DJP Tegaskan Pengisian Angsuran PPh Pasal 25 Kini Wajib Lewat Lampiran 6 di Coretax

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali mengingatkan wajib pajak badan mengenai perubahan tata cara penghitungan angsuran PPh Pasal 25 dalam pelaporan SPT Tahunan PPh Badan. Melalui implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax) dan penegasan dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-11/PJ/2025, perhitungan angsuran kini dilakukan pada Lampiran 6, bukan lagi pada Formulir Induk 1771 Bagian E seperti tahun-tahun sebelumnya.

Lampiran 6 Kini Jadi Bagian Wajib

Di sistem Coretax, Lampiran 6 tidak otomatis muncul. Wajib pajak harus memilih opsi “Tidak” pada Induk Bagian G angka 20 agar kolom perhitungan angsuran PPh Pasal 25 tampil dalam sistem.

Lampiran 6 terdiri dari dua bagian:

1. Bagian Header, berisi NPWP dan tahun pajak yang terisi otomatis;

2. Angsuran Pajak Penghasilan Tahun Pajak Berjalan, yang menjadi inti penghitungan angsuran.

Isi Data yang Harus Diperhatikan Wajib Pajak

Pada bagian perhitungan angsuran, wajib pajak diminta mengisi beberapa komponen penting, antara lain:

• Penghasilan yang menjadi dasar penghitungan angsuran, yaitu penghasilan neto fiskal. Jika terdapat kondisi khusus seperti penghasilan tidak teratur, wajib pajak perlu memastikan kembali kebenaran angka dasar penghitungan.

• Kompensasi kerugian fiskal, yang akan terisi otomatis dari Lampiran 7.

• Penghasilan Kena Pajak (PKP), hasil perhitungan dari penghasilan dasar dikurangi kompensasi kerugian.

• PPh terutang, diperoleh dari PKP dikalikan tarif yang berlaku.

• Kredit pajak tahun sebelumnya yang terkait dengan penghasilan dasar angsuran.

• PPh yang harus dibayar sendiri, yaitu PPh terutang dikurangi kredit pajak.

• Angsuran PPh Pasal 25, dihitung dengan membagi PPh yang harus dibayar sendiri dengan 12 bulan atau jumlah bulan dalam tahun pajak berjalan.

Setelah penghitungan selesai, nilai angsuran PPh Pasal 25 akan otomatis masuk ke Induk Bagian G sebagai dasar penetapan angsuran tahun berjalan.

Perubahan mekanisme ini diharapkan membuat proses pelaporan lebih akurat, terstruktur, dan selaras dengan standar administrasi perpajakan berbasis Coretax yang kini menjadi tulang punggung sistem DJP. Dengan demikian, wajib pajak badan diminta memastikan data yang diisi telah sesuai agar tidak terjadi kekeliruan dalam penentuan angsuran pajak sepanjang tahun. (alf)

DJP Luncurkan Layanan Validasi & Registrasi Massal NIK Pegawai via Portal NPWP 2.1

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi memperkenalkan Layanan Validasi dan Registrasi Massal NIK Pegawai melalui Portal NPWP versi 2.1, sebagai langkah strategis meningkatkan kualitas data identitas pegawai serta memperkuat integrasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax).

Melalui portal yang dapat diakses di portalnpwp.pajak.go.id, pemberi kerja baik badan usaha maupun instansi pemerintah dapat memvalidasi kesesuaian NIK, nama, nomor telepon, dan alamat email pegawai secara serentak. Tidak hanya itu, sistem juga menyediakan fitur registrasi otomatis bagi seluruh data yang dinyatakan valid.

Kehadiran fasilitas ini diharapkan menjadi solusi percepatan pemadanan identitas perpajakan para pegawai, sekaligus menghilangkan kebutuhan penggunaan NPWP sementara (format 999xxx) dalam proses penerbitan bukti pemotongan pajak. Dengan koneksi langsung ke sistem Coretax, alur administrasi perpajakan diharapkan menjadi lebih rapi, cepat, dan minim kesalahan.

Sebagai bagian dari implementasi layanan baru ini, DJP merilis Panduan Resmi “Validasi & Registrasi Massal NIK”, yang berisi tata cara:

1. pendaftaran akun pemberi kerja pada Portal NPWP;

2. pengisian dan pengunggahan berkas massal;

3. pemantauan status validasi dan registrasi;

4. serta tindak lanjut penerbitan ulang bukti potong setelah proses registrasi NIK berhasil.

Panduan tersebut dapat diunduh dengan mengklik ikon PDF yang disediakan, serta dapat dibagikan melalui tautan resmi: s.kemenkeu.go.id/validasiNIK.

DJP mengimbau seluruh pemberi kerja untuk segera memanfaatkan layanan baru tersebut agar data identitas pegawai akurat, sesuai ketentuan pemadanan NIK-NPWP, dan mendukung kelancaran administrasi perpajakan di era Coretax. Dengan data yang semakin terintegrasi, proses pelayanan pajak diharapkan dapat berjalan lebih efisien dan transparan.

https://pajak.go.id/sites/default/files/2025-11/Panduan%20Registrasi%20Massal%20NIK%20-%20Portal%20NPWP%202025.pdf. (alf)

UI–DJP–Pertamina Luncurkan Prototipe TCF Indonesia, Dorong Transparansi dan Kepatuhan Pajak Berkelanjutan

IKPI, Jakarta: Universitas Indonesia (UI) bersama Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan dan PT Pertamina (Persero) resmi merampungkan riset kolaboratif yang menghasilkan prototipe Tax Control Framework (TCF) Indonesia. Inovasi ini diharapkan menjadi fondasi baru bagi tata kelola pajak yang lebih transparan, terukur, dan berkeadilan. Serah terima hasil riset dilakukan di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Selasa (18/11/2025).

Peneliti utama dari Program Pendidikan Vokasi UI, Dr. Sandra Aulia, menjelaskan pengembangan TCF Indonesia dimulai dari kajian literatur dan studi komparatif di berbagai negara. Melalui pendanaan matching fund tahun 2024, timnya merumuskan enam prinsip pengendalian pajak dan satu prinsip pengendalian teknologi informasi, serta menyusun 45 indikator pengendalian pajak yang mengacu pada OECD, COSO, dan ERM. Aplikasi ini juga mampu mengukur lima tingkat maturitas pengendalian pajak.

Sandra menegaskan bahwa TCF Indonesia dibangun berdasarkan prinsip cooperative compliance untuk memperkuat kepercayaan antara otoritas pajak dan wajib pajak. Framework ini memungkinkan perusahaan menilai efektivitas sistem pengendalian pajaknya sekaligus mengelola risiko dengan lebih terukur. “Dengan TCF, pengendalian pajak dapat berjalan lebih efektif sehingga potensi tax surprise dapat diminimalkan,” ujarnya.

Riset ini berlangsung sejak awal 2023 hingga 2025 melalui kolaborasi UI, DJP, dan Pertamina. Hasilnya dirancang sebagai instrumen penting agar perusahaan dapat memastikan pelaporan dan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dengan benar, lengkap, dan tepat waktu.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak, Iwan Djuniardi, mengatakan TCF Indonesia memungkinkan DJP mengelola risiko pajak secara sistematis berbasis Total Quality Assurance. Menurut dia, ke depan DJP akan memperkuat integrasi data dan menambah kemampuan analitik melalui teknologi artificial intelligence.

Dari sisi industri, Dr. Palti Ferdrico T.H. Siahaan menilai penerapan COSO Framework dalam TCF Indonesia memperkuat akuntabilitas dan memperjelas fungsi pengendalian pajak di dalam perusahaan. Sementara itu, VP Tax Pertamina, Eko Cahyadi, menegaskan bahwa TCF Indonesia akan memperkuat budaya kepatuhan, integritas, dan transparansi. Ia menyebut framework tersebut sebagai langkah penting memastikan kepatuhan pajak menjadi bagian dari nilai organisasi. (alf)

DJP Buka Pintu Pengawasan Publik, Bimo Wijayanto Tegaskan Era Baru Transparansi Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memasuki babak baru dalam membangun kepercayaan publik. Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, memastikan otoritas pajak kini membuka ruang selebar-lebarnya bagi masyarakat untuk mengawasi kinerja dan layanan DJP, dari level pejabat hingga fiskus di lapangan.

Bimo menilai mekanisme pengawasan kolektif ini menjadi fondasi utama untuk memperkuat legitimasi DJP di mata publik. “Ini memang tidak mudah, tapi setidaknya kami menunjukkan komitmen sebagai institusi yang inklusif. Kami membuka diri terhadap seluruh proses penegakan hukum,” ujar Bimo dikutip dari CNBC Indonesia, Selasa (18/11/2025).

