Ekonom UPN: Reformasi Pajak Era Prabowo Harus Dimulai dari Budaya, Bukan Sekadar Teknologi

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Ekonom dan pakar kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai reformasi perpajakan nasional harus menembus lebih dalam dari sekadar mengganti sistem atau memperbarui teknologi. Ia menegaskan, perubahan budaya dan pembangunan integritas aparat pajak adalah fondasi utama keberhasilan reformasi pajak di era pemerintahan Prabowo Subianto.

“Reformasi pajak tidak bisa hanya berhenti pada digitalisasi atau pembaruan sistem core tax. Yang dibutuhkan adalah perubahan perilaku, budaya, dan etos kerja, baik di internal otoritas pajak maupun di kalangan wajib pajak,” ujar Nur Hidayat, Sabtu (18/10/2025).

Ia mengibaratkan reformasi yang hanya berfokus pada teknologi seperti “mengganti mesin mobil, tetapi tetap mengemudi dengan cara lama.” Menurutnya, teknologi canggih tidak akan efektif tanpa perubahan perilaku mendasar yang menanamkan integritas dan semangat pelayanan publik.

Nur Hidayat menyoroti bahwa digitalisasi pajak yang dimulai sejak era pemerintahan sebelumnya melalui Core Tax System dan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) belum membuahkan hasil maksimal. Salah satu penyebabnya adalah implementasi yang lambat di lapangan serta rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap institusi pajak.

Oleh karena itu, ia mendesak pemerintahan Prabowo agar melanjutkan reformasi dengan pendekatan baru: “compliance by design”, yakni kepatuhan yang tumbuh otomatis lewat sistem yang transparan dan berbasis kepercayaan, bukan karena tekanan atau ancaman sanksi.

Selain menyoroti aspek budaya, Nur Hidayat juga menekankan pentingnya keadilan fiskal dalam upaya meningkatkan rasio pajak nasional. Ia mengingatkan, target rasio pajak 12 persen tidak boleh dicapai dengan cara membebani kelompok menengah dan pelaku UMKM yang justru menjadi penggerak utama ekonomi.

“Perluasan basis pajak harus diarahkan ke sektor yang potensinya besar namun masih under-taxed, seperti ekonomi digital, pertambangan, dan properti mewah,” katanya. Menurutnya, integrasi data lintas lembaga mencakup data transaksi, kepemilikan aset, dan kependudukan akan menjadi kunci menciptakan sistem pajak yang lebih adil dan akurat.

Ia juga menegaskan, peningkatan rasio pajak tidak akan berarti tanpa pemulihan kepercayaan fiskal masyarakat. Pemerintah, katanya, harus membuktikan bahwa uang pajak benar-benar kembali ke rakyat dalam bentuk layanan publik nyata seperti sekolah yang baik, akses kesehatan mudah, dan infrastruktur layak.

“Ketika rakyat melihat hasil nyata dari kontribusinya, kepatuhan pajak akan tumbuh secara alami tanpa perlu paksaan. Di sinilah kunci reformasi pajak bukan pada tarif, tetapi pada trust (kepercayaan),” tegasnya.

Nur Hidayat optimistis target rasio pajak 12 persen di era Prabowo dapat tercapai, asalkan dilakukan dengan cara luar biasa: melalui reformasi administrasi berkelanjutan, pemulihan kepercayaan fiskal, dan perluasan basis pajak yang berkeadilan.

“Rasio pajak bukan sekadar indikator ekonomi, melainkan simbol kedewasaan bangsa dalam membiayai dirinya sendiri. Bila Prabowo mampu membangun kepercayaan fiskal dan menegakkan reformasi pajak yang berkeadilan, maka ambisi 12 persen bukan lagi mimpi, melainkan tonggak menuju kemandirian,” tutupnya. (alf)

Bersih-Bersih Pegawai DJP dan DJBC Nakal, Purbaya: Saya Tak Peduli Siapa di Belakang Mereka!

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melontarkan peringatan keras kepada jajaran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Ia memastikan akan melakukan aksi bersih-bersih besar-besaran terhadap oknum yang terlibat dalam praktik penyelundupan dan pelolosan barang ilegal.

“Kalau sektor riil dijaga, barang-barang selundupan saya tutup. Yang suka main selundupan saya tangkap. Sebentar lagi ada penangkapan besar-besaran. Saya tidak peduli di belakangnya siapa. Di belakang saya, Presiden. Presiden itu paling tinggi, kan, di sini,” tegas Purbaya dikutip, Sabtu (16/10/2025).

Ia menegaskan, langkah ini bukan sekadar gertakan, melainkan tindakan nyata untuk menertibkan aparat nakal yang merusak integritas institusi pengumpul penerimaan negara tersebut. “Pembersihan saya mulai dari rokok, tekstil, produk baja, dan seterusnya. Saya kejar satu per satu,” ucapnya.

Menurut Purbaya, penyelundupan barang selama ini menjadi biang kebocoran penerimaan negara sekaligus merusak iklim industri dalam negeri. Barang ilegal yang membanjiri pasar membuat produk lokal sulit bersaing dan menekan rasio pajak nasional. “Banyak barang selundupan ke sini, yang katanya, orang bea cukainya tidak benar kerjanya,” ujarnya dengan nada tinggi.

Ia bahkan mengaku telah memanggil sejumlah pegawai Bea Cukai dan mendapatkan informasi bahwa ada oknum yang justru melindungi jaringan penyelundupan. “Dirjen Bea Cukai saya kan bintang tiga, kalau bintang empat (yang jadi backing), kita lapor ke Presiden,” tegasnya.

Langkah tegas ini, lanjut Purbaya, adalah bentuk tanggung jawabnya untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Kementerian Keuangan. Dua lembaga di bawahnya, DJP dan DJBC, merupakan pilar utama penerimaan negara yang harus bersih dari praktik kotor.

Hingga awal Oktober 2025, realisasi penerimaan pajak baru mencapai 62,4 persen dari target Rp2.189,3 triliun. Sementara penerimaan bea dan cukai tercatat 73,4 persen dari target Rp301,59 triliun hingga akhir September 2025. Kondisi ini menandakan masih adanya potensi kebocoran besar yang harus segera dibenahi.

Purbaya menegaskan, operasi besar melawan penyelundupan dan aparat nakal ini akan berlanjut tanpa pandang bulu. “Kalau mau negara ini maju, kita harus bersihkan dulu para pengkhianat di dalam sistem. Saya tidak peduli siapa di belakang mereka. Saya hanya peduli Indonesia harus bersih dan kuat,” tutupnya. (alf)

Rieke Diah Pitaloka Dorong Sinkronisasi NOP dan NIB untuk Dongkrak PAD Tanpa Naikkan Pajak

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Anggota Komisi VI DPR RI sekaligus Ketua Dewan Penasehat Bupati Bekasi, Rieke Diah Pitaloka, mendorong percepatan sinkronisasi data Nomor Objek Pajak (NOP) dengan Nomor Induk Bidang (NIB) di Kabupaten Bekasi. Langkah tersebut dinilainya sebagai strategi krusial untuk mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), terutama dari sektor Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), tanpa harus menaikkan tarif pajak yang bisa membebani masyarakat.

“Kami targetkan pada momentum Sumpah Pemuda, 28 Oktober mendatang, sudah ada penandatanganan MoU dengan BPN Kabupaten Bekasi terkait sinkronisasi NOP dan NIB ini. Jadi setelah itu langsung dapat diterapkan,” ujar Rieke, Kamis (16/10/2025).

Menurut Rieke, sinkronisasi ini bukan sekadar urusan teknis, melainkan langkah strategis untuk memperbaiki akurasi data pajak yang selama ini kerap timpang dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Ia mencontohkan, banyak temuan di mana luasan tanah dalam data pajak (NOP) tercatat jauh lebih kecil dibandingkan luasan tanah dalam sertipikat resmi (NIB). Ketimpangan ini menyebabkan potensi penerimaan pajak daerah bocor dan merugikan daerah.

“Dengan sinkronisasi, setiap bidang tanah akan dikenakan pajak berdasarkan luasan riil yang tercatat di sertipikat tanah, bukan lagi berdasarkan data lama yang tidak akurat. Ini membuat penerimaan daerah lebih adil dan transparan,” tegasnya.

Rieke menambahkan, langkah ini sejalan dengan kebijakan efisiensi dan penurunan dana transfer dari pemerintah pusat. Dalam situasi itu, kata dia, pemerintah daerah perlu kreatif menggali potensi PAD tanpa membebani warga, dan sinkronisasi data pajak menjadi solusi konkret.

