DJP Tegaskan Pelaporan SPT PPh Tahun 2024 Masih Gunakan Sistem Lama

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan, mengumumkan bahwa untuk pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) untuk tahun pajak 2024, wajib pajak (WP) masih harus menggunakan sistem lama melalui DJP Online. Meskipun, DJP telah menyiapkan Coretax Administration System (PSIAP), sistem baru yang akan mulai digunakan pada Januari 2025, pelaporan untuk tahun pajak 2024 tetap dilakukan dengan cara yang sama seperti tahun sebelumnya.

Hal itu diungkapkan Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti, kepada media di Jakarta, Senin (6/1/2025). Menurutnya, kebijakan ini diambil untuk memudahkan wajib pajak dalam melaporkan SPT Tahunan 2024, karena transisi ke sistem baru membutuhkan waktu dan data transaksi wajib pajak pada 2024 belum terekam oleh Coretax.

“Pelaporan SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak 2024 akan tetap menggunakan sistem lama, yaitu e-filing untuk wajib pajak orang pribadi dan e-Form untuk wajib pajak badan. Coretax baru akan digunakan untuk pelaporan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2025, yang akan disampaikan pada 2026,” kata Dwi.

Meski demikian, tenggat waktu pelaporan SPT Pajak tidak mengalami perubahan. Batas waktu penyampaian SPT bagi wajib pajak orang pribadi (WP OP) tetap pada akhir Maret, sedangkan untuk wajib pajak badan, batas waktu pelaporannya tetap pada akhir April. Dengan demikian, wajib pajak diminta untuk melaporkan SPT mereka sesuai dengan ketentuan yang berlaku meskipun ada sistem baru yang sedang dipersiapkan.

Panduan Pelaporan SPT Tahunan bagi WP Orang Pribadi

Bagi wajib pajak orang pribadi dengan penghasilan di bawah Rp 60 juta, mereka harus melaporkan pajak dengan menggunakan formulir SPT 1770 SS, yang dapat diakses melalui DJP Online. Berikut langkah-langkah pelaporan:

1. Kunjungi situs DJP Online dan login dengan NPWP dan kata sandi.
2. Pilih layanan “e-Filing” dan lengkapi formulir yang sesuai.
3. Masukkan informasi yang diminta, termasuk penghasilan, harta, dan kewajiban.
4. Verifikasi SPT dan kirimkan. Bukti Penerimaan Elektronik (BPE) akan dikirim ke email.

Sementara itu, bagi wajib pajak dengan penghasilan di atas Rp 60 juta, mereka harus menggunakan formulir SPT 1770 S, dan mengikuti prosedur serupa yang melibatkan pengisian lebih banyak informasi terkait pemotongan pajak dan bukti-bukti lainnya.

Sementara itu kata Dwi, Coretax Administration System yang akan diberlakukan pada 2025, diharapkan dapat mempermudah administrasi perpajakan dan mengintegrasikan data transaksi wajib pajak secara lebih efisien. Meskipun demikian, karena data untuk tahun pajak 2024 belum terintegrasi, pelaporan SPT untuk tahun tersebut masih akan dilakukan menggunakan sistem lama.

Dengan peralihan ke sistem Coretax, diharapkan pada 2026, pelaporan SPT PPh untuk tahun pajak 2025 akan berjalan lebih lancar dan lebih otomatis. Namun, hingga saat itu, wajib pajak diharapkan untuk tetap mengikuti prosedur yang berlaku agar tidak mengalami kesulitan dalam pelaporan.

