Presiden Trump Sebut Status Bebas Pajak Harvard Pantas Dicabut

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menjadi sorotan setelah menyatakan akan mencabut status bebas pajak Universitas Harvard. Langkah kontroversial ini disebut sebagai respons terhadap penolakan Harvard terhadap tuntutan pemerintah terkait penanganan aksi pro-Palestina di kampus tersebut.

“Status bebas pajak Harvard akan dicabut. Mereka pantas mendapatkannya!” tulis Trump melalui akun media sosial resminya, Sabtu (3/5/2025), mengutip laporan Reuters.

Pernyataan tersebut memperkuat ancaman yang sebelumnya ia lontarkan pada pertengahan April, saat ia menyebut Harvard telah berubah menjadi lembaga politik. Tidak lama setelah itu, juru bicara Gedung Putih, Harrison Fields, menyampaikan bahwa pemerintah telah melaporkan Harvard ke Internal Revenue Service (IRS) untuk dilakukan penyelidikan dan audit menyeluruh.

Namun, Harvard membalas dengan keras. Dalam pernyataannya, pihak kampus menyebut tindakan Trump sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan yang bisa merusak integritas sistem perpajakan negara. “Tidak ada dasar hukum untuk mencabut status bebas pajak kami,” tegas Harvard. Mereka juga memperingatkan bahwa penyalahgunaan instrumen hukum pajak dapat memberikan preseden berbahaya bagi masa depan pendidikan tinggi di AS.

Ketegangan antara Harvard dan pemerintah semakin memanas setelah universitas tersebut menggugat Gedung Putih atas penghentian dana hibah federal sebesar US$ 2,2 miliar. Dana tersebut sebagian besar dialokasikan untuk riset medis dan ilmiah.

Sementara itu, IRS maupun Kantor Inspektur Jenderal Perbendaharaan AS belum memberikan tanggapan resmi atas kasus ini. Menurut hukum AS, setiap pegawai IRS wajib melