadi yang dapat memanfaatkan tarif 0,5% hingga 2025.

Namun, jika keputusan untuk menurunkan batasan omzet ini disahkan, perubahan tersebut akan memerlukan amandemen Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022, yang mengatur mengenai PPh Final untuk UMKM. Dengan perubahan tersebut, pemberlakuan ambang batas yang baru akan ditetapkan, meskipun saat ini, belum ada keputusan resmi mengenai perubahan tersebut.

Pemerintah berjanji akan terus melakukan kajian terkait dampak dari kebijakan ini, sembari memastikan keberlanjutan insentif pajak untuk UMKM, terutama dengan pemberlakuan PPN 12% yang akan dimulai pada 1 Januari 2025. (alf)

Menko Airlangga Tanggapi Viral Seruan Boikot Pajak

IKPI, Jakarta: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, memberikan tanggapan singkat mengenai seruan boikot pajak yang ramai beredar di media sosial terkait dengan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Menurutnya, itu merupakan aspirasi dari masyarakat di negara demokrasi, yang harus juga dihargai.

“Ada yang setuju, ada yang tidak setuju dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, dan itu lah demokrasi,” kata Airlangga saat ditemui wartawan di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Kamis malam (19/12/2024).

Sekadar informasi, seruan boikot pajak ini sempat viral setelah akun @salam4jari mengunggah cuitannya di platform X pada 21 November 2024 yang menyarankan agar masyarakat tidak membayar pajak sebagai bentuk protes terhadap kenaikan PPN.

“Jika PPN dipaksakan naik 12%, mari kita boikot bayar pajak. Jadi pemerintah kok bisanya cuma malakin rakyat,” tulis akun tersebut.

Pada 18 Desember 2024, akun yang sama kembali mengunggah ulang cuitannya dengan tambahan kalimat, “Ada ide untuk boikot pemerintah?” Cuitan ini mendapat respon besar dari pengguna media sosial, dengan lebih dari 6.700 pengguna yang me-retweet dan 31 ribu yang menyukai postingan tersebut.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memilih untuk tidak memberikan komentar ketika ditanya wartawan mengenai seruan boikot pajak. Sri Mulyani, yang baru saja menghadiri rapat terkait anggaran di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, menghindari pertanyaan yang berhubungan dengan protes kenaikan PPN. Saat keluar dari rapat, Sri Mulyani hanya memberikan jawaban singkat mengenai topik lain yang dibahas dalam rapat tersebut, seperti penambahan anggaran kementerian dan lembaga (K/L) pada tahun 2025.

Seperti diketahui, pemerintah memutuskan untuk tetap melanjutkan kebijakan kenaikan tarif PPN meskipun kebijakan tersebut menuai kritik keras dari berbagai kalangan, termasuk masyarakat, anggota DPR, dan ekonom. Kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 12% rencananya akan diterapkan pada tahun depan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan pendapatan negara.

Sementara itu, seruan boikot pajak ini terus menjadi perbincangan hangat di media sosial, menunjukkan adanya ketidakpuasan di kalangan sebagian masyarakat terkait kebijakan pemerintah tersebut. (alf)

en_US