Selain itu, Pemkab Bekasi juga berencana memanfaatkan basis data Desa Presisi yang telah dimiliki sebagai alat bantu percepatan sinkronisasi. “Titik pertama sinkronisasi akan dilakukan di Kecamatan Bojongmangu, karena wilayah itu sudah memiliki data lengkap berbasis desa presisi,” ungkapnya.

Sinkronisasi NOP dan NIB juga diharapkan memperkuat sinergi antara Pemkab Bekasi, DPRD, dan BPN. Kolaborasi lintas lembaga ini menjadi kunci keberhasilan reformasi data pertanahan dan perpajakan di daerah. Dengan sistem yang terintegrasi, pemerintah dapat menggali seluruh potensi pajak daerah sekaligus menegakkan prinsip keadilan fiskal.

“Sinkronisasi ini bukan hanya soal administrasi, tetapi tentang menjamin keadilan dan akurasi dalam kebijakan fiskal daerah. Kalau data tanah dan pajak sudah sinkron, masyarakat pun akan lebih percaya pada sistem perpajakan pemerintah,” pungkas Rieke.

Langkah progresif yang digagas Rieke Diah Pitaloka ini diharapkan menjadi model nasional dalam integrasi data pertanahan dan perpajakan. Dengan basis data yang akurat, transparan, dan digital, Kabupaten Bekasi berpeluang menjadi daerah percontohan transformasi tata kelola pajak daerah berbasis keadilan dan teknologi. (alf)

DJP Jateng II Sita 38 Aset Senilai Rp3,2 Miliar dari 24 Penunggak

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Wilayah Jawa Tengah II menggelar aksi tegas terhadap penunggak pajak dengan melakukan penyitaan serentak selama sepekan, mulai 13 hingga 17 Oktober 2025. Dalam operasi bertajuk Pekan Sita Pajak itu, sebanyak 38 aset milik 24 penunggak pajak disita, dengan nilai taksiran mencapai Rp3,2 miliar, sebagai jaminan atas tunggakan pajak senilai Rp25,1 miliar.

“Total aset yang disita terdiri atas 36 kendaraan bermotor dan 2 bidang tanah,” ungkap Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Klaten, Veronica Heryanti, saat konferensi pers di Klaten, Jumat (17/10/2025).

Aksi penyitaan dilakukan secara serentak oleh 12 KPP di wilayah eks-Keresidenan Surakarta, Kedu, dan Banyumas, di bawah koordinasi Kanwil DJP Jawa Tengah II. Ekspos kegiatan dipusatkan di KPP Pratama Klaten sebagai simbol sinergi antarunit dalam penegakan hukum perpajakan.

Menurut Veronica, Pekan Sita Pajak merupakan inisiatif Kanwil DJP Jateng II untuk mengoptimalkan pencairan piutang pajak sekaligus mendorong kepatuhan para wajib pajak. “Sita Serentak melibatkan Juru Sita Pajak Negara (JSPN) dari 12 KPP se-Jawa Tengah II. Ini bukti keseriusan kami menegakkan hukum, namun tetap mengedepankan pendekatan persuasif terlebih dahulu,” ujarnya.

Veronica menjelaskan, penyitaan adalah langkah terakhir setelah berbagai upaya persuasif dilakukan, mulai dari pemberitahuan tunggakan, Surat Teguran, hingga penerbitan Surat Paksa. Jika wajib pajak tetap tidak menunjukkan iktikad baik untuk melunasi kewajiban, maka tindakan penyitaan dilakukan sebagai bentuk penegakan hukum sesuai prosedur.

“Tindakan ini sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Artinya, aset yang disita kini berada dalam penguasaan negara sebagai jaminan pelunasan utang pajak,” jelasnya.

Proses penyitaan dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, serta PMK Nomor 61/PMK.03/2023 yang mengatur tata cara penagihan pajak. Apabila dalam waktu 14 hari setelah penyitaan wajib pajak tidak juga melunasi utangnya, maka Kanwil DJP Jateng II akan melanjutkan proses ke tahap lelang melalui KPKNL dan portal lelang.go.id.

“Sinergi penagihan aktif melalui penyitaan serentak ini adalah wujud komitmen DJP dalam menegakkan hukum dan menegakkan keadilan bagi wajib pajak patuh. Kami ingin menegaskan bahwa pajak bukan beban, tetapi tanggung jawab bersama untuk membangun negeri,” kata Veronica.

