Shadow Economy Capai Rp1.600 Triliun: “Kalau Bisa Ditangkap, Negara Tinggal Metik Pajak”

IKPI, Jakarta: Mantan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Dodik Samsu Hidayat, membeberkan fakta mencengangkan soal besarnya nilai shadow economy di Indonesia yang mencapai Rp1.600 triliun. Menurutnya, jika ekonomi bayangan ini bisa ditarik masuk ke sistem pajak, negara tidak perlu bersusah payah mencari sumber penerimaan baru.

Hal ini disampaikan Dodik saat berbicara dalam diskusi panel yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) bertema “Tepatkah Menargetkan Shadow Economy sebagai Cara Meningkatkan Penerimaan Pajak?” di Kantor Pusat IKPI, Jakarta Selatan, Jumat (26/9/2025). Diskusi berlangsung hybrid dengan ratusan peserta hadir secara langsung maupun daring.

“Dulu, Kementerian Keuangan pernah menghitung potensi tax gap dari shadow economy itu Rp1.600 triliun. Menteri bahkan pernah bilang, jangan muluk-muluk, Rp300 triliun saja yang bisa kita tarik sudah cukup. Itu realistis, asal data bisa dikelola dengan baik,” ungkap Dodik.

Ia menjelaskan, selama ini DJP sudah mulai masuk ke sektor-sektor yang sebelumnya tidak terjamah. Misalnya marketplace, platform pesan-antar makanan, perdagangan kripto, hingga fintech. Menurutnya, data dari platform-platform besar itu bisa menjadi amunisi baru bagi DJP untuk memperluas basis pajak.

“Ambil contoh sederhana. Di aplikasi pesan-antar makanan, semua ada, dari warung kaki lima sampai restoran besar. Kalau data order itu bisa ditangkap DJP, tidak ada lagi alasan pelaku usaha untuk berkelit. Semua omzet bisa tercatat dan masuk ke sistem,” tegas Dodik.

Menurutnya, shadow economy tumbuh subur karena dua hal, yakni enggannya pelaku usaha membayar pajak, dan rendahnya kepercayaan terhadap pemerintah. “Mereka merasa terbebani pajak, sekaligus ragu apakah uang yang mereka bayar akan benar-benar kembali ke masyarakat. Nah, di sinilah peran DJP untuk membangun kepercayaan,” katanya.

Dodik menekankan, jika data bisa dikonsolidasikan dengan baik, ekonomi bayangan yang selama ini luput akan menjadi mesin penerimaan baru. “Kalau sudah masuk sistem, negara tinggal metik pajak. Potensinya nyata, tinggal bagaimana kita memanfaatkannya,” kata Dodik. (bl)

Pemberlakuan Pajak E-Commerce Tunggu Ekonomi Pulih dan UMKM Siap

IKPI, Jakarta: Rencana pemerintah untuk mengenakan pajak kepada pedagang online lewat e-commerce resmi ditunda. Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, kebijakan tersebut belum akan dijalankan sampai situasi perekonomian nasional benar-benar stabil.

Purbaya menjelaskan, pemerintah masih berhati-hati agar kebijakan pajak tidak justru membebani pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang belakangan ramai menyuarakan penolakannya.

“Saya lihat begini, ini kan baru ribut-ribut kemarin (soal keberatan dari UMKM), ya kita tunggu dulu deh,” kata Purbaya dalam media briefing di kantornya, Jumat (26/9/2025).

Kebijakan yang semula dirancang untuk memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,5 persen dari transaksi penjualan merchant di marketplace itu masih dalam tahap kajian. Pemerintah pun belum menentukan platform e-commerce mana saja yang nantinya bakal ditunjuk sebagai pemungut pajak.

Menurut Purbaya, pemerintah ingin memastikan arah kebijakan fiskal tetap sejalan dengan tujuan besar mendorong pertumbuhan ekonomi. Ia menegaskan, kebijakan pajak tidak boleh justru menjadi rem bagi geliat ekonomi digital yang sedang tumbuh pesat.

“Kalau kebijakan mendorong perekonomian itu sudah kelihatan dampaknya, baru kita akan pikirkan nanti,” ujarnya.

