DPR Soroti Stagnasi Rasio Pajak RI

IKPI, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyoroti stagnasi rasio pajak (tax ratio) di tengah pertumbuhan ekonomi yang konsisten setiap tahunnya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekonomi Indonesia tumbuh 4,95% hingga kuartal III-2024, dari Rp 3.125 triliun pada kuartal III-2023 menjadi Rp 3.279,6 triliun.

Penerimaan pajak juga mengalami kenaikan sebesar 3,5% pada 2024 menjadi Rp 1.932,4 triliun, meski belum mencapai target APBN sebesar Rp 1.988,9 triliun. Namun, tax ratio Indonesia tetap stagnan di kisaran 10% dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2023, angkanya tercatat 10,21%, turun dibandingkan 2022 yang mencapai 10,38%.

Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menyebut kondisi ini sebagai sebuah anomali. “Kita mengalami situasi bahwa ekonomi kita tumbuh, tetapi tax ratio kita menurun. Ketika tax ratio menurun sementara ekonomi naik, ini menjadi tanda tanya besar,” ujar Misbakhun dikutip dari Cuap-Cuap Cuan CNBC Indonesia, Selasa (21/1/2025).

Sejarah Tax Ratio Indonesia

Indonesia pernah mencatatkan tax ratio tertinggi sebesar 13% pada 2008, saat diberlakukannya kebijakan sunset policy. Namun, sejak itu angka tersebut terus stagnan. Bahkan saat ini, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyebut tax ratio hanya mencapai 10,4%, jauh dari potensi ideal sebesar 12,2% akibat kebijakan insentif fiskal senilai 1,8% dari PDB.

Misbakhun mengingatkan, kebijakan insentif pajak bukanlah hal baru. Sejak era 1980-an, insentif dalam berbagai bentuk telah diterapkan pemerintah, namun implementasinya bervariasi.

Tax ratio menjadi indikator penting untuk mengukur efektivitas pemerintah dalam mengumpulkan pajak. Semakin tinggi angkanya, semakin baik kebijakan perpajakan dan kepatuhan wajib pajak.

“Inilah yang harus kita temukan formulasinya. Negara memiliki semua alat dan sumber daya untuk memperbaiki situasi ini,” ujar Misbakhun.

DPR berkomitmen mendorong pemerintah untuk mencari solusi yang dapat meningkatkan tax ratio sekaligus memberikan dampak positif bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. (alf)

OJK Terima 1.672 Pengaduan Pelanggaran Debt Collector, Terbanyak dari Pinjol 

IKPI, Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sebanyak 1.672 pengaduan terkait indikasi pelanggaran perilaku petugas penagihan atau debt collector. Aduan terbanyak berasal dari layanan pinjaman daring (pinjol) dengan total 1.106 laporan.

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, mengungkapkan bahwa sektor lainnya yang juga banyak dilaporkan adalah perusahaan pembiayaan dengan 179 pengaduan dan perbankan dengan 387 pengaduan.

“Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi (Pindar) mendominasi dengan 1.106 aduan, diikuti perusahaan pembiayaan sebanyak 179, dan perbankan sebanyak 387,” jelas Friderica Widyasari (Kiki) dalam keterangan resminya, Senin (20/1/2025).

Selain itu, OJK juga mencatat adanya 229 pelanggaran iklan dari total 14.481 iklan yang diawasi selama triwulan III-2024, atau sebesar 1,58%. Pelanggaran iklan tertinggi ditemukan pada sektor Perusahaan Modal Ventura Lembaga Jasa Keuangan (PMVL), yakni sebesar 2,80% atau 99 pelanggaran dari total 3.536 iklan yang dipantau.

Pelanggaran iklan tersebut meliputi penyalahgunaan pernyataan “berizin dan diawasi oleh OJK,” penggunaan logo OJK yang tidak sesuai, hingga informasi promosi yang tidak jelas seperti tidak mencantumkan periode promo dan tautan spesifik untuk penjelasan lebih lanjut.

