Ini Pesan Menkeu Purbaya Kepada Crazy Rich di Indonesia

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melontarkan pesan tegas sekaligus sindiran halus kepada para konglomerat Indonesia yang kerap disebut crazy rich. Ia meminta kelompok masyarakat berpendapatan tinggi itu untuk lebih patuh membayar pajak, khususnya Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dengan tarif tertinggi 35%.

Menurut Purbaya, kepatuhan para wajib pajak berpenghasilan di atas Rp 5 miliar masih jauh dari harapan. Padahal, kontribusi mereka sangat menentukan keadilan sistem perpajakan sekaligus memperkuat kas negara.

“Yang penting mereka comply dulu sama aturan. Jangan kabur-kabur. Kalau mereka taat, kita pastikan tarif enggak dinaikkan lagi,” ujar Purbaya di kantornya, Jakarta, Jumat (26/9/2025).

Purbaya menegaskan, pemerintah akan memberikan banyak keuntungan bila para orang kaya ini menjalankan kewajibannya. Mulai dari kepastian tarif yang stabil, peningkatan kualitas layanan perpajakan, hingga perlindungan dari intervensi aparat pajak.

“Kalau sudah bayar sesuai aturan, enggak akan diganggu lagi oleh aparat pajak. Itu janji saya,” tegasnya.

Ia juga menambahkan, Kementerian Keuangan akan membuka kanal khusus pengaduan langsung ke dirinya. Kanal ini bertujuan melindungi wajib pajak dari tindakan tidak profesional oknum petugas pajak.

“Nanti saya buka pengaduan langsung ke Menteri Keuangan. Tentu bukan saya sendiri yang baca, ada tim khusus yang memantau. Kalau ada aparat yang nakal, bisa segera saya tindak,” jelasnya.

Setoran Crazy Rich Masih Mini

Data Kemenkeu mencatat, setoran PPh 21 yang mayoritas berasal dari karyawan mencapai Rp 223,42 triliun per November 2024, setara dengan 13,2% penerimaan pajak nasional. Sebaliknya, kontribusi PPh Orang Pribadi, termasuk dari para crazy rich, hanya Rp 13,38 triliun atau 0,8% dari total penerimaan.

“Angka ini jelas menunjukkan jurang kepatuhan. Mereka yang penghasilannya besar justru setoran pajaknya sangat minim,” kata Purbaya.

Purbaya berikan peringatan keras, bahwa pemerintah tidak akan segan menindak pengemplang pajak, tetapi tetap siap memberikan kenyamanan bagi mereka yang taat.

“Pilihannya sederhana, bayar pajak sesuai aturan dan nikmati insentif, atau tetap main-main dan berhadapan dengan risiko hukum,” pungkasnya. (alf)

 

Ketum Vaudy Bubarkan Panitia HUT ke-60 dengan Penuh Apresiasi dan Berharap Regenerasi di Kegiatan Mendatang

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, secara resmi membubarkan Panitia HUT ke-60 IKPI dalam acara yang digelar di Jakarta Selatan, Sabtu (27/9/2025). Namun, pembubaran ini bukanlah akhir, melainkan bentuk penghargaan sekaligus momentum refleksi atas keberhasilan besar yang diraih panitia dalam menyelenggarakan perayaan ulang tahun emas keenam dekade IKPI.

Dalam sambutannya, Vaudy menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada seluruh panitia yang terdiri dari pengurus pusat, cabang, hingga anggota muda IKPI yang bekerja tanpa kenal lelah selama tiga bulan terakhir. “Saya tidak menyangka antusiasme peserta dalam setiap rangkaian kegiatan HUT ke-60 ini begitu luar biasa. Kerja keras panitia benar-benar berbuah manis dan membanggakan seluruh keluarga besar IKPI,” ujar Vaudy.