Sejak ditunjuk Presiden Prabowo Subianto sebagai Dirjen Pajak pada Mei 2025, Bimo menegaskan komitmennya mendorong transparansi, termasuk membuka data perpajakan yang bersifat agregat. Langkah ini, menurutnya, penting agar masyarakat, akademisi, dan kelompok masyarakat sipil dapat mengkritisi dan mengawal kualitas pelayanan fiskus.

“Kami bekerja sama dengan ratusan tax center di seluruh Indonesia. Kami menyediakan data dan bahan analisis bagi siapa pun yang ingin meneliti perpajakan, termasuk kinerja ekonomi dan model pajak. Data tersebut kami buka seluas mungkin,” tuturnya.

Bimo menegaskan bahwa keterbukaan data dilakukan dengan penuh kehati-hatian. DJP hanya menyediakan data yang sudah dianonimkan untuk memastikan tidak ada informasi individual maupun identitas wajib pajak yang terbuka ke publik.

“Sepanjang tidak ada data individual yang memuat identitas wajib pajak, pemodelan atau riset apa pun sangat diperbolehkan. Justru itu membantu kami bekerja lebih baik,” tegasnya.

Dengan langkah ini, DJP berharap partisipasi publik dalam mengawasi perpajakan dapat semakin meningkat, sekaligus memperkuat kredibilitas dan integritas institusi di mata masyarakat. (alf)

DJP Luncurkan Simulator SPT Tahunan PPh Orang Pribadi

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali memperluas pemanfaatan sistem Coretax dengan merilis simulator SPT Tahunan PPh Orang Pribadi (OP). Fitur uji coba ini melengkapi simulator SPT Tahunan PPh Badan yang lebih dulu diluncurkan, dan kini dapat diakses melalui laman yang sama: spt-simulasi.pajak.go.id.

Untuk masuk ke aplikasi, wajib pajak cukup menggunakan NIK serta password khusus: P@jakTumbuh1ndonesiaT@ngguh. Di dalamnya tersedia dua menu utama, yakni Surat Pemberitahuan dan Pembayaran, yang dapat digunakan untuk mensimulasikan proses pelaporan hingga pembayaran pajak.

Konsep SPT Dibuat Langsung oleh Wajib Pajak

Berbeda dengan simulator PPh Badan, penyusunan draft SPT PPh OP dilakukan langsung oleh wajib pajak. Pengguna perlu memilih “Buat Konsep SPT”, kemudian mengisi pilihan:

• Jenis SPT Tahunan PPh Orang Pribadi

• Jenis Periode: SPT Tahunan

• Tahun Pajak: 2025

• Model SPT: Normal

Dengan mekanisme ini, wajib pajak dapat memahami alur pembuatan SPT sesuai rancangan Coretax yang nantinya akan berlaku penuh.

Proses Bisnis Menyerupai e-Filing, tetapi Lebih Terintegrasi

DJP menjelaskan bahwa proses bisnis SPT Tahunan PPh OP di Coretax disusun serupa dengan pelaporan melalui e-Filing. Namun, ada pembaruan signifikan: seluruh pertanyaan dan pernyataan transaksi kini ditempatkan di Induk SPT.

Jawaban wajib pajak akan otomatis menjadi pemicu (trigger) yang menentukan lampiran mana saja yang perlu diisi atau tidak. Pendekatan ini membuat proses pengisian lebih terarah dan meminimalkan kesalahan administratif.

Bukti Potong Terisi Otomatis

Salah satu fitur yang paling memudahkan adalah integrasi bukti potong. Sistem Coretax mampu mendeteksi secara otomatis bukti pemotongan PPh atas nama wajib pajak, lalu langsung melakukan prepopulated ke dalam perhitungan SPT.

Untuk tahap awal, simulator ini diperuntukkan khusus bagi wajib pajak orang pribadi yang memperoleh penghasilan dari pekerjaan, yakni kategori karyawan.

Mengacu pada PER-11/PJ/2025, Tanpa Formulir 1770

Rancangan SPT Tahunan PPh OP di Coretax telah disesuaikan dengan ketentuan PER-11/PJ/2025. Artinya, formulir lama seperti 1770, 1770-S, dan 1770-SS tidak lagi digunakan dalam sistem baru ini.

