Korsel Guncang Sistem Pajak: Reformasi Pajak Besar-besaran Siap Hapus Insentif untuk Konglomerat

IKPI, Jakarta: Pemerintah Korea Selatan mengumumkan reformasi pajak paling ambisius dalam sejarah modernnya, menandai perubahan besar dalam arah kebijakan fiskal negeri ginseng. Di bawah kepemimpinan Presiden Lee Jae-myung, reformasi ini menargetkan peningkatan penerimaan negara sambil memperkecil celah ketimpangan ekonomi akibat insentif berlebihan yang selama ini dinikmati kelompok kaya dan perusahaan besar.

Dalam konferensi pers yang digelar Kementerian Ekonomi dan Keuangan di Seoul, baru baru ini, Wakil Menteri Keuangan I Lee Hyoung-il menegaskan bahwa reformasi ini dirancang untuk memperkuat prinsip keadilan dalam sistem perpajakan nasional. “Kami ingin menciptakan tatanan fiskal yang lebih seimbang, di mana korporasi besar dan individu berpenghasilan tinggi turut menanggung beban pembangunan,” ujarnya.

Rencana besar ini diperkirakan akan menambah pemasukan negara hingga 8,17 triliun won atau sekitar Rp96 triliun dalam lima tahun ke depan. Salah satu langkah kunci adalah menaikkan tarif pajak penghasilan badan (PPh Badan) sebesar 1 persen di setiap lapisan penghasilan. Artinya, tarif akan berubah menjadi 10%, 20%, 22%, dan 25%—menghapus pemangkasan pajak yang pernah diberlakukan oleh pemerintahan sebelumnya di bawah Presiden Yoon Suk-yeol.

Pemerintah juga memperketat ketentuan pajak atas capital gain dengan menurunkan ambang batas klasifikasi pemegang saham besar dari 5 miliar won menjadi 1 miliar won. Dengan perubahan ini, lebih banyak investor akan dikenai pajak atas keuntungan modal mereka, dengan tarif antara 22% hingga 27,5%.

Tak hanya itu, tarif pajak atas transaksi saham juga dinaikkan. Untuk bursa KOSPI, pajak yang sebelumnya nihil kini menjadi total 0,20%. Sementara di KOSDAQ, tarif naik dari 0,15% menjadi 0,20%. Sekitar 60–70% perdagangan saham domestik dilakukan oleh investor individu yang artinya, merekalah yang akan paling merasakan dampak kebijakan baru ini.

Seorang analis pasar menyamakan kebijakan ini seperti menaikkan ongkos kirim dalam belanja daring. “Efeknya bukan orang berhenti membeli, tapi frekuensi dan volumenya turun. Ini akan menggerus likuiditas pasar,” katanya.

Pemerintah Korsel juga memperkenalkan skema pajak terpisah untuk dividen, dengan tarif progresif 14–35 persen tergantung pada konsistensi dan rasio pembayaran dividen. Dividen dari cadangan modal juga tak luput: pemegang saham besar akan dikenai pajak jika nilainya melebihi biaya akuisisi saham.

Sementara itu, perusahaan raksasa dengan pendapatan lebih dari 1 triliun won per tahun akan menghadapi kenaikan tarif pajak pendidikan dari 0,5% menjadi 1%. Ini menjadi revisi pertama sejak pajak tersebut diberlakukan pada 1981 menandakan pendekatan lebih agresif terhadap kontribusi sektor keuangan dan asuransi.

Dana Pajak untuk AI dan Rakyat Kecil

Meski banyak pasal dalam reformasi ini berorientasi pada peningkatan penerimaan, pemerintah menegaskan akan mengembalikan sebagian dana yang terkumpul ke masyarakat. Dukungan pajak untuk rumah tangga berpenghasilan rendah-menengah dan pelaku UMKM akan diperluas. Selain itu, insentif R&D akan difokuskan pada pengembangan teknologi strategis seperti kecerdasan buatan (AI).

“Pendapatan dari reformasi ini bukan sekadar untuk menambal defisit, tapi sebagai bahan bakar bagi inovasi masa depan,” kata Lee Hyoung-il.