Serangkaian kegiatan HUT ke-60 IKPI memang berlangsung meriah dan sarat makna. Mulai dari lomba cerdas cermat perpajakan yang menguji kemampuan generasi muda konsultan pajak, turnamen golf yang mempererat jejaring antarprofesional, sepeda santai yang menyehatkan sekaligus memupuk kebersamaan, hingga kegiatan donor darah yang mencetak sejarah baru.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Dari program donor darah, IKPI berhasil meraih Rekor MURI dengan menghadirkan lebih dari 6.000 pendonor dari target semula 5.000. Capaian ini tak hanya menjadi kebanggaan organisasi, tetapi juga bukti nyata kontribusi IKPI bagi masyarakat luas.

Tak berhenti di situ, IKPI juga berhasil mencatatkan diri sebagai asosiasi konsultan pajak terbesar di Indonesia dengan jumlah anggota aktif lebih dari 7.000 orang, atau sekitar 85 persen dari total konsultan pajak yang ada di Indonesia menurut data P2PK Kementerian Keuangan. Pengakuan ini semakin menegaskan posisi IKPI sebagai kekuatan utama profesi konsultan pajak di Tanah Air.

Meski bangga dengan pencapaian tersebut, Vaudy tidak ingin terlena. Ia menegaskan pentingnya regenerasi dalam tubuh organisasi, khususnya di kepanitiaan kegiatan besar. Menurutnya, pengalaman mengelola acara berskala nasional seperti seminar nasional maupun HUT harus dirasakan oleh banyak anggota agar terjadi kaderisasi dan penguatan kapasitas di semua lini.

“Ke depan, kepanitiaan tidak boleh hanya diisi oleh orang-orang yang sama. Kami ingin setiap anggota, baik dari pusat maupun cabang, merasakan pengalaman memimpin dan mengelola acara besar. Regenerasi ini penting agar IKPI semakin solid dan siap menghadapi tantangan di masa mendatang,” tegas Vaudy.

Vaudy juga menekankan bahwa IKPI tidak akan bergantung pada event organizer dalam pelaksanaan kegiatan apa pun. Sebaliknya, organisasi akan terus memberdayakan anggota dan tim sekretariat untuk menyukseskan setiap program.

“Kita harus percaya pada kekuatan internal. Kekompakan dan kerja keras sendiri sudah terbukti mampu menghasilkan kegiatan sebesar ini tanpa campur tangan pihak luar,” tambahnya.

Dengan semangat regenerasi dan pemberdayaan internal tersebut, IKPI di usianya yang ke-60 tidak hanya merayakan capaian, tetapi juga menatap masa depan dengan optimisme. Bagi Vaudy, perayaan kali ini adalah bukti bahwa kebersamaan dan komitmen anggota bisa melahirkan sejarah baru, sekaligus pondasi kuat untuk melangkah ke dekade berikutnya.(bl)

Ekonom UI Kritik Threshold UMKM, Celah Penghindaran Pajak yang Dibiarkan 17 Tahun

IKPI, Jakarta: Ambang batas omzet UMKM Rp4,8 miliar per tahun yang dikenai tarif pajak final 1% mendapat kritik tajam dari peneliti LPEM FEB UI, Vid Adrison. Menurutnya, aturan tersebut telah menjadi ladang subur praktik penghindaran (tax avoidance) hingga penggelapan (tax evasion) pajak.

“Threshold Rp4,8 miliar itu kelewat tinggi. Sejak ditetapkan tahun 2008 hingga sekarang, banyak pelaku usaha sengaja menahan omzet agar tidak lewat batas. Kalau pun lewat, mereka akali dengan menaikkan cost agar laba terlihat kecil. Itu jelas permainan pembukuan,” kata Vid.

Ia mengutip penelitian yang menunjukkan perbedaan mencolok antara rasio biaya terhadap penjualan (cost over sales) pelaku usaha di bawah dan di atas Rp4,8 miliar. “Begitu omzet melewati threshold, rasio biaya langsung melonjak drastis. Artinya ada over-claim cost untuk menekan laba kena pajak. Ini bukti nyata bahwa aturan justru membuka ruang manipulasi,” tegasnya.

Fenomena itu, lanjut Vid, membuat sistem perpajakan Indonesia kehilangan banyak potensi penerimaan. Padahal, tujuan awal pemberian tarif final UMKM adalah untuk memudahkan pelaporan dan mendorong kepatuhan.