Meskipun sistem Coretax yang lebih canggih sudah siap untuk digunakan, DJP memutuskan untuk tetap menggunakan sistem lama dalam pelaporan SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak 2024. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan kenyamanan bagi wajib pajak dalam menjalani pelaporan yang sudah familiar. Wajib pajak diimbau untuk tetap mematuhi tenggat waktu pelaporan yang tidak berubah, yakni akhir Maret untuk WP OP dan akhir April untuk WP Badan. (alf)

Penerimaan Pajak 2024 Tak Capai Target APBN, Tetapi Tumbuh 3,5% Dibandingkan 2023

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengumumkan bahwa penerimaan pajak hingga Desember 2024 mengalami shortfall atau tidak mencapai target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024. Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) III Anggito Abimanyu, menyampaikan bahwa total penerimaan pajak mencapai Rp 1.932,4 triliun atau 97,2% dari target yang ditetapkan sebesar Rp 1.988,9 triliun. Meskipun demikian, realisasi ini tercatat mengalami kenaikan 3,5% dibandingkan dengan penerimaan pajak pada tahun 2023.

Anggito menjelaskan bahwa pencapaian penerimaan pajak yang lebih rendah dari target disebabkan oleh penurunan penerimaan pada kuartal I dan II 2024, yang lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Pada kuartal I 2024, penerimaan pajak tercatat hanya Rp 393,9 triliun, terkontraksi 8,8% dibandingkan kuartal I 2023. Sementara pada kuartal II, penerimaan pajak tercatat Rp 499,9 triliun, mengalami penurunan sebesar 7,2% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Namun, seiring berjalannya waktu, penerimaan pajak mulai membaik pada kuartal III dan IV 2024. Pada kuartal III, penerimaan pajak tercatat Rp 461 triliun atau tumbuh 10,4% dibandingkan tahun lalu. Peningkatan ini didorong oleh pajak-pajak yang bersifat transaksional seperti PPh dalam negeri, PPh 22 impor, dan PPN impor, yang sejalan dengan aktivitas ekonomi yang semakin membaik. Selain itu, sektor pertambangan tembaga juga mencatatkan kinerja yang positif, yang turut mendukung pertumbuhan penerimaan pajak.

Pada kuartal IV 2024, penerimaan pajak bahkan mengalami lonjakan signifikan, mencapai Rp 577,6 triliun atau tumbuh 20,3% dibandingkan dengan kuartal IV 2023. Pertumbuhan ini terutama didorong oleh PPN dalam negeri yang terkait dengan sektor perdagangan dan industri pengolahan, serta membaiknya kinerja sektor pertambangan dan sektor industri pengolahan.

“Secara keseluruhan, penerimaan pajak tahun 2024 terdiri dari beberapa komponen utama. Penerimaan PPh non-migas tercatat sebesar Rp 997,6 triliun, meningkat 0,5% dibandingkan tahun lalu dan menyumbang sekitar 51,6% dari total penerimaan pajak. Salah satu yang mencatatkan pertumbuhan signifikan adalah PPh pasal 21 yang tercatat mencapai Rp 243,8 triliun, tumbuh 21,1% yoy, terutama didorong oleh sektor keuangan,” kata Anggito kepada media di Jakarta, Senin (6/1/2025).

Namun lanjut Anggito, PPh badan mengalami kontraksi yang signifikan, tercatat hanya mencapai Rp 335,8 triliun, terkontraksi 18,1% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Penurunan ini terutama disebabkan oleh menurunnya profitabilitas perusahaan di sektor pertambangan, akibat moderasi harga komoditas pada 2023.

Selain itu, penerimaan PPh migas tercatat hanya mencapai Rp 65,1 triliun, mengalami penurunan 5,3% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sementara itu, penerimaan dari PPN/PPnBM tercatat Rp 828,5 triliun, tumbuh 8,6% dibandingkan tahun lalu. Penerimaan PPN/PPnBM sempat terkontraksi pada kuartal I dan II, namun kembali tumbuh positif pada kuartal III dan IV.

Ia mengungkapkan bahwa meskipun ada beberapa sektor yang mengalami penurunan, kinerja penerimaan pajak di paruh kedua tahun 2024 menunjukkan perkembangan yang positif seiring dengan pemulihan ekonomi global dan peningkatan harga komoditas yang lebih stabil. (alf)

DJP Serahkan Tersangka Penggelapan Pajak Rp63 Miliar ke Kejari Bekasi

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berhasil mengungkap kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh EM, seorang direktur di PT EBJ. Akibat perbuatan ini, negara dirugikan hingga Rp63 miliar.

