PER-5/PJ/2025 : PJAP Wajib Sesuaikan dengan Era Coretax

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-5/PJ/2025 tentang Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP). Regulasi ini menjadi penanda babak baru bagi mitra teknologi DJP yang wajib menyesuaikan diri dengan implementasi sistem inti administrasi perpajakan atau Coretax.

Dalam pertimbangannya, DJP menyebut aturan ini lahir karena sistem administrasi perpajakan telah dibangun berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018, yang mencakup pembaruan regulasi, proses bisnis, hingga teknologi informasi dan basis data. Ketentuan lama dalam PER-11/PJ/2019 yang sempat diubah dengan PER-10/PJ/2020 dinilai tidak lagi mampu mengakomodasi kebutuhan di era Coretax.

Syarat Administratif Lebih Ketat

Bagi perusahaan yang ingin menjadi PJAP, syarat administratif kini lebih diperketat. Di antaranya harus berbadan hukum dan berkedudukan di Indonesia, memiliki NPWP serta status sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), dan taat menyampaikan SPT Tahunan maupun SPT Masa tepat waktu.

Calon PJAP juga tidak boleh memiliki tunggakan pajak, tidak sedang dalam pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan, serta tidak pernah dipidana perpajakan dalam lima tahun terakhir. Selain itu, struktur kepemilikan harus mayoritas dimiliki Warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia, disertai dengan rencana bisnis dan keberlangsungan bisnis yang jelas.

Dari sisi teknis, seluruh infrastruktur teknologi PJAP wajib berada di Indonesia, termasuk pusat data dan pusat pemulihan bencana. Kualitas layanan juga harus mengikuti standar yang ditetapkan DJP, mencakup keandalan, keamanan, ketersediaan, kinerja, dan waktu kerja layanan.

Setiap PJAP diwajibkan menandatangani Service Level Agreement (SLA) sesuai format yang tercantum dalam lampiran peraturan. SLA tersebut memuat kesepakatan hak dan kewajiban PJAP dan Wajib Pajak, serta mekanisme penyelesaian sengketa yang hanya boleh dilakukan di Indonesia.

Dengan hadirnya PER-5/PJ/2025 ini, DJP menegaskan peran PJAP sebagai mitra strategis dalam mendukung kelancaran layanan administrasi perpajakan modern. Aturan baru ini sekaligus memastikan bahwa transformasi digital perpajakan melalui Coretax dapat berjalan konsisten, aman, dan berkelanjutan. (alf)

 

Coretax Masih Dikeluhkan, Purbaya: Saya Akan Pantau Langsung!

IKPI, Jakarta: Sistem pajak baru Core Tax Administration System (CATS) atau Coretax kembali menuai keluhan dari para wajib pajak. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengakui masih ada hambatan di lapangan meski Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyebut sistem tersebut sudah stabil.

“Kalau kata orang pajak sih bagus, katanya sudah stabil. Tapi kalau teman-teman yang bayar, banyak yang bilang masih lama,” ujar Purbaya kepada wartawan, Jumat (19/9/2025).

Purbaya menegaskan akan turun langsung memantau pelaksanaan Coretax. Menurutnya, laporan yang sampai ke pimpinan kerap tidak sesuai dengan realita. Ia menyinggung budaya asal bapak senang (ABS) yang masih melekat di birokrasi.

“Nanti saya cek sendiri. Kalau ditanya bos, biasanya jawabannya serba bagus. Begitu juga kalau lapor ke Presiden, semuanya ABS. Padahal setelah dicek, banyak hal belum dihitung dengan benar,” katanya sembari berkelakar.

Ia menilai kebiasaan ABS harus segera diubah agar penyelesaian masalah benar-benar sesuai dengan kondisi di lapangan.

Sebelumnya, publik sempat menyoroti video unggahan resmi Ditjen Pajak di TikTok. Dalam tayangan itu, Purbaya menelpon kring pajak seperti seorang wajib pajak biasa. Ia bertanya soal proses pendaftaran di Coretax.

“Core Tax ya? Saya belum tahu tuh Coretax. Boleh nggak mbak kasih tahu, kira-kira berapa lama kalau daftar Coretax segala macam?” tanyanya.