“Ironisnya, justru yang terjadi adalah kompetisi tidak sehat. Pelaku usaha yang taat aturan kalah bersaing dengan mereka yang sengaja main di bawah radar,” ungkapnya.

Vid menyarankan pemerintah melakukan reformasi serius terhadap kebijakan UMKM. Ada dua opsi: menurunkan threshold agar lebih realistis, atau menaikkan tarif final agar tidak terlalu menguntungkan dibanding tarif normal. “Kalau tidak diperbaiki, ini akan jadi penyakit kronis yang terus menggerus penerimaan negara,” tandasnya. (bl)

 

Rianto Abimail Ungkap 67% Orang Kaya Pilih Masuk Shadow Economy

IKPI, Jakarta: Fakta mengejutkan disampaikan Rianto Abimail, Pengurus Pusat IKPI, saat menjadi panelis dalam Diskusi Panel bertema “Tepatkah Menargetkan Shadow Economy sebagai Cara Meningkatkan Penerimaan Pajak?” di Kantor Pusat IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (26/9/2025).

Mengutip hasil EY Shadow Economic Expose 2025, Rianto mengungkap bahwa kelompok wajib pajak berpenghasilan tinggi (high income) justru menjadi penyumbang terbesar aktivitas shadow economy.

“Angkanya fantastis, 67,1% wajib pajak kaya lebih memilih bersembunyi di shadow economy ketimbang patuh membayar pajak,” ungkap Rianto.

Menurutnya, semakin besar penghasilan seseorang, semakin tinggi pula kecenderungan untuk melakukan praktik ekonomi bayangan. Setelah kelompok high income, disusul oleh upper middle income, lower middle income, dan terakhir low income.

Fenomena ini, kata Rianto, menandakan bahwa kebijakan pajak yang terlalu menekan kelompok berpenghasilan tinggi bisa menjadi bumerang. Alih-alih meningkatkan penerimaan negara, justru mendorong orang kaya mencari jalan pintas di luar radar pajak.

“Pemerintah jangan hanya fokus mengejar kelompok high income. Kebijakan pajak harus adil, sederhana, dan merata. Kalau tidak, kebocoran penerimaan akibat shadow economy akan makin lebar,” ujarnya.

Rianto menekankan bahwa kepatuhan pajak tidak bisa dipaksakan hanya dengan instrumen pemeriksaan, melainkan harus dibangun lewat kepercayaan, kesederhanaan aturan, dan kepastian hukum. (bl)

Purbaya Siapkan Gebrakan Hukum untuk Dongkrak Penerimaan Cukai dan Bea Masuk

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan komitmennya memperkuat penegakan hukum di sektor perpajakan, kepabeanan, dan cukai. Langkah ini diambil untuk mengejar target ambisius penerimaan negara dalam RAPBN 2026 yang disusunnya.

Dalam dokumen tersebut, target pendapatan negara ditetapkan naik menjadi Rp3.153,6 triliun, atau bertambah Rp5,9 triliun dibanding rancangan yang disusun pendahulunya, Sri Mulyani Indrawati sebesar Rp3.147,7 triliun. Kenaikan terbesar berasal dari sektor kepabeanan dan cukai, yang ditetapkan Rp336 triliun, lebih tinggi dari sebelumnya Rp334,3 triliun. Sementara penerimaan pajak tetap dipatok Rp2.357,7 triliun, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) meningkat menjadi Rp459,2 triliun dari sebelumnya Rp455 triliun.

Purbaya menekankan, strategi utamanya bukan sekadar menaikkan target, tetapi menutup kebocoran dengan pengawasan ketat. “Cukai pada dasarnya nanti akan kita tegakkan penegakan hukum di cukai. Di pajak juga nanti. Jadi across the board, kita hitung itu bisa menghasilkan tambahan Rp5,9 triliun,” ujarnya saat ditemui di kantor Kemenkeu, Jumat (26/9/2025).

Salah satu jurus yang akan diterapkan adalah pemeriksaan acak terhadap jalur hijau bea cukai, yang selama ini relatif bebas dari pemeriksaan fisik. Jalur ini dikenal sebagai fasilitas bagi importir berisiko rendah atau sedang, di mana barang keluar hanya berdasarkan dokumen dan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).