OJK terus meningkatkan pengawasan terhadap praktik debt collector dan iklan jasa keuangan untuk melindungi konsumen dari tindakan yang merugikan, memastikan kepatuhan pelaku usaha jasa keuangan terhadap regulasi, dan ekosistem keuangan yang sehat dalam penguatan dan pengembangan sektor keuangan terkendali.

“Kami akan terus melakukan tindakan tegas terhadap pelanggaran ini untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap industri jasa keuangan,” tegas Kiki. (alf)

Belum Punya NPWP Pribadi? Ini Panduannya

IKPI, Jakarta: Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah identitas yang diberikan kepada Wajib Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan. NPWP digunakan sebagai tanda pengenal dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan.

Proses Pendaftaran NPWP

Dikutip dari website resmi Direktorat Jenderal Pajak ( DJP), Wajib Pajak Orang Pribadi dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dengan mengisi formulir pendaftaran dan melengkapi dokumen yang disyaratkan. Ada tiga saluran pendaftaran yang dapat dipilih:

• Datang langsung ke KPP/KP2KP: Pendaftaran dilakukan dengan menyerahkan dokumen langsung ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai domisili.

• Melalui pos: Kirim formulir pendaftaran beserta dokumen ke KPP/KP2KP terdekat.

• Daftar online: Melalui situs e-registration Direktorat Jenderal Pajak di https://ereg.pajak.go.id/.

Persyaratan Dokumen

Berikut adalah dokumen yang dibutuhkan sesuai kategori Wajib Pajak:

• Karyawan

• WNI: Fotokopi KTP.

• WNA:

• Fotokopi paspor.

• Fotokopi KITAS atau KITAP.

• Usaha/Pekerjaan Bebas

• Dokumen identitas diri.

• Dokumen yang menunjukkan tempat dan jenis kegiatan usaha, seperti:

• Surat pernyataan bermaterai; atau

• Keterangan tertulis/elektronik dari mitra usaha berbasis aplikasi online.

• Wanita Kawin

• Jika hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim, diperlukan:

• Dokumen identitas diri.

• Surat pernyataan atau keterangan lokasi kegiatan usaha (jika ada).

• Jika memilih hak perpajakan terpisah dari suami, tambahan dokumen:

• Identitas perpajakan suami.

• Dokumen perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.

• Dokumen pernyataan pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan terpisah.

Secara umum, pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan wanita kawin tergabung dengan suami, sehingga tidak memerlukan NPWP terpisah.

Wajib Pajak bisa mengetahui informasi lebih lengkap mengenai pendaftaran NPWP melalui situs pajak.go.id pada menu segmentasi Orang Pribadi Karyawan atau Pekerjaan Bebas. (alf)

Wajib Pajak Orang Pribadi Diminta Laporkan SPT Tahunan 2024 Sebelum 31 Maret 2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengingatkan wajib pajak orang pribadi untuk melakukan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan untuk tahun pajak 2024 antara 1 Januari hingga 31 Maret 2025. Meskipun ada kebijakan baru mengenai sistem Coretax, pelaporan SPT tahunan bagi wajib pajak orang pribadi masih menggunakan sistem e-Filing yang sudah berlaku sebelumnya.

Coretax, yang saat ini masih difokuskan untuk wajib pajak badan, baru akan digunakan untuk pelaporan SPT Tahunan tahun pajak 2025 dan seterusnya.

DJP melalui akun Instagram resminya pada Senin (20/1/2025) menyampaikan, “SPT Tahunan untuk Tahun Pajak 2024 dan pembetulan tahun-tahun sebelumnya masih menggunakan e-Filing. Lapor tahunan dengan Coretax akan berlaku untuk Tahun Pajak 2025 dan seterusnya.”

