Ekonom: Potensi Shortfall Pendapatan Negara 2025 Menguat, Imbas Setoran Pajak Pajak Merosot

IKPI, Jakarta: Sinyal melesetnya target pendapatan negara atau shortfall untuk tahun anggaran 2025 mulai terlihat sejak awal tahun. Hal ini diduga akibat turunnya penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Sejumlah ekonom memperingatkan potensi tersebut karena setoran pajak sudah merosot dalam dua bulan pertama tahun ini, dengan angka yang lebih buruk dibanding kondisi tahun anggaran 2024.

Pada 2024, penerimaan pajak mengalami shortfall untuk pertama kalinya dalam empat tahun APBN. “Dengan awalan kinerja yang tidak menggembirakan, terdapat risiko shortfall yang lebih dalam,” ujar Ekonom senior sekaligus founder Bright Institute, Awalil Rizky, Senin (17/3/2025).

Hingga akhir Februari 2025, total pendapatan negara hanya mencapai Rp 316,9 triliun, turun 20,82% dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya yang sebesar Rp 400,36 triliun. Komponen setoran pajak hanya mencapai Rp 187,8 triliun, terkontraksi 30,19% dibandingkan catatan Februari 2024 yang sebesar Rp 269,02 triliun. PNBP pun hanya senilai Rp 76,4 triliun, turun 4,15% dibanding periode yang sama tahun lalu Rp 79,71 triliun. Sebaliknya, penerimaan bea dan cukai naik 2,13% dari Rp 51,50 triliun menjadi Rp 52,6 triliun.

“Target APBN 2024 saja tidak capai, hanya sebesar 97,2% dari target atau shortfall sebesar 2,8%. Dengan kinerja hingga Februari, kemungkinan besar akan tak mencapai target. Kinerja penerimaan pajak ini juga dipengaruhi oleh batalnya kenaikan PPN secara menyeluruh, padahal telah diperhitungkan dalam target,” kata Awalil.

Guru Besar Ekonomi Pembangunan Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai selain karena batalnya kenaikan tarif PPN pada 2025 untuk semua barang dan jasa, merosotnya setoran pajak juga dipicu oleh melemahnya konsumsi domestik, rendahnya profitabilitas perusahaan, hingga masalah pada sistem Coretax yang diterapkan pemerintah sejak 1 Januari 2025. Ia menilai faktor-faktor tersebut akan semakin memperburuk penerimaan pajak dan pendapatan negara sepanjang tahun ini.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, telah menyiapkan sejumlah strategi tambahan (extra effort) untuk mengejar penerimaan negara. Extra effort ini ditempuh untuk menambal potensi pendapatan yang hilang akibat batalnya penerapan tarif PPN 12% untuk semua barang dan jasa pada 2025, yang sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto hanya berlaku untuk barang mewah.

Anggito menambahkan bahwa penurunan penerimaan negara ini sudah diantisipasi agar target APBN 2025 sebesar Rp 3.005,1 triliun tetap tercapai. Untuk itu, Kementerian Keuangan menyiapkan empat Inisiatif Strategis yang akan dilaksanakan bersama kementerian, lembaga, pemda, dan instansi lain pada 2025. Strategi tersebut dilengkapi dengan empat Aspek Kolaborasi internal di Kemenkeu yang meliputi kolaborasi sistem, big data, regulasi, dan proses bisnis.

Dalam aspek sistem, dilakukan Interoperabilitas Sistem/IT antar Core Revenue System dengan Core System K/L/D/I terkait. Pemanfaatan big data digunakan untuk optimalisasi penerimaan industri dan SDA. Aspek regulasi mencakup Harmonisasi Regulasi, Kebijakan, dan Strategi Pengamanan Penerimaan. Sementara itu, kolaborasi pada proses bisnis dilakukan melalui Sinkronisasi Proses Bisnis Hulu Hilir Sektor Prioritas dengan Fungsi Pengawasan Penerimaan Kemenkeu.

Empat Inisiatif Strategis yang dicanangkan meliputi:

• Transformasi Joint Program Sinergi Penerimaan yang akan mencakup Analisis, Pengawasan, Pemeriksaan, Penagihan, hingga Intelijen, dengan menargetkan 2.000 wajib pajak baru yang selama ini belum tercakup dalam sistem perpajakan.

• Penguatan Perpajakan Transaksi Digital di dalam dan luar negeri, termasuk program trace and track untuk mengurangi penyelundupan dan memastikan pemantauan pajak digital yang lebih efektif.

• Intensifikasi PNBP SDA, khususnya komoditas Batubara, Nikel, Timah, Bauksit, dan Satgas Sawit, yang akan disertai dengan perubahan kebijakan tarif dan harga acuan.

• Intensifikasi PNBP K/L Layanan Premium untuk sektor imigrasi, kepolisian, dan perhubungan yang menargetkan kalangan menengah ke atas guna meningkatkan tambahan penerimaan.

“Kami berharap melalui strategi ini, potensi shortfall pendapatan negara dapat ditekan dan penerimaan negara bisa tetap optimal,” kata Anggito. (alf)

 

Pemerintah Perketat Pengawasan Pajak, Ini Empat Langkah yang Diterapkan!

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengumumkan langkah-langkah strategis guna meningkatkan penerimaan negara di tengah penurunan signifikan pada awal 2025. Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu, baru baru ini menyebutkan bahwa terdapat empat langkah utama yang akan diterapkan untuk mengoptimalkan penerimaan negara.

Langkah pertama adalah transformasi program gabungan antar-eselon 1 Kemenkeu yang mencakup analisis pengawasan, penagihan, hingga kegiatan intelijen terhadap 2.000 wajib pajak tertentu. Langkah ini diharapkan dapat mengidentifikasi potensi kebocoran pajak dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

Langkah kedua adalah menggenjot pengumpulan pajak dari transaksi digital, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Seiring pesatnya perkembangan ekonomi digital, Kemenkeu berkomitmen untuk memastikan transaksi lintas batas turut berkontribusi pada penerimaan negara.

Langkah ketiga mencakup digitalisasi yang bertujuan untuk mengurangi potensi penyelundupan serta menekan peredaran cukai dan rokok palsu. Digitalisasi ini juga akan menyasar komoditas utama seperti batu bara, nikel, timah, bauksit, dan kelapa sawit yang selama ini menjadi andalan ekspor Indonesia.

Langkah keempat adalah intensifikasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) melalui layanan premium yang menyasar kalangan menengah ke atas. Sektor yang akan terdampak kebijakan ini meliputi layanan imigrasi, kepolisian, dan perhubungan.

Meski berbagai strategi telah dirumuskan, data menunjukkan bahwa penerimaan negara hingga Februari 2025 baru mencapai Rp316,9 triliun atau 10,5 persen dari target APBN 2025. Dari jumlah tersebut, penerimaan perpajakan tercatat sebesar Rp240,4 triliun dan PNBP sebesar Rp76,4 triliun. Namun, penerimaan pajak hanya mencapai Rp187,8 triliun atau 8,6 persen dari target APBN 2025, turun signifikan sebesar 30,19 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp269,02 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa penurunan ini dipengaruhi oleh perlambatan ekonomi akibat koreksi harga komoditas utama seperti batu bara, minyak, dan nikel. Selain itu, kebijakan tarif efektif rata-rata (TER) serta restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) turut berkontribusi terhadap penurunan penerimaan negara di awal tahun.

Dengan langkah-langkah strategis yang telah dirumuskan, Kemenkeu optimistis dapat meningkatkan penerimaan negara secara signifikan pada semester berikutnya. (alf)

 

Lonjakan Restitusi Pajak Capai Rp 111,04 Triliun hingga Februari 2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat adanya lonjakan signifikan dalam realisasi pengembalian pajak atau restitusi pajak hingga Februari 2025. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Dwi Astuti di Jakarta, Jumat (14/3/2025) mengungkapkan bahwa realisasi restitusi pajak hingga Februari 2025 mencapai Rp 111,04 triliun.

Sekadar informasi, angka ini mengalami peningkatan 93,11% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu yang hanya Rp 57,5 triliun. Secara agregat, total realisasi restitusi sampai 28 Februari 2025 adalah sebesar Rp 111,04 triliun.

Dwi menjelaskan bahwa berdasarkan jenis pajaknya, realisasi restitusi tersebut didominasi oleh restitusi Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) yang mencapai Rp 86,31 triliun.

Selain itu, restitusi Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Badan turut berkontribusi signifikan dengan total mencapai Rp 22,96 triliun.

Lebih lanjut, Dwi memaparkan bahwa jika dilihat dari sumbernya, restitusi normal mendominasi dengan nilai Rp 70,92 triliun. Selain itu, terdapat restitusi dipercepat sebesar Rp 35,16 triliun dan restitusi upaya hukum senilai Rp 4,97 triliun.

Lonjakan restitusi ini mencerminkan dinamika perpajakan yang semakin aktif, dengan adanya peningkatan pengajuan restitusi dari wajib pajak baik melalui mekanisme normal, percepatan, maupun upaya hukum. (alf)

 

Industri Perkapalan Nasional Minta Pemerintah Insentifkan Pembebasan PPN

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Iperindo), Anita Puji Utami, menegaskan bahwa dukungan pemerintah sangat dibutuhkan agar industri perkapalan nasional dapat tumbuh dan berkontribusi terhadap target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8 persen.

“Saat ini, kebijakan fiskal dan nonfiskal yang ada belum cukup untuk membuat industri perkapalan nasional mandiri dan kompetitif. Kami menginginkan insentif pembebasan PPN (pajak pertambahan nilai) sebagaimana yang sudah diberikan kepada industri pelayaran,” ujar Anita dalam pernyataannya di Jakarta, Sabtu (15/3/2025).

Menurut Anita, jika industri pelayaran telah mendapatkan pembebasan PPN, maka industri pendukungnya, termasuk industri perkapalan, seharusnya memperoleh perlakuan yang sama. Ia juga meminta pemerintah untuk mempermudah regulasi terkait Bea Masuk bahan baku industri perkapalan, mengingat sebagian materialnya masih harus diimpor.

“Kami berharap ada pembebasan maksimal Bea Masuk, sehingga industri galangan kapal dalam negeri bisa lebih berkembang,” tambahnya.

Selain itu, Anita juga menyoroti persoalan infrastruktur dari dan menuju galangan kapal yang masih belum memadai, terutama di daerah pesisir. Menurutnya, hal ini menghambat kelancaran aktivitas industri perkapalan.

“Kami sudah membayar pajak dan dikenakan PNBP, seharusnya pemerintah daerah maupun provinsi bisa lebih memperhatikan infrastruktur yang mendukung industri perkapalan,” tegas Anita.

Meski menghadapi berbagai tantangan, Anita memastikan bahwa Iperindo siap membangun kapal-kapal yang dapat diproduksi di dalam negeri. Ia juga mengapresiasi kerja sama antara BUMN dan swasta dalam mendukung pertumbuhan industri perkapalan nasional. (alf)

 

 

Setoran PPN DN Turun 9,53% di Awal Tahun, Pemerintah dan Ekonom Berbeda Pandangan

IKPI, Jakarta: Setoran Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) pada dua bulan pertama tahun 2025 mencatatkan penurunan signifikan. Hingga Februari 2025, realisasi PPN DN hanya mencapai Rp 102,5 triliun, turun 9,53% dibandingkan periode yang sama pada 2024 yang mencapai Rp 113,3 triliun.

Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, mengungkapkan bahwa penerimaan PPN DN untuk Februari 2025 tercatat sebesar Rp 48,1 triliun, lebih rendah dibanding Januari 2025 yang mencapai Rp 54,4 triliun. Bahkan, penerimaan pada Desember 2024 mencapai Rp 95,4 triliun.

Anggito menjelaskan bahwa penurunan ini merupakan pola musiman yang lazim terjadi di awal tahun. “Jadi ini juga mengikuti pola musiman yang kurang lebih sama, awal tahun Januari itu turun dibanding Desember tahun sebelumnya,” ujar Anggito dalam konferensi pers APBN di Kantor Pusat Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (14/3/2025).

Selain faktor musiman, Anggito juga menyebutkan adanya kebijakan relaksasi pembayaran PPN DN selama 10 hari sebagai faktor tambahan yang menekan setoran. Relaksasi ini memungkinkan PPN DN Januari 2025 dibayarkan pada 10 Maret 2025. Jika dampak relaksasi diperhitungkan, rata-rata penerimaan PPN DN periode Desember 2024 hingga Februari 2025 diperkirakan mencapai Rp 69,5 triliun, lebih tinggi dari rata-rata periode yang sama pada 2024 sebesar Rp 64,2 triliun.

Anggito menegaskan bahwa kondisi ini tetap mencerminkan tren positif. Ia menunjuk pada data penjualan kendaraan yang tumbuh positif per Februari 2025, dengan penjualan motor naik 4% secara tahunan dan mobil tumbuh 2,2%. “Kalau Anda lihat, kita hubungkan penerimaan pajak dengan PMI, indeks industri manufaktur, dan kita lihat dengan data ekonomi terkait penjualan kendaraan yang mulai tumbuh positif,” jelasnya.

Namun, pandangan Anggito ini bertolak belakang dengan sejumlah ekonom. Arif, seorang ekonom yang pernah menjadi staf khusus presiden bidang ekonomi era pemerintahan Joko Widodo, menilai bahwa penurunan setoran PPN DN lebih mencerminkan pelemahan daya beli masyarakat. Menurutnya, PPN merupakan cerminan konsumsi rumah tangga, yang erat kaitannya dengan daya beli. “Jika PPN menurun, hal ini dapat tercermin pula pada PPh Badan dan memberikan indikasi kondisi makro ekonomi, khususnya ketenagakerjaan,” jelas Arif.

Sementara itu, Guru Besar Ekonomi Pembangunan Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, juga menilai bahwa penurunan 9% pada PPN DN mencerminkan tekanan pada konsumsi masyarakat. “Jika pemerintah terus menutup-nutupi masalah fundamental ekonomi, Indonesia berisiko terjebak dalam siklus defisit yang makin lebar, utang yang membengkak, dan daya beli masyarakat yang semakin melemah,” ujar Syafruddin.

Dengan perbedaan pandangan tersebut, isu penurunan setoran PPN DN terus menjadi sorotan, mencerminkan dinamika yang perlu dicermati baik dari sisi kebijakan pemerintah maupun perkembangan ekonomi masyarakat. (alf)

 

 

Ini Pengertian Sistem Pemotongan Pajak PPh 21 dengan Format TER 

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) secara resmi mulai menerapkan sistem pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) dengan format TER (Tarif Efektif Rata-Rata) pada tahun 2024. Sistem ini bertujuan untuk menyederhanakan penghitungan PPh 21 sekaligus menciptakan keadilan dalam perhitungan pajak bagi para wajib pajak.

Sebelumnya, penghitungan PPh 21 dilakukan dengan tarif progresif yang kerap dianggap rumit dan kurang fleksibel. Dengan format baru ini, pemotongan pajak setiap bulan akan menyesuaikan dengan penghasilan bruto yang diterima oleh wajib pajak pada bulan tersebut. Hal ini menyebabkan jumlah pajak yang dipotong dapat bervariasi dari bulan ke bulan, berbeda dengan sistem sebelumnya yang menerapkan pemotongan tetap setiap bulan.

Meskipun terjadi perubahan dalam jumlah pemotongan pajak bulanan, DJP menegaskan bahwa total pajak yang dipotong dalam setahun akan tetap sama baik dengan sistem sebelumnya maupun dengan sistem TER. Hal ini memberikan jaminan bahwa wajib pajak tidak akan dirugikan secara keseluruhan.

Namun, DJP juga mengingatkan bahwa penerapan sistem TER ini berpotensi menimbulkan kasus “Lebih Bayar” bagi karyawan yang tidak bekerja penuh selama satu tahun kalender.

Contohnya, mereka yang mulai bekerja setelah Januari atau berhenti sebelum akhir tahun berisiko mengalami pemotongan pajak yang lebih besar dari seharusnya. Jika terjadi lebih bayar, penyelesaiannya akan dilakukan di tempat kerja masing-masing, di mana pemberi kerja diwajibkan mengembalikan kelebihan pajak secara tunai kepada karyawan.

Penting untuk dicatat bahwa kebijakan ini tidak berlaku untuk pegawai negeri, anggota TNI/Polri, serta para pensiunan.

Dengan diberlakukannya sistem TER ini, diharapkan wajib pajak dapat lebih mudah memahami kewajiban perpajakan mereka dan merasa lebih adil dalam perhitungan pajak. Sistem yang lebih sederhana dan transparan ini diharapkan mampu mendorong kepatuhan pajak yang lebih baik di kalangan masyarakat. (alf)

 

 

IKPI Kabupaten Tangerang Gelar Ruang Konsultasi Pajak di Aeon Mall Tangerang

IKPI, Kabupaten Tangerang: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Kabupaten Tangerang kembali menggelar program Ruang Konsultasi Pajak. Kali ini kegiatan dilakukan di Aeon Mall Tangerang pada tanggal 15-16 Maret 2025.

Kegiatan yang dilakukan secara pro bono ini merupakan tindak lanjut dari Training for Trainer (TOT) yang sebelumnya diselenggarakan oleh IKPI Pusat dan kini dijadikan program tahunan oleh IKPI Kabupaten Tangerang.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Kabupaten Tangerang)

Ketua IKPI Cabang Kabupaten Tangerang Dhaniel Hutagalung, menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk kontribusi profesional anggota IKPI dengan memberikan layanan konsultasi pajak gratis kepada masyarakat. “Kami berharap melalui kegiatan ini, IKPI semakin dikenal luas oleh masyarakat,” ujar Dhaniel, Sabtu (15/3/2025).

Ruang Konsultasi Pajak ini menyasar masyarakat umum dan pelaku UMKM. Sejak dibuka pada pagi hari, antusiasme masyarakat terlihat cukup baik, dengan lebih dari 20 peserta yang telah memanfaatkan layanan ini. Peserta yang hadir berkesempatan berdiskusi terkait berbagai aspek perpajakan, baik untuk individu maupun badan usaha kecil dan menengah (UMKM).

Selain Dhaniel, kegiatan ini juga dihadiri oleh jajaran kepengurusan cabang IKPI Kabupaten Tangerang yang telah mengikuti pembekalan melalui TOT. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan edukasi perpajakan yang benar kepada masyarakat sekaligus mempererat hubungan antara IKPI dengan warga Kabupaten Tangerang.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Kabupaten Tangerang)

Menurut Dhaniel, Ruang Konsultasi Pajak ini telah berlangsung sejak tahun lalu dan akan menjadi agenda rutin tahunan IKPI Tangerang. Pada tahun 2025 ini, kegiatan dilaksanakan di dua lokasi, yakni Aeon Mall Tangerang pada 15-16 Maret 2025 dan Maxxbox Tangerang pada 22-23 Maret 2025.

“Dengan adanya program ini, diharapkan masyarakat semakin memahami pentingnya administrasi perpajakan yang benar serta mendapatkan solusi atas berbagai permasalahan perpajakan yang mereka hadapi,” ujarnya. (bl)

Korea Selatan Rencanakan Rombak Sistem Pajak Warisan, Berlaku pada 2028

IKPI, Jakarta: Korea Selatan (Korsel) mengumumkan rencana untuk merombak sistem pajak warisan yang berlaku di negara tersebut. Revisi aturan pajak ini diperkirakan akan mulai berlaku pada tahun 2028 mendatang. Pemerintah berencana untuk memperkenalkan kebijakan baru yang memungut pajak berdasarkan jumlah warisan yang diterima oleh masing-masing penerima, bukan lagi berdasarkan total kekayaan pemberi warisan setelah meninggal dunia.

Revisi ini akan menggantikan sistem pajak berbasis harta warisan yang selama ini dipertahankan di Korsel, yang dianggap memberikan beban pajak yang terlalu besar bagi penerima warisan dibandingkan dengan jumlah aset yang mereka terima. Menurut Kepala Divisi Pajak Kementerian Ekonomi dan Keuangan Korsel, Jeong Jeong Hoon, perubahan ini merupakan langkah penting untuk memastikan sistem perpajakan Korsel lebih adil dan sejalan dengan standar global.

“Sistem perpajakan berbasis penerima ini lebih disukai karena dianggap lebih adil dalam hal redistribusi kekayaan,” ujar Jeong. “Kami telah berulang kali menerima tuntutan dan kritik terkait kebijakan pajak kami yang dianggap tidak sesuai dengan praktik internasional.”

Saat ini, Korea Selatan termasuk dalam kelompok negara yang masih menerapkan pajak berbasis harta warisan, bersama dengan Amerika Serikat, Inggris, dan Denmark. Menurut laporan OECD dan IMF, kebijakan pajak berbasis penerima lebih mendukung keadilan pajak dan penyebaran kekayaan yang lebih merata.

Pemberlakuan Perubahan Pajak

Menurut rancangan revisi yang diusulkan, pajak warisan untuk pasangan akan mendapatkan pengurangan pajak 100% jika nilai aset yang diwariskan kurang dari 1 miliar won (sekitar Rp 11,2 miliar). Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan batas pengurangan pajak saat ini yang hanya 500 juta won (sekitar Rp 5,6 miliar).

Anak-anak yang menerima warisan juga akan mendapatkan pengurangan yang signifikan. Jumlah pengurangan pajak untuk anak-anak akan meningkat sepuluh kali lipat, dari yang semula 50 juta won (sekitar Rp 560 juta) menjadi 500 juta won. Hal ini diharapkan dapat meringankan beban pajak pada keluarga-keluarga berpenghasilan menengah yang selama ini merasa terkendala oleh beban pajak yang terlalu besar.

Selain itu, keluarga yang terdiri dari pasangan dan dua anak akan bebas dari pajak warisan jika nilai kekayaan yang diwariskan berada antara 1 miliar won hingga 2 miliar won, sebuah ketentuan yang diakui sebagai langkah yang lebih realistis mengingat banyak rumah tangga yang diwarisi dengan jumlah kekayaan tersebut.

Dampak Sosial dan Ekonomi

Pemerintah Korea Selatan juga berharap perubahan ini akan mengurangi ketimpangan sosial yang semakin lebar, terutama dalam hal akumulasi kekayaan antargenerasi. Selama beberapa dekade terakhir, ekonomi Korsel mengalami pertumbuhan pesat yang tidak diimbangi dengan pemerataan kekayaan, sehingga membuat sebagian besar warisan terkonsentrasi pada keluarga-keluarga terkaya.

Meskipun beban pajak warisan di Korsel sangat tinggi—dengan tarif yang bisa mencapai 50%, tertinggi kedua di dunia setelah Jepang—pemerintah berjanji untuk mempertahankan tarif pajak maksimum, meskipun beban pajak keseluruhan diperkirakan akan berkurang hingga 60% dengan diterapkannya sistem berbasis penerima.

Menurut Park Hun, seorang profesor ekonomi di Universitas Seoul, perubahan ini akan memberikan manfaat langsung bagi banyak keluarga di Korsel. “Banyak rumah tangga yang akan mendapat keuntungan, terutama mereka yang mewarisi kekayaan dalam kisaran 1 hingga 2 miliar won,” kata Park.

Para ahli ekonomi juga menyambut baik perubahan ini, mengingat penurunan populasi yang sedang berlangsung di Korsel. Profesor Ha Joon Kyung dari Universitas Hanyang menyebut kebijakan ini tepat waktu, karena dapat membantu keluarga dengan banyak anak mengurangi beban pajak mereka.

“Di tengah penurunan jumlah penduduk, keluarga besar bisa lebih mudah mengalihkan warisan mereka dengan pajak yang lebih ringan, dan ini juga membantu distribusi kekayaan yang lebih merata,” kata Ha.

Pemerintah Korea Selatan berencana untuk mengajukan revisi kode pajak tersebut ke Majelis Nasional pada bulan Mei mendatang untuk mendapatkan persetujuan. Setelah itu, pedoman dan aturan tambahan akan disusun, dengan harapan perubahan ini bisa berlaku sepenuhnya pada 2028. (alf)

Pemerintah Perpanjang Insentif PPN-DTP untuk Rumah Tapak dan Rumah Susun Tahun 2025

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi memperpanjang pemberian insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN-DTP) untuk penyerahan rumah tapak dan satuan rumah susun hingga tahun anggaran 2025. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 13 Tahun 2025 yang mulai berlaku sejak 4 Februari 2025.

Perpanjangan insentif ini merupakan kelanjutan dari kebijakan serupa yang telah diberikan pada tahun 2023 dan 2024. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Dwi Astuti, menyatakan bahwa transaksi properti memiliki efek berantai yang besar terhadap sektor ekonomi lainnya.

“Sebagai bagian dari paket kebijakan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat, pemberian insentif PPN ini diharapkan dapat menjaga daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan sektor ekonomi lainnya,” ujar Dwi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (14/3/2025).

Ketentuan Insentif PPN-DTP

Berdasarkan PMK-13/2025, terdapat dua skema insentif PPN-DTP:

• Periode 1 Januari – 30 Juni 2025: Insentif PPN-DTP sebesar 100% dari PPN terutang untuk bagian harga jual hingga Rp2 miliar, dengan harga jual maksimal Rp5 miliar.

• Periode 1 Juli – 31 Desember 2025: Insentif PPN-DTP sebesar 50% dari PPN terutang untuk bagian harga jual hingga Rp2 miliar, dengan harga jual maksimal Rp5 miliar.

