Pemerintah Perketat Pengawasan Pajak, Fokus pada Sektor Pertambangan untuk Capai Target APBN 2024

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan terus memperketat pengawasan terhadap penerimaan pajak di akhir tahun ini, dengan fokus utama pada wajib pajak yang memperoleh keuntungan signifikan, salah satunya dari sektor pertambangan. Hal ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Pajak Suryo, Minggu (15/12/2024).

Suryo menegaskan bahwa sektor pertambangan, terutama yang terkait dengan bijih logam, menunjukkan peningkatan yang signifikan. Meskipun kinerja setoran pajak dari sektor ini hingga November 2024 masih tercatat terkontraksi 37,3% secara neto dibandingkan tahun sebelumnya, dengan nilai Rp 96,35 triliun, terjadi perbaikan signifikan dalam beberapa bulan terakhir.

Pada kuartal III-2024, setoran pajak sektor pertambangan bahkan tumbuh 23,3%, dan lebih mencolok lagi pada bulan-bulan terakhir, dengan September mencatatkan pertumbuhan sebesar 56,5%, Oktober 80,4%, dan November 49,6%.

Dengan perkembangan ini, Suryo menegaskan bahwa strategi dinamisasi pajak menjadi kunci bagi DJP untuk mengejar target penerimaan. Dinamisasi pajak adalah upaya menghitung ulang angsuran pajak penghasilan (PPh) Pasal 25, terutama ketika perusahaan mengalami lonjakan keuntungan.

“Kami terus memantau kondisi terkini perusahaan, dan apabila kinerja mereka membaik, kami akan menyesuaikan setoran pajak mereka,” ujar Suryo.

Sekadar informasi, hingga 30 November 2024, total penerimaan pajak tercatat mencapai Rp 1.688,9 triliun, namun masih kurang sekitar Rp 300 triliun dari target yang ditetapkan dalam APBN 2024, yaitu Rp 1.988,9 triliun. Dengan hanya beberapa hari tersisa sebelum tahun 2024 berakhir, DJP berupaya keras untuk memastikan target pajak tercapai.

Suryo berharap, melalui pengawasan yang lebih ketat dan dinamisasi setoran pajak, pihaknya dapat mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor-sektor yang mengalami pertumbuhan, seperti pertambangan, dan memenuhi target yang ditetapkan dalam APBN 2024. (alf)

Indonesia Akan Tetap Berikan Tax Holiday untuk Perusahaan Multinasional meski Berlaku Global Minimum Tax (GMT)

IKPI, Jakarta: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa meskipun penerapan prinsip pajak global minimum (GMT) akan memengaruhi sentimen investor asing, Indonesia tetap berkomitmen untuk tidak kehilangan potensi penerimaan pajak dari perusahaan multinasional yang beroperasi di tanah air.

Airlangga menjelaskan, meski negara memberikan insentif fiskal berupa pembebasan pajak atau tax holiday, pemerintah tidak ingin perusahaan multinasional yang mendapatkan fasilitas tersebut justru dikenakan pajak di negara asalnya. “Kita tidak ingin kalau perusahaan multinasional diberikan tax holiday kemudian dipajakin oleh negaranya,” tegas Airlangga di Istana Negara, Senin (16/12/2024).

Terkait dengan kebijakan tax holiday tersebut, pemerintah memastikan bahwa meski ada perubahan dengan diterapkannya GMT, perusahaan asing tetap akan mendapatkan insentif fiskal, namun dengan aturan yang mengacu pada besaran tarif GMT.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, menegaskan bahwa kebijakan tax holiday yang ada tidak akan mengalami disrupsi. “Dengan Menteri Investasi, kita pastikan itu tidak ada disrupsi. Jadi kita perpanjang dengan existing terms. Jadi tidak akan ada disrupsi,” kata Febrio, baru-baru ini.
Namun, peraturan baru terkait GMT yang akan berlaku pada 2025 ini menuntut perubahan dalam besaran tax holiday yang diberikan. Pasalnya, pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) Badan tetap akan dikenakan dengan tarif minimum 15%.

Sebagai contoh, jika tarif PPh Badan Indonesia adalah 22%, maka perusahaan yang mendapatkan fasilitas tax holiday hanya dapat menikmati pembebasan sebesar maksimal 7% (22% dikurangi 15%).
Penerapan GMT ini merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk mengikuti kesepakatan internasional yang diusulkan oleh Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), yang menetapkan tarif pajak minimum sebesar 15%. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional dengan meminimalkan perbedaan tarif pajak antarnegara. (alf)

Mantan Staf Khusus Menkeu Jelaskan Potensi Skema Multitarif PPN dan Tantangan Implementasinya

IKPI, Jakarta: Mantan Staf Khusus Menteri Keuangan (Menkeu) Yustinus Prastowo, mengungkapkan bahwa ide penerapan skema multitarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebenarnya telah dipertimbangkan sejak penyusunan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Dalam sebuah diskusi yang digelar oleh DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Sabtu (14/12 2024,) Prastowo menjelaskan bahwa konsep multitarif PPN, yang meniru sistem negara-negara maju dimaksudkan untuk menciptakan kebijakan pajak yang lebih fleksibel dan adil.

Prastowo menjelaskan, ide ini muncul dalam upaya untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan, terutama antara masyarakat kaya dan miskin. Sebagai contoh, pembebasan PPN pada sektor kesehatan dianggap tidak sepenuhnya adil, mengingat banyak warga miskin yang berobat di fasilitas kesehatan dasar seperti Puskesmas, sementara warga kaya juga bisa memanfaatkan fasilitas tersebut untuk prosedur estetika seperti operasi plastik.

“Rela nggak, yang makan daging wagyu satu porsi Rp5 juta, dengan yang makan sate madura satu porsi Rp10.000, sama-sama nggak bayar pajak. Nggak rela kan? Maka dari itu, beras premium dan daging premium sebenarnya bisa dikenai PPN,” ujarnya.

Namun, Prastowo mengingatkan bahwa meskipun konsep ini sudah ada dalam rencana awal UU HPP, beberapa pakar berpendapat bahwa penerapan PPN multitarif seharusnya dilakukan secara bertahap, dengan administrasi yang lebih matang. Ia menyoroti ketidaksiapan hukum saat ini, mengingat penerapan PPN multitarif belum dijadikan dasar hukum yang jelas dalam perancangan UU HPP.

“Keputusannya waktu itu tidak perlu. Nah, kejadian sekarang. Giliran ada ribut-ribut 12%, mau nyantolin barang mewah di mana, nggak ada pasalnya,” ujar Prastowo.

Menurutnya, penerimaan negara dari kenaikan PPN 12% dengan hanya mencakup barang mewah diperkirakan tidak akan signifikan, hanya sekitar Rp2 triliun.

Lebih lanjut, Prastowo menekankan bahwa meskipun UU HPP memiliki banyak keputusan positif, seperti pajak karbon dan pajak penghasilan untuk orang kaya, ketidaktegasan soal penerapan PPN multitarif menjadi salah satu kekurangan dalam perancangannya. Ia menyarankan pemerintah untuk lebih fokus pada kebijakan seperti PPN DTP (Ditanggung Pemerintah) pada beberapa objek tertentu untuk membantu mengurangi beban masyarakat.

Prastowo juga menyampaikan bahwa perancangan UU HPP memberikan pelajaran penting bagi pengambil kebijakan, terutama dalam merumuskan proyeksi yang lebih realistis. Menurutnya, penerapan kebijakan kenaikan PPN yang begitu mendadak pada saat daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih setelah pandemi Covid-19 dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. (alf)

Perpanjangan PPh 0,5% untuk UMKM dan Kenaikan PPN Diumumkan Senin 16 Desember 2024

IKPI, Jakarta: Pemerintah akan mengumumkan kebijakan baru yang berdampak pada sektor ekonomi, khususnya bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa pada Senin, (16 /12/2024) akan diumumkan perpanjangan periode pemanfaatan Pajak Penghasilan (PPh) Final 0,5% bagi UMKM.

Kebijakan ini akan diumumkan di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, pukul 10.00 WIB.

“Ya, ada pembahasan soal PPh 0,5%. Senin juga (akan diumumkan),” ujar Airlangga kepada media usai rapat terbatas dengan Menteri UMKM Maman Abdurrahman pada Jumat (13/12/2024).

Selain itu, Airlangga juga mengonfirmasi bahwa dalam pengumuman yang sama, pemerintah akan mengumumkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Kebijakan ini, menurut Airlangga, merupakan bagian dari paket kebijakan ekonomi yang mencakup beberapa insentif dan kegiatan non-perpajakan.

Sebelumnya, Kementerian UMKM telah mengusulkan perpanjangan tarif PPh 0,5% untuk pelaku usaha dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar. Kebijakan ini dianggap penting untuk meringankan beban pajak bagi UMKM yang masih dalam kategori usaha kecil dan mikro.