DJP mengimbau agar wajib pajak segera melakukan pelaporan untuk menghindari penumpukan pengisian SPT di akhir periode pelaporan. Berikut ini langkah-langkah yang dapat diikuti wajib pajak dalam mengisi SPT Tahunan secara online:

1. Akses DJP Online: Masuk ke laman resmi DJP Online, www.pajak.go.id, melalui handphone atau laptop.

2. Login: Masukkan NIK/NPWP, password, dan kode keamanan.

3. Pilih e-Filing: Klik menu lapor dan pilih e-filing, lalu buat SPT.

4. Pilih Formulir: Pilih formulir SPT yang sesuai, seperti 1770 atau 1770 S, berdasarkan penghasilan yang diterima.

5. Isi Data: Isi formulir SPT berdasarkan data penghasilan, harta, utang, serta status SPT Anda.

6. Status SPT: Setelah pengisian, status SPT akan muncul—apakah nihil, kurang bayar, atau lebih bayar. Sesuaikan pelaporan dengan status yang ditampilkan.

7. Verifikasi: Klik tombol setuju dan masukkan kode verifikasi yang dikirimkan melalui email atau nomor telepon.

8. Kirim SPT: Kirim SPT dan tunggu tanda terima elektronik yang akan dikirimkan ke email Anda.

Untuk melakukan pelaporan ini, wajib pajak juga perlu memastikan bahwa mereka telah memiliki Electronic Filing Identification Number (EFIN). EFIN adalah nomor identifikasi yang diterbitkan oleh DJP yang berfungsi sebagai identitas wajib pajak dalam melakukan transaksi elektronik dengan DJP.

Bagi wajib pajak yang belum memiliki EFIN, permohonan pembuatan EFIN dapat dilakukan secara online dengan mengirimkan email ke kantor pajak terdekat dengan melampirkan data dan dokumen pendukung, termasuk foto KTP dan NPWP. Jika wajib pajak lupa EFIN, mereka bisa mengajukan permohonan untuk mendapatkannya kembali melalui email yang terdaftar di DJP.

DJP juga mengingatkan bahwa apabila pelaporan dilakukan dengan tepat waktu, wajib pajak akan menghindari denda atau sanksi atas keterlambatan pelaporan.

Bagi wajib pajak yang memerlukan informasi lebih lanjut, DJP juga menyediakan layanan Kring Pajak di nomor 1500-200. (alf)

Indonesia Resmi Luncurkan Perdagangan Karbon Internasional di IDXCarbon

IKPI, Jakarta: Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) Senin (20/1/2025) resmi meluncurkan perdagangan karbon internasional untuk pertama kalinya dalam sejarah. Langkah ini bertujuan untuk menarik partisipasi global dan memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain utama dalam perdagangan karbon dunia.

Peluncuran ini didasarkan pada kerangka hukum yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 21 Tahun 2022, yang mengatur mekanisme otorisasi perdagangan karbon ke pihak asing.

Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Iman Rachman, menyatakan bahwa peluncuran ini merupakan tonggak penting dalam upaya Indonesia mengatasi perubahan iklim.
“Hari ini merupakan momen bersejarah bagi Indonesia. Inisiatif perdagangan karbon internasional ini menandai langkah besar dalam menunjukkan kesediaan kita untuk berkontribusi secara signifikan terhadap pencapaian target iklim global,” ujar Iman dalam acara peluncuran di Gedung Bursa Efek Indonesia.

Sebelumnya, perdagangan karbon di Indonesia hanya berlangsung di pasar domestik. Namun, partisipasi dalam pasar tersebut masih terbatas. Pada tahun 2024, jumlah peserta yang terdaftar mencapai 104, meningkat drastis dari 16 peserta saat pertama kali diluncurkan pada 26 September 2023.
Capaian luar biasa lainnya adalah tercapainya volume perdagangan kumulatif sebesar 1 juta ton karbon.

Menurut Iman, keberhasilan ini didukung oleh kontribusi perusahaan-perusahaan yang terdaftar di BEI dan anak perusahaannya.
“Ketertarikan mereka dalam membeli unit karbon menyumbang sekitar 83% dari total volume perdagangan karbon,” tambahnya.

