Pemerintah Resmi Perpanjang PPh Final 0,5% untuk UMKM hingga 2029

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi memperpanjang fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) Final 0,5 persen bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) hingga tahun 2029. Kebijakan ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, usai mengikuti Rapat Terbatas (Ratas) yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (29/10/25).

Airlangga menjelaskan bahwa perpanjangan aturan PPh Final ini merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk menjaga perekonomian nasional tetap solid di tengah dinamika global, sekaligus mendorong pertumbuhan UMKM sebagai tulang punggung ekonomi nasional.

“Regulasi pendukung sudah relatif siap. Selain PPh Final untuk UMKM, pemerintah juga menyiapkan PPh 21 untuk sektor pariwisata dan padat karya, PPN Ditanggung Pemerintah untuk sektor perumahan, serta penerima diskon iuran JKK dan JKM,” ujar Airlangga kepada media, Kamis (30/10/25).

Sebelumnya, PP Nomor 55 Tahun 2022 memberikan fasilitas PPh Final 0,5 persen bagi UMKM orang pribadi dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar, selama tujuh tahun, empat tahun untuk CV, dan tiga tahun untuk PT. Namun, pemerintah memutuskan untuk memperpanjang pemanfaatan tarif ini hingga 2029 agar UMKM dapat terus mengembangkan usaha dengan kepastian fiskal.

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menambahkan bahwa penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait perpanjangan PPh Final 0,5 persen sudah memasuki tahap finalisasi. Izin prakarsa telah diberikan Presiden melalui Menteri Sekretaris Negara pada 25 Agustus 2025.

“Proses penyusunan regulasi sudah kami koordinasikan dengan kementerian terkait, termasuk Kemenko Perekonomian, Kementerian Koperasi, dan Kementerian UMKM. Saat ini tinggal tahap penyelesaian,” ungkap Bimo.

Dengan kepastian perpanjangan ini, pemerintah berharap UMKM akan semakin terdorong untuk tumbuh dan berkontribusi dalam mendorong pemulihan ekonomi nasional yang berkelanjutan. (alf)

Bank Indonesia Luncurkan Katalis P2DD, Dorong Digitalisasi Pajak dan Retribusi Daerah

IKPI, Jakarta: Bank Indonesia resmi meluncurkan program Peningkatan Kapasitas serta Literasi Sinergi Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (Katalis P2DD) dalam Festival Ekonomi dan Keuangan Digital (FEKDI) dan Indonesia Financial Services Expo (IFSE) 2025, Jumat (31/10/2025) di JICC, Jakarta.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, menekankan bahwa pemerintah daerah memiliki peran strategis tidak hanya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan layanan publik, tetapi juga dalam pengelolaan pajak dan retribusi yang lebih transparan dan efisien melalui digitalisasi.

“Dengan Katalis P2DD, digitalisasi daerah bukan sekadar layanan publik dan pertumbuhan ekonomi, tapi juga memperkuat kanal pembayaran digital untuk pajak dan retribusi, meningkatkan literasi transaksi digital, serta akuntabilitas pengelolaan keuangan publik,” ujar Perry.

Program ini sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, yang menekankan transformasi digital ekonomi dan keuangan secara nasional maupun daerah. Katalis P2DD difokuskan sebagai wadah pembelajaran dan kolaborasi bagi pemerintah daerah dalam menerapkan digitalisasi keuangan secara adaptif dan terarah.

Perry menambahkan, hingga saat ini 590 dari 640 pemerintah daerah sudah menerapkan digitalisasi, termasuk kanal pembayaran pajak dan retribusi, melalui program percepatan dan perluasan digitalisasi daerah. Dengan Katalis P2DD, penetrasi digital ini akan diperluas, termasuk dalam memperkuat kapasitas sumber daya manusia dan meningkatkan literasi digital terkait pajak dan retribusi.

“Program ini akan memperluas penggunaan kanal pembayaran digital, memudahkan wajib pajak dan meningkatkan akuntabilitas keuangan publik, sehingga pajak daerah dapat dikelola lebih transparan dan efisien,” kata Perry.