Saat ini, peraturan tersebut masih berlaku hingga akhir 2024 berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018.

Menteri UMKM Maman Abdurrahman juga mengungkapkan bahwa pihaknya sedang berdiskusi intens dengan Kementerian Keuangan untuk memperpanjang insentif pajak tersebut.

Setelah masa berlaku tarif PPh Final 0,5% berakhir, pelaku usaha dengan omzet hingga Rp4,8 miliar dapat beralih ke Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). Sementara itu, UMKM dengan omzet lebih dari Rp4,8 miliar atau yang memilih tidak menggunakan NPPN akan dikenakan pajak sesuai ketentuan yang berlaku.

Perpanjangan kebijakan PPh 0,5% diharapkan dapat memberikan dorongan bagi UMKM untuk tetap berkembang di tengah tantangan ekonomi. Pemerintah juga memastikan bahwa perubahan terkait PPN dan kebijakan pajak lainnya akan diperkenalkan dalam paket kebijakan ekonomi yang lebih luas. (alf)

Perkuat Reformasi Perpajakan Disebut Kunci Tingkatkan Rasio Pajak RI

IKPI, Jakarta: Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengoptimalkan pendapatan negara, dengan rasio pajak yang masih rendah di angka 10%, tentu pemerintah harus bekerja keras merumuskan berbagai kebijakan guna mendongkrak rasio pajak.

Pasalnya, rasio pajak Indonesia jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Kamboja yang mencatatkan rasio pajak sebesar 16,4% dan Thailand yang mencapai 14,3%.

Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran Budi Mulya, menyoroti masalah ketimpangan ini. Dalam Seminar KAFEGAMA yang mengusung tema “Menuju Pertumbuhan Menuju Indonesia Maju” pada Sabtu (14/12/2024), Budi mengungkapkan rendahnya rasio pajak ini menjadi penghambat utama dalam meningkatkan kemampuan negara untuk meningkatkan pengeluaran produktif yang diperlukan untuk mendanai berbagai program strategis di sektor ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Menurut Budi, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, rasio pajak Indonesia harus ditingkatkan secara bertahap. Salah satu langkah yang dianggap krusial adalah memperkuat reformasi perpajakan, mulai dari perbaikan sistem administrasi pajak hingga meningkatkan kepatuhan pajak di kalangan masyarakat dan dunia usaha.

“Penting bagi pemerintah untuk memperbaiki sistem perpajakan kita, baik dari sisi administrasi maupun kepatuhan. Semua pihak harus berkontribusi secara adil dan proporsional untuk pembangunan negara,” ujar Budi.

Selain itu, Budi juga menyoroti rendahnya rasio belanja pemerintah Indonesia yang saat ini masih tergolong kecil bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Meski begitu, ia menegaskan bahwa yang lebih penting bukan hanya besarnya belanja pemerintah, melainkan juga kualitas belanja tersebut, untuk memastikan efektivitas dan efisiensi dari program-program yang dijalankan.

Ia berharap dengan reformasi perpajakan yang lebih baik dan peningkatan kapasitas belanja negara, Indonesia dapat mencapai rasio pajak yang lebih tinggi. Hal ini diharapkan dapat mempercepat pencapaian tujuan pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan Indonesia dapat memperbaiki kinerja ekonomi secara keseluruhan dan mengurangi ketergantungan pada utang, serta memperkuat fondasi fiskal negara untuk menghadapi tantangan global. (alf)

Hanif Dhakiri: Kenaikan PPN Harus Memperhatikan Kemampuan Rakyat 

IKPI, Jakarta: Wakil Ketua Komisi XI DPR Hanif Dhakiri, mengungkapkan pandangannya mengenai kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Menurut Hanif, penerapan kebijakan tersebut tidak bisa dipukul rata untuk seluruh masyarakat Indonesia, melainkan harus memperhitungkan kemampuan rakyat dalam membayar pajak.

“Dari sudut pandang saya, kita tidak bisa hanya melihat dari sisi penerimaan negara saja, tapi yang lebih penting adalah kemampuan rakyat untuk membayar pajak,” ujar Hanif di Jakarta, Sabtu (14/15/2024).