Dalam pernyataan resminya, DJP mengungkapkan bahwa Tim Penyidik Direktorat Penegakan Hukum telah menyerahkan tersangka EM beserta barang bukti kasus tindak pidana di bidang perpajakan kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Bekasi pada 10 Desember 2024. Penyerahan dilakukan dalam rangka penyelesaian proses hukum (Tahap II).

Tersangka EM diduga kuat melanggar ketentuan perpajakan dengan sengaja tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) serta menyampaikan SPT atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap. Aksi ini berlangsung dalam kurun waktu Februari 2020 hingga September 2021.

“Akibat perbuatan tersangka, negara dirugikan sebesar Rp63 miliar,” kata DJP.

Tindakan tersangka EM melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf c dan d Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983, sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.

Dalam proses penyerahan tahap II, tim penyidik bekerja sama dengan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cikarang, tempat tersangka EM ditahan. Setelah penandatanganan berita acara penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti, EM dibawa kembali ke Lapas Cikarang untuk menjalani penahanan hingga persidangan.

DJP menegaskan bahwa seluruh proses hukum dilakukan sesuai prosedur perundang-undangan yang berlaku. Sebagai institusi penjaga kedaulatan penerimaan negara, DJP berkomitmen untuk menindak tegas setiap pelanggaran hukum yang merugikan keuangan negara.

“DJP akan terus konsisten bersinergi dengan aparat penegak hukum lainnya serta berkomitmen melindungi penerimaan negara melalui penegakan hukum perpajakan. Langkah ini diharapkan dapat menciptakan keadilan dan memberikan efek jera bagi pelaku lainnya,” tegas DJP. (alf)

DJP: Pembeli Barang Nonmewah Bisa Minta Pengembalian Kelebihan PPN 12%

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyatakan bahwa pembeli barang atau jasa nonmewah yang terlanjur dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% berhak meminta pengembalian atas kelebihan tarif pajak tersebut. Hal ini mengikuti penegasan pemerintah bahwa PPN 12% hanya berlaku untuk barang mewah yang termasuk kategori Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti, menjelaskan bahwa pembeli dapat mengajukan permintaan pengembalian kelebihan pemungutan pajak kepada penjual. Penjual, yang berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP), kemudian diwajibkan untuk mengganti faktur pajak yang telah diterbitkan.

“Kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% dari yang seharusnya 11% namun terlanjur dipungut sebesar 12% dapat diminta kembali oleh pembeli kepada penjual. Atas permintaan tersebut, PKP penjual melakukan penggantian faktur pajak,” kata Dwi Astuti dalam keterangan tertulis yang dirilis Senin (6/1/2025).

Selain itu, DJP juga mengumumkan masa transisi selama tiga bulan, mulai 1 Januari hingga 31 Maret 2025, untuk penyesuaian pajak terkait Dasar Pengenaan Pajak (DPP) nilai lain 11/12. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2025 yang diterbitkan pada 3 Januari 2025.

Dalam masa transisi tersebut, DJP menegaskan bahwa tarif PPN untuk barang atau jasa nonmewah tetap 12%. Namun, penghitungan pajaknya menggunakan DPP nilai lain sebesar 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian. Dengan demikian, tarif efektif PPN yang dibayarkan masyarakat untuk barang atau jasa nonmewah tetap berada di angka 11%.

Langkah ini diharapkan dapat memberikan kepastian bagi wajib pajak sekaligus mengurangi potensi kesalahan penghitungan tarif PPN di masa mendatang. DJP mengimbau semua pihak, baik pembeli maupun penjual, untuk mematuhi aturan yang berlaku selama masa transisi ini. (alf)

Pemerintah Fokus Implementasi Pajak Karbon dan Pengembangan Bursa Karbon

IKPI, Jakata: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan pemerintah akan memprioritaskan implementasi pajak karbon dan regulasi batas atas emisi sektoral sebagai upaya untuk mendorong pengembangan bursa karbon di Indonesia.