Meski sudah diumumkan secara resmi, reformasi ini masih harus melewati uji politis di Majelis Nasional Korea Selatan. Jika disahkan, tarif dan ketentuan baru akan mulai berlaku atas penghasilan tahun depan, dengan dampak fiskal yang mulai terasa pada 2027. (alf)

 

 

KP3SKP Umumkan Pengunduran Jadwal USKP Periode II 2025

IKPI, Jakarta: Komite Pelaksana Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak (KP3SKP) secara resmi mengumumkan pengunduran jadwal pelaksanaan Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) Periode II Tahun 2025. Langkah ini diambil menyusul penetapan tanggal 18 Agustus 2025 sebagai hari libur nasional oleh pemerintah.

Melalui Pengumuman Nomor PENG-11/KP3SKP/VIII/2025 yang dirilis pada 1 Agustus 2025, ujian yang semula dijadwalkan berlangsung pada 18 hingga 20 Agustus, kini akan digelar pada 19 hingga 21 Agustus 2025. Perubahan ini berlaku untuk seluruh peserta di 24 kota penyelenggara ujian.

Selain jadwal ujian, KP3SKP juga merilis hasil verifikasi administrasi peserta. Dari total pendaftar, sebanyak 2.808 peserta dinyatakan lolos dan berhak mengikuti ujian. Jumlah ini terdiri atas 2.104 peserta untuk Tingkat A dan 704 peserta untuk Tingkat B. Angka tersebut berada di bawah kuota maksimal yang ditetapkan panitia, yakni 3.059 peserta.

Para peserta diwajibkan mengikuti briefing teknis secara daring yang akan dilaksanakan pada Rabu, 13 Agustus 2025. Briefing ini penting untuk memastikan peserta memahami alur dan tata cara ujian berbasis komputer yang diterapkan tahun ini.

KP3SKP juga mengingatkan bahwa peserta harus membawa laptop pribadi karena tidak ada penyediaan perangkat oleh panitia. Selain itu, kartu ujian yang telah dicetak dan KTP asli wajib dibawa saat hari pelaksanaan sebagai syarat validasi kehadiran.

Materi ujian untuk Tingkat A mencakup PPh Orang Pribadi, Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Penagihan (PPSP), Pajak Penghasilan Final, PPh Potong/Pungut, PPN, PBB-P5L, Bea Meterai, dan Kode Etik Profesi. Sementara untuk Tingkat B, cakupan materi meliputi PPh Badan, PPh Potong/Pungut, KUP, PPSP, PPN, PP Final, serta Akuntansi Perpajakan.

Peserta diminta untuk segera memeriksa nama mereka dalam daftar kelulusan yang tersedia di situs resmi panitia, serta memastikan seluruh persiapan teknis dan administrasi telah terpenuhi. Untuk pertanyaan lebih lanjut, peserta dapat menghubungi KP3SKP melalui email resmi di uskp@kemenkeu.go.id. (alf)

 

DJP Jatim Sita Rp31,5 Miliar Aset Penunggak Pajak 

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menunjukkan komitmen nyata dalam menegakkan hukum perpajakan dengan menggelar Pekan Sita Serentak di wilayah Jawa Timur. Kegiatan ini dilaksanakan serempak oleh tiga Kantor Wilayah DJP, yaitu Kanwil DJP Jawa Timur I, II, dan III, sejak 28 Juli hingga 1 Agustus 2025.

Pekan Sita Serentak ini merupakan bagian dari strategi penagihan aktif untuk mengamankan penerimaan negara dari Wajib Pajak yang menunggak. Kepala Kanwil DJP Jawa Timur II, Agustin Vita Avantin, mengungkapkan bahwa kegiatan ini menyasar penunggak pajak yang tidak kooperatif, meski telah diberikan berbagai pendekatan persuasif.

“Penyitaan ini adalah langkah hukum yang harus ditempuh setelah upaya persuasif tidak membuahkan hasil. Ini bukan hanya soal menagih, tapi mengingatkan bahwa kewajiban pajak adalah bentuk konkret partisipasi dalam membangun negara,” kata Vita, melalui keterangan tertulisnya dikutip, Sabtu (2/8/2025).

