Ditjen Pajak Tanggapi Seruan Boikot PPN 12%

IKPI, Jakarta: Sejumlah netizen ramai-ramai menyuarakan boikot pajak pertambahan nilai (PPN) 12% di media sosial X. Hal itu sejalan dengan pemerintah yang akan mengerek PPN menjadi 12% pada Januari 2025.

Menanggapi hal itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Dwi Astuti menyampaikan bahwa setiap kebijakan tentunya sudah dipersiapkan dengan proses kajian yang mendalam dan menyeluruh.

Kenaikan Tarif PPN menjadi 12% dibarengi dengan kebijakan pendahulu yang ditujukan untuk memperkuat daya beli masyarakat serta memperhatikan pemenuhan kebutuhan barang konsumsi primer untuk orang banyak.

Misalnya Dwi menyebutkan adanya fasilitas pembebasan PPN atas penyerahan barang dan jasa tertentu di antaranya atas barang kebutuhan pokok berupa beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan dan sayur-sayuran, dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi atau daya beli masyarakat.

“Demikian pula pembebasan di bidang jasa yang meliputi jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa transportasi umum, dan jasa ketenagakerjaan,” ungkap Dwi seperti dikutip dari Kontan, Rabu (20/11/2024).

Seiring dengan pemberlakuan kenaikan tarif PPN 1% ini, pemerintah juga telah menyiapkan serangkaian program yang dapat mempertahankan daya beli masyarakat agar konsumsi tetap terjaga. Di antaranya, pelebaran lapisan tarif PPh OP 5% dari Rp 50 juta hingga Rp 60 juta dan  pembebasan pajak atas omset UMKM OP 500 juta, dan sebagainya.

Selain itu, untuk mendorong perkembangan industri otomotif dan industri perumahan dalam rangka mempertahankan daya beli masyarakat, saat ini pemerintah menetapkan kebijakan berupa pemberian PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk penyerahan rumah tapak dan unit rumah susun dan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) kendaraan Bermotor Listrik (KBL).

Pemberian fasilitas tersebut diharapkan akan memberikan multiplier effect bagi perkembangan industri pendukung kedua industri tersebut di atas.

“Pada gilirannya perkembangan kedua industri tersebut akan menyerap tenaga kerja sehingga akan mempertahankan atau bahkan meningkatkan daya beli masyarakat,” ujarnya.

Dwi menambahkan, DJP juga akan terus senantiasa memberikan pemahaman kepada masyarakat melalui sosialisasi dan edukasi.

Apa itu Tax Amnesty? Ini Penjelasannya

IKPI, Jakarta: Pemerintah dan DPR berencana menggelar Program Pengampunan Pajak atau amnesti pajak (tax amnesty) kembali. Hal itu terungkap dari hasil Rapat Panja Program Legislasi Nasional RUU Prioritas 2025 yang dilaksanakan oleh Badan Legislasi DPR pada Senin (18/11/2024) kemarin.

Dalam Hasil Raker Prolegnas Prioritas RUU 2025 dan Prolegnas 2025, pemerintah dan DPR sepakat memasukkan Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak dalam daftar draf usulan Prolegnas RUU Prioritas 2025.

Jika itu terealisasi, maka ini menjadi amnesti pajak jilid III sejak 2016 lalu. Sebagai pengingat, pemerintah melaksanakan program tax amnesty jilid I pada 2016-2017. Program tersebut diikuti oleh 956.793 wajib pajak dengan nilai harta yang diungkap mencapai Rp4.854,63 triliun.

Dari pengungkapan harta tersebut, negara menerima uang tebusan sebesar Rp114,02 triliun atau setara dengan 69 persen dari target Rp165 triliun.

Kemudian, tax amnesty jilid II digelar selama 6 bulan pada 1 Januari 2022-30 Juni 2022. Program ini diikuti oleh 247.918 wajib pajak dengan total harta yang diungkap mencapai Rp594,82 triliun. Adapun total pajak penghasilan (PPh) yang diraup negara mencapai Rp60,01 triliun.

Lantas apa yang dimaksud dengan tax amnesty?

Tax amnesty adalah penghapusan pajak yang seharusnya dibayar dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan. Langkah ini bisa menjadi opsi pemerintah untuk menarik uang dari para wajib pajak yang disinyalir menyimpan secara rahasia di negara-negara bebas pajak.

Sejumlah negara sudah menerapkan pengampunan pajak di antaranya Australia, Belgia, Kanada, Jerman, Yunani, Italia, Portugal, Rusia, Afrika Selatan, Spanyol, dan Amerika Serikat.

Di Indonesia, pemerintah mengatur ketentuan amnesti pajak dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) Wajib Pajak.

Terdapat sejumlah manfaat dari tax amnesty yang menyasar orang-orang kaya. Pertama, wajib pajak terhindar dari sanksi pajak 200 persen apabila Ditjen Pajak menemukan harta yang belum diungkap di kemudian hari.

Kedua, penerimaan negara meningkat dari pembayaran uang tebusan atas harta yang sebelumnya belum diungkap.

Ketiga, mendorong repatriasi modal dan aset wajib pajak dari luar negeri ke dalam negeri. Keempat, meningkatkan kepatuhan membayar pajak.

Pada pelaksanaan amnesti pajak sebelumnya, wajib pajak cukup melaporkan hartanya yang belum diungkap ke kantor pajak terdekat maupun secara online. Pelaporan dilakukan dengan menyerahkan surat pernyataan aset.

Berikutnya, wajib pajak harus membayar uang tebus sesuai nilai harta yang diungkap. Jika sudah membayar, Ditjen Pajak akan memproses pemberian fasilitas pemberian pajak, termasuk pembebasan dari sanksi pidana dan juga administrasi.

RUU Pengampunan Pajak Masuk Prolegnas Prioritas 2025

IKPI, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dalam Rapat Kerja Badan Legislasi menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas 2025.

Dalam Rapat Kerja tersebut, disepakati bahwa RUU Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty menjadi usulan Komisi XI DPR RI. Ini berbeda dengan rapat sebelumnya yang menyebutkan bahwa RUU Pengampunan Pajak merupakan usulan dari Baleg.

“Terkait tadi ada usulan Komisi XI, saya jelaskan kembali bahwa Komisi XI bersepakat dalam surat tersebut men-drop usulan RUU yang diajukan sebelumnya menjadi RUU usulan prioritas judulnya adalah RUU Pengampunan Pajak,” ujar Ketua Baleg DPR Bob Hasan, seperti dikutip dari Kontan.co.id, Selasa (19/11/2024).

Padahal, sebelumnya ada 4 RUU yang diajukan oleh Komisi XI DPR, yakni RUU tentang Pengadaan Barang dan Jasa Publik, RUU tentang Pengelolaan Kekayaan Negara yang Dipisahkan, RUU tentang Penghapusan Piutang Negara, dan RUU tentang Ekonomi Syariah.

Merujuk pada UU 11/2016, pengampunan pajak merupakan penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan.

Pemerintah menyebut, program ini memiliki tiga tujuan. Pertama, mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga dan peningkatan investasi.

Kedua, mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi.

Ketiga, meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan.

Sebagai pengingat, program tax amnesty pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada tahun 2016 melalui penerapan UU 11/2016.

Melihat hasil yang positif, pemerintah kemudian memutuskan untuk membuka program tax amnesty jilid II atau dikenal juga Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada Mei 2021.

Hingga akhir pelaksanaan PPS pada 30 Juni 2022, Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa harta yang diungkap Wajib Pajak (WP) sebanyak Rp 594,82 triliun, dengan jumlah pembayaran kewajiban dari harta yang diungkap tersebut dalam bentuk Pajak Penghasilan (PPh) mencapai Rp 61,01 triliun.

Pemda DKI Jakarta Pajaki Parkir Valet

IKPI, Jakarta: Layanan memarkirkan kendaraan atau parkir valet di Jakarta masuk sebagai objek pajak. Hal itu mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta No 1 Tahun 2024, tindak lanjut terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 yang mengubah istilah ‘pajak parkir’ menjadi ‘Pajak Barang Dan Jasa Tertentu Atas Jasa Parkir’.

Kepala Pusat Data dan Informasi Pendapatan Bapenda Jakarta Morris Danny mengatakan ketentuan tersebut bertujuan untuk mengatur sekaligus menata sistem perpajakan di lingkup Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dengan begitu sistem perpajakan di daerah bisa dimaksimalkan.