Keputusan ini menandakan sikap kompromi pemerintah di tengah tarik menarik kepentingan antara optimalisasi penerimaan negara dan keberlangsungan usaha para pedagang online. Sembari menunggu waktu yang tepat, pemerintah akan terus memantau perkembangan ekonomi dan menyerap masukan dari pelaku usaha. (alf)

 

Purbaya Klaim Sudah Kumpulkan Rp5,1 Triliun dari 84 Penunggak Pajak Jumbo

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengklaim upaya pemerintah menagih pajak macet dari para pengusaha besar mulai berbuah hasil. Hingga September 2025, sebanyak 84 wajib pajak jumbo tercatat telah membayar atau mencicil kewajiban mereka dengan total nilai Rp5,1 triliun.

“Per September ini, terdapat 84 wajib pajak yang sudah melakukan pembayaran atau angsuran dengan total Rp5,1 triliun,” ujar Purbaya dalam taklimat media di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (26/9/2025).

Ia menegaskan pemerintah akan terus mengejar para penunggak pajak jumbo yang jumlahnya mencapai 200 wajib pajak. Dari daftar itu, mayoritas merupakan perusahaan besar, sementara sisanya wajib pajak perorangan.

Target Rp60 Triliun Akhir Tahun

Purbaya menargetkan seluruh tunggakan yang nilainya diperkirakan Rp50–60 triliun bisa tuntas pada akhir 2025. “Kami kejar terus, sampai akhir tahun selesai. Mereka tidak bisa lari lagi,” tegasnya.

Sebelumnya, dalam konferensi pers APBN KiTa Edisi September 2025, ia sudah menyatakan bahwa pemerintah memiliki daftar 200 wajib pajak besar yang sudah inkrah atau berkekuatan hukum tetap. Tagihan dari kelompok ini dipandang bisa menjadi mesin tambahan penerimaan negara di tengah kebutuhan belanja yang kian besar.

Meski gebrakan Purbaya menuai apresiasi, sejumlah ekonom mengingatkan agar langkah penagihan dilakukan dengan hati-hati. Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai tidak semua pengusaha dalam daftar memiliki likuiditas cukup untuk langsung melunasi kewajiban.

“Jika tak mampu membayar, jalan keluarnya bisa jadi penyitaan aset. Tapi banyak aset sudah diagunkan ke bank. Pemerintah bisa menghadapi sengketa hukum, bahkan memicu gelombang kebangkrutan dan PHK,” jelas Wijayanto.

Menurutnya, bila kondisi itu terjadi, dampaknya bisa merusak persepsi investor terhadap iklim usaha Indonesia. Karena itu, strategi penagihan tidak bisa seragam. “Harus adil, transparan, dan jangan tebang pilih. Kalau tidak, kredibilitas kebijakan akan dipertaruhkan,” tegasnya.

Dengan Rp5,1 triliun yang sudah masuk ke kas negara, pemerintah masih punya pekerjaan besar untuk mengejar sisa puluhan triliun dari para penunggak pajak jumbo. Purbaya kini tinggal membuktikan bahwa klaim keberhasilan awal itu dapat berlanjut menjadi tuntasnya seluruh tagihan hingga akhir tahun.(alf)

 

 

Pemerintah Tunjuk Samsung Jadi Pemungut Pajak Digital, Kontribusi Tembus Rp 41 Triliun

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan resmi menunjuk Samsung Electronics Co., Ltd. sebagai pemungut pajak pertambahan nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) di Indonesia. Penunjukan ini berlaku mulai Agustus 2025, menegaskan peran perusahaan teknologi global dalam memperkuat penerimaan negara dari sektor digital.

Selain Samsung, tiga perusahaan lain juga bergabung sebagai pemungut PPN PMSE, yakni Blackmagic Design Asia Pte Ltd, PIA Private Internet Access, Inc., dan Neon Commerce Inc. Dengan tambahan tersebut, jumlah total pemungut PPN PMSE hingga Agustus 2025 mencapai 236 perusahaan. Namun, pemerintah juga mencabut satu penunjukan, yaitu TP Global Operations Limited.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menjelaskan bahwa dari total pemungut yang ditunjuk, 201 perusahaan telah aktif memungut dan menyetorkan PPN PMSE.

“Dengan realisasi sebesar Rp 41,09 triliun, pajak digital kian menegaskan perannya sebagai penggerak utama penerimaan negara di era digital ini,” tegas Rosmauli, Jumat (26/9/2025).

Sejak diberlakukan pada 2020, PPN digital menunjukkan tren pertumbuhan pesat. Penerimaan tercatat Rp 731,4 miliar pada 2020, melonjak ke Rp 3,90 triliun pada 2021, Rp 5,51 triliun pada 2022, Rp 6,76 triliun pada 2023, serta Rp 8,44 triliun pada 2024. Hingga Agustus 2025 saja, setoran sudah mencapai Rp 6,51 triliun.

Jika digabung dengan sektor pajak digital lain seperti fintech, kripto, dan Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP), total kontribusi pajak digital menembus Rp 41,09 triliun per 31 Agustus 2025.

Pemerintah optimistis tren positif ini akan terus berlanjut seiring meluasnya basis pemungutan PPN PMSE, berkembangnya ekosistem digital, serta semakin matangnya sistem perpajakan berbasis teknologi. (alf)

 

 

Harga Mobil Bisa Turun, Pemerintah Kaji Diskon hingga 100% BBNKB

IKPI, Jakarta: Kabar gembira bagi masyarakat yang berencana membeli kendaraan. Pemerintah tengah mengkaji kemungkinan pemberian diskon besar untuk Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), bahkan sampai opsi penghapusan 100 persen. Langkah ini digadang-gadang sebagai strategi baru untuk meringankan beban masyarakat sekaligus mendongkrak penjualan kendaraan di tengah daya beli yang melemah.

Asisten Deputi Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, Elektronika, dan Aneka (Ilmate) Kemenko Perekonomian, Atong Soekirman, menyebutkan bahwa BBNKB bisa menjadi kunci agar harga kendaraan lebih terjangkau. “Kita minta potongan 50 persen untuk balik nama. Kalau dimungkinkan bebas 100 persen, 50 persen, atau bahkan lima persen, ini bisa jadi jurus baru agar harga jual kendaraan bisa turun,” ujarnya, Sabtu (27/9/2025).

Atong menegaskan bahwa saat ini beban pajak kendaraan cukup berat, mencapai hampir 40 persen dari harga jual. Angka itu merupakan gabungan dari BBNKB, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), hingga tarif lainnya. “Karena itu, fokus paling realistis adalah BBNKB. Kalau PPN atau PPnBM harus lewat undang-undang, butuh waktu panjang. Sementara BBNKB lebih fleksibel untuk segera disesuaikan,” katanya.

Pemerintah menilai langkah ini bisa mengikuti jejak kebijakan untuk kendaraan listrik, yang sudah lebih dulu mendapat pengecualian pajak. Dalam UU Hubungan Keuangan Pemerintah Daerah (HKPD) serta Permendagri 7/2025, mobil listrik murni dikecualikan dari objek PKB dan BBNKB. “Kalau kendaraan berbasis energi terbarukan bisa digratiskan, tentu ada peluang untuk memberi keringanan pada kendaraan lain agar pasar kembali bergairah,” tambah Atong.

Meski begitu, ia menegaskan kebijakan ini masih dalam tahap pembahasan lintas kementerian dan lembaga. Pemerintah harus mencari formula paling tepat agar daya beli masyarakat pulih, industri otomotif tetap tumbuh, sekaligus tidak mengganggu penerimaan pajak daerah.

“Tujuan akhirnya sederhana: harga kendaraan lebih murah, pembeli berani belanja, dan industri bisa bergerak lagi,” pungkas Atong. (alf)

 

 

 

 

Ini Pesan Menkeu Purbaya Kepada Crazy Rich di Indonesia

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melontarkan pesan tegas sekaligus sindiran halus kepada para konglomerat Indonesia yang kerap disebut crazy rich. Ia meminta kelompok masyarakat berpendapatan tinggi itu untuk lebih patuh membayar pajak, khususnya Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dengan tarif tertinggi 35%.

Menurut Purbaya, kepatuhan para wajib pajak berpenghasilan di atas Rp 5 miliar masih jauh dari harapan. Padahal, kontribusi mereka sangat menentukan keadilan sistem perpajakan sekaligus memperkuat kas negara.

“Yang penting mereka comply dulu sama aturan. Jangan kabur-kabur. Kalau mereka taat, kita pastikan tarif enggak dinaikkan lagi,” ujar Purbaya di kantornya, Jakarta, Jumat (26/9/2025).

Purbaya menegaskan, pemerintah akan memberikan banyak keuntungan bila para orang kaya ini menjalankan kewajibannya. Mulai dari kepastian tarif yang stabil, peningkatan kualitas layanan perpajakan, hingga perlindungan dari intervensi aparat pajak.

“Kalau sudah bayar sesuai aturan, enggak akan diganggu lagi oleh aparat pajak. Itu janji saya,” tegasnya.

Ia juga menambahkan, Kementerian Keuangan akan membuka kanal khusus pengaduan langsung ke dirinya. Kanal ini bertujuan melindungi wajib pajak dari tindakan tidak profesional oknum petugas pajak.

“Nanti saya buka pengaduan langsung ke Menteri Keuangan. Tentu bukan saya sendiri yang baca, ada tim khusus yang memantau. Kalau ada aparat yang nakal, bisa segera saya tindak,” jelasnya.

Setoran Crazy Rich Masih Mini

Data Kemenkeu mencatat, setoran PPh 21 yang mayoritas berasal dari karyawan mencapai Rp 223,42 triliun per November 2024, setara dengan 13,2% penerimaan pajak nasional. Sebaliknya, kontribusi PPh Orang Pribadi, termasuk dari para crazy rich, hanya Rp 13,38 triliun atau 0,8% dari total penerimaan.

“Angka ini jelas menunjukkan jurang kepatuhan. Mereka yang penghasilannya besar justru setoran pajaknya sangat minim,” kata Purbaya.

Purbaya berikan peringatan keras, bahwa pemerintah tidak akan segan menindak pengemplang pajak, tetapi tetap siap memberikan kenyamanan bagi mereka yang taat.

“Pilihannya sederhana, bayar pajak sesuai aturan dan nikmati insentif, atau tetap main-main dan berhadapan dengan risiko hukum,” pungkasnya. (alf)

 

Ketum Vaudy Bubarkan Panitia HUT ke-60 dengan Penuh Apresiasi dan Berharap Regenerasi di Kegiatan Mendatang

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, secara resmi membubarkan Panitia HUT ke-60 IKPI dalam acara yang digelar di Jakarta Selatan, Sabtu (27/9/2025). Namun, pembubaran ini bukanlah akhir, melainkan bentuk penghargaan sekaligus momentum refleksi atas keberhasilan besar yang diraih panitia dalam menyelenggarakan perayaan ulang tahun emas keenam dekade IKPI.

Dalam sambutannya, Vaudy menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada seluruh panitia yang terdiri dari pengurus pusat, cabang, hingga anggota muda IKPI yang bekerja tanpa kenal lelah selama tiga bulan terakhir. “Saya tidak menyangka antusiasme peserta dalam setiap rangkaian kegiatan HUT ke-60 ini begitu luar biasa. Kerja keras panitia benar-benar berbuah manis dan membanggakan seluruh keluarga besar IKPI,” ujar Vaudy.

Serangkaian kegiatan HUT ke-60 IKPI memang berlangsung meriah dan sarat makna. Mulai dari lomba cerdas cermat perpajakan yang menguji kemampuan generasi muda konsultan pajak, turnamen golf yang mempererat jejaring antarprofesional, sepeda santai yang menyehatkan sekaligus memupuk kebersamaan, hingga kegiatan donor darah yang mencetak sejarah baru.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Dari program donor darah, IKPI berhasil meraih Rekor MURI dengan menghadirkan lebih dari 6.000 pendonor dari target semula 5.000. Capaian ini tak hanya menjadi kebanggaan organisasi, tetapi juga bukti nyata kontribusi IKPI bagi masyarakat luas.

Tak berhenti di situ, IKPI juga berhasil mencatatkan diri sebagai asosiasi konsultan pajak terbesar di Indonesia dengan jumlah anggota aktif lebih dari 7.000 orang, atau sekitar 85 persen dari total konsultan pajak yang ada di Indonesia menurut data P2PK Kementerian Keuangan. Pengakuan ini semakin menegaskan posisi IKPI sebagai kekuatan utama profesi konsultan pajak di Tanah Air.

Meski bangga dengan pencapaian tersebut, Vaudy tidak ingin terlena. Ia menegaskan pentingnya regenerasi dalam tubuh organisasi, khususnya di kepanitiaan kegiatan besar. Menurutnya, pengalaman mengelola acara berskala nasional seperti seminar nasional maupun HUT harus dirasakan oleh banyak anggota agar terjadi kaderisasi dan penguatan kapasitas di semua lini.

“Ke depan, kepanitiaan tidak boleh hanya diisi oleh orang-orang yang sama. Kami ingin setiap anggota, baik dari pusat maupun cabang, merasakan pengalaman memimpin dan mengelola acara besar. Regenerasi ini penting agar IKPI semakin solid dan siap menghadapi tantangan di masa mendatang,” tegas Vaudy.

Vaudy juga menekankan bahwa IKPI tidak akan bergantung pada event organizer dalam pelaksanaan kegiatan apa pun. Sebaliknya, organisasi akan terus memberdayakan anggota dan tim sekretariat untuk menyukseskan setiap program.

“Kita harus percaya pada kekuatan internal. Kekompakan dan kerja keras sendiri sudah terbukti mampu menghasilkan kegiatan sebesar ini tanpa campur tangan pihak luar,” tambahnya.

Dengan semangat regenerasi dan pemberdayaan internal tersebut, IKPI di usianya yang ke-60 tidak hanya merayakan capaian, tetapi juga menatap masa depan dengan optimisme. Bagi Vaudy, perayaan kali ini adalah bukti bahwa kebersamaan dan komitmen anggota bisa melahirkan sejarah baru, sekaligus pondasi kuat untuk melangkah ke dekade berikutnya.(bl)

Ekonom UI Kritik Threshold UMKM, Celah Penghindaran Pajak yang Dibiarkan 17 Tahun

IKPI, Jakarta: Ambang batas omzet UMKM Rp4,8 miliar per tahun yang dikenai tarif pajak final 1% mendapat kritik tajam dari peneliti LPEM FEB UI, Vid Adrison. Menurutnya, aturan tersebut telah menjadi ladang subur praktik penghindaran (tax avoidance) hingga penggelapan (tax evasion) pajak.

“Threshold Rp4,8 miliar itu kelewat tinggi. Sejak ditetapkan tahun 2008 hingga sekarang, banyak pelaku usaha sengaja menahan omzet agar tidak lewat batas. Kalau pun lewat, mereka akali dengan menaikkan cost agar laba terlihat kecil. Itu jelas permainan pembukuan,” kata Vid.

Ia mengutip penelitian yang menunjukkan perbedaan mencolok antara rasio biaya terhadap penjualan (cost over sales) pelaku usaha di bawah dan di atas Rp4,8 miliar. “Begitu omzet melewati threshold, rasio biaya langsung melonjak drastis. Artinya ada over-claim cost untuk menekan laba kena pajak. Ini bukti nyata bahwa aturan justru membuka ruang manipulasi,” tegasnya.

Fenomena itu, lanjut Vid, membuat sistem perpajakan Indonesia kehilangan banyak potensi penerimaan. Padahal, tujuan awal pemberian tarif final UMKM adalah untuk memudahkan pelaporan dan mendorong kepatuhan.

“Ironisnya, justru yang terjadi adalah kompetisi tidak sehat. Pelaku usaha yang taat aturan kalah bersaing dengan mereka yang sengaja main di bawah radar,” ungkapnya.

Vid menyarankan pemerintah melakukan reformasi serius terhadap kebijakan UMKM. Ada dua opsi: menurunkan threshold agar lebih realistis, atau menaikkan tarif final agar tidak terlalu menguntungkan dibanding tarif normal. “Kalau tidak diperbaiki, ini akan jadi penyakit kronis yang terus menggerus penerimaan negara,” tandasnya. (bl)

 

Rianto Abimail Ungkap 67% Orang Kaya Pilih Masuk Shadow Economy

IKPI, Jakarta: Fakta mengejutkan disampaikan Rianto Abimail, Pengurus Pusat IKPI, saat menjadi panelis dalam Diskusi Panel bertema “Tepatkah Menargetkan Shadow Economy sebagai Cara Meningkatkan Penerimaan Pajak?” di Kantor Pusat IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (26/9/2025).