DJP Jawa Tengah II juga mengimbau seluruh wajib pajak untuk segera memenuhi kewajiban perpajakannya sebelum tindakan penegakan hukum dilakukan. “Kami selalu mengedepankan komunikasi dan pembinaan, namun akan bertindak tegas terhadap penunggak yang abai terhadap kewajiban hukumnya,” tambahnya. (alf)

Menkeu Sebut Swasta Jadi Kunci Tambah Penerimaan Tanpa Menaikkan Pajak

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Pemerintah membuka peluang untuk menambah penerimaan pajak hingga Rp110 triliun pada tahun 2026 tanpa perlu menerbitkan kebijakan baru ataupun menaikkan tarif pajak. Menurut Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, kuncinya terletak pada penguatan peran sektor swasta sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional.

“Kalau pertumbuhan ekonomi digerakkan sektor swasta, tax ratio bisa meningkat sekitar 0,5% dibandingkan jika pertumbuhan bersumber dari belanja pemerintah,” ujar Purbaya dalam keterangannya, Kamis (16/10/2025).

Ia menjelaskan, kegiatan ekonomi yang digerakkan pemerintah cenderung memberikan margin penerimaan negara yang lebih kecil. Pasalnya, proyek-proyek pemerintah umumnya disertai berbagai insentif dan potongan harga. “Kalau pemerintah bangun proyek, minta diskon terus. Kalau swasta kan tidak,” katanya.

Purbaya menilai, dengan menggairahkan kembali investasi dan aktivitas bisnis swasta, potensi tambahan penerimaan pajak bisa diraih tanpa perlu kebijakan fiskal baru. Pertumbuhan sektor swasta dinilai akan memperluas basis pajak secara alami mulai dari kenaikan laba korporasi, peningkatan konsumsi masyarakat, hingga terciptanya lebih banyak lapangan kerja.

“Semakin aktif sektor swasta, semakin banyak transaksi ekonomi terjadi, dan semakin besar penerimaan pajak yang masuk,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa strategi tersebut sejalan dengan arah kebijakan fiskal pemerintah yang kini mulai mengurangi ketergantungan pada belanja negara. Pemerintah, kata Purbaya, ingin menciptakan lingkungan usaha yang kondusif agar swasta dapat menjadi motor pertumbuhan berkelanjutan.

Menurutnya, langkah ini bukan hanya soal efisiensi fiskal, tetapi juga transformasi struktural menuju ekonomi yang lebih produktif dan kompetitif. “Negara tugasnya menjaga stabilitas dan kepastian. Biarkan swasta yang berlari membawa pertumbuhan,” katanya.

Dengan arah kebijakan tersebut, Purbaya optimistis penerimaan pajak akan terus meningkat seiring dengan pulihnya gairah investasi dan konsumsi. “Kalau mesin ekonomi swasta hidup, pajak akan datang dengan sendirinya,” tegasnya. (alf)

Dirjen Pajak Dorong Optimalisasi Pajak Daerah, Pemkot Bukittinggi Ikut Teken Kerja Sama Nasional

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak (DJP) Bimo Wijayanto menegaskan komitmen pemerintah dalam memperkuat sinergi antara pusat dan daerah untuk meningkatkan efektivitas pemungutan pajak di seluruh Indonesia. Hingga Oktober 2025, sebanyak 90 persen pemerintah daerah telah menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) Optimalisasi Pemungutan Pajak Pusat dan Daerah bersama DJP dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan.

“Melalui kerja sama ini, kami memperkuat pertukaran dan pemanfaatan data perpajakan, pengawasan bersama terhadap kepatuhan wajib pajak, serta peningkatan kapasitas aparatur daerah di bidang perpajakan. Kami berharap kolaborasi ini semakin memperkuat tata kelola fiskal dan mendukung pembangunan ekonomi nasional,” ujar Bimo, Jumat (17/10/2025).

Bimo menjelaskan, inisiatif ini merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Republik Indonesia untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemungutan pajak, sekaligus mempersempit potensi kebocoran penerimaan negara. Menurutnya, kolaborasi lintas otoritas pajak menjadi langkah strategis agar potensi pajak daerah dapat tergali secara optimal.

Pada tahap ketujuh kali ini, terdapat 109 pemerintah daerah yang menandatangani PKS, terdiri atas 6 provinsi, 32 kota, dan 71 kabupaten. Salah satunya adalah Pemerintah Kota Bukittinggi, yang turut menunjukkan komitmen untuk memperkuat kemandirian fiskal daerah.