“Biasanya jalur ini tidak diperiksa. Sekarang kita randomize, sehari bisa 10 atau lebih. Jadi enggak bisa main-main lagi,” tegas Purbaya.

Di sisi lain, ia juga mengumumkan operasi besar-besaran terhadap peredaran rokok ilegal yang selama ini merugikan negara. “Kita mulai tangkepin. Harapannya yang gelap-gelap itu hilang, sehingga pendapatan cukai akan meningkat,” tambahnya.

Dengan kombinasi strategi pengawasan jalur impor dan pemberantasan rokok ilegal, Purbaya optimistis tambahan penerimaan Rp5,9 triliun bisa terealisasi tanpa perlu mengerek tarif pajak maupun cukai baru. (alf)

 

 

 

Setoran Pajak Pinjol Meroket, Sumbang Rp3,99 Triliun

IKPI, Jakarta: Bisnis pinjaman online (pinjol) tak hanya tumbuh pesat, tapi juga makin jadi andalan penerimaan negara. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat, hingga Agustus 2025, pajak yang dikumpulkan dari industri peer-to-peer (P2P) lending atau pinjol mencapai Rp3,99 triliun.

Penerimaan ini melonjak drastis dalam tiga tahun terakhir. Pada 2022, pajak pinjol tercatat Rp446,39 miliar, naik menjadi Rp1,11 triliun di 2023, dan kembali tumbuh menjadi Rp1,48 triliun di 2024. Tahun ini, meski baru delapan bulan berjalan, setoran pajaknya sudah menembus Rp952,55 miliar.

Kontribusi pajak pinjol berasal dari tiga sumber utama: PPh 23 atas bunga pinjaman untuk Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap sebesar Rp1,11 triliun, PPh 26 atas bunga pinjaman untuk Wajib Pajak Luar Negeri Rp724,32 miliar, serta PPN dalam negeri senilai Rp2,15 triliun.

Secara keseluruhan, sektor ekonomi digital telah menghasilkan Rp41,09 triliun pajak hingga akhir Agustus 2025. Angka itu termasuk pajak dari perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), transaksi kripto, pinjol, hingga pungutan lewat Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Rosmauli menegaskan, setoran dari pinjol menunjukkan tren positif.

“Pajak digital, termasuk pinjol, kini benar-benar jadi penggerak utama penerimaan negara di era digital,” ujarnya, Jumat (26/9/2025).

Sejalan dengan naiknya setoran pajak, industri pinjol juga melesat. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan outstanding pembiayaan pinjol per Juli 2025 mencapai Rp84,66 triliun, tumbuh 22,01% year-on-year.

Dari sisi kualitas kredit, tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) turun ke 2,75% dari posisi Juni 2025 sebesar 2,85%. Artinya, meski pertumbuhan melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang tembus 25,06% yoy, kualitas pinjaman justru semakin baik.

Selain pinjol, produk Buy Now Pay Later (BNPL) juga ikut melambung. Pada Juli 2025, pembiayaan BNPL naik 56,74% yoy menjadi Rp8,81 triliun. Rasio kredit bermasalah pun membaik, turun ke 2,95% dari 3,26% di Juni 2025.

Namun, OJK mengingatkan masih ada masalah ekuitas minimum. Dari 145 perusahaan pembiayaan, 4 belum memenuhi syarat modal Rp100 miliar. Begitu pula 9 dari 96 penyelenggara pinjol yang belum mencapai ekuitas Rp12,5 miliar.

Untuk menutup celah itu, seluruh perusahaan telah menyerahkan action plan, mulai dari penambahan modal, mencari investor strategis, hingga opsi merger. OJK menegaskan akan terus mengawasi realisasi rencana tersebut agar industri pinjol tetap sehat dan berkelanjutan. (alf)

 

 

Trump Kenakan Tarif 100% Obat Impor, Kecuali Perusahaan yang Sudah Dirikan Pabrik di AS

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif baru yang mengguncang industri farmasi. Mulai 1 Oktober 2025, obat bermerek dan berpaten yang tidak diproduksi di dalam negeri akan dikenai tarif impor hingga 100%. Namun, perusahaan farmasi yang sudah membangun pabrik di AS akan dikecualikan dari aturan ini.