Hanif menegaskan, meskipun ia sepakat dengan pentingnya pajak yang lebih tinggi, hal tersebut harus disesuaikan dengan kemampuan masyarakat. “Pajak tinggi, setuju nggak? Setuju, selama masyarakat punya kemampuan untuk membayar. Kalau tidak, malah akan muncul ketidakstabilan sosial. Bukannya penerimaan negara naik, negara malah ribut,” ujarnya.

Menurutnya, penerapan PPN 12% yang tidak memperhatikan daya beli masyarakat bisa berisiko meningkatkan ketidakstabilan sosial. Dia menekankan pentingnya melakukan analisis mendalam sebelum kebijakan tersebut diimplementasikan agar tidak justru menambah beban ekonomi masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah.

Hanif juga menyoroti fakta bahwa daya beli masyarakat saat ini menurun, sementara pendapatan mereka stagnan atau bahkan menurun. “Daya beli masyarakat kita memang menurun, harga cenderung naik, sementara penghasilan stagnan atau cenderung menurun. Itulah yang menyebabkan daya beli masyarakat menurun,” katanya.

Meski demikian, ia mengakui bahwa penerapan PPN 12% dapat meningkatkan pendapatan negara hingga mencapai Rp 80 triliun. Namun, dia menilai lebih penting untuk memperhatikan aspek kemampuan masyarakat agar penerapan kebijakan ini tidak menambah beban ekonomi yang terlalu berat bagi rakyat. (alf)

Perbedaan Kebijakan Tarif PPN Indonesia dan Vietnam, Airlangga Sebut Tak Pengaruhi Daya Saing Indonesia

IKPI, Jakarta: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia, Airlangga Hartarto, memberikan tanggapan terkait kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) yang berbeda antara Indonesia dan Vietnam. Di tengah keputusan Indonesia untuk menaikkan tarif PPN menjadi 12% per 1 Januari 2025, Vietnam justru memperpanjang pengurangan tarif PPN dari 10% menjadi 8% hingga Juni 2025.

Menurut Airlangga, kebijakan pajak setiap negara disesuaikan dengan kondisi ekonomi domestik yang berbeda. Oleh karena itu, meskipun ada perbedaan tarif PPN antara kedua negara, hal tersebut tidak akan memengaruhi daya saing Indonesia. Ia menegaskan bahwa tarif PPN 12% di Indonesia hanya berlaku untuk barang mewah, yang tidak akan mengganggu sektor lainnya.

“Perbedaan negara, perbedaan kebijakan,” ujar Airlangga dalam pernyataan resminya pada Jumat (13/12/2024). Ia juga menyebutkan bahwa lebih rinci mengenai kebijakan tarif PPN dan insentif fiskal serta non-fiskal yang menyertainya akan diumumkan pada Senin pekan depan.

Sementara itu, kebijakan Vietnam yang memperpanjang pengurangan tarif PPN dari 10% menjadi 8% diharapkan dapat merangsang konsumsi dan mendukung produksi serta bisnis. Langkah ini diputuskan setelah Majelis Nasional Vietnam menyetujui perpanjangan pengurangan pajak tersebut. Pengurangan tarif PPN di Vietnam diharapkan dapat menurunkan biaya barang dan jasa, yang akan membantu ekonomi negara tersebut yang masih berjuang pasca-pandemi.

Namun, keputusan ini juga diperkirakan akan menurunkan pendapatan anggaran negara Vietnam sekitar 26,1 triliun dong (Rp 16 triliun) pada paruh pertama tahun 2025. Meski demikian, hal ini diyakini akan berdampak positif pada sektor produksi dan bisnis yang dapat menghasilkan pendapatan untuk negara.

Perbedaan kebijakan fiskal antara Indonesia dan Vietnam ini mencerminkan bagaimana kedua negara menyesuaikan strategi ekonominya sesuai dengan tantangan dan prioritas domestik masing-masing. Indonesia memilih untuk menaikkan tarif PPN, sementara Vietnam memutuskan untuk tetap melanjutkan kebijakan pengurangan pajak guna mendorong daya beli dan aktivitas ekonomi di tengah pemulihan pasca-pandemi. (alf)

Barang dan Jasa Ini Dikecualikan dari Kenaikan PPN 12%

IKPI, Jakarta: Pemerintah mengumumkan kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, yang akan mulai berlaku pada tahun 2025. Kebijakan ini merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Namun, pemerintah tetap memberikan pengecualian pada sejumlah barang dan jasa tertentu agar tidak membebani masyarakat, terutama di sektor-sektor yang vital bagi kehidupan sosial dan ekonomi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa meskipun tarif PPN naik, beberapa barang dan jasa tetap akan dibebaskan dari pajak atau dikenakan tarif PPN yang lebih rendah. Hal ini dilakukan untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendukung sektor-sektor penting seperti kebutuhan pokok, kesehatan, pendidikan, serta sektor sosial lainnya.