“Implementasi pajak karbon dan regulasi batas atas emisi sektoral untuk mendorong pengembangan bursa karbon,” ujar Sri Mulyani di Jakarta, baru-baru ini.

Meski isu pajak sering kali menjadi topik sensitif, Sri Mulyani menegaskan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan terus berkoordinasi dengan berbagai kementerian dan lembaga terkait. Di antaranya adalah Kementerian Perdagangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), serta Kementerian Perhubungan yang memiliki peran penting dalam pengelolaan emisi dari sektor-sektor strategis.

“Kami akan berkomunikasi dengan kementerian terkait. Hari-hari ini kalau ngomong pajak sering ada yang nyelomotin saya, tetapi komitmen tetap dijalankan,” ujarnya.

Pajak Karbon dalam UU HPP

Indonesia telah mengadopsi kebijakan pajak karbon melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, penerapan kebijakan tersebut hingga kini belum memiliki jadwal pasti.

Menurut Deputi Bidang Pengembangan Usaha BUMN, Riset, dan Inovasi Kemenko Perekonomian, Elen Setiadi, pajak karbon akan diterapkan pertama kali pada subsektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). “Pada tahap awal, peta jalan pajak karbon diusulkan cukup mengatur penerapan pajak karbon bagi subsektor pembangkit listrik untuk mendukung perdagangan karbon yang sudah ada,” ujar Elen dalam sebuah webinar, Selasa (23/7/2024).

Elen juga menyampaikan bahwa pada tahap kedua, pajak karbon rencananya akan diterapkan terhadap bahan bakar fosil yang digunakan oleh kendaraan bermotor.

Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan dampak signifikan terhadap pengurangan emisi karbon di Indonesia. Pajak karbon atas sektor pembangkit listrik dan transportasi diperkirakan mencakup sekitar 39% dari total emisi karbon di Indonesia, dengan rincian 48% berasal dari pembangkit listrik dan 23% dari sektor transportasi.

“Pengenaan atas kedua sektor ini dapat mencakup sekitar 71% emisi dari sektor energi, yang menjadi langkah strategis dalam upaya penurunan emisi nasional,” ungkap Elen.

Langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah Indonesia untuk mencapai target pengurangan emisi karbon sekaligus mendorong pengembangan ekonomi hijau yang berkelanjutan. (alf)

Asosiasi Pengusaha Sebut Kebijakan Kenaikan PPN 12% Sebagai Langkah Strategis Jaga Daya Beli

IKPI, Jakarta: Sejumlah asosiasi pengusaha lintas sektor menyambut baik kebijakan pemerintah terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang hanya berlaku untuk barang-barang super mewah. Kebijakan ini dinilai sebagai langkah strategis yang menjaga daya beli masyarakat sekaligus memberikan kepastian bagi sektor usaha.

Ketua Komite Perdagangan Dalam Negeri Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Handaka Santosa, menyatakan bahwa kebijakan ini mendukung konsumsi rumah tangga kelas menengah bawah dan mendorong pertumbuhan industri di tengah tantangan ekonomi global. “Kebijakan yang terukur ini tidak hanya mendorong daya beli masyarakat, tetapi juga mendukung pertumbuhan industri,” ujar Handaka dalam keterangan resminya, yang diterima, Minggu (5/1/2025).

Handaka juga mengapresiasi masa transisi tiga bulan yang diberikan pemerintah untuk mempersiapkan implementasi kebijakan. Ia menilai, sosialisasi teknis yang dilakukan pemerintah bersama asosiasi sektoral akan memastikan pelaksanaan kebijakan berjalan lancar.

Selain Apindo, asosiasi lain seperti Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), dan Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) turut menyampaikan dukungannya. Dukungan serupa juga diberikan oleh Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), serta Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI).