Namun video tersebut tidak memperlihatkan jawaban dari petugas kring pajak, sehingga menimbulkan pertanyaan publik tentang kesiapan sistem baru itu. (alf)

 

 

Mulai 2026 PPh Badan dan Pribadi Masuk Sistem Coretax

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan mulai 2026 data Pajak Penghasilan (PPh) badan dan orang pribadi akan diintegrasikan ke dalam sistem inti administrasi perpajakan atau Coretax. Langkah ini menjadi fase penting setelah sebelumnya Coretax berhasil menampung pencatatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menyebut optimalisasi Coretax akan tetap menjadi strategi utama pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak di tahun depan. Menurutnya, sistem tersebut bukan hanya mempermudah pengawasan, tetapi juga menjamin kepastian bagi wajib pajak.

“Dari sisi kewajiban maupun hak wajib pajak, lebih transparan dan lebih mudah dideteksi lewat Coretax,” ujar Anggito baru-baru ini.

Ia mengakui sejak diluncurkan pada awal 2025, implementasi Coretax sempat menghadapi sejumlah kendala, mulai dari masalah faktur hingga beban trafik. Namun, saat ini pencatatan PPN sudah berjalan lebih lancar tanpa gangguan berarti.

“Secara umum sudah lancar. Problem-problem awal seperti faktur dan data sudah bisa diatasi,” jelasnya.

Dengan pengalaman itu, Anggito optimistis integrasi PPh badan dan pribadi dapat dilakukan sesuai jadwal. Meski demikian, ia mengingatkan kompleksitas PPh jauh lebih besar dibanding PPN.

“Tahun depan kan mulai PPh ya. Jumlahnya lebih banyak, kompleksitasnya lebih tinggi. Tapi kami berharap tidak mengalami hambatan seperti di awal PPN,” tegasnya.

Integrasi PPh badan dan pribadi ke Coretax diyakini bakal mempersempit ruang penghindaran pajak sekaligus memperkuat basis penerimaan negara. (alf)

 

Eropa Bidik Orang Super Kaya, IMF Sarankan Pajak Modal Bukan Pajak Kekayaan

IKPI, Jakarta: Negara-negara Eropa tengah pusing mencari cara agar orang super kaya membayar lebih banyak pajak untuk menutup defisit anggaran sekaligus meredam ketimpangan. Wacana pajak kekayaan langsung (wealth tax) memang menggoda, tapi para ekonom menilai langkah itu bukan solusi paling efektif.

Fokus kini beralih ke opsi lain yang dianggap lebih adil dan sulit dihindari, mulai dari memperketat pengawasan atas keuntungan modal, menaikkan pajak warisan, hingga memberlakukan biaya keluar bagi miliarder yang kabur ke surga pajak.

“Kekhawatiran soal ketimpangan tidak otomatis berarti pemerintah harus memungut pajak kekayaan bersih,” tulis Dana Moneter Internasional (IMF) dalam panduan terbarunya, dikutip Reuters, Minggu (21/9/2025). “Meningkatkan pajak penghasilan modal cenderung lebih adil dan efisien.”

Saat ini, Swiss, Spanyol, dan Norwegia sudah menerapkan pajak kekayaan bagi pemilik aset di atas ambang tertentu. Sementara itu, Prancis dan Inggris masih memperdebatkan wacana serupa sebagai jalan keluar menutup defisit.

Namun, efektivitasnya dipertanyakan. Sejarah menunjukkan penerimaan pajak kekayaan kerap minim hanya sepersekian dari produk domestik bruto. Pasalnya, kaum ultra kaya punya segudang cara untuk menyembunyikan harta, mulai dari perusahaan induk, perwalian, koleksi barang antik, hingga lari ke negara bebas pajak.

Profesor Paris School of Economics, Gabriel Zucman, menilai kondisi ini sudah waktunya diubah. Ia bahkan mengusulkan pajak kekayaan sebesar 2 persen bagi 0,01 persen orang terkaya di Prancis dalam rancangan anggaran 2026.

“Kita perlu memastikan para miliarder membayar pajak setidaknya setara dengan kelompok sosial lain. Ini soal keadilan dan penghormatan pada prinsip dasar perpajakan,” ujarnya.