Dalam kegiatan ini, sebanyak 217 aset milik 164 penunggak pajak berhasil disita. Nilai tunggakan pajak dari para wajib pajak tersebut mencapai Rp219,7 miliar, sementara nilai estimasi dari aset yang disita mencapai Rp31,5 miliar. Proses penyitaan dilakukan oleh Juru Sita Pajak Negara (JSPN) berdasarkan hasil penelusuran aset (asset tracing) yang sah secara hukum.

Tindakan penyitaan ini berlandaskan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61 Tahun 2023 yang mengatur tata cara pelaksanaan penagihan pajak melalui Surat Paksa.

Meski tegas, DJP tetap mengedepankan prinsip humanis. Vita menegaskan bahwa penyitaan bukan akhir dari proses: “Kami tetap membuka pintu bagi wajib pajak yang ingin menyelesaikan kewajibannya. Jika pembayaran dilakukan sebelum aset dilelang, maka aset tersebut bisa dikembalikan,” katanya.

Ia juga menekankan bahwa penegakan hukum ini penting untuk membangun budaya patuh pajak di tengah masyarakat. “Imbauan saja tidak cukup. Kepatuhan perlu ditegakkan dengan konsisten agar rasa keadilan dalam sistem perpajakan tetap terjaga,” ujarnya.

Kanwil DJP Jawa Timur II memastikan bahwa pendekatan yang digunakan tetap seimbang, antara edukasi, pelayanan prima, dan tindakan hukum yang proporsional. Dengan langkah ini, DJP berharap dapat membangun kesadaran kolektif bahwa membayar pajak bukan hanya kewajiban, tapi juga bentuk nyata kontribusi untuk negeri. (alf)

 

China Pertegas Aturan Kredit Pajak bagi Investor Asing yang Lakukan Reinvestasi Dividen

IKPI, Beijing: Pemerintah China kembali menunjukkan komitmennya dalam menarik investasi asing melalui kebijakan fiskal yang lebih ramah. Administrasi Perpajakan Negara (State Taxation Administration/STA) resmi merilis panduan teknis pelaksanaan insentif pajak penghasilan badan bagi investor asing yang melakukan reinvestasi dividen di dalam negeri.

Kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari insentif pajak yang sebelumnya diumumkan oleh otoritas keuangan, perpajakan, dan perdagangan China.

Dalam skemanya, investor asing yang menginvestasikan kembali dividen dari perusahaan-perusahaan berbasis di China ke proyek domestik dapat menikmati kredit pajak sebesar 10 persen atas Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan).

Fasilitas pajak ini berlaku efektif mulai 1 Januari 2025 hingga 31 Desember 2028. Tak hanya memberikan keringanan langsung, kebijakan ini juga memungkinkan sisa kredit yang belum dimanfaatkan untuk dibawa ke periode pajak berikutnya.

Selain itu, investor yang berasal dari negara dengan perjanjian pajak bilateral bersama China berpeluang mendapatkan tarif lebih rendah sesuai kesepakatan internasional yang berlaku.

Dikutip dari Xinhua, Sabtu (2/8/2025), dalam pemberitahuannya, STA menjelaskan bahwa laba yang dialokasikan untuk meningkatkan modal terdaftar, menyetor tambahan modal, atau memperkuat cadangan modal perusahaan akan dianggap sebagai reinvestasi yang memenuhi syarat.

Aturan ini turut mengatur secara rinci berbagai aspek teknis, mulai dari definisi periode kepemilikan saham oleh investor asing, metode kalkulasi kredit pajak, hingga prosedur klaim yang harus ditempuh oleh wajib pajak asing.

Langkah ini menegaskan arah kebijakan China dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif, khususnya bagi pemodal asing yang ingin menanamkan kembali keuntungannya ke sektor riil. Data STA sebelumnya menunjukkan bahwa sepanjang 2024, tren reinvestasi asing dengan skema penangguhan pajak tumbuh signifikan menandakan respons positif terhadap kebijakan insentif yang ditawarkan pemerintah. (alf)

 

DJP-ESDM Perkuat Sinergi Pajak: Targetkan Optimalisasi Penerimaan dari Tambang dan Migas

IKPI, Jakarta: Upaya optimalisasi penerimaan negara dari sektor pertambangan dan migas memasuki babak baru. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi memperkuat sinergi melalui penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) strategis pada 31 Juli 2025.