Peluncuran perdagangan karbon internasional ini diharapkan dapat mempercepat pengurangan emisi gas rumah kaca, sekaligus memberikan peluang ekonomi baru bagi pelaku usaha dan pemerintah. Dengan inisiatif ini, Indonesia menunjukkan komitmen kuat dalam mendukung transisi menuju ekonomi hijau dan berkelanjutan. (alf)

DJP Perkuat Validasi Faktur Pajak 07 melalui Integrasi dengan Bea Cukai dan LNSW

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus memperkuat sistem validasi dalam pembuatan Faktur Pajak (FP) Kode 07 melalui koordinasi intensif dengan berbagai pihak terkait. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan akurasi data dan mempermudah wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan mereka.

Dari laman Instagram DJP dijelaskan, Faktur Pajak Kode 07 digunakan dalam transaksi di Kawasan Berikat, Kawasan Bebas, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

Untuk memastikan validitas dokumen yang diinput, DJP telah mengintegrasikan sistem Coretax dengan:

• Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) melalui CEISA 4.0

• Untuk Kawasan Berikat (Kode 02), wajib pajak harus menginput Nomor Pengajuan (AJU) dan tanggal AJU, sesuai dengan dokumen Pemberitahuan Pemasukan Asal Daerah Pabean ke Kawasan Berikat (BC 4.0) atau Surat Persetujuan Pengeluaran Barang.

• Wajib pajak dapat mengirimkan data nomor AJU dari CEISA 4.0 ke Coretax DJP dengan mengklik tombol “Kirim Faktur Pajak”. Setelah data diterima, tanggal faktur harus disesuaikan dengan tanggal penyerahan Barang Kena Pajak (BKP).

• Lembaga Nasional Single Window (LNSW) melalui INSW

• Untuk Kawasan Bebas (Kode 18), dokumen yang harus diinput adalah Pemberitahuan Perolehan atau Pengeluaran Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (PPBJ).

• Untuk Kawasan Ekonomi Khusus (Kode 17), dokumen yang harus diinput adalah Pemberitahuan Jasa KEK (PJKEK).

• Data pembeli dan rincian transaksi otomatis diisi melalui interoperabilitas Coretax DJP dan INSW.

Melalui integrasi ini, DJP memastikan bahwa wajib pajak dapat menginput data dengan lebih cepat dan akurat, sehingga meminimalkan kesalahan dalam penerbitan faktur pajak.

Langkah ini juga diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan kepatuhan pajak di berbagai kawasan ekonomi khusus di Indonesia.

DJP terus mengimbau para pelaku usaha untuk memahami tata cara penggunaan Faktur Pajak 07 agar dapat memanfaatkan sistem ini secara optimal. Bagi wajib pajak yang membutuhkan panduan lebih lanjut, DJP menyediakan layanan konsultasi melalui kanal resmi yang tersedia. (alf)

Luhut Minta Masyarakat Beri Waktu 4 Bulan untuk Optimalkan Coretax

IKPI, Jakarta: Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan meminta masyarakat memberikan waktu tiga hingga empat bulan agar sistem Coretax yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat berjalan optimal.
“Jangan cepat-cepat kritik. Kasih waktu 3-4 bulan untuk ini bisa berjalan,” ujar Luhut dalam acara Semangat Awal Tahun 2025 di Jakarta, baru-baru ini.