Wali Kota Bukittinggi Ramlan Nurmatias menilai kerja sama ini menjadi momentum penting bagi daerahnya untuk membangun sistem perpajakan yang lebih transparan dan profesional.

“Kerja sama ini tentu sangat baik untuk transparansi serta optimalisasi pajak daerah. Dengan begitu, setiap wajib pajak dapat lebih mudah memenuhi kewajibannya, dan hasilnya akan berpengaruh positif terhadap kondisi fiskal daerah,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Askolani menambahkan, kerja sama yang telah dimulai sejak 2019 ini menjadi instrumen penting dalam memperkuat kemandirian fiskal daerah.

“Program ini menunjukkan kolaborasi yang positif dan berkelanjutan antara pusat dan daerah untuk memaksimalkan potensi pajak yang ada,” kata Askolani.

Dengan langkah ini, DJP optimistis bahwa sinergi antarinstansi akan menciptakan sistem perpajakan yang lebih solid, memperkuat basis pajak nasional, dan mendorong kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kapasitas fiskal di daerah. (alf)

DJP Jakarta Barat Awasi Virtual Office Nakal

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Maraknya penggunaan virtual office sejak pandemi COVID-19 kini mendapat perhatian serius dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat, Farid Bachtiar, menegaskan pihaknya tengah memperkuat pengawasan terhadap perusahaan yang menggunakan alamat kantor virtual sebagai legalitas usaha.

“Virtual office di wilayah kerja kami ini cukup trending, banyak digunakan oleh Wajib Pajak (WP) badan sebagai alamat perusahaan. Tapi kami perlu memastikan keberadaannya nyata, jangan sampai hanya pinjam alamat saja,” ujar Farid dalam acara Forum Konsultasi Publik dan Peluncuran Piagam Wajib Pajak (Taxpayers Charters) di Auditorium Harmoni Kanwil DJP Jakarta Barat, Jumat (17/10/2025).

Farid menambahkan, DJP Jakarta Barat saat ini aktif berkoordinasi dengan seluruh Kanwil DJP di wilayah DKI Jakarta untuk memetakan potensi pajak dan memastikan kepatuhan WP yang menggunakan virtual office. Langkah ini, katanya, bukan sekadar pengawasan, tapi juga upaya menciptakan pelayanan yang adil dan seragam bagi seluruh wajib pajak.

“Kami tidak melarang penggunaan virtual office, ya. Tapi harus jelas alamatnya, ada pengurusnya, ada dokumentasinya, dan ada orangnya. Jangan cuma papan nama tanpa aktivitas usaha,” tegas Farid.

Fenomena menjamurnya virtual office memang menjadi tantangan baru bagi DJP dalam memastikan keabsahan kegiatan usaha wajib pajak, terutama dalam proses pengajuan restitusi (pengembalian kelebihan pembayaran pajak).

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto sebelumnya juga menyoroti isu ini. Menurutnya, DJP harus mampu memverifikasi validitas usaha sebelum menyetujui permohonan restitusi.

“Mitigasi lonjakan restitusi itu prinsip lama: knowing your taxpayer. Teman-teman di KPP harus memastikan lokasi dan aktivitas usahanya benar-benar ada sebelum memproses restitusi,” ujar Bimo dalam Media Briefing DJP di Kantor Pusat DJP, 30 Juli 2025.

Ia menegaskan, DJP kini memiliki sistem data yang jauh lebih andal berkat kolaborasi dengan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP). Data tersebut digunakan untuk menilai kewajaran laporan pajak dan meminimalisasi penyalahgunaan fasilitas restitusi.

“Kita lihat kesesuaiannya antara pajak masukan dan keluaran, serta bandingkan dengan benchmark industri. Jadi kalau ada yang janggal, bisa langsung terdeteksi,” pungkas Bimo.

Dengan langkah pengawasan yang lebih ketat, DJP berharap transparansi dan kepatuhan pajak perusahaan berbasis virtual office dapat meningkat, sekaligus memastikan keadilan bagi wajib pajak yang beroperasi secara nyata. (alf)

Purbaya Geram dan Ancam Pecat Petugas Bea Cukai Bandel

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa meluapkan kemarahan setelah membaca sejumlah laporan masyarakat yang menyoroti perilaku tidak pantas pegawai Bea dan Cukai. Melalui kanal pengaduan “Lapor Pak Purbaya”, ia menerima lebih dari 15 ribu pesan WhatsApp, sebagian besar berisi keluhan terkait kinerja dan etika aparat di lapangan.