Langkah ini tak hanya ditujukan untuk memperbaiki pengawasan dan kepatuhan perpajakan di sektor mineral, batu bara, dan migas, tetapi juga menjawab tantangan klasik yang selama ini menghambat efektivitas penerimaan negara dari sektor-sektor strategis tersebut.

“Penandatanganan PKS ini merupakan milestone yang sudah kami nantikan sejak awal tahun. Ini bukan hanya soal penandatanganan, tetapi komitmen bersama untuk memperkuat fondasi fiskal negara,” ujar Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto di Jakarta, Jumat (1/8/2025).

Bimo menjelaskan, kerja sama ini lahir dari kebutuhan akan pertukaran data yang lebih terintegrasi dan real-time antara DJP, Ditjen Minerba, dan SKK Migas. Tujuannya, meningkatkan efektivitas pengawasan serta menumbuhkan kepatuhan sukarela para pelaku usaha pertambangan dan migas.

Tak berhenti di pertukaran data, DJP juga akan menyiapkan insentif dan kemudahan perpajakan bagi pelaku usaha yang tunduk pada regulasi dan berada di bawah pembinaan Ditjen Minerba dan SKK Migas. Fasilitas tersebut menjadi bentuk timbal balik atas dukungan data dan koordinasi dari kedua institusi di bawah Kementerian ESDM.

Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Tri Winarno, menyambut positif sinergi ini. “Kami sepakat bahwa penerimaan negara dari sektor minerba perlu terus ditingkatkan, dan itu hanya bisa dilakukan dengan kerja sama lintas lembaga. Kami juga siap menghadirkan pelaku usaha dalam konsinyering bersama DJP agar komunikasi dan pemahaman bisa lebih terbangun,” katanya.

Senada, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan pentingnya pengelolaan energi dan sumber daya mineral yang lebih efisien dan akuntabel. Ia menegaskan bahwa kerja sama ini mencakup berbagai aspek penting, mulai dari pemanfaatan Surat Keterangan Fiskal (SKF) dalam proses perizinan, pertukaran data, hingga penyusunan kontrak bagi hasil migas yang berkelanjutan.

“Sinergi seperti ini akan menjadi motor penggerak dalam menjaga keberlanjutan penerimaan negara dari sektor-sektor strategis,” kata Sri Mulyani. (alf)

 

 

 

DJP Perkuat Integrasi Digital, NIK Jadi Senjata Baru Optimalkan Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan terus mengakselerasi transformasi digital di bidang perpajakan. Salah satu langkah strategisnya adalah memperbarui kerja sama dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, dengan fokus pada integrasi data Nomor Induk Kependudukan (NIK) dalam platform Digital ID.

“Dengan adanya Digital ID, variabel informasi dari tiap individu akan semakin kaya dan relevan bagi kepentingan optimalisasi penerimaan pajak,” ujar Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto dalam taklimat media di Jakarta, Kamis (31/7/2025) malam.

Digital ID, atau Identitas Kependudukan Digital, merupakan bentuk elektronik dari KTP yang dapat diakses melalui gawai. Identitas ini mengacu pada Permendagri Nomor 72 Tahun 2022 dan menyajikan data pribadi serta dokumen kependudukan dalam format digital yang lebih dinamis dan terintegrasi.

Bimo menyebutkan bahwa integrasi data tersebut merupakan bagian dari arsitektur besar e-government, sejalan dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE).

Tak hanya itu, ia juga menyinggung peluncuran Payment ID oleh Bank Indonesia yang dijadwalkan pada 17 Agustus 2025. Menurutnya, inisiatif tersebut senafas dengan visi pemerintah dalam membangun sistem layanan publik yang saling terhubung, efisien, dan adaptif terhadap perkembangan teknologi.

“Kolaborasi ini bukan hanya soal teknis perpajakan, tapi mencerminkan arah kebijakan nasional dalam memperkuat ekosistem digital,” tambah Bimo.

DJP dan Dukcapil sendiri telah menandatangani pembaruan perjanjian kerja sama (PKS) pada 29 Juli 2025. PKS ini mencakup tiga pilar utama: validasi NIK, pemutakhiran data kependudukan, dan layanan face recognition untuk memperkuat administrasi dan pengawasan pajak.

“Ini bagian dari reformasi perpajakan yang berkelanjutan. Kami ingin sistem perpajakan yang tidak hanya kuat dari sisi pengawasan, tetapi juga unggul dalam memberikan layanan publik yang cepat, pasti, dan murah,” tegas Bimo.

Meski biasanya diperbarui tiap tiga tahun, kali ini jangka waktu PKS diperpanjang menjadi lima tahun sebagai bentuk komitmen jangka panjang.

Dengan dukungan teknologi dan sinergi antarlembaga, DJP optimistis langkah ini akan memperkuat pondasi pajak digital di Indonesia dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak secara berkelanjutan. (alf)

 

Pemerintah Revisi Aturan Pajak Kripto, PPN Dihapus tapi PPh Final Tetap Berlaku

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menerbitkan tiga regulasi baru yang mengatur perlakuan perpajakan atas transaksi aset kripto. Ketentuan tersebut tertuang dalam tiga Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terbaru, yakni PMK Nomor 50 Tahun 2025, PMK Nomor 53 Tahun 2025, dan PMK Nomor 54 Tahun 2025. Ketiganya ditetapkan pada 25 Juli 2025 dan mulai berlaku efektif pada 1 Agustus 2025.

Langkah ini diambil sebagai tindak lanjut atas perubahan status hukum aset kripto yang kini tidak lagi dikategorikan sebagai komoditas, melainkan sebagai aset keuangan digital, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan (UU P2SK).

“Dengan perubahan status tersebut, aset kripto kini dipersamakan dengan surat berharga dan oleh karena itu, tidak lagi dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN),” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli dalam keterangan tertulisnya dikutip, Jumat (1/8/2025).

Inti Pengaturan dalam Tiga PMK

• PMK Nomor 50/2025 mengatur PPN dan PPh atas transaksi perdagangan aset kripto.

• PMK Nomor 53/2025 memuat perubahan ketentuan nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak dan besaran tertentu PPN.

• PMK Nomor 54/2025 merupakan perubahan ketiga atas PMK Nomor 81/2024, yang menyesuaikan perpajakan dalam pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP).

Dalam beleid terbaru ini, istilah dan entitas baru juga diperkenalkan, seperti Pedagang Aset Keuangan Digital (PAKD) dan Bursa Aset Keuangan Digital. Transaksi dan layanan yang dikenai pajak juga diperinci, mencakup kegiatan perdagangan, penyediaan platform elektronik, dan jasa verifikasi oleh penambang aset kripto (mining).

Rosmauli menegaskan bahwa kebijakan ini bukanlah penambahan jenis pajak baru. “Ini adalah penyesuaian terhadap dinamika ekosistem keuangan digital. Tujuannya menciptakan kepastian hukum dan perlakuan pajak yang konsisten dengan karakter aset kripto saat ini,” jelasnya. (alf)

Pemerintah Terbitkan Dua PMK Baru untuk Usaha Bulion Berlaku 1 Agustus 2025

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menerbitkan dua aturan baru yang mengatur ketentuan perpajakan atas kegiatan usaha bulion, yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 51 Tahun 2025 dan PMK Nomor 52 Tahun 2025. Kedua beleid ini ditetapkan pada 25 Juli 2025 dan mulai berlaku efektif pada 1 Agustus 2025.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, Rosmauli, menjelaskan bahwa penerbitan kedua PMK ini bertujuan untuk menyederhanakan regulasi perpajakan dan memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha bulion.

“Selama ini terjadi tumpang tindih pemungutan PPh Pasal 22. Misalnya, penjual emas memungut 0,25% atas penjualan ke Lembaga Jasa Keuangan (LJK) Bulion, sementara LJK Bulion juga memungut 1,5% atas pembelian yang sama. Ini tentu tidak ideal,” ujar Rosmauli melalui keterangan tertulisnya, dikutip Jumat (1/8/2025).