Di sisi lain, data OECD menunjukkan tarif pajak penghasilan tertinggi di 38 negara anggotanya justru anjlok dari 66 persen pada 1980 menjadi hanya 43 persen saat ini. Ironisnya, kelompok 0,0001 persen terkaya di negara-negara Eropa nyaris tak tersentuh pajak karena lihai menyimpan kekayaan.

Bagi banyak pakar, kuncinya ada pada pajak atas pendapatan modal dividen, bunga, dan keuntungan saat aset dijual. Tarifnya selama ini jauh lebih rendah dibanding pajak atas tenaga kerja, sehingga membuka ruang reformasi.

“Perlakuan istimewa terhadap keuntungan modal adalah pendorong utama rendahnya tarif pajak efektif orang kaya,” tegas OECD.

Beberapa negara besar seperti Prancis, Jerman, Italia, Korea Selatan, dan Jepang bahkan masih mempertahankan tarif flat rendah untuk dividen maupun capital gain. Inilah yang membuat jurang ketimpangan makin sulit ditutup. (alf)

 

Jirayut Sebut Artis Asing di Indonesia Bayar Pajak Lebih Besar!

IKPI, Jakarta: Pedangdut asal Thailand, Jirayut Afisan Jehdueramae, blak-blakan soal kewajibannya sebagai artis asing yang berkarier di Indonesia. Ia menegaskan bahwa status warga negara asing bukan berarti bebas dari pajak, bahkan justru sebaliknya.

Pernyataan itu disampaikan Jirayut saat berbincang dengan Ivan Gunawan dalam program YouTube Butik Haji Igun yang tayang Sabtu (20/9/2025). Dalam kesempatan tersebut, Ivan sempat melempar candaan bahwa Jirayut tidak perlu membayar pajak di Indonesia.

“Tapi kalau kamu, berarti enak dong, di sini nggak bayar pajak dong?” ucap Igun bercanda.

Dengan sigap, Jirayut langsung membantah anggapan tersebut. Ia menegaskan bahwa dirinya tetap memenuhi kewajiban pajak, bahkan jumlahnya lebih besar dari yang dibayangkan.

“Bayar! Kata siapa nggak bayar? Bayar, aku malah lebih besar,” tegas Jirayut.

Tak hanya sekadar ucapan, pemilik nama asli Afisan Jehdueramae itu juga mengungkapkan dirinya sudah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Menurutnya, sebagai pekerja yang mencari penghasilan di Indonesia, ia punya tanggung jawab yang sama dengan warga negara lainnya.

“Tetap harus tanggung jawab dengan negaranya juga, kayak bayar gitu,” ujarnya.

Pernyataan Jirayut sekaligus mematahkan persepsi bahwa artis asing bisa lepas dari kewajiban perpajakan di Indonesia. Ia menunjukkan bahwa kepatuhan pajak adalah bentuk tanggung jawab, tak peduli status kewarganegaraan. (alf)

 

Pemerintah Diminta Segera Selaraskan Kebijakan Fiskal, Indonesia Terancam jadi “Dapur Murah Dunia”

IKPI, Jakarta: Founder dan Managing Partner TaxPrime, Muhammad Fajar Putranto, mengingatkan bahwa pemerintah harus segera menyelaraskan kebijakan fiskal dengan strategi perlindungan sumber daya alam (SDA). Menurutnya, Indonesia terancam hanya menjadi “dapur murah dunia” jika tidak siap menghadapi regulasi global yang makin ketat.

Dalam forum diskusi perpajakan Perbanas Institute, Jakarta, Fajar menyoroti implementasi Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) oleh Uni Eropa. Berdasarkan riset yang ia paparkan, produksi satu ton nikel di Indonesia menghasilkan emisi setara 70 ton karbon, angka yang sangat tinggi dibanding standar global.

“Kalau kita terus abaikan, akibatnya jelas: produk kita hanya bisa dijual ke negara yang tidak peduli emisi, seperti China. Harganya jelas lebih rendah, 15 sampai 20 persen di bawah pasar premium. Sementara negara yang mengikuti standar tinggi akan menikmati premium price. Itu kerugian besar bagi kita,” tegas Fajar.

Ia menambahkan, kebijakan fiskal Indonesia belum sepenuhnya mendukung transformasi energi bersih. Insentif pajak untuk sektor energi terbarukan masih terbatas, sehingga investor asing lebih banyak menjadi penyewa aset ketimbang produsen listrik.