“Jasa parkir termasuk dalam jenis pajak barang dan jasa tertentu, yang selanjutnya disingkat PBJT adalah pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu. Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir,” kata Morris, seperti dikutip dari Detik Finance, Selasa (19/11/2024).

Berdasarkan pasal 48 ayat (1) Perda Provinsi DKI Jakarta No 1 Tahun 2024, parkir valet termasuk dalam objek PBJT Jasa Parkir. Dengan begitu, pengendara yang menggunakan layanan parkir valet dikenakan pajak.

Aturan ini berlaku tidak hanya bagi pusat perbelanjaan, hotel, atau tempat umum yang menyediakan valet, tetapi juga bagi tempat parkir swasta yang menawarkan layanan tersebut. Pengguna layanan parkir valet diwajibkan membayar pajak yang secara otomatis ditambahkan ke biaya layanan valet yang disediakan.

Besaran Tarif Pajak Parkir Valet

Tarif pajak untuk jasa parkir valet diatur dalam Pasal 53 ayat (1) Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2024. Di dalamnya disebutkan bahwa tarif PBJT atas makanan dan/atau minuman, jasa perhotelan, jasa parkir, dan jasa kesenian serta hiburan ditetapkan sebesar 10%.

Ini berarti bahwa setiap pengguna jasa parkir valet di Jakarta akan dikenakan pajak sebesar 10% dari biaya parkir valet yang harus dibayar karena termasuk objek PBJT Jasa Parkir.

“Bagi masyarakat yang sering menggunakan layanan valet di Jakarta, pastikan untuk memahami perhitungan ini. Selanjutnya mendukung implementasi pajak agar pembangunan daerah yang dijalankan pemerintah berjalan lancar,” ujar Morris.

 

 

Ini Aturan Pelaksanaan Coretax Terbaru

IKPI, Jakarta: Pemerintah menerbitkan aturan pelaksanaan dari coretax system atau sistem administrasi perpajakan yang baru.

Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan alias Coretax.

Beleid ini ditetapkan pada tanggal 14 Oktober 2024 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2025.

Adapun latar belakang penerbitan aturan ini adalah kebutuhan akan regulasi dalam rangka pelaksanaan pembaruan sistem administrasi perpajakan yang lebih transparan, efektif, akuntabel dan fleksibel.

Seperti diketahui reformasi pajak melibatkan lima pilar, yaitu pilar organisasi; sumber daya manusia; teknologi informasi dan basis data; proses bisnis; dan peraturan erundang-undangan.

Pilar teknologi informasi dan basis data serta proses bisnis inilah yang perlu diatur melalui regulasi yang komprehensif.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti mengatakan, poin-poin yang diatur dalam PMK ini menjadi dasar hukum implementasi hasil penataan ulang proses bisnis (business process reengineering) pada sistem inti administrasi perpajakan yang baru.

Dwi menyebut, PMK ini berdampak pada 42 peraturan yang sekarang masih berlaku. Saat ini pihaknya sedang menggodok aturan turunan yang merupakan petunjuk pelaksanaan PMK Nomor 81 Tahun 2024.

“Dengan aturan pelaksanaan tersebut kami harap pemahaman masyarakat terhadap hal-hal yang diatur dalam PMK Nomor 81 Tahun 2024 akan mudah tercapai,” ujar Dwi dalam keterangan resminya seperti dikutip dari Kontan.co.id, Senin (18/11/2024).

Terbitnya PMK Nomor 81 Tahun 2024 memfasilitasi kemudahan-kemudahan yang akan dinikmati wajib pajak. Kemudahan tersebut di antaranya:

1. Registrasi menjadi lebih mudah, dapat dilakukan di semua Kantor Pelayanan Pajak (borderless), melalui berbagai saluran yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak atau melalui pihak lain (omni channel), dan tervalidasi dengan sumber data (single source of truth).

2. Tersedianya Akun wajib pajak (taxpayer account) yang dapat diakses secara daring melalui portal wajib pajak sehingga memudahkan wajib pajak untuk dapat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan secara elektronik.

3. Jatuh tempo pembayaran atau penyetoran masa beberapa jenis pajak diseragamkan menjadi tanggal 15 bulan berikutnya. Penyeragaman tersebut memudahkan tata kelola dan administrasi pembayaran pajak.