Ia menambahkan, aturan baru ini diharapkan dapat menghilangkan kerancuan dan mendukung ekosistem usaha bulion secara lebih sehat.

Penyesuaian dengan UU P2SK

Latar belakang terbitnya aturan ini adalah perlunya penyesuaian regulasi perpajakan dengan perkembangan industri bulion yang telah diakui dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Kegiatan usaha bulion meliputi berbagai aktivitas terkait emas, seperti simpanan, pembiayaan, perdagangan, hingga penitipan emas oleh lembaga jasa keuangan.

PMK Nomor 51 Tahun 2025 mengatur pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian emas batangan dan kegiatan impor. LJK Bulion ditunjuk sebagai pemungut PPh 22 dengan tarif 0,25% atas pembelian emas batangan, termasuk dari konsumen. Namun, penjualan hingga Rp10 juta oleh konsumen akhir kepada LJK Bulion tidak dikenai pemungutan pajak.

Sementara itu, PMK Nomor 52 Tahun 2025 merupakan perubahan kedua atas PMK 48 Tahun 2023 dan fokus pada kegiatan perdagangan emas batangan dan perhiasan.

PMK ini menegaskan bahwa tidak ada kewajiban memungut PPh Pasal 22 atas penjualan kepada:

• Konsumen akhir,

• Wajib Pajak UMKM dengan skema PPh final,

• Wajib Pajak pemegang Surat Keterangan Bebas (SKB),

• Bank Indonesia,

• Pasar fisik emas digital,

• LJK Bulion.

Namun, jika penjualan emas batangan kepada LJK Bulion melebihi Rp10 juta, maka pemungutan PPh Pasal 22 tetap dilakukan sebesar 0,25% dari harga pembelian.

Bukan Pajak Baru

Rosmauli menegaskan, penyesuaian ini bukan berarti adanya jenis pajak baru. “Ini murni harmonisasi agar tidak ada lagi tumpang tindih dan agar mekanisme pemungutan lebih adil serta efisien,” jelasnya.

DJP juga memastikan akan terus menyesuaikan regulasi perpajakan seiring dengan dinamika sektor keuangan, termasuk di bidang perdagangan emas dan jasa keuangan berbasis emas.

Masyarakat dan pelaku usaha dapat mengakses teks lengkap kedua PMK tersebut melalui laman resmi www.pajak.go.id. (alf)

 

 

Dirjen Pajak Sebut Deposit Pajak Melejit 1.300 Persen, Dorong Penerimaan tapi Picu Kekhawatiran di Daerah

IKPI, Jakarta: Deposit pajak mengalami lonjakan tajam pada 2025, bahkan tercatat menyentuh 1.301 persen dari target semula. Fenomena ini ikut mendongkrak penerimaan dari komponen pajak lainnya. Namun, di sejumlah daerah, tren ini justru memunculkan kekhawatiran karena berpotensi mengganggu perhitungan Dana Bagi Hasil (DBH) bagi pemerintah daerah.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengonfirmasi peningkatan signifikan deposit pajak sejak diberlakukannya sistem administrasi perpajakan baru, Coretax, pada 1 Januari 2025. Menurutnya, fitur deposit justru dirancang untuk memudahkan wajib pajak dalam menyetor terlebih dahulu kewajiban perpajakannya sebelum menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT).

“Deposit ini sebenarnya kemudahan bagi wajib pajak, mereka bisa menyetor dulu kewajiban perpajakan kemudian melaporkan SPT,” kata Bimo dalam Media Brefing di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Kamis (31/7/2025).

Ia menegaskan bahwa peningkatan deposit bukanlah masalah besar. Sistem akan secara otomatis mendistribusikan nilai setoran ke jenis pajak yang sesuai begitu SPT dilaporkan. “Sampai SPT itu dilaporkan, maka itu masih menjadi deposit. Jadi tidak ada masalah, nanti akan di-clear up ketika SPT sudah disampaikan,” jelasnya.