“Akibatnya kita tidak dapat transfer teknologi dan nilai tambahnya minim. Kita hanya dapat remah-remahnya saja,” kata Fajar.

Ia juga menyoroti kebijakan fiskal yang cenderung mengejar penerimaan tanpa memperhitungkan efisiensi belanja negara. Menurutnya, subsidi energi yang membengkak bisa menjadi “lubang hitam” APBN jika tidak dioptimalkan.

“Jangan hanya sibuk menaikkan pajak. Pemerintah juga harus bisa mengendalikan pengeluaran. Kalau tidak, Indonesia akan terus tertinggal dari Vietnam, Malaysia, bahkan India yang sudah lebih agresif dalam reformasi fiskal dan investasi hijau,” jelasnya.

Lebih jauh, Fajar mengingatkan bahwa perlindungan SDA adalah soal kedaulatan. “Yang dijual itu bukan sekadar komoditas, tapi kekayaan negara. Kalau kita tidak melindungi, kita akan selamanya jadi dapur dunia. Indonesia hanya kebagian asapnya, bukan roti utuhnya,” tegasnya. (bl)

 

Tax Gap RI Rp1.300 Triliun, Pengamat Kritisi Rapuhnya Basis Pajak

IKPI, Jakarta : Angka ini mengejutkan: tax gap Indonesia mencapai Rp1.300 triliun pada 2022. Fakta tersebut diungkap cendekiawan atau pengamat pajak Permana Agung Dradjatun dalam diskusi perpajakan Perbanas Institute, Jakarta, Selasa (16/9/2025).

Tax gap adalah selisih antara potensi penerimaan pajak dan realisasi yang berhasil dikumpulkan negara. Menurut Permana, data Bank Dunia menunjukkan rata-rata tax gap Indonesia pada 2016–2021 berada di kisaran Rp1.000 triliun per tahun. Angka itu terus membesar hingga 2022.

“Potensi penerimaan kita sebenarnya dua kali lipat lebih besar dari realisasi. Tapi setengahnya lenyap karena kepatuhan rendah dan kebijakan yang kurang efektif,” ungkapnya.

Ia menyoroti rendahnya collection efficiency Indonesia. Untuk PPh orang pribadi hanya 52,6 persen, sementara PPh badan lebih buruk lagi, 42 persen. “Bayangkan, hampir separuh potensi pajak badan tidak pernah masuk kas negara. Compliance gap kita mencapai 58 persen, lebih besar dari policy gap,” tegasnya.

Permana juga mengingatkan soal rapuhnya basis pajak Indonesia. Dari 270 juta penduduk, hanya 19 juta yang wajib lapor SPT pada 2023, dan yang benar-benar menyetor pajak hanya 2,3 juta orang. Ironisnya, pada 2024 jumlah pembayar pajak malah turun jadi 1,7 juta.

“Dengan basis sekecil itu, mustahil tax ratio naik signifikan. Apalagi yang paling kaya sering lolos dari jangkauan, sementara yang patuh terus ditekan,” katanya.

Menurutnya, persoalan utama bukan sekadar tarif, tetapi keadilan. Ia menguraikan perbedaan equality, equity, dan justice dalam perpajakan. Equality berarti semua mendapat bagian sama rata, equity berarti sesuai kebutuhan, sedangkan justice adalah saat tembok ketidakadilan dibongkar agar semua memiliki kesempatan yang sama.

“Pemerintah harus berani membongkar tembok ketidakadilan itu. Pajak harus diposisikan sebagai instrumen keadilan sosial, bukan sekadar target angka penerimaan,” ujarnya.

Permana menegaskan, jika reformasi pajak hanya berhenti pada menaikkan tarif atau memperluas basis tanpa memperhatikan keadilan, maka Indonesia hanya akan terjebak dalam siklus “under taxation” dan ketimpangan. “Ini soal pilihan. Apakah kita hanya bertahan hidup, atau bertransformasi menjadi bangsa yang kuat,” pungkasnya.(bl)

 

Defisit APBN 2026 Melebar, Purbaya Pede Ekonomi Tetap Ngebut

IKPI, Jakarta: Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 resmi melebar, namun Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa percaya diri (pede) hal itu tidak akan mengganggu stabilitas keuangan negara. Sebaliknya, ia menilai pelebaran defisit justru akan menjadi dorongan tambahan agar pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa “ngebut”.

Dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR mengenai pengesahan tingkat I RUU APBN 2026 di Senayan, Jakarta, Kamis (18/9/2025), Purbaya menegaskan defisit yang naik dari Rp638,8 triliun (2,48% PDB) menjadi Rp689,1 triliun (2,68% PDB) masih aman. Angka itu tetap di bawah batas maksimal 3% PDB sesuai aturan Undang-Undang Keuangan Negara.

“Kalau ditanya bahaya atau enggak, ya enggak apa-apa. Masih 2–3 persen, jadi tetap aman. Justru ini diperlukan agar ekonomi kita bisa tumbuh lebih cepat,” kata mantan Ketua Dewan Komisioner LPS itu.

Dikatakannya, pelebaran defisit terjadi seiring meningkatnya belanja negara yang kini mencapai Rp3.842,7 triliun, lebih tinggi dari rancangan awal Rp3.786,5 triliun. Sementara pendapatan negara hanya naik tipis dari Rp3.147,7 triliun menjadi Rp3.152,6 triliun.

Rinciannya:

• Pendapatan Negara: Rp3.152,6 triliun

• Pajak: Rp2.357,7 triliun (tetap)

• Kepabeanan & Cukai: naik jadi Rp336 triliun

• PNBP: naik jadi Rp459,2 triliun

• Belanja Negara: Rp3.842,7 triliun

• Belanja K/L: Rp1.510,5 triliun

• Belanja Non K/L: Rp1.639,2 triliun

• Transfer ke Daerah: Rp693 triliun

• Defisit Anggaran: melebar jadi Rp689,1 triliun

• Keseimbangan Primer: defisit naik ke Rp89,7 triliun

Menurut Purbaya, langkah fiskal ini dirancang untuk menjaga momentum pertumbuhan, terutama di tengah dinamika global yang penuh ketidakpastian. Ia menegaskan pemerintah tetap berhati-hati meski memberikan ruang fiskal lebih longgar.

“Dengan defisit ini, pemerintah punya ruang untuk mendorong belanja yang produktif. Jangan dilihat hanya angkanya, tapi manfaatnya untuk pertumbuhan ekonomi nasional,” jelasnya.

Dengan keyakinan itu, pemerintah percaya diri APBN 2026 mampu menjadi instrumen penting untuk menyalakan mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia agar tetap melaju kencang. (alf)

 

 

Menteri UMKM Tegaskan Pedagang Kecil Bebas Pajak, Omzet di Bawah Rp500 Juta Nol Persen!

IKPI, Jakarta: Menteri Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Maman Abdurrahman meluruskan isu yang sempat ramai bahwa pemerintah memungut pajak dari seluruh pelaku usaha, termasuk pedagang kecil dan kaki lima. Ia menegaskan, kabar tersebut adalah hoaks.

“Pedagang kaki lima, warung, atau usaha supermikro dengan omzet tahunan di bawah Rp500 juta sama sekali tidak dikenakan pajak. Jadi jangan terjebak narasi menyesatkan,” tegas Maman di Jakarta, Jumat (19/9/2025).

Maman menjelaskan, pemerintah hanya menerapkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,5 persen bagi pelaku UMKM dengan omzet tahunan hingga Rp4,8 miliar. Bila dihitung, omzet sebesar itu setara Rp400 juta per bulan, sementara pajak yang dibayarkan hanya sekitar Rp18 juta per tahun.

“Ini bukti keberpihakan negara. Usaha yang omzetnya sudah besar saja baru dikenakan pajak, sementara usaha kecil tetap dilindungi,” ujarnya.

Kebijakan PPh final 0,5 persen sendiri awalnya berlaku tujuh tahun dan dijadwalkan berakhir 2025. Namun, Presiden Prabowo Subianto memutuskan memperpanjang insentif tersebut hingga 2029 sebagai bagian dari strategi menjaga daya tahan ekonomi nasional.

Pemerintah juga mengalokasikan anggaran Rp2 triliun pada 2025 untuk mendukung kebijakan ini. Data Direktorat Jenderal Pajak menunjukkan, saat ini ada 542 ribu wajib pajak UMKM yang sudah terdaftar.

Maman menekankan, aturan perpajakan UMKM dirancang dengan prinsip keadilan sosial dan kemampuan ekonomi. “Bukan sekadar pungutan, tapi afirmasi. Pajak hanya untuk mereka yang benar-benar sudah berkembang,” katanya.

Sebagai gambaran, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 membagi UMKM berdasarkan aset dan omzet. Usaha mikro memiliki aset maksimal Rp50 juta dan omzet tak lebih dari Rp300 juta per tahun. Usaha kecil punya aset lebih dari Rp50 juta hingga Rp500 juta dan omzet Rp300 juta–Rp2,5 miliar per tahun. Sementara usaha menengah memiliki aset Rp500 juta–Rp10 miliar dengan omzet Rp2,5 miliar–Rp50 miliar.

Dengan skema itu, Maman berharap pelaku usaha kecil tidak perlu khawatir. “Fokuslah membesarkan usaha, negara ada di belakang Anda,” tutupnya. (alf)

Jangan Abaikan! Begini Cara Resmi Menghapus NPWP yang Sudah Tak Berlaku

IKPI, Jakarta: Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bukan sekadar angka identitas, melainkan kunci utama bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam mengawasi kepatuhan setiap wajib pajak, baik individu maupun badan usaha. Melalui NPWP, segala kewajiban seperti pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT), pembayaran pajak, hingga pengawasan administratif dijalankan.

Namun, tidak semua orang atau badan selamanya terikat dengan kewajiban pajak. Ada kondisi tertentu yang membuat NPWP tak lagi relevan. Misalnya, orang pribadi yang telah meninggal dunia dan harta warisannya sudah selesai dibagi, individu yang penghasilannya sudah di bawah ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), wajib pajak yang resmi pindah ke luar negeri, hingga badan usaha yang bubar secara permanen.

Dalam kondisi ini, NPWP harus segera dihapus. Jika dibiarkan, status perpajakan yang tidak jelas bisa menimbulkan masalah, bahkan sanksi di kemudian hari.

Mekanisme Resmi dari DJP

Pemerintah melalui DJP telah menyiapkan jalur resmi untuk mengurus penghapusan NPWP. Aturan lengkapnya diatur dalam PER-04/PJ/2020 tentang Tata Cara Penghapusan NPWP.

Berikut tahapan yang wajib diperhatikan wajib pajak:

• Pastikan Status Perpajakan Bersih

• Semua SPT Tahunan maupun SPT Masa harus sudah dilaporkan.

• Lunasi tunggakan pajak, jika masih ada.

• Untuk kasus wajib pajak meninggal, ahli waris wajib menuntaskan SPT terakhir.

• Lengkapi Dokumen Persyaratan

• Orang pribadi aktif: fotokopi KTP, KK, surat permohonan bermaterai, serta bukti sudah tidak berpenghasilan di atas PTKP.

• Orang pribadi meninggal: akta kematian, identitas ahli waris, dan surat pernyataan bahwa kewajiban pajak almarhum sudah selesai.

• Badan usaha: akta pembubaran, laporan keuangan terakhir, serta bukti penyelesaian kewajiban pajak.

• Ajukan ke KPP Sesuai Domisili

Permohonan bisa diajukan langsung ke kantor pajak, maupun melalui pos/ekspedisi. Petugas akan memverifikasi kelengkapan berkas dan memberikan tanda terima.

• Proses Verifikasi DJP

DJP akan memeriksa rekam jejak perpajakan. Jika ada dokumen yang kurang jelas, petugas dapat meminta tambahan data.

• Surat Keputusan Penghapusan NPWP

Jika semua persyaratan terpenuhi, DJP akan menerbitkan surat keputusan sebagai bukti sah bahwa NPWP sudah tidak berlaku lagi.

• Simpan Bukti Resmi

Dokumen ini wajib dijaga, karena bisa dibutuhkan untuk keperluan administrasi lain di masa depan.

Penghapusan NPWP bukan sekadar formalitas, melainkan langkah penting agar tidak ada kewajiban pajak yang “menggantung”. Dengan status perpajakan yang jelas, wajib pajak maupun ahli waris dapat terhindar dari potensi sanksi, serta lebih tenang dalam mengurus administrasi di instansi lain. (alf)

 

en_US