4. Wajib pajak dapat melakukan pembayaran dan penyetoran pajak menggunakan deposit pajak. Keberadaan deposit pajak dapat menghindarkan wajib pajak dari risiko keterlambatan pembayaran pajak.

5. Pemerintah mempermudah proses permohonan fasilitas PPh tanpa perlu melampirkan Surat Keterangan Fiskal (SKF) sepanjang wajib pajak telah memenuhi kriteria yang ditentukan. Sebelumnya, untuk memperoleh fasilitas PPh, wajib pajak harus melampirkan SKF wajib pajak dan/atau seluruh pemegang saham.

6. Satu kode billing dapat digunakan untuk membayar lebih dari satu jenis setoran pajak. Sebelumnya, satu kode billing hanya bisa digunakan untuk membayar satu jenis setoran pajak.

7. Kemudahan dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan fitur prepopulated. Sebelumnya, fitur prepopulated amat bergantung pada pelaporan SPT Pemotong Pajak dan terbatas pada jenis pajak PPh Pasal 21.

Ke depannya, fitur prepopulated otomatis akan tersedia dalam Coretax karena bukti potong dibuat di sana. Fitur ini tidak hanya mengakomodasi PPh Pasal 21, tetapi juga mencakup PPh Pasal 15, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 25, dan PPh Final Pasal 4 ayat (2), sehingga pelaporan SPT Tahunan PPh akan lebih efisien.

8. Pendaftaran objek PBB untuk memperoleh Nomor Objek Pajak (NOP) dan pelaporan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dilakukan pada KPP tempat wajib pajak pusat terdaftar.

Ini Penjelasan Dirjen Bea Cukai Terkait Susu Impor Bebas Pajak

IKPI, Jakarta: Peternak berteriak karena susu sapi impor bebas masuk ke dalam negeri tanpa dikenakan bea masuk alias 0%. Dirjen Bea Cukai Kementerian Keuangan Askolani pun angkat bicara.

Menurutnya, kebijakan pembebasan pajak bea masuk adalah dampak dari adanya perjanjian perdagangan bebas antara Indonesia dengan Australia serta Selandia Baru. Seperti diketahui, Indonesia dan negara ASEAN telah sepakat menandatangani ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA).

“Oh itu terkait dengan FTA (Free Trade Agreement) perjanjian trade agreement ya, antara biasanya dengan ASEAN, Australia dan New Zealand. Jadi itu yang kita jalanin juga ya,” katanya sepwrti dikutip dari CNBC Indonesia, Jumat (15/11/2024).

Sebagai catatan, Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 166 Tahun 2011 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor Dalam Rangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA) diatur tentang komoditas apa saja yang dibebaskan bea masuk impor dari Australia dan Selandia Baru.

Baca:Susu Perah Impor Tak Kena Pajak, Kantor Sri Mulyani Jelaskan Aturannya

Untuk susu, ada beberapa jenis yang dibebaskan bea masuk, yaitu.

Susu yang tidak mengandung tambahan gula atau bahan pemanis lainnya dengan post tarif 0402.91.00.00

Susu dalam bentuk cair, termasuk dalam bentuk kental dengan post tarif 0403.10.91.00

Susu dalam bentuk kental dengan post tarif 0403.10.91.00

Susu mentega dengan post tarif 0403.90.10.00

Pemberian Insentif Pajak Sektor Padat Karya Dialihkan ke BKPM, Ini Komponennya

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan mengalihkan wewenang pemberian insentif pajak untuk sektor padat karya seperti tekstil kepada Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Dengan adanya aturan ini, maka wewenang pemberian fasilitas diskon pajak penghasilan tersebut bukan lagi di Menteri Keuangan, melainkan Menteri Investasi.

Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan.

Pasal 423 PMK 81/2024 itu menyebutkan wajib pajak yang melakukan penanaman modal pada industri padat karya dapat diberikan fasilitas PPh berupa pengurangan penghasilan neto sampai tingkat dan waktu tertentu. Ayat (2) pasal yang sama menyebutkan pengurangan penghasilan neto itu sebesar 60% dari jumlah penanaman modal berupa aktiva tetap hingga jangka waktu 6 tahun.

“Pengurangan penghasilan neto… sebesar 60% dari jumlah Penanaman Modal berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah, yang digunakan untuk Kegiatan Usaha Utama, dibebankan selama 6 tahun sejak Tahun Pajak Saat Mulai Berproduksi Komersial masing-masing sebesar 10% per tahun,” seperti dikutip dari salinan PMK tersebut pada Senin, (11/11/2024).

Selanjutnya Pasal 423 Ayat (3) PMK 81/2024 menyatakan industri padat karya yang bisa mendapatkan fasilitas tersebut harus memenuhi sejumlah persyaratan. Di antaranya, mempekerjakan tenaga kerja Indonesia paling sedikit 300 orang.

Semua ketentuan pemberian fasilitas PPh tersebut sebenarnya masih sama dengan aturan lama, yakni PMK 16/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Penghasilan Neto Atas Penanaman Modal Baru atau Perluasan Usaha pada Bidang Usaha Tertentu yang merupakan Industri Padat Karya.

Namun perbedaannya, pada PMK 81/2024 pemberian fasilitas tersebut menjadi wewenang Menteri Investasi bukan lagi Menteri Keuangan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 426 Ayat (1).

“Pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 423 ayat (1) dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal.”

Perlu pula dicatat, bahwa ketentuan yang diatur dalam PMK 81/2024 belum berlaku saat ini. Sebab, PMK 81/2024 yang diterbitkan Sri Mulyani pada Oktober lalu baru resmi berlaku pada 1 Januari 2025, termasuk ketentuan mengenai pemberian fasilitas terkait PPh industri padat karya ini.

Kemenkeu Catat Kenaikan Penerimaan Pajak Karyawan

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat kenaikan realisasi penerimaan dari jenis Pajak Penghasilan (PPh) 21 pada Oktober 2024. Kenaikan penerimaan dari pajak gaji karyawan ini mengindikasikan banyak pegawai di RI yang gajinya naik.

“PPh 21 itu tumbuh konsisten double digit,” kata Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu dalam konferensi pers APBN Kita edisi Oktober, seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Senin, (11/11/2024).

Dikutip dari paparan Kemenkeu, realisasi penerimaan dari PPh 21 pada 31 Oktober 2024 mencapai Rp 206,99 triliun. Angka ini berkontribusi 13,6% dari seluruh penerimaan pajak yang berhasil dikumpulkan Kemenkeu.

Adapun, Kemenkeu mencatat penerimaan dari PPh 21 hingga Oktober ini mengalami pertumbuhan neto maupun bruto mencapai 23,1% year-on-year. Pada Oktober 2023, penerimaan pajak jenis PPh 21 juga mengalami pertumbuhan bruto sebesar 16,8% yoy.

Anggito menjelaskan pertumbuhan penerimaan dari PPh 21 ini mengindikasikan terjadinya kenaikan gaji para pegawai di Indonesia dibandingkan tahun lalu. Dia mengatakan kenaikan setoran PPh 21 ini juga menunjukan penyerapan tenaga kerja di Indonesia masih terjaga baik.

“Ini sebetulnya menunjukan pembayaran gaji secara nominal itu meningkat dibandingkan bulan yang sama tahun lalu, jadi ada peningkatan dari sisi pendapatan yang diterima karyawan atau mungkin ada utilisasi tenaga kerja dan upah yang masih terjaga baik,” kata dia.

 

 

DPR Apresiasi Rencana Peluncuran Coretax

IKPI, Jakarta: Anggota Komisi XI DPR RI, H. Fathi, apresiasi inisiatif pemerintah mempermudah masyarakat dalam melaporkan pajak. Melalui Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan berencana meluncurkan sistem baru bernama Coretax pada Januari 2025.

Inovasi ini diharapkan dapat mengurangi beban administrasi wajib pajak. Dengan begitu diharapkan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak.

“Sebetulnya, banyak masyarakat yang masih kesulitan melaporkan pajaknya karena proses pengisian SPT yang dianggap rumit. Saya berharap dengan adanya kemudahan ini membuat masyarakat lebih tergerak untuk taat pajak dan berkontribusi bagi negara,” ujar Fahi, Minggu, (10/11/2024).

Sebelumnya dijelaskan Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, bahwa sistem Coretax akan menyajikan data secara otomatis melalui fitur pre-populated data. Artinya pengisian SPT wajib pajak badan akan dilakukan sistem berdasarkan data yang sudah ada.

Hal ini memungkinkan wajib pajak hanya perlu memverifikasi kebenaran data yang tercatat di dalam sistem. Cara itu dinilai sangat-sangat memudahkan buat wajib pajak dalam melaporkannya.

Suryo menambahkan dengan adanya pre-populated data, wajib pajak badan yang memiliki bukti potong atau bukti pungut pajak dari pihak lain, tinggal melihat data potongan dan pungutan pajaknya yang tersaji di dalam SPT-nya. Sebab, data otomatis disiapkan melalui sistem e-filing, sehingga mempercepat dan menyederhanakan proses pelaporan.

Direktorat Jenderal Pajak juga berencana menerbitkan aturan baru mengenai kriteria wajib pajak yang tidak perlu lagi melaporkan SPT Tahunan. Itu jika mereka memenuhi persyaratan tertentu.

Aturan ini telah dimuat dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2025 sebagai bagian dari penerapan sistem Coretax. Beberapa kriteria yang dibebaskan dari kewajiban pelaporan SPT antara lain wajib pajak yang tidak lagi memiliki penghasilan, pensiunan, serta pengusaha yang berhenti menjalankan usaha.

Dengan peraturan ini, masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun dapat mengajukan status sebagai wajib pajak non-efektif (NE). Dengan begitu mereka tidak lagi diwajibkan melaporkan SPT tahunan.

Bagi banyak orang, ini akan menjadi kemudahan yang sangat signifikan. Khususnya bagi mereka yang secara finansial berada di bawah ambang Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Beberapa daftar wajib pajak yang biasanya bisa mengubah status menjadi wajib pajak NE adalah yang penghasilannya turun menjadi di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Kemudian pengusaha yang sudah berhenti melakukan kegiatan usaha, pekerja yang sudah tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan, serta pensiunan yang tidak lagi memiliki penghasilan

Fathi menilai langkah ini menjadi bukti upaya pemerintah menciptakan sistem perpajakan yang inklusif dan efisien. “Saya mengapresiasi kebijakan ini,” ucapnya.

Sekarang Tak Semua Wajib Pajak Harus Lapor SPT Tahunan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan akan membuat peraturan baru mengenai kriteria Wajib Pajak (WP) yang tak perlu melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan pajak saat sistem inti administrasi perpajakan atau core tax system dirilis. Hal tersebut termuat dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2025 tentang Ketentuan Perpajakan Dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan.

PMK 81/2024 tersebut menyatakan sebagai tindak lanjut terbitnya aturan ini, maka perlu dibuat sejumlah aturan teknis mengenai pelaksanaannya. Salah satunya adalah mengenai kriteria WP yang tak wajib melaporkan SPT.

“Kriteria Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (2),” seperti dikutip dari Pasal 465 huruf s PMK 81/2024, Jumat, (8/11/2024).

Sebelumnya, pengecualian bagi WP yang tidak perlu membuat SPT diatur dalam PMK-147/PMK.03/2017 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2020.

Aturan tersebut mengatur bahwa wajib pajak yang masuk kategori Non-Efektif (NE), maka ia tak wajib lapor SPT Tahunan dan juga tak akan diberikan surat teguran meski tidak menyampaikan SPT nya.

Berikut ini daftar wajib pajak yang biasanya bisa mengubah status menjadi wajib pajak NE adalah:

– Yang penghasilannya turun menjadi di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

– Pengusaha yang sudah berhenti melakukan kegiatan usaha

– Pekerja yang sudah tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan

– Pensiunan yang tidak lagi memiliki penghasilan

Mengenai penghasilan di bawah PTKP, hal ini diatur dalam dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan. Aturan tersebut mengatur batas PTKP yang berlaku saat ini yakni Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun.

Dengan perhitungan ini, maka masyarakat yang gajinya di bawah Rp 4,5 juta per bulan dibolehkan untuk tidak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Tetapi, ada syarat yang harus dipenuhi. Adapun syarat untuk bisa bebas dari lapor SPT Tahunan adalah mengajukan permohonan Non-Efektif (NE). Dengan masuk kategori NE, maka wajib pajak tak perlu lapor SPT setiap tahunnya.

 

 

en_US