Presiden Prabowo Subianto sebelumnya mengumumkan bahwa kenaikan PPN ini hanya berlaku untuk barang dan jasa super mewah sesuai peraturan perundang-undangan. “Kenaikan PPN dari 11% ke 12% hanya dikenakan kepada barang dan jasa mewah,” jelas Prabowo di Kantor Kementerian Keuangan pada Selasa (31/12/2024). (alf)

INDODAX Sesuaikan Tarif PPN Aset Kripto

IKPI, Jakarta: INDODAX, platform perdagangan aset kripto terbesar di Indonesia, telah menyesuaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku efektif mulai 1 Januari 2025. Penyesuaian ini dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 dan PMK Nomor 81 Tahun 2024 yang mengatur tarif PPN untuk transaksi aset kripto dan barang tertentu lainnya.

Kini, tarif PPN untuk pembelian aset kripto melalui Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) ditetapkan sebesar 0,12% (1% x 12%) dari nilai transaksi. Sementara itu, transaksi lainnya seperti biaya deposit, penarikan rupiah, dan trading dikenakan tarif PPN sebesar 11%, sebagaimana diatur dalam PMK No. 131 Tahun 2024 Pasal 3.

PPN ini dikenakan atas biaya transaksi, bukan atas jumlah dana yang didepositkan atau ditarik oleh pengguna. Kebijakan ini bertujuan memberikan perlakuan pajak khusus terhadap aset kripto yang memiliki karakteristik unik dibandingkan barang atau jasa konvensional.

CEO INDODAX Oscar Darmawan, menegaskan bahwa pihaknya berkomitmen untuk mematuhi seluruh peraturan yang berlaku. Perusahaan aktif berkonsultasi dengan otoritas terkait, termasuk Direktorat Jenderal Pajak.

“Penyesuaian tarif PPN ini adalah langkah penting dalam mendukung transparansi perpajakan di Indonesia sekaligus memastikan keamanan dan kenyamanan transaksi bagi pengguna INDODAX,” ujar Oscar dalam keterangan tertulisnya yang diterima, Minggu (5/1/2025).

Oscar juga menekankan bahwa regulasi yang jelas akan meningkatkan kepercayaan di sektor aset kripto. Ia mengakui bahwa interpretasi terhadap peraturan perpajakan seringkali menantang, tetapi yakin bahwa kerja sama dengan otoritas terkait akan memberikan manfaat jangka panjang bagi ekosistem kripto di Indonesia.

INDODAX juga memastikan bahwa seluruh biaya di platformnya, termasuk pajak, sudah dihitung secara otomatis. “Semua biaya sudah termasuk pajak dan komponen lainnya, sehingga pengguna tidak perlu khawatir. Hal ini menjadikan pengalaman bertransaksi di INDODAX lebih simpel dan mudah,” kata Oscar.

Meski mendukung penuh peraturan perpajakan yang ada, INDODAX berharap aset kripto dapat dikecualikan dari PPN, seperti yang diterapkan di beberapa negara. Menurut Oscar, kebijakan ini dapat mempercepat adopsi aset kripto sebagai instrumen keuangan yang inklusif dan inovatif di Indonesia.

“Dengan dihapusnya PPN, volume trading kripto berpotensi meningkat, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan negara melalui Pajak Penghasilan (PPh) final dari transaksi kripto,” kata Oscar.

Oscar menambahkan bahwa banyak negara tidak mengenakan PPN pada aset kripto karena dianggap sebagai bagian dari transaksi keuangan. Ia berharap Indonesia dapat mempertimbangkan kebijakan serupa untuk menciptakan ekosistem yang lebih kondusif.

Dengan langkah penyesuaian ini, INDODAX menunjukkan komitmennya dalam mendukung regulasi yang seimbang dan mendorong pertumbuhan industri aset kripto di Indonesia. Perusahaan optimis bahwa regulasi yang mendukung akan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi para pelaku pasar. (alf)

Menperin Sebut Penerapan Opsen Pajak Kendaraan Bermotor Berpotensi Bebani Industri Otomotif

IKPI, Jakarta: Penerapan opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) akan mulai berlaku efektif pada 5 Januari 2025. Kebijakan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).