“Dari total 15.933 pesan yang masuk, ada 2.459 ucapan selamat, sisanya 13.285 laporan sedang diverifikasi. Sepuluh kasus sudah mulai kami tindaklanjuti,” ujar Purbaya di kantornya, Jakarta, Jumat (17/10/2025).

Menkeu mengaku geram karena sebagian besar aduan menggambarkan perilaku pegawai Bea Cukai yang jauh dari nilai integritas. Salah satu laporan bahkan menyoroti sekelompok petugas yang nongkrong setiap hari di kedai kopi ternama sambil membicarakan bisnis pribadi dengan seragam dinas.

“Yang dibicarakan selalu tentang bisnis aset, kiriman mobil, dan jual beli. Saya risih lihat pegawai negara seperti itu,” kutip Purbaya membacakan isi laporan dari masyarakat.

Nada suara Purbaya meninggi ketika menanggapi laporan tersebut. Ia menegaskan tidak akan segan-segan memecat pegawai Bea Cukai yang terbukti melanggar etika atau bermain-main dengan jabatan.

“Saya baru tahu, walaupun kita sudah menggebrak, masih ada yang seperti ini. Artinya mereka enggak peduli, dianggap saya main-main. Bilang, hari Senin depan kalau ada yang ketemu begini lagi — saya pecat!” ujarnya dengan nada tinggi.

Selain perilaku pegawai, sejumlah laporan juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap peredaran rokok tanpa cukai di beberapa daerah, termasuk di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau. Warga menilai aparat Bea Cukai kerap menindak warung kecil, tetapi membiarkan para distributor besar alias cukong beroperasi bebas.

“Petugas seperti tutup mata dan telinga. Harusnya cukong besar yang dibasmi, bukan pedagang kecil yang sekadar bertahan hidup,” bunyi laporan lain yang dibacakan Purbaya.

Menanggapi hal itu, Menkeu menyatakan telah membentuk tim khusus yang terdiri dari pejabat Direktorat Jenderal Bea Cukai dan Direktorat Jenderal Pajak untuk menindaklanjuti seluruh laporan masyarakat. Tim ini diberi kewenangan penuh untuk memetakan daerah rawan, mengidentifikasi jaringan cukong, dan merekomendasikan sanksi tegas bagi aparat yang terlibat.

“Mereka tahu siapa saja oknum dan siapa cukong-cukongnya di tiap daerah. Kalau ada keterkaitan, akan langsung kita proses hukum,” tegasnya.

Purbaya menambahkan, penertiban ini bukan hanya menyasar individu, melainkan juga bagian dari reformasi budaya birokrasi di Kementerian Keuangan. Ia berharap kanal Lapor Pak Purbaya menjadi alat pengawasan publik yang efektif agar integritas aparatur negara benar-benar terjaga.

“Enggak ada kompromi. Saya ingin budaya integritas tertanam lagi di Bea Cukai dan seluruh jajaran Kemenkeu,” tandasnya.(alf)

Sebanyak 15 Ribu Aduan Masuk ke Lapor Pak Purbaya, Bea Cukai Jadi Sorotan!

IKPI, Jakarta: Dalam waktu singkat sejak diluncurkan, kanal pengaduan publik “Lapor Pak Purbaya” milik Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa langsung dibanjiri keluhan masyarakat. Hingga Jumat (17/10/2025), tercatat 15.933 pesan WhatsApp masuk ke nomor 0822-4040-6600.

“Dari total itu, 2.459 pesan berisi ucapan selamat, sisanya 13.285 laporan sedang diverifikasi. Ada sepuluh laporan yang sudah mulai dikerjakan,” kata Purbaya di kantornya, Jakarta, Jumat (17/10/2025).

Mayoritas aduan, kata dia, menyoroti perilaku oknum pegawai Bea dan Cukai, terutama di lapangan. Beberapa laporan bahkan menggambarkan gaya hidup aparatur yang dinilai tidak pantas bagi seorang abdi negara.

Salah satu pesan yang dibacakan Menkeu berasal dari seorang wiraswasta yang merasa risih melihat petugas Bea Cukai nongkrong di kedai kopi setiap hari sambil membicarakan bisnis pribadi.