Gubernur BI mengajak seluruh lembaga untuk bersinergi mewujudkan ekonomi dan keuangan digital Indonesia yang inklusif, inovatif, dan berdaulat, sekaligus memperkuat pengelolaan pajak dan retribusi daerah melalui Katalis P2DD.

“Melalui FEKDI IFSE 2025, mari wujudkan ekonomi dan keuangan digital Indonesia yang berdaya tahan, inklusif, inovatif, dan berdaulat, sejalan dengan program Asta Cita di bawah kepemimpinan Bapak Presiden Prabowo Subianto,” tutup Perry. (alf)

Pemprov DKI Jakarta Teken Aturan Baru, Bebas dan Diskon PBB-P2 untuk Masyarakat dan Lembaga

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghadirkan Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 857 Tahun 2025 yang mengatur pengurangan dan pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Aturan ini bertujuan meringankan beban pajak bagi masyarakat, lembaga sosial, pendidikan, hingga pihak lain yang memenuhi syarat.

Diskon PBB-P2: Otomatis dan Lewat Permohonan

Pemprov DKI menetapkan beberapa kategori diskon. Untuk diskon otomatis, rumah sakit atau klinik nirlaba, perguruan tinggi swasta, serta sekolah swasta (mulai PAUD hingga pendidikan khusus) akan memperoleh potongan 50%. Sementara itu, objek pajak yang dikelola Badan Layanan Umum (BLU) untuk layanan non-dasar atau kegiatan olahraga mendapatkan potongan 75%, asalkan tidak bekerja sama dengan pihak ketiga.

Bagi wajib pajak yang ingin mengajukan sendiri, diskon bisa mencapai 100% untuk masyarakat berpenghasilan rendah, wajib pajak pailit, usaha merugi, objek terdampak bencana, maupun sekolah yayasan. Diskon hingga 50% juga diberikan untuk objek dengan kenaikan pajak lebih dari 25% dibanding tahun sebelumnya, atau yang menyediakan ruang terbuka hijau. Adapun kantor partai politik, lembaga agama, organisasi bantuan hukum, profesi, lembaga zakat, dan bangunan cagar budaya bisa mendapatkan diskon 50%, sedangkan kawasan suaka alam atau pelestarian alam serta cagar budaya yang digunakan usaha mendapat 25%.

Bebas PBB-P2: Otomatis dan Permohonan

Selain diskon, Kepgub ini juga menghadirkan fasilitas bebas pajak. Bebas otomatis berlaku bagi barang milik negara atau daerah (selain kantor pemerintah), objek BLU/BLUD, rumah dinas negara golongan I dan II, barang rampasan negara, serta fasilitas umum non-komersial.

Sementara itu, fasilitas bebas lewat permohonan bisa diajukan oleh veteran, perintis kemerdekaan, penerima gelar pahlawan nasional, pensiunan PNS/TNI/Polri, guru atau dosen tetap (termasuk pensiunan), serta objek yang digunakan untuk kepentingan umum non-komersial di bidang keagamaan. Fasilitas ini juga berlaku untuk rumah atau tanah yang sebagian besar dipakai untuk pertanian atau perikanan, serta objek yang disita instansi pemerintah.

Syarat dan Ketentuan Penting

Pembebasan PBB-P2 dibatasi untuk satu objek per wajib pajak, misalnya rumah tapak, rusun, atau tanah maksimal 1.000 m². Jika wajib pajak tidak memiliki objek atas nama sendiri, fasilitas dapat diajukan atas nama pasangan (suami/istri). Pemprov DKI menegaskan, tidak semua objek otomatis bebas pajak. Wajib pajak tetap harus memenuhi syarat dan melengkapi dokumen agar proses permohonan berjalan cepat dan lancar.

Mulai Berlaku

Kepgub Nomor 857 Tahun 2025 berlaku surut sejak 27 Agustus 2025. Dengan hadirnya aturan baru ini, seluruh ketentuan lama mengenai pengurangan dan pembebasan PBB-P2 resmi dicabut.