Mengutip hasil EY Shadow Economic Expose 2025, Rianto mengungkap bahwa kelompok wajib pajak berpenghasilan tinggi (high income) justru menjadi penyumbang terbesar aktivitas shadow economy.

“Angkanya fantastis, 67,1% wajib pajak kaya lebih memilih bersembunyi di shadow economy ketimbang patuh membayar pajak,” ungkap Rianto.

Menurutnya, semakin besar penghasilan seseorang, semakin tinggi pula kecenderungan untuk melakukan praktik ekonomi bayangan. Setelah kelompok high income, disusul oleh upper middle income, lower middle income, dan terakhir low income.

Fenomena ini, kata Rianto, menandakan bahwa kebijakan pajak yang terlalu menekan kelompok berpenghasilan tinggi bisa menjadi bumerang. Alih-alih meningkatkan penerimaan negara, justru mendorong orang kaya mencari jalan pintas di luar radar pajak.

“Pemerintah jangan hanya fokus mengejar kelompok high income. Kebijakan pajak harus adil, sederhana, dan merata. Kalau tidak, kebocoran penerimaan akibat shadow economy akan makin lebar,” ujarnya.

Rianto menekankan bahwa kepatuhan pajak tidak bisa dipaksakan hanya dengan instrumen pemeriksaan, melainkan harus dibangun lewat kepercayaan, kesederhanaan aturan, dan kepastian hukum. (bl)

Purbaya Siapkan Gebrakan Hukum untuk Dongkrak Penerimaan Cukai dan Bea Masuk

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan komitmennya memperkuat penegakan hukum di sektor perpajakan, kepabeanan, dan cukai. Langkah ini diambil untuk mengejar target ambisius penerimaan negara dalam RAPBN 2026 yang disusunnya.

Dalam dokumen tersebut, target pendapatan negara ditetapkan naik menjadi Rp3.153,6 triliun, atau bertambah Rp5,9 triliun dibanding rancangan yang disusun pendahulunya, Sri Mulyani Indrawati sebesar Rp3.147,7 triliun. Kenaikan terbesar berasal dari sektor kepabeanan dan cukai, yang ditetapkan Rp336 triliun, lebih tinggi dari sebelumnya Rp334,3 triliun. Sementara penerimaan pajak tetap dipatok Rp2.357,7 triliun, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) meningkat menjadi Rp459,2 triliun dari sebelumnya Rp455 triliun.

Purbaya menekankan, strategi utamanya bukan sekadar menaikkan target, tetapi menutup kebocoran dengan pengawasan ketat. “Cukai pada dasarnya nanti akan kita tegakkan penegakan hukum di cukai. Di pajak juga nanti. Jadi across the board, kita hitung itu bisa menghasilkan tambahan Rp5,9 triliun,” ujarnya saat ditemui di kantor Kemenkeu, Jumat (26/9/2025).

Salah satu jurus yang akan diterapkan adalah pemeriksaan acak terhadap jalur hijau bea cukai, yang selama ini relatif bebas dari pemeriksaan fisik. Jalur ini dikenal sebagai fasilitas bagi importir berisiko rendah atau sedang, di mana barang keluar hanya berdasarkan dokumen dan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).

“Biasanya jalur ini tidak diperiksa. Sekarang kita randomize, sehari bisa 10 atau lebih. Jadi enggak bisa main-main lagi,” tegas Purbaya.

Di sisi lain, ia juga mengumumkan operasi besar-besaran terhadap peredaran rokok ilegal yang selama ini merugikan negara. “Kita mulai tangkepin. Harapannya yang gelap-gelap itu hilang, sehingga pendapatan cukai akan meningkat,” tambahnya.

Dengan kombinasi strategi pengawasan jalur impor dan pemberantasan rokok ilegal, Purbaya optimistis tambahan penerimaan Rp5,9 triliun bisa terealisasi tanpa perlu mengerek tarif pajak maupun cukai baru. (alf)

 

 

 

en_US