Namun, tidak semua pihak merasa tenang. Di daerah seperti Kabupaten Bener Meriah, Aceh, lonjakan deposit justru memunculkan persoalan teknis yang berdampak pada perhitungan DBH Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pasalnya, penghitungan DBH mensyaratkan rincian jenis dan nilai pajak yang dibayarkan pemerintah daerah.

Dalam sebuah kegiatan bimbingan Coretax DJP di KP2KP Rimba Raya, Kepala KP2KP Nurdin menyampaikan bahwa lebih dari 45 persen setoran pajak SKPD di Bener Meriah sejak awal tahun tercatat sebagai deposit. “Jika tidak teralokasi dengan benar, maka akan memengaruhi nilai DBH dan berdampak ke pembangunan daerah,” ujarnya.

Bendahara Inspektorat Bener Meriah, Saipudin, juga meminta adanya penegasan dari Badan Pengelolaan Keuangan, Pendapatan, dan Aset Daerah (BPKPA). Menurutnya, banyak bendahara masih menggunakan sistem deposit karena kendala teknis di awal penerapan Coretax belum sepenuhnya teratasi.

Motor Penggerak Pajak Lainnya

Meski memunculkan dinamika di daerah, tren lonjakan deposit terbukti ikut menyumbang besar terhadap penerimaan pajak nasional. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Perpajakan, Yon Arsal, menyebut deposit pajak sebagai pendorong utama melesatnya komponen “pajak lainnya” sepanjang semester pertama 2025.

“Beberapa penerimaan kini masuk terlebih dahulu sebagai deposit. Ketika wajib pajak melaporkan SPT, dana tersebut langsung teratribusi sesuai jenis pajaknya,” jelas Yon dalam keterangannya pada 14 Juli lalu.

Berdasarkan Prognosis APBN Semester II-2025, komponen “pajak lainnya” diprediksi mencapai Rp 109,3 triliun, jauh melampaui target awal Rp 7,8 triliun. Pertumbuhan sebesar 1.301,2 persen ini menjadikannya penyumbang tertinggi di antara semua jenis pajak.

Selain itu, PBB juga diramal naik dari target Rp 27,1 triliun menjadi Rp 30,1 triliun. Di sisi lain, penerimaan dari PPh dan PPN justru diperkirakan terkoreksi. PPh diramal turun dari target Rp 1.209,3 triliun menjadi Rp 1.041,6 triliun, sementara PPN dan PPnBM diprediksi melorot dari Rp 945,1 triliun ke Rp 895,9 triliun. (alf)

 

Perkuat Penerimaan Negara, Kemenkeu dan ESDM Tukar Data dan Analisis Pajak

IKPI, Jakarta: Dalam langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan negara, Kementerian Keuangan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi menjalin kerja sama pertukaran data dan informasi. Fokus kerja sama ini mencakup kolaborasi erat antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara serta Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas).

Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, menyatakan bahwa kerja sama ini tidak sekadar bertukar data, tetapi juga melibatkan analisis bersama hingga penagihan pajak secara terpadu. “Kami akan melakukan pekerjaan bersama antara DJP dan Dirjen Minerba, serta DJP dan SKK Migas, dalam bentuk pertukaran data, informasi, joint analysis, hingga penagihan bersama,” ujar Anggito di Kantor Kementerian Keuangan, Kamis (31/7/2025).

Perjanjian kerja sama ini telah diteken langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada hari yang sama. Kerja sama lintas kementerian ini diharapkan dapat memperkuat pengawasan dan kepatuhan di sektor sumber daya alam yang selama ini menyumbang signifikan terhadap pendapatan negara.

Tak hanya membahas kerja sama perpajakan, pertemuan antara Sri Mulyani dan Bahlil juga menyoroti arahan Presiden Prabowo terkait percepatan elektrifikasi desa. Bahlil mengungkapkan bahwa masih terdapat lebih dari 5.700 desa dan 4.400 dusun yang belum tersambung listrik.

“Target Bapak Presiden kurang lebih lima tahun harus selesai. Itu tadi yang kami koordinasikan dengan Ibu Menkeu,” ujar Bahlil kepada wartawan usai pertemuan. (bl)

 

 

 

 

en_US