Peluncuran simulator ini menjadi langkah lanjut DJP dalam memastikan wajib pajak memahami desain Coretax sebelum implementasi penuh. Dengan mekanisme yang semakin otomatis dan terintegrasi, pelaporan pajak diharapkan menjadi jauh lebih sederhana dan akurat. (alf)

Dirjen Pajak: Baru 21% Wajib Pajak Miliki Kode Otorisasi Coretax

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengungkapkan bahwa tingkat kelengkapan aktivasi layanan Coretax masih rendah, terutama terkait kode otorisasi yang menjadi syarat utama penggunaan tanda tangan elektronik.

Hingga November 2025, dari lebih dari 14 juta wajib pajak yang telah mengaktifkan akun Coretax, baru sekitar 21% atau 3 juta wajib pajak yang sudah memiliki kode otorisasi dan digital signature. Mayoritas pengguna Coretax masih didominasi wajib pajak orang pribadi, yakni sekitar 13 juta dari total populasi.

Bimo menegaskan bahwa aktivasi akun saja tidak cukup. Tanpa kode otorisasi, wajib pajak tidak dapat menggunakan layanan digital seperti penandatanganan SPT, penerbitan bukti potong, maupun layanan elektronik lainnya.

“Di tahap awal ini kami benar-benar meminta masyarakat untuk segera meregistrasikan akun Coretax dan memperoleh kode otorisasi,” ujar Bimo dalam program Tax Time di CNBC Indonesia TV, Selasa (18/11/2025).

Ia juga mengingatkan wajib pajak untuk melengkapi digital signature setelah mendapatkan kode otorisasi. Dua komponen tersebut akan menjadi kunci bagi seluruh aktivitas administrasi pajak berbasis digital yang disiapkan DJP.

“Segera aktivasi akun, buat kode otorisasi, dan lengkapi tanda tangan elektronik agar hak masyarakat atas layanan digital perpajakan bisa terpenuhi,” tegasnya.

DJP menargetkan adopsi penuh Coretax dapat mempercepat transformasi administrasi perpajakan dan meningkatkan kualitas layanan bagi masyarakat. (alf)

Pemerintah Kunci Celah Modus Penghindaran Pajak UMKM, Skema PPh 0,5% Terancam Revisi

IKPI, Jakarta: Pemerintah mulai mengetatkan pengawasan terhadap wajib pajak UMKM yang diduga memanfaatkan skema PPh final 0,5% secara tidak semestinya. Temuan terbaru menunjukkan adanya praktik menahan omzet (bouncing) agar tetap berada di bawah batas Rp4,8 miliar, serta pemecahan usaha (firm splitting) untuk mempertahankan tarif pajak yang lebih rendah.

“Ada beberapa praktik dari wajib pajak yang mendapat fasilitas PPh final 0,5% melakukan bouncing dan pemecahan usaha,” ujar Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (17/11/2025).

Untuk menutup celah tersebut, pemerintah tengah menyiapkan revisi PP Nomor 55 Tahun 2022, khususnya perubahan Pasal 57 ayat 1 dan 2. Usulannya adalah menegaskan aturan pengecualian bagi wajib pajak yang menyalahgunakan skema, termasuk memasukkan ketentuan anti-avoidance rule agar pelaku manipulatif dapat dicoret dari fasilitas.

Di sisi lain, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sebelumnya menyebut pemerintah masih membuka peluang menjadikan tarif PPh final 0,5% sebagai kebijakan permanen. Namun, hal itu baru dapat dipertimbangkan jika pelaku UMKM tidak lagi memanipulasi omzet.

“Kalau betul-betul mereka UMKM, nggak ngibul-ngibul, harusnya sih nggak apa-apa dipermanenkan,” kata Purbaya dalam media briefing, Jumat (14/11/2025).

Pemerintah memastikan akan terus memantau praktik di lapangan dalam dua tahun ke depan sebelum memutuskan arah kebijakan final. Pendekatannya jelas: mendukung UMKM sejati sekaligus menutup ruang bagi penghindaran pajak yang merugikan penerimaan negara. (alf)

IKPI Nilai Cooperative Compliance Jadi Arah Baru Reformasi Pajak

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen Humas IKPI, Jemmi Sutiono, menilai bahwa pergeseran menuju konsep cooperative compliance menjadi momentum besar dalam reformasi perpajakan nasional. Hal itu ia sampaikannya usai menghadiri Seminar Nasional FEB UI sekaligus peluncuran Tax Clinic FEB UI, Senin (17/11/2025).

“Saya hadir mewakili Ketua Umum, Vaudy Starworld yang berhalangan hadir, dan melihat langsung bahwa masa depan kepatuhan pajak bergerak ke arah kolaboratif, bukan lagi konfrontatif. Ini relevan bagi profesi konsultan pajak,” ujar Jemmi.

Seminar tersebut dibuka dengan keynote speech Dirjen Pajak, Bimo Wijayanto, yang menegaskan bahwa pendekatan enforcement tidak lagi efektif. Pendekatan keras terbukti tidak meningkatkan kepatuhan, justru memunculkan kecenderungan penghindaran. DJP kini mengarah pada model hubungan yang lebih terbuka, transparan, dan minim sengketa, seiring semakin lengkapnya bank data perpajakan.

(Foto: Istimewa)

Keynote kedua hadir dari Direktur P2PK, Erawati, yang memaparkan transformasi global administrasi pajak: dari proses manual menuju digital, hingga fase real-time data dan integrasi antar lembaga yang sudah diterapkan di negara seperti Australia, Spanyol, dan Estonia.

Jemmi menilai hal ini menjadi alarm agar profesi perpajakan Indonesia segera beradaptasi dan memanfaatkan peningkatan sistem seperti Coretax.

Terkait isi seminar, Jemmi menyoroti tiga materi utama yang dianggap sangat krusial.

Pertama, penjelasan dari Staf Ahli Kemenkeu Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak, Iwan Djuniardi, mengenai Tax Control Framework (TCF) dan konsep Total Quality Assurance. TCF memiliki tujuh prinsip dan lima level maturitas, yang kelak menjadi standar penilaian wajib pajak dalam mendapatkan insentif negara. Banyak negara sudah menerapkannya, sehingga Indonesia harus bergerak ke arah yang sama. Menurut Jemmi, hal ini akan mengubah cara kerja konsultan pajak secara menyeluruh.

Kedua, paparan Darussalam, founder DDTC, yang menegaskan bahwa dunia perpajakan sedang bergeser dari confrontation compliance menjadi collaboration compliance. Sengketa harus dicegah sebelum masuk litigasi. 

Jemmi melihat poin ini sejalan dengan upaya menciptakan kepastian hukum dan efisiensi bagi wajib pajak.

Ketiga, materi dari Lury Sofyan, Kepala Bidang Perizinan dan Kepatuhan Penilai, Aktuaris, dan Profesi Keuangan Lainnya, yang membahas perubahan fundamental peran konsultan pajak. Ke depan, konsultan tidak cukup hanya mengisi administrasi SPT, tetapi harus menjadi compliance enablers yang mampu menilai risiko, melakukan review materiil, dan memastikan kepatuhan jangka panjang sebelum SPT masuk ke sistem. Jemmi menilai peran ini menjadi sangat strategis di era cooperative compliance.

Jemmi  menegaskan bahwa IKPI memandang seminar ini sebagai momentum strategis.

“IKPI siap mengawal transisi menuju cooperative compliance. Tax Clinic FEB UI menjadi ruang baru bagi edukasi perpajakan masyarakat dan kolaborasi antara akademisi, otoritas, dan profesi,” katanya.

Ia menambahkan bahwa dengan ekosistem yang tepat, kepatuhan jangka panjang bisa dicapai tanpa harus selalu mengedepankan penindakan. (bl)

PNBP Rinjani Tembus Rp21,6 Miliar, Kontribusi Wisata Alam Makin Terasa ke Kas Negara

IKPI, Jakarta: Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) mencatat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari aktivitas wisata di kawasan Rinjani mencapai Rp21,65 miliar hingga Oktober 2025. Angka tersebut dinilai sebagai sinyal kuat bahwa sektor pariwisata alam terus memberikan kontribusi fiskal yang signifikan.

“Capaian PNBP ini menunjukkan tren positif,” ujar Kepala Balai TNGR Yarman di Mataram, Senin (17/11/2025). Ia menegaskan seluruh penerimaan itu langsung masuk ke kas negara sebagai pendapatan resmi pemerintah.

Menurut Yarman, kenaikan PNBP mengonfirmasi bahwa pengelolaan taman nasional dapat berjalan beriringan dengan pelestarian lingkungan selama mekanisme pengawasan dan manajemen pengunjung terus diperkuat. “PNBP yang meningkat menjadi bukti bahwa wisata alam dapat menyumbang pendapatan negara sekaligus menjaga keberlanjutan ekosistem,” katanya.

Hingga Oktober 2025, jumlah pendaki yang menuju Gunung Rinjani mencapai 72.528 orang, sementara kunjungan ke destinasi non-pendakian tercatat 43.502 orang. “Kawasan TNGR terus menyedot perhatian wisatawan lokal maupun mancanegara,” jelas Yarman.

Namun tingginya kunjungan membawa konsekuensi biaya dan beban pengelolaan lingkungan. Karena itu, TNGR kembali mendorong gerakan Go Rinjani Zero Waste agar wisatawan ikut berperan menjaga kebersihan area wisata.

Data sementara menunjukkan total sampah aktivitas pendakian mencapai 28.410,64 kilogram, sedangkan dari kegiatan non-pendakian sebanyak 989,22 kilogram. Seluruhnya merupakan sampah yang berhasil dibawa turun kembali, mayoritas berupa sampah anorganik.

Yarman mengimbau agar seluruh pengunjung terus berdisiplin menjaga kebersihan kawasan. “Dari Rinjani untuk Indonesia, mari dukung pariwisata berkelanjutan, bukan hanya indah dipandang, tapi juga memberi manfaat ekonomi dan menjaga alam,” ujarnya. (alf)

Proyek Kopdes Masuk APBN, Dampak ke Fiskal Diwarnai Sorotan

IKPI, Jakarta: Komitmen pemerintah membangun 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes/Kel) Merah Putih dipastikan akan melibatkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan bahwa pembangunan fisik koperasi tersebut akan dijalankan oleh PT Agrinas Pangan Nusantara (Persero) dengan dukungan pembiayaan dari bank-bank BUMN (Himbara).

Skemanya, Agrinas akan meminjam dana dari Himbara, sementara pemerintah menanggung pembayaran cicilan sekitar Rp40 triliun per tahun selama enam tahun. Dengan demikian, total dana APBN yang teralokasi untuk proyek ini mencapai sekitar Rp240 triliun.

Menurut Purbaya, skema penjaminan tersebut membuat risiko perbankan tetap terjaga. “Pinjamannya aman, perbankan tidak menghadapi risiko signifikan karena pembayaran dijamin APBN,” ujarnya, Minggu (16/11/2025). Ia menambahkan bahwa Kementerian Keuangan segera menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) untuk mendukung pelaksanaan pendanaan ini.

Diatur Inpres 17/2025

Menteri Koperasi Ferry Juliantono menjelaskan bahwa mekanisme pembiayaan proyek Kopdes/Kel telah dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2025. Aturan tersebut memungkinkan pendanaan dari APBN, APBD, serta sumber sah lainnya.

“APBN tetap menjadi sumber utama. Skemanya lewat Himbara, lalu Himbara menyalurkan ke Agrinas,” tutur Ferry.

Setiap unit Kopdes/Kel Merah Putih memperoleh plafon pembiayaan hingga Rp3 miliar yang digunakan untuk pembangunan gudang, gerai, serta modal kerja. Karena berstatus program strategis nasional, proses penilaian kredit oleh Himbara juga akan dipermudah.

Hingga saat ini, Agrinas tengah membangun 7.923 titik gerai dengan dukungan pembayaran muka sekitar Rp600 miliar. Pemerintah menargetkan pendataan lahan mencapai 40.000 titik pada November 2025 dan pembangunan fisik meningkat menjadi 40.000–50.000 titik pada akhir tahun.

Sorotan Terhadap Ruang Fiskal

Keterlibatan APBN dalam skema penjaminan pinjaman ini memunculkan perhatian terkait ruang fiskal pemerintah, mengingat komitmen Rp40 triliun per tahun akan berlangsung dalam jangka waktu panjang. Meski pemerintah menilai kapasitas APBN masih memadai, kalangan analis melihat perlunya pengelolaan fiskal yang hati-hati agar tidak mengurangi fleksibilitas belanja negara di sektor lain.

Sementara itu, pemerintah berharap pembangunan jaringan Kopdes/Kel dapat memperkuat ekonomi desa dan memperluas basis penerimaan negara dalam jangka panjang. Aktivitas usaha, distribusi, dan perdagangan di tingkat desa diharapkan dapat meningkatkan kontribusi pajak seiring berkembangnya aktivitas ekonomi formal. (alf)

en_US