Sebagai contoh, jika seseorang membeli rumah seharga Rp2 miliar pada 14 Februari 2025, seluruh PPN akan ditanggung oleh pemerintah. Namun, jika seseorang membeli rumah seharga Rp2,5 miliar pada 15 Februari 2025, maka pembeli harus menanggung PPN sebesar 11% dari Rp500 juta, yaitu Rp55 juta.

Dwi menegaskan bahwa kebijakan ini tidak berlaku untuk rumah tapak atau satuan rumah susun yang telah mendapatkan fasilitas pembebasan PPN. Dengan adanya insentif ini, pemerintah berharap dapat membantu masyarakat memperoleh hunian dengan harga lebih terjangkau serta mendorong pertumbuhan sektor properti nasional.

“Kami berharap masyarakat dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk memiliki rumah sekaligus mendukung geliat ekonomi nasional, terutama di sektor properti dan sektor terkait lainnya,” kata Dwi. (alf)

 

Optimalisasi Penerimaan Negara 2025: Kemenkeu Jalankan Empat Inisiatif Strategis dan Kolaborasi Internal

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menjalankan empat Inisiatif Strategis serta empat Aspek Kolaborasi internal untuk mengoptimalkan penerimaan negara pada tahun 2025. Langkah ini akan dilaksanakan bersama kementerian, lembaga, pemerintah daerah (pemda), dan instansi lainnya guna meningkatkan efektivitas penerimaan negara.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu, mengungkapkan bahwa aspek kolaborasi internal terdiri dari kolaborasi sistem, pemanfaatan big data, regulasi, dan proses bisnis. Dalam aspek sistem, Kemenkeu akan melaksanakan interoperabilitas sistem/IT antar Core Revenue System dengan Core System K/L/D/I terkait. Pemanfaatan big data akan difokuskan pada optimalisasi penerimaan industri dan sumber daya alam (SDA).

Dari sisi regulasi, pemerintah akan melakukan harmonisasi regulasi, kebijakan, dan strategi pengamanan penerimaan. Sementara itu, dalam aspek proses bisnis, dilakukan sinkronisasi proses bisnis hulu-hilir sektor prioritas dengan fungsi pengawasan penerimaan Kemenkeu.

Empat Inisiatif Strategis

• Transformasi Joint Program Sinergi Penerimaan

Kemenkeu akan melakukan analisis, pengawasan, pemeriksaan, penagihan, hingga intelijen terhadap lebih dari 2.000 wajib pajak (WP) yang selama ini belum terjangkau sistem perpajakan.

“Transformasi joint program antara eselon 1 di Kementerian Keuangan ini diharapkan mampu meningkatkan penerimaan negara,” ujar Anggito.

• Penguatan Perpajakan Transaksi Digital

Kemenkeu akan menerapkan sistem trace and track serta program digitalisasi untuk mengurangi penyelundupan, terutama dalam cukai dan rokok palsu.

• Intensifikasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) SDA

Pemerintah akan mengoptimalkan penerimaan dari komoditas batubara, nikel, timah, bauksit, serta melalui Satuan Tugas (Satgas) Sawit.

“Kami akan segera menyampaikan perubahan kebijakan tarif dan harga batu bara acuan agar dapat diterima oleh masyarakat,” jelas Anggito.

• Intensifikasi PNBP K/L Layanan Premium

Pemerintah akan mengintensifkan penerimaan dari layanan premium di sektor imigrasi, kepolisian, dan perhubungan untuk masyarakat kelas menengah ke atas.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa pemerintah telah menyiapkan strategi tambahan untuk menutup potensi kehilangan penerimaan negara akibat batalnya penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% untuk semua barang dan jasa pada 2025.

Presiden Prabowo Subianto telah menetapkan bahwa tarif PPN 12% hanya berlaku untuk barang mewah, sementara barang dan jasa lainnya tetap dikenakan tarif 11%.

“PPN 12% tidak diberlakukan untuk semua komoditas, dan untuk mengompensasi penerimaan yang hilang, kami akan menempuh upaya ekstra seperti yang disampaikan Pak Anggito,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN di Kementerian Keuangan.

Langkah-langkah ini diharapkan mampu memperkuat penerimaan negara di tengah tantangan ekonomi dan dinamika kebijakan fiskal yang terus berkembang. (alf)

en_US