“Kami akan memberlakukan tarif 100% untuk setiap produk farmasi bermerek atau berpaten, kecuali perusahaan sedang membangun pabrik manufaktur farmasi di Amerika,” tulis Trump di akun Truth Social, Sabtu (27/9/2025).

Kebijakan ini diperkirakan memukul keras industri farmasi India, yang memasok lebih dari 65% pil kontrasepsi, 50% obat hipertensi dan antidepresan, serta 43% obat kolesterol di AS. Jika tarif benar-benar diterapkan, harga obat bisa melonjak hingga dua kali lipat, menekan rumah sakit, pasien, hingga program kesehatan publik.

Meski menuai kritik, Gedung Putih mengklaim ancaman tarif sebelumnya telah mendorong raksasa farmasi global seperti Johnson & Johnson, AstraZeneca, Roche, Bristol Myers Squibb, dan Eli Lilly untuk berinvestasi membangun fasilitas produksi di AS. Trump menegaskan, tarif adalah strategi untuk mengembalikan kejayaan industri manufaktur.

“Tidak ada inflasi. Amerika sedang mencatat kesuksesan luar biasa,” tegasnya. (alf)

 

 

 

Shadow Economy Disebut Jadi Biang Bocornya Pajak, Pemicu Utamanya Tarif Pajak

IKPI, Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Rianto Abimail, mengupas tuntas persoalan shadow economy dalam Diskusi Panel bertajuk “Tepatkah Menargetkan Shadow Economy sebagai Cara Meningkatkan Penerimaan Pajak?” yang digelar secara hybrid di Kantor Pusat IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, serta melalui Zoom Meeting pada Jumat (26/9/2025).

Dalam paparannya, Rianto menjelaskan bahwa shadow economy atau ekonomi bayangan adalah aktivitas ekonomi yang berjalan di luar pengawasan negara. Aktivitas ini tidak tercatat secara resmi, tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak, dan sulit terdeteksi oleh aparat.

“Shadow economy adalah aktivitas ekonomi yang disembunyikan. Karakteristik utamanya dilakukan secara tunai, informal, dan di luar sistem resmi negara. Karena itu, penerimaan pajak sangat berpotensi bocor,” ujar Rianto.

Mengutip hasil EY Shadow Economic Expose 2025, Rianto menjelaskan bahwa shadow economy mencakup lima kategori, aktivitas tersembunyi untuk menghindari pajak, kegiatan informal tanpa pencatatan, aktivitas ilegal seperti judi online dan narkoba, produksi rumah tangga untuk konsumsi sendiri, serta lemahnya basis data pemerintah.

Ia menambahkan, hasil penelitian Prof. Dr. Patrick Schneider dan Dr. Alban Aslan menunjukkan bahwa faktor utama tumbuhnya shadow economy adalah tarif pajak yang tinggi, regulasi berbelit, dan lemahnya institusi negara.

“Kalau sistem perpajakan sulit, tarif tinggi, dan pengawasan tidak konsisten, wajib pajak justru terdorong masuk ke shadow economy. Dampaknya bukan hanya pada penerimaan negara, tetapi juga memunculkan distorsi persaingan usaha dan menurunkan minat investasi investor asing,” tegas Rianto. (bl)

Menkeu Ingatkan Bahaya Spiral Pajak, Fokus ke Pertumbuhan Ekonomi

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengingatkan bahaya kebijakan menaikkan pajak secara terus-menerus di tengah perlambatan ekonomi. Menurutnya, langkah itu justru berpotensi menyeret perekonomian ke jurang spiral penurunan yang berbahaya.

“Ketika ekonomi melambat, kalau pajak ditambah di semua titik, ekonomi akan melambat lagi. Akibatnya pendapatan pajak malah turun. Kalau dipaksa naik lagi, makin turun lagi. Itu spiral ke bawah. Jadi kita sedang membunuh ekonomi,” tegas Purbaya di kanal YouTube SindoNews, Minggu (28/9/2025).