Namun, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menilai bahwa pungutan tambahan pajak yang diberlakukan oleh pemerintah daerah (Pemda) tersebut berpotensi membebani industri otomotif di tanah air.

“Yang paling sulit untuk pabrikan mobil dan konsumen adalah pajak yang diatur oleh Pemda, namanya opsen. Itu yang membuat sektor otomotif akan berat,” ungkap Agus di Jakarta, Sabtu (4/1/2025).

Agus memprediksi, implementasi opsen pajak kendaraan bermotor dapat berdampak negatif terhadap perekonomian daerah dalam jangka panjang. Ia menyebut kemungkinan Pemda akan mencari solusi, seperti menerapkan relaksasi pajak, untuk mengatasi dampak ini.

“Saya kira enggak akan terlalu lama Pemda-pemda nanti merasakan kebijakan opsen itu, justru akan merugikan ekonomi daerah sendiri. Pemda pasti akan mengevaluasi atau menerbitkan regulasi baru untuk relaksasi,” ujarnya.

Menurut Agus, pungutan tambahan ini dapat menurunkan daya beli masyarakat terhadap kendaraan baru, sehingga berpotensi mengurangi pemasukan daerah.

“Karena orang lokal tidak akan membeli mobil baru. Pada akhirnya, pendapatan daerah juga tidak akan meningkat,” tambahnya.

Penyesuaian Opsen di Daerah

Opsen pajak dikenakan berdasarkan persentase tertentu terhadap tiga jenis pajak daerah, yaitu PKB, BBNKB, dan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB). Meski bertujuan memperjelas pembagian pendapatan pajak antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, pelaksanaannya menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku industri.

Rustam Effendi, Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, menjelaskan bahwa tarif opsen pajak telah diatur secara proporsional sesuai undang-undang.

“Pemerintah pusat memastikan daerah tidak menarik pajak tambahan di luar aturan yang sudah ditetapkan,” kata Rustam dalam Forum Editor Otomotif di Jakarta, Kamis (21/11/2024).

Meski demikian, Rustam mengakui bahwa perbedaan tarif opsen di berbagai daerah dapat menciptakan kebingungan bagi konsumen dan tantangan bagi produsen otomotif.

Harapan Pelaku Industri

Pelaku industri otomotif berharap agar kebijakan opsen pajak diterapkan secara transparan dan tidak menambah beban bagi konsumen. Dengan pembagian yang lebih jelas dan pengawasan yang ketat, opsen pajak diharapkan tidak menjadi penghalang pertumbuhan sektor otomotif di Indonesia.

Keberhasilan kebijakan ini dinilai penting untuk menjaga kelangsungan industri otomotif sebagai salah satu penggerak utama perekonomian nasional, sekaligus menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi seluruh pihak terkait. (alf)

MK: SPA Bukan Bagian dari Jasa Hiburan, Tapi Pajaknya Tetap Ikut Aturan Pemerintah

IKPI, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 55 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Dalam putusan Perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024, MK menegaskan bahwa mandi uap/spa merupakan bagian dari jasa pelayanan kesehatan tradisional, bukan kategori jasa hiburan seperti diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar.

Dikutip dari website resmi MK, Minggu (5/1/2025), Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan bahwa frasa “dan mandi uap/spa” dalam Pasal 55 ayat (1) huruf l UU HKPD bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, kecuali dimaknai sebagai bagian dari jasa pelayanan kesehatan tradisional. Putusan ini dibacakan dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta Pusat.

“Pengklasifikasian mandi uap/spa dalam kelompok hiburan tidak memberikan jaminan kepastian hukum dan menimbulkan stigma negatif. Hal ini bertentangan dengan pengakuan mandi uap/spa sebagai jasa kesehatan tradisional yang memiliki manfaat kesehatan berbasis kearifan lokal,” ujar Arief.