Ia menegaskan bahwa kritik masyarakat tetap penting, tetapi harus dilakukan secara konstruktif. Sistem baru ini, menurutnya, tidak terhindar dari kekurangan pada awal implementasi.
“Dalam satu bulan pertama, pastilah ada yang kurang sana-sini. Tapi, jangan buru-buru kritik,” tambah Luhut.
Sinergi dengan Kemenkeu
Luhut juga mengungkapkan telah berdiskusi dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengenai pengembangan dan integrasi sistem Coretax. Sistem ini dirancang untuk mengintegrasikan administrasi perpajakan dengan layanan digital pemerintah (government technology atau govtech).
Sri Mulyani menjelaskan bahwa Coretax merupakan bagian dari reformasi perpajakan yang bertujuan meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas. Selain itu, sistem ini diharapkan dapat mendorong kepatuhan wajib pajak.
“Semua dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi, dan yang terpenting untuk membangun kepercayaan publik terhadap tata kelola pemerintahan,” ungkap Sri Mulyani.

Luhut menekankan bahwa partisipasi masyarakat sangat diperlukan untuk keberhasilan sistem ini. Selain memberikan masukan, masyarakat diharapkan memahami cara kerja Coretax dan mendukung implementasinya.

Sementara itu, Sri Mulyani memastikan bahwa DJP terus bekerja keras agar Coretax dapat dioperasikan secara optimal meskipun menghadapi berbagai tantangan.

“Kami menjaga aspek interoperabilitas agar koordinasi dan kolaborasi sistem pemerintahan berjalan baik, termasuk integrasi dengan data di sistem Coretax,” jelasnya.

Coretax diharapkan menjadi solusi untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih modern dan terintegrasi, sehingga dapat mendukung pencapaian tujuan reformasi perpajakan Indonesia. (alf)

Pemerintah Tegaskan Tak Ada Bansos Khusus Terkait Kenaikan PPN 12 Persen

IKPI, Jakarta: Pemerintah memastikan tidak akan memberikan bantuan sosial (bansos) khusus untuk merespons kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Abdul Muhaimin Iskandar, yang menegaskan bahwa kebijakan ini telah melalui seleksi dan pertimbangan matang.

“PPN tidak ada kaitannya dengan bansos khusus. Karena memang dari 11 persen naik menjadi 12 persen itu betul-betul sudah diseleksi ya,” kata Muhaimin dalam keterangannya baru-baru ini.

Ia menjelaskan, kenaikan PPN tersebut hanya berlaku untuk barang-barang mewah. Sementara kebutuhan dasar masyarakat, termasuk sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta pariwisata, tidak terdampak oleh kenaikan ini.

“UMKM dan sektor wisata yang berkaitan dengan hajat orang banyak tidak kena pajak 12 persen. Yang dikenakan hanya sektor-sektor barang mewah, berbagai barang di luar kebutuhan dasar,” ujarnya.

Muhaimin juga menambahkan bahwa pemerintah tetap memberikan keringanan dan kemudahan bagi pelaku UMKM untuk menjalankan usahanya. Kebijakan kenaikan PPN ini, menurutnya, telah dirancang untuk tetap mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa membebani masyarakat kecil.

“Mana yang tidak boleh naik, mana yang naik, semuanya telah dipertimbangkan dengan matang agar ekonomi tetap tumbuh, melindungi, dan memfasilitasi. Uang tambahan dari kenaikan PPN ini akan digunakan untuk keperluan subsidi berbagai jenis kebutuhan,” jelasnya.

Rencana kenaikan PPN ini dijadwalkan mulai berlaku tahun depan. Pemerintah optimistis langkah ini dapat membantu meningkatkan pendapatan negara tanpa mengorbankan sektor yang berkaitan langsung dengan masyarakat luas. (alf)

 

Konsultan Pajak hingga Anggota Keluarga Bisa Jadi Kuasa dengan Kompetensi Tertentu

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengumumkan mengenai hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak. Dalam keterangannya, kini Wajib Pajak dapat menunjuk pihak lain sebagai kuasa untuk membantu menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan mereka.

Siapa yang Dapat Menjadi Kuasa?

1. Konsultan Pajak

2. Pihak Lain dengan kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan.

3. Keluarga, termasuk istri, suami, anak kandung, anak tiri, dan cucu.

Adapun kuasa wajib memiliki kompetensi tertentu seperti jenjang pendidikan, sertifikat, atau pembinaan dari asosiasi atau Kementerian Keuangan, kecuali jika kuasa adalah anggota keluarga.