Purbaya menilai strategi fiskal yang hanya bertumpu pada penambahan beban pajak bukanlah solusi bijak. Ia menekankan bahwa pemerintah saat ini lebih mengutamakan penciptaan pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan ketimbang sekadar mengejar penerimaan pajak jangka pendek.

“Yang penting saya ciptakan pertumbuhan ekonomi yang cepat supaya pajak naik secara otomatis. Kalau ekonomi tumbuh, rakyat juga lebih rela membayar pajak karena mereka punya cukup penghasilan,” jelasnya.

Menurut Menkeu, strategi ini bukan hanya memberi ruang bernapas bagi masyarakat, tetapi juga menjaga kestabilan penerimaan negara. Keseimbangan antara kebijakan fiskal dan dorongan produktivitas disebutnya sebagai kunci agar ekonomi nasional tetap sehat.

“Sekarang saya tidak lagi bicara soal menambah pajak. Fokus saya adalah bagaimana mengorkestrasi pertumbuhan ekonomi agar menciptakan rasa nyaman sekaligus meningkatkan penerimaan negara,” tambahnya.

Lebih jauh, Purbaya menyebut banyak negara menghadapi dilema serupa: di satu sisi membutuhkan dana pembangunan, di sisi lain kenaikan pajak berlebihan bisa menekan daya beli dan menghambat konsumsi domestik. Karena itu, ia menegaskan perlunya kebijakan fiskal yang adaptif dan tidak kaku.

“Pertumbuhan ekonomi yang cepat adalah kunci. Kalau ekonomi sehat, penerimaan pajak akan ikut sehat,” katanya. (alf)

 

 

Peneliti UI: Orang Indonesia Lebih Nyaman di Luar Sistem Pajak

IKPI, Jakarta: Peneliti senior LPEM FEB Universitas Indonesia (UI), Vid Adrison, menyoroti akar masalah shadow economy di Indonesia yang menurutnya lebih mendasar daripada sekadar persoalan kepatuhan. Ia menyebut, mayoritas masyarakat justru merasa lebih nyaman berada di luar sistem perpajakan ketimbang masuk ke dalamnya.

“Kalau ditanya, apakah orang membayar pajak itu terpaksa atau tidak? Jawabannya jelas: terpaksa. Tidak ada yang dengan suka rela ingin membayar pajak,” ujar Vid dalam diskusi panel bertema ‘Tepatkah Menargetkan Shadow Economy sebagai Cara Meningkatkan Penerimaan Pajak?’ yang digelar IKPI di Jakarta, Jumat (26/9/2025).

Ia memberi contoh sederhana. Seorang pedagang dengan keuntungan bersih Rp100 juta setahun, tanpa NPWP, bisa lolos tanpa setoran pajak. Sementara pekerja formal dengan gaji Rp70 juta setahun, karena memiliki NPWP, wajib membayar.

“Fair enggak? Jelas tidak. Ini bikin masyarakat merasa ketidakadilan, sehingga enggan masuk ke sistem,” tegasnya.

Lebih lanjut, Vid menyebut salah satu penyebab utamanya adalah tidak adanya konsekuensi nyata bagi warga yang tetap berada di luar sistem. Tanpa NPWP pun, mereka masih bisa mengakses layanan publik, membuat paspor, SIM, bahkan menikmati infrastruktur yang dibangun dari pajak.

“Kalau di Amerika, sejak pertama kali bekerja, orang wajib punya Social Security Number (SSN). Tanpa itu, gaji tidak bisa ditransfer. Itu memaksa orang masuk sistem. Di Indonesia? Saya baru punya NPWP tahun 2008, padahal sudah bekerja sejak lama. Artinya, insentif maupun paksaan untuk taat itu sangat lemah,” ungkapnya.

Menurut Vid, solusi kunci ada pada integrasi NPWP dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Dengan begitu, semua warga otomatis masuk sistem sejak lahir. “Kalau semua sudah tercatat, barulah pemerintah bisa memilah mana yang di atas PTKP, mana yang di bawah. Dengan begitu, shadow economy akan lebih terkendali. Kalau dibiarkan seperti sekarang, 20 tahun ke depan pun masalahnya sama,” katanya. (bl)

en_US