Pelayanan Kesehatan Tradisional dalam Sistem Nasional

MK menegaskan bahwa pelayanan kesehatan tradisional memiliki landasan hukum yang jelas melalui UU Kesehatan dan berbagai peraturan pemerintah. Layanan seperti mandi uap/spa mencakup aspek promotif, preventif, kuratif, hingga rehabilitatif.

Menurut Mahkamah, mandi uap/spa yang menggunakan metode holistik seperti pijat, aromaterapi, terapi warna, hingga makanan sehat memiliki tujuan mencapai keseimbangan tubuh, pikiran, dan jiwa. Jenis layanan ini terbagi menjadi health spa untuk promotif dan preventif, serta medical spa untuk kuratif dan rehabilitatif.

Pajak Tinggi Masih Berlaku

Sementara itu, MK menolak permohonan terkait tarif pajak mandi uap/spa yang dianggap diskriminatif. Dalam Pasal 58 ayat (2) UU HKPD, tarif pajak mandi uap/spa tetap berkisar antara 40 persen hingga 75 persen. MK menilai penetapan tarif ini merupakan kewenangan pembentuk undang-undang sesuai Pasal 23A UUD 1945.

Selain itu, Mahkamah memastikan tidak ada pengenaan pajak ganda pada jasa mandi uap/spa, mengacu pada Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2022.

Dengan putusan ini, Mahkamah berharap layanan mandi uap/spa sebagai bagian dari kesehatan tradisional dapat berkembang tanpa stigma negatif, sementara tarif pajak tetap menjadi ranah legislator. (alf)

Kenaikan Tarif Cukai Hasil Tembakau Dorong Inflasi Rokok di 2024

IKPI, Jakarta: Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa penyesuaian tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) memengaruhi inflasi rokok pada Desember 2024, khususnya untuk kategori Sigaret Kretek Mesin (SKM).

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, menjelaskan bahwa meskipun penyesuaian tarif CHT berbeda dengan penetapan Harga Jual Eceran (HJE), dampak kenaikan cukai terlihat jelas pada inflasi rokok sepanjang 2024.

“Cukai Hasil Tembakau (CHT) secara tidak langsung memang menaikkan harga jual eceran (rokok). Meskipun PMK CHT ini berbeda dengan PMK hasil Harga Jual Eceran (HJE), namun di 2024 memang tertangkap bahwa terjadi kenaikan harga rokok. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa kenaikan cukai rokok juga berpengaruh terhadap kenaikan inflasi rokok,” ujar Pudji di Jakarta, baru-baru ini.

Sebelumnya, pemerintah menetapkan kenaikan tarif CHT rata-rata sebesar 10 persen untuk 2024, dengan variasi tarif berdasarkan jenis rokok seperti SKM, Sigaret Putih Mesin (SPM), dan Sigaret Kretek Tangan (SKT). Meski demikian, rencana kenaikan tarif CHT untuk 2025 telah dibatalkan. Sebagai gantinya, pemerintah melakukan penyesuaian Harga Jual Eceran (HJE) yang mulai berlaku pada awal tahun 2025 untuk mengendalikan konsumsi rokok.

Penyesuaian ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 97 Tahun 2024 yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 4 Desember 2024.

BPS mencatat inflasi tahunan sebesar 1,57 persen (yoy) pada Desember 2024. Kelompok makanan, minuman, dan tembakau menjadi penyumbang utama inflasi dengan andil 0,55 persen. Rokok dari golongan SKM menyumbang 0,13 persen terhadap inflasi, sedangkan SKT dan SPM masing-masing memberikan kontribusi 0,04 persen.

Selain rokok, emas perhiasan juga menjadi komoditas utama penyumbang inflasi dengan andil sebesar 0,35 persen sepanjang 2024.

Kenaikan tarif CHT dan penyesuaian HJE diharapkan dapat mengendalikan konsumsi rokok, meskipun efeknya terhadap inflasi terus menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat. (alf)

en_US