Aturan ini diharapkan mampu meringankan beban pajak masyarakat dan mendukung berbagai lembaga dalam menjalankan kegiatan sosial, pendidikan, dan keagamaan di Jakarta. (alf)

DPPPK Raih Penghargaan Nagara Dana Abyakta Biding Pelayanan di Hari Oeang ke-79

IKPI, Jakarta: Bertepatan dengan peringatan Hari Oeang ke-79, Direktorat Pembinaan dan Pengawasan Profesi Keuangan (DPPPK) menerima Piagam Penghargaan Nagara Dana Abyakta Bidang Pelayanan dari Menteri Keuangan Republik Indonesia.

Penghargaan ini diberikan sebagai bentuk apresiasi atas dedikasi, inovasi, dan kinerja unggul DPPPK dalam mendukung pengelolaan keuangan negara serta mendorong pengembangan profesi keuangan yang profesional, akuntabel, dan berintegritas.

(Foto: Istimewa)

“Penghargaan ini menjadi motivasi bagi kami untuk terus meningkatkan kualitas layanan, menjunjung tinggi integritas, serta berinovasi dalam rangka mewujudkan tata kelola keuangan negara yang profesional, akuntabel, dan tepercaya,” demikian pernyataan resmi DPPPK dikutip dari akun Instagram @pppk_kemenkeu.

Capaian ini menjadi bukti nyata komitmen DPPPK dalam menghadirkan pelayanan publik prima dan memperkuat tata kelola keuangan negara.

Dalam momentum Hari Oeang ke-79, DPPPK mengajak seluruh insan Kementerian Keuangan untuk terus melangkah bersama, memberikan yang terbaik bagi negeri.

Selamat Hari Oeang ke-79 — “Kuat karena Cinta, Tangguh karena Cita untuk Indonesia!” (bl)

DJP Siap Terapkan Standar Baru OECD, Akses Informasi Keuangan Kini Mencakup E-Money dan Mata Uang Digital

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengumumkan akan mulai mengimplementasikan Amendments to the Common Reporting Standard (Amended CRS) yang diterbitkan oleh OECD, sebagai bagian dari komitmen Indonesia dalam pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan secara internasional (Automatic Exchange of Information / AEOI).

Langkah ini ditegaskan melalui Pengumuman Nomor PENG-3/PJ/2025 yang dirilis DJP pada Oktober 2025. Indonesia akan mulai melaksanakan pertukaran data berdasarkan Amended CRS untuk tahun data 2026, yang akan dipertukarkan secara internasional pada tahun 2027.

“Penandatanganan Addendum to the CRS Multilateral Competent Authority Agreement (CRS MCAA) oleh Direktur Jenderal Pajak pada 19 November 2024 merupakan bentuk komitmen Indonesia dalam memperkuat transparansi keuangan global,” demikian pernyataan resmi DJP, dikutip Jumat (31/10/2025)

Cakupan Informasi Kini Lebih Luas

Dalam Amended CRS, cakupan rekening keuangan yang dilaporkan akan diperluas. Tidak hanya mencakup rekening bank dan produk keuangan tradisional, tetapi juga meliputi:

1. Produk uang elektronik tertentu (Specified Electronic Money Products);

2. Mata uang digital bank sentral (Central Bank Digital Currencies / CBDC).

Perluasan ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan teknologi finansial global yang semakin beragam dan kompleks. OECD menilai, aset digital kini berpotensi besar menjadi sarana penyimpanan nilai dan investasi, sehingga perlu dimasukkan dalam sistem pelaporan otomatis antarnegara.

Mencegah Duplikasi dengan Pelaporan Aset Kripto

Selain perluasan cakupan, DJP juga menyebutkan bahwa Amended CRS akan mengatur mekanisme pencegahan duplikasi pelaporan antara AEOI CRS dan kerangka pelaporan aset kripto (Crypto-Asset Reporting Framework / CARF). Hal ini penting agar lembaga keuangan tidak terbebani kewajiban pelaporan ganda atas data yang sama.

Beberapa pembaruan teknis juga disiapkan, antara lain:

• Penguatan prosedur identifikasi rekening keuangan;

• Penambahan jenis rekening yang dikecualikan dari pelaporan;

• Penambahan detail informasi pelaporan seperti status self-certification nasabah, peran pemegang penyertaan, klasifikasi rekening lama/baru, hingga jumlah pemegang rekening bersama (joint account);

• Penyesuaian format laporan sesuai Amended CRS XML Schema: User Guide for Tax Administrations dari OECD.

DJP menyampaikan bahwa saat ini tengah menyusun Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) sebagai pengganti PMK Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Akses Informasi Keuangan, yang terakhir diubah melalui PMK Nomor 47/PMK.03/2024. RPMK tersebut akan menjadi dasar hukum pelaksanaan Amended CRS di Indonesia.

Melalui pengumuman ini, DJP memberikan waktu yang cukup bagi Lembaga Jasa Keuangan, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, serta entitas pelapor lainnya untuk melakukan identifikasi dan penyesuaian sistem pelaporan mereka sebelum aturan mulai berlaku penuh.

“Kami berharap pengumuman ini dapat menjadi pedoman awal bagi seluruh lembaga keuangan untuk mempersiapkan infrastruktur dan pemahaman teknis yang diperlukan,” tulis DJP dalam penutup pengumuman.

Implementasi Amended CRS diharapkan memperkuat posisi Indonesia dalam kerja sama global melawan penghindaran pajak lintas negara, sekaligus memperluas kemampuan otoritas pajak dalam memantau aset keuangan wajib pajak, baik konvensional maupun digital. (bl)

CELIOS Ingatkan Risiko ‘Jebakan Utang’ di Balik Skema Pinjaman Pemerintah ke Daerah

IKPI, Jakarta: Pemerintah memastikan skema pinjaman pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (pemda) siap digulirkan. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyebut total dana yang disiapkan mencapai Rp240 triliun, dengan dukungan penuh dari pemerintah pusat.

“Itu totalnya nanti kalau semuanya siap, kami siapkan Rp240 triliun, tergantung kesiapan kerja sama. Jadi uangnya cukup,” ujar Purbaya kepada wartawan di Jakarta, Senin (27/10/2025).

Ia menjelaskan, skema ini ditujukan untuk mendorong percepatan belanja daerah agar ekonomi bergerak lebih cepat. “Kalau sektor riil berjalan bagus, seharusnya tax ratio bisa naik hampir setengah sampai satu persen, berkaitan dengan minimal Rp100 triliun,” tambahnya.

Namun di sisi lain, Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menilai kebijakan tersebut kontradiktif dengan semangat efisiensi anggaran. Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menilai kebijakan itu berisiko menjerumuskan daerah ke dalam jebakan utang baru.

“Banyak pemda yang tahun depan akan mengalami pemotongan transfer ke daerah (TKD) sebesar 24,7 persen. Saat mereka sedang kesulitan membiayai kebutuhan dasar, malah ditawari pinjaman. Ini jelas jebakan utang,” tegas Bhima.

Kekhawatiran serupa diungkap Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi, yang menilai pinjaman ini dapat mendorong pemda mencari tambahan pemasukan melalui kenaikan pajak dan retribusi daerah. “Risikonya, pajak bumi dan bangunan, pajak kendaraan bermotor, bahkan pajak konsumsi bisa naik. Dan beban itu ditanggung kelas menengah yang ekonominya sedang berat,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, menilai pinjaman berbasis utang justru membuat perencanaan keuangan daerah tidak berkelanjutan. “Apalagi ada syarat pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) di tahun berikutnya. Akhirnya, sistem penganggaran daerah jadi tidak sustain,” katanya.

Kritik ini muncul setelah Presiden Prabowo Subianto meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2025 tentang Pemberian Pinjaman oleh Pemerintah Pusat, yang memungkinkan pemda, BUMN, dan BUMD berutang ke pemerintah pusat.

Dalam beleid tersebut ditegaskan bahwa pemberian pinjaman harus berlandaskan prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan kehati-hatian. Meski begitu, CELIOS mengingatkan agar pemerintah tidak terjebak pada semangat percepatan belanja tanpa memperhatikan kapasitas fiskal daerah.

“Kalau tidak diatur dengan hati-hati, yang akan terbebani justru masyarakat, karena APBD daerah tersedot untuk cicilan utang, sementara layanan publik bisa terpangkas,” tutup Bhima. (alf)

Ekonom: Penurunan PPN 1 Persen Jadi Sinyal Negara Kembalikan Napas Konsumsi Rakyat

IKPI, Jakarta: Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, menilai rencana pemerintah menurunkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1 persen pada tahun 2026 merupakan langkah strategis untuk menghidupkan kembali daya beli masyarakat. Menurutnya, kebijakan kecil namun terukur ini bisa menjadi sinyal perubahan arah fiskal menuju ekonomi yang lebih berpihak pada rakyat.

“Kita tidak perlu terburu-buru memotong pajak hingga 4 persen. Cukup satu langkah kecil yang konsisten. Penurunan 1 persen PPN di tahun depan bisa menjadi sinyal bahwa negara ingin mengembalikan napas konsumsi rakyat — fondasi sejati pertumbuhan Indonesia,” ujar Fakhrul di Jakarta, Kamis (30/10/2025).

Ia menilai selama satu dekade terakhir, kebijakan perpajakan nasional cenderung menekan konsumsi masyarakat, sementara perusahaan besar justru menikmati insentif melalui penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Ketidakseimbangan ini, lanjutnya, membuat ekonomi domestik tampak stabil di permukaan namun rapuh di akar, karena daya beli masyarakat terus terkikis.

“Kita sudah hidup terlalu lama dalam arus yang salah. Kenaikan PPN membunuh daya beli, mengurangi uang yang berputar di masyarakat. Sekarang sudah saatnya kita putar balik,” tegasnya.

Fakhrul menyoroti kebijakan dalam Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) yang menaikkan tarif PPN namun menurunkan PPh Badan beberapa tahun lalu. Kombinasi tersebut, kata dia, menurunkan rasio pajak dan memperlebar kesenjangan distribusi pendapatan nasional.

Ia menegaskan, penurunan PPN bukan sekadar persoalan angka, melainkan simbol perubahan arah kebijakan fiskal yang lebih adil dan berpihak kepada masyarakat kecil. Menurutnya, konsumsi rakyat adalah penopang utama pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

“Rakyat tidak keberatan membayar pajak jika merasa uangnya digunakan dengan benar. Tapi selama yang patuh terus ditagih dan yang bermain bebas dari hukuman, kepercayaan fiskal akan runtuh,” pungkasnya.

Rencana penurunan tarif PPN sebesar 1 persen ini diharapkan menjadi momentum awal untuk memperbaiki struktur kebijakan fiskal Indonesia agar lebih berkeadilan dan mampu mendorong pemulihan konsumsi domestik dari bawah. (alf)

Dirjen Pajak Tegaskan Pelayanan Prima Jadi Kunci Pendongkrak Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menegaskan bahwa pelayanan prima kepada wajib pajak merupakan kunci utama dalam mendongkrak penerimaan negara. Pesan itu disampaikan Bimo saat berkunjung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Makassar Utara, Kamis (30/10/2025), dalam rangka pembinaan pegawai dan dialog dengan wajib pajak.

Menurut Bimo, peningkatan penerimaan pajak tidak bisa hanya bertumpu pada strategi penegakan kepatuhan, tetapi harus dibangun melalui kepercayaan dan pengalaman positif wajib pajak dalam setiap interaksi pelayanan.

“Kualitas pelayanan pajak tidak hanya diukur dari kecepatan proses, tetapi juga dari ketulusan, empati, dan integritas dalam membantu wajib pajak. Setiap interaksi mencerminkan nilai-nilai yang kita pegang sebagai abdi negara,” tegas Bimo.

Ia menekankan, setiap pegawai pajak memiliki peran strategis dalam menciptakan lingkungan kerja yang produktif, berintegritas, dan berorientasi pada kepuasan wajib pajak. Bimo juga mendorong agar mentalitas pelayanan publik menjadi bagian dari budaya kerja di seluruh jajaran Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Kunjungan kerja Dirjen Pajak ke Makassar menjadi bagian dari agenda nasional DJP untuk memperkuat kualitas layanan dan membangun semangat baru di lingkungan pegawai pajak. Dalam kesempatan itu, Bimo juga mengadakan sesi interaktif dengan para wajib pajak guna mendengarkan langsung pengalaman mereka, termasuk soal implementasi sistem Coretax platform digital baru yang diharapkan memperkuat efisiensi, akurasi, dan transparansi layanan perpajakan.

Menurut Bimo, transformasi digital melalui Coretax bukan sekadar modernisasi sistem, tetapi juga bukti komitmen DJP dalam memberikan pelayanan yang mudah, cepat, dan dapat dipercaya.

Kehadiran Bimo di Makassar mendapat sambutan positif dari jajaran Kanwil DJP Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara (Sulselbartra). Kepala Seksi Kerja Sama dan Humas Kanwil DJP Sulselbartra, Sumin, mengatakan kunjungan tersebut menjadi penyemangat bagi seluruh pegawai untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan.

“Kehadiran Bapak Dirjen di unit kerja adalah simbol komitmen nyata DJP dalam menjaga kepercayaan publik,” ujar Sumin.

Dengan semangat reformasi dan pembaruan digital, DJP berharap pelayanan prima benar-benar menjadi budaya kerja yang nyata bukan sekadar slogan agar penerimaan pajak terus tumbuh seiring meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada institusi pajak. (alf)

MK Tolak Gugatan Pajak Pesangon dan Pensiun, Permohonan Dinilai Kabur

IKPI, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang mempersoalkan pengenaan pajak progresif atas pesangon dan uang pensiun. Dalam putusan Nomor 170/PUU-XXIII/2025, MK menyatakan permohonan yang diajukan dua karyawan swasta, Rosul Siregar dan Maksum Harahap, tidak dapat diterima karena dinilai tidak memenuhi syarat formil maupun substansi.

Hakim Konstitusi Arsul Sani menjelaskan, para pemohon tidak cermat dalam merumuskan permohonan, terutama dalam menyebutkan norma undang-undang yang diuji serta rumusan petitum yang diajukan. “Ketidakkonsistenan serta kekeliruan tersebut membuat permohonan tidak jelas atau kabur mengenai pasal atau ketentuan mana yang sebenarnya dimaksud untuk diuji,” ujar Arsul dalam sidang pembacaan putusan di Jakarta, Kamis (30/10/2025), sebagaimana dikutip dari laman resmi MK.

Mahkamah menilai petitum para pemohon juga tidak lazim, karena tidak memuat alternatif permintaan sebagaimana prinsip hukum acara konstitusi. Ketiadaan pilihan itu dianggap melanggar asas kejelasan dan kepastian hukum yang menjadi dasar dalam setiap permohonan uji materi.

Sebelumnya, kedua pemohon meminta MK menyatakan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945.

Rosul dan Maksum menilai bahwa pesangon, uang pensiun, tunjangan hari tua (THT), dan jaminan hari tua (JHT) seharusnya tidak dipajaki, karena merupakan hak sosial pekerja sebagai jaminan hidup setelah berhenti bekerja. Namun, MK menyatakan permohonan mereka obscuur libel atau kabur, sehingga tidak bisa dipertimbangkan lebih lanjut. Dengan demikian, ketentuan pajak atas pesangon, pensiun, THT, dan JHT tetap berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh yang menegaskan setiap tambahan kemampuan ekonomis termasuk imbalan kerja merupakan objek pajak.

Permohonan Baru dari Pekerja Bank

Meski satu gugatan kandas, upaya serupa kini kembali menggeliat. Sejumlah karyawan bank swasta mengajukan perbaikan permohonan uji materi terhadap ketentuan pajak progresif atas pesangon dan pensiun dalam UU PPh. Permohonan ini teregistrasi dengan Nomor 186/PUU-XXIII/2025 dan telah disidangkan di MK, Kamis (30/10/2025).

Dalam sidang beragenda pembacaan perbaikan, salah satu pemohon, Wahyuni Indrijanti, membacakan petitum baru di hadapan majelis hakim. “Untuk perbaikan hampir semuanya, Yang Mulia. Saya bacakan petitumnya saja,” ujar Wahyuni di ruang sidang MK, sebagaimana dikutip dari situs resmi Mahkamah.

Para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 4 ayat (1) UU PPh tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “tunjangan dan uang pensiun” dimasukkan sebagai objek pajak penghasilan. Mereka berpendapat dana pensiun, JHT, dan THT bukan tambahan penghasilan baru, melainkan hak sosial pekerja yang dijamin oleh konstitusi.

Selain itu, pemohon juga meminta agar Pasal 17 UU PPh jo. UU HPP yang mengatur tarif progresif dinyatakan konstitusional bersyarat, hanya jika tidak mencakup kompensasi pascakerja seperti pesangon dan pensiun. “Pengecualian pajak atas dana pascakerja harus dianggap sebagai jaminan konstitusional, bukan kebijakan fiskal yang bisa diubah sewaktu-waktu,” demikian bunyi dalil para pemohon dalam berkas perbaikan.

Permohonan ini diajukan oleh 12 pekerja bank swasta dan satu ketua serikat karyawan dari berbagai institusi perbankan. Mereka menilai pajak progresif atas pesangon dan pensiun justru mengaburkan makna Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 tentang hak atas penghidupan yang layak.

Menurut para pemohon, dana pesangon dan manfaat pensiun merupakan hasil kerja keras puluhan tahun, bukan penghasilan baru seperti laba usaha atau capital gain. Karena itu, mereka meminta MK menafsirkan ulang makna penghasilan kena pajak, agar hak-hak sosial pekerja pascakerja tetap terlindungi di bawah payung konstitusi. (alf)

Kebijakan Insentif PPh DTP Rp 7,5 Juta Dinilai Tak Signifikan Beri Dampak Ekonomi Nasional

IKPI, Jakarta: Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai kebijakan pemerintah memperluas insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor pariwisata tidak akan memberi dampak besar terhadap perekonomian nasional. Ia menilai langkah tersebut terlalu sempit dan hanya dinikmati sebagian kecil pekerja.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sebelumnya telah menetapkan kebijakan tersebut melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 72 Tahun 2025. Dalam aturan itu, pegawai sektor pariwisata seperti hotel, restoran, biro perjalanan, hingga taman rekreasi akan menikmati penghasilan penuh tanpa potongan PPh 21 mulai masa pajak Oktober hingga Desember 2025.

Namun Said Iqbal menilai kebijakan itu tak menyentuh akar persoalan daya beli buruh. “Sekarang gini, yang dimaksud pemotongan pajak itu hanya di sektor tertentu, jumlahnya kecil. Jadi saya bilang nggak signifikan,” ujarnya usai menghadiri sebuah acara di Jakarta Convention Center (JCC), Kamis (30/10/2025).

Menurutnya, dibandingkan memberikan insentif pajak terbatas, pemerintah seharusnya menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) menjadi Rp7,5 juta per bulan. Dengan begitu, kata Said, mayoritas buruh bergaji setara UMP atau UMK bisa bebas pajak dan memiliki daya beli lebih tinggi.

“Kalau PTKP dinaikkan ke Rp7,5 juta, seluruh buruh tidak terkena pajak. Artinya uang yang dipegang jadi lebih banyak. Kalau kita belanja, purchasing power naik, ekonomi ikut bergerak,” tegasnya.

Said menjelaskan, peningkatan PTKP akan berdampak langsung terhadap konsumsi rumah tangga komponen terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan penghasilan yang utuh tanpa potongan pajak, buruh dapat memperbesar pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari, sehingga roda ekonomi berputar lebih cepat.

Selain itu, Said juga mendorong pemerintah menurunkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk memperkuat daya beli masyarakat dan mendukung industri dalam negeri. “Kalau PPN diturunin, harga barang jadi lebih murah. Orang beli lebih banyak. Pabrik jalan, pekerja direkrut lagi, dan pada akhirnya pajak penghasilan juga ikut naik,” jelasnya.

Ia menambahkan, kebijakan fiskal semestinya diarahkan pada pemerataan dampak ekonomi, bukan hanya pada kelompok tertentu yang beruntung. “Mengurangi beban pajak bagus, tapi jangan setengah hati. Kalau mau dorong ekonomi rakyat, mulai dari buruh dari mereka yang paling cepat membelanjakan uangnya,” pungkas Said Iqbal. (alf)

en_US