“Yang dibicarakan selalu tentang aset, mobil, dan urusan bisnis. Saya risih melihat mereka mengenakan seragam dinas sambil bicara keras-keras seharian,” demikian isi laporan yang dibacakan Purbaya.

Selain perilaku oknum, sejumlah pengadu juga menyoroti peredaran rokok ilegal di berbagai daerah, seperti di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau. Masyarakat menilai pengawasan aparat Bea Cukai masih lemah dan hanya menindak warung kecil, bukan para distributor besar alias cukong.

“Petugas seperti tutup mata terhadap cukong besar. Warung kecil justru jadi sasaran,” tulis seorang pelapor yang dikutip Menkeu.

Purbaya menegaskan, seluruh laporan akan ditindaklanjuti oleh tim khusus lintas direktorat yang telah dibentuk di bawah Kementerian Keuangan. Tim ini terdiri dari pejabat berpengalaman dari Direktorat Jenderal Bea Cukai dan Direktorat Jenderal Pajak.

“Mereka tahu siapa saja orang-orang Bea Cukai dan cukong-cukong di tiap daerah. Daftar akan kita susun, dan kalau terbukti ada keterlibatan, langsung kita proses,” tegasnya.

Melalui kanal Lapor Pak Purbaya, Kemenkeu berharap partisipasi publik dalam pengawasan aparatur negara semakin kuat dan menjadi pendorong nyata bagi reformasi birokrasi di sektor keuangan. (alf)

Prabowo Minta Purbaya Tinjau Ulang Aturan DHE, Targetkan Lonjakan Penerimaan Pajak 2025

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Presiden RI Prabowo Subianto meminta Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk melakukan peninjauan ulang terhadap Peraturan Pemerintah (PP) tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) serta menyiapkan langkah konkret dalam optimalisasi penerimaan pajak tahun 2025.

Instruksi itu disampaikan langsung dalam rapat terbatas di Kediaman Kertanegara, Jakarta, Kamis (16/10/2025), yang juga dihadiri sejumlah menteri utama Kabinet Merah Putih.

Menurut Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Presiden Prabowo menilai kebijakan DHE perlu terus dievaluasi agar bisa mendukung stabilitas ekonomi sekaligus memperkuat cadangan devisa nasional.

“Bapak Presiden menghendaki agar kita terus-menerus melakukan review terhadap peraturan-peraturan yang berkaitan dengan keuangan negara, termasuk aturan mengenai devisa hasil ekspor,” ujar Prasetyo, atau akrab disapa Pras, dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Jumat (17/10/2025).

Pras menjelaskan, Presiden menginginkan agar para menteri terkait melakukan penyempurnaan terhadap PP Nomor 8 Tahun 2025, yang mewajibkan eksportir sumber daya alam (SDA) menempatkan devisa hasil ekspor di bank-bank dalam negeri. Aturan tersebut mulai berlaku sejak 1 Maret 2025 dan menjadi salah satu instrumen utama dalam memperkuat ketahanan sektor eksternal Indonesia.

Rapat terbatas tersebut juga membahas strategi peningkatan penerimaan pajak nasional, terutama di tengah tantangan perlambatan ekonomi global.

“Tadi juga dibahas mengenai progres peningkatan pajak yang kita harapkan di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan yang baru. Presiden berharap ada lonjakan signifikan dalam pendapatan pajak kita,” kata Pras.

Langkah ini disebut sebagai bagian dari arah kebijakan fiskal Presiden Prabowo untuk memperkuat basis penerimaan negara nonmigas dan mendorong kemandirian fiskal di periode awal pemerintahannya.

Berdasarkan informasi dari akun resmi Sekretariat Kabinet, sejumlah pejabat hadir dalam rapat terbatas itu, antara lain Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa, Menhan Sjafrie Sjamsoeddin, Menteri Investasi dan Hilirisasi Rosan Roeslani, Mendikti Saintek Brian Yuliarto, Mensesneg Prasetyo Hadi, Seskab Teddy Indra Wijaya, Kepala Badan Komunikasi Pemerintah Angga Raka Prabowo, dan Jaksa Agung ST Burhanuddin.

Dengan evaluasi ulang kebijakan DHE dan dorongan peningkatan pajak, pemerintahan Prabowo-Purbaya berupaya memperkuat fondasi fiskal nasional sekaligus menjaga stabilitas ekonomi di tengah dinamika global yang kian kompleks. (alf)

en_US