Barang dan Jasa yang Dikecualikan dari PPN:

1. Barang Pokok dan Kebutuhan Sehari-hari

Pemerintah memastikan bahwa bahan pangan seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu segar, dan gula konsumsi tidak akan dikenakan PPN, guna menjaga harga tetap terjangkau bagi masyarakat.

2. Jasa Pendidikan

Jasa pendidikan, termasuk biaya sekolah dan pelatihan, juga dibebaskan dari PPN untuk mempermudah akses pendidikan bagi masyarakat.

3. Jasa Kesehatan

Termasuk di dalamnya layanan kesehatan seperti pengobatan, vaksinasi, dan obat-obatan, yang bertujuan untuk meringankan beban biaya kesehatan bagi masyarakat.

4. Jasa Transportasi Umum

Transportasi umum, yang penting bagi mobilitas masyarakat, akan tetap bebas dari PPN untuk memastikan tarif yang terjangkau.

5. Jasa Tenaga Kerja

Layanan sosial dan jasa tenaga kerja yang disediakan oleh pemerintah juga akan dibebaskan dari PPN, mendukung kesejahteraan sosial masyarakat.

6. Jasa Keuangan dan Asuransi

Bidang keuangan dan asuransi, yang memberikan perlindungan finansial kepada masyarakat, juga akan mendapatkan pengecualian PPN.

7. Rumah Sederhana, Pemakaian Listrik, dan Air Minum

Kebutuhan dasar rumah tangga seperti rumah sederhana, penggunaan listrik, dan air minum akan bebas PPN, bertujuan untuk menjaga kestabilan biaya hidup.

Sri Mulyani juga menegaskan bahwa PPN 12% hanya akan diterapkan pada barang-barang mewah yang umumnya dikonsumsi oleh kalangan dengan kemampuan ekonomi lebih. Daftar barang yang akan dikenakan tarif PPN baru ini masih dalam proses penyusunan dan akan diumumkan pada pekan depan.

Menteri Keuangan juga menegaskan bahwa meski tarif PPN mengalami kenaikan, pemerintah tetap berkomitmen untuk menjalankan kebijakan ini dengan mengedepankan asas keadilan. “Pelaksanaan UU harus tetap menjaga asas keadilan. Kami berusaha untuk terus menyempurnakan kebijakan ini agar dapat memberikan manfaat maksimal bagi seluruh lapisan masyarakat,” kata Sri Mulyani di kantornya baru-baru ini.

Pemerintah berharap, dengan kebijakan ini, dapat menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan efisien, sambil tetap menjaga daya beli masyarakat dan keberlangsungan sektor-sektor ekonomi yang krusial.

Dengan adanya kebijakan ini, masyarakat diharapkan tetap bisa mengakses kebutuhan dasar dengan harga yang wajar, meskipun tarif PPN mengalami penyesuaian. Rencananya, Menteri Keuangan bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto akan mengumumkan secara resmi rincian lebih lanjut terkait kebijakan PPN pada pekan depan. (alf)

Kenaikan HJE Rokok, Pemerintah Pesan 17 Juta Pita Cukai ke PERURI

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani, mengumumkan bahwa pemerintah akan mempertahankan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada tahun 2025, namun harga jual eceran (HJE) rokok dipastikan akan mengalami kenaikan. Kebijakan ini akan berlaku untuk rokok konvensional dan rokok elektrik, yang saat ini sedang dalam tahap harmonisasi melalui dua Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Askolani menjelaskan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari upaya pengendalian konsumsi rokok serta pengaturan pasar yang lebih efektif, dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti kesehatan masyarakat dan keberlanjutan industri rokok. Dua PMK tersebut diharapkan dapat diterapkan pada awal 2025, dengan rincian mengenai kenaikan HJE yang lebih jelas.

Meski CHT tidak mengalami kenaikan, pemerintah tetap berharap kebijakan ini dapat meminimalkan dampak negatif dari fenomena “down trading,” yaitu kecenderungan konsumen untuk beralih ke produk rokok dengan harga lebih murah. Hal ini menjadi perhatian utama pemerintah yang terus berupaya untuk mengendalikan konsumsi rokok sembari menjaga lapangan pekerjaan dalam industri tersebut.

Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa persiapan pita cukai baru untuk tahun 2025 telah rampung dikerjakan oleh Perum PERURI dan diperkirakan akan selesai pada bulan Desember ini. Proses persiapan pita cukai tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan produksi rokok di awal tahun, dengan estimasi perusahaan rokok akan memesan sekitar 15 hingga 17 juta pita cukai pada Januari 2025.

“Kami berharap pita cukai ini dapat segera dipenuhi, dan kami akan memastikan bahwa jumlah pesanan yang dibutuhkan dapat kami penuhi sesuai ketentuan,” ujar Askolani di Kementerian Keuangan, baru-baru ini.

Dengan kebijakan ini, pemerintah berkomitmen untuk menyeimbangkan pengendalian konsumsi rokok, keberlanjutan industri, dan perlindungan kesehatan masyarakat. Diharapkan, kebijakan yang diterapkan pada 2025 ini dapat menciptakan dampak positif yang lebih besar di bidang sosial-ekonomi serta kesehatan. (alf)

Kemenkeu Rilis Kenaikan HJE Rokok yang Berlaku 1 Januari 2025

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah merilis harga jual eceran (HJE) rokok yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Meskipun tarif cukai hasil tembakau (CHT) tidak mengalami kenaikan, harga jual rokok di masyarakat tetap mengalami peningkatan. Hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97 Tahun 2024 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun Atau Klobot, dan Tembakau Iris.

Dalam peraturan tersebut, harga jual eceran rokok akan mengalami kenaikan bervariasi sesuai dengan jenis dan golongan rokok. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk mengendalikan konsumsi tembakau, melindungi industri tembakau yang padat karya, dan mengoptimalkan penerimaan negara.

Beberapa poin utama harga jual eceran rokok yang berlaku mulai 1 Januari 2025 adalah sebagai berikut:

Sigaret Kretek Mesin (SKM)

• Golongan I: Harga jual paling rendah Rp 2.375/batang (naik 5,08%) dengan tarif cukai Rp 1.231/batang

• Golongan II: Harga jual paling rendah Rp 1.485/batang (naik 7,6%) dengan tarif cukai Rp 746/batang

Sigaret Putih Mesin (SPM)

• Golongan I: Harga jual paling rendah Rp 2.495/batang (naik 4,8%) dengan tarif cukai Rp 1.336/batang

• Golongan II: Harga jual paling rendah Rp 1.565/batang (naik 6,8%) dengan tarif cukai Rp 794/batang

Sigaret Kretek Tangan (SKT) atau Sigaret Putih Tangan (SPT)

• Golongan I: Harga jual eceran paling rendah Rp 1.555/batang sampai Rp 2.170/batang dengan tarif cukai Rp 378/batang

• Golongan II: Harga jual paling rendah Rp 995/batang (naik 15%) dengan tarif cukai Rp 223/batang

• Golongan III: Harga jual paling rendah Rp 860 (naik 18,6%) dengan tarif cukai Rp 122/batang

• Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF) atau Sigaret Putih Tangan Filter (SPTF)

• Harga jual eceran paling rendah Rp 2.375/batang (naik 5%) dengan tarif cukai Rp 1.231/batang

Sigaret Kelembak Kemenyan (KLM)

• Golongan I: Harga jual paling rendah Rp 950 dengan tarif cukai Rp 483/batang (tidak ada perubahan dari 2024)

• Golongan II: Harga jual paling rendah Rp 200 dengan tarif cukai Rp 25/batang (tidak ada perubahan dari 2024)

Jenis Tembakau Iris (TIS) dan Jenis Rokok Daun atau Klobot (KLB)

• Harga jual paling rendah Rp 55-180 (tidak ada perubahan dari tahun ini)

• Harga jual paling rendah Rp 290 (tidak ada perubahan dari tahun ini)

Jenis Cerutu (CRT)

• Harga jual paling rendah Rp 495 sampai Rp 5.500 (tidak ada perubahan dari tahun ini)

Kebijakan ini diperkirakan akan memberi dampak pada daya beli masyarakat terhadap produk tembakau, serta memperkuat upaya pemerintah dalam mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia.

Sementara itu, sektor industri tembakau yang masih padat karya diperkirakan akan tetap dapat mempertahankan daya saingnya dengan optimasi penerimaan negara dari sektor cukai hasil tembakau. (alf)

en_US