Selain itu, kuasa harus memiliki surat kuasa khusus dari pihak yang menunjuknya.

Hak Kuasa Wajib Pajak:

1. Mendapatkan layanan perpajakan tertentu sesuai surat kuasa.

2. Menandatangani Surat Pemberitahuan (SPT).

3. Memperoleh layanan konsultasi dan informasi terbaru terkait perpajakan.

Kewajiban Kuasa Wajib Pajak:

1. Mematuhi ketentuan perpajakan.

2. Menyerahkan surat kuasa khusus kepada pegawai DJP.

Namun, kuasa tidak dapat menjalankan tugas jika terbukti menghalangi pelaksanaan peraturan perpajakan atau tersangkut tindak pidana.

Adapun dasar hukum hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak sudah diatur dalam:

1. Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

2. Pasal 51 dan 52 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022.

Wajib Pajak juga dapat mengakses informasi resmi DJP melalui, portal DJP di www.pajak.go.id atau Kring Pajak di 1500200 dan email informasi@pajak.go.id. (alf)

Indonesia Resmi Terapkan Pajak Minimum Global untuk Cegah Penghindaran Pajak

IKPI, Jakarta: Indonesia resmi menerapkan pajak minimum global atau Global Minimum Tax (GMT) sebagai bagian dari kesepakatan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GLoBE) yang dirancang oleh G20 dan dikoordinasikan oleh OECD. Langkah ini diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2024 dan mulai berlaku pada tahun pajak 2025.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu, menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan upaya untuk mencegah praktik penghindaran pajak melalui tax haven sekaligus menciptakan sistem perpajakan global yang lebih adil. “Kesepakatan ini sangat positif dalam meningkatkan keadilan sistem perpajakan global,” ujar Febrio melalui keterangan tertulisnya yang diterima, Jumat (17/1/2025)

GMT akan berlaku bagi wajib pajak badan yang merupakan bagian dari grup perusahaan multinasional dengan omzet konsolidasi global minimal 750 juta Euro. Wajib pajak ini akan dikenakan tarif pajak minimum global sebesar 15 persen.

Jika tarif pajak efektif yang dikenakan di negara tertentu kurang dari 15 persen, perusahaan tersebut diwajibkan membayar pajak tambahan (top up) paling lambat akhir tahun pajak berikutnya. Sebagai contoh, untuk tahun pajak 2025, pembayaran top up harus diselesaikan paling lambat 31 Desember 2026.

Pemerintah memberikan waktu 15 bulan setelah tahun pajak berakhir untuk pelaporan GMT. Namun, khusus untuk tahun pertama penerapan, diberikan kelonggaran hingga 18 bulan. Artinya, untuk tahun pajak 2025, pelaporan pertama wajib disampaikan paling lambat 30 Juni 2027.

Ketentuan teknis mengenai formulir, tata cara pengisian, pembayaran, dan pelaporan surat pemberitahuan tahunan akan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Dukungan untuk Iklim Investasi

Febrio memastikan bahwa penerapan GMT tidak akan mengurangi daya saing investasi di Indonesia. Pemerintah akan memberikan insentif khusus, terutama bagi sektor-sektor yang menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi. Menteri Investasi dan Hilirisasi, Rosan Roeslani, menambahkan bahwa insentif alternatif dalam bentuk nonfiskal sedang dirancang untuk mengimbangi dampak penerapan GMT.

Saat ini, Indonesia bergabung dengan lebih dari 40 negara yang telah mengadopsi kebijakan ini, di mana mayoritas negara mulai menerapkannya pada tahun 2025. Langkah ini menjadi salah satu upaya Indonesia untuk beradaptasi dengan tren perpajakan global sekaligus mendukung integrasi ekonomi internasional yang lebih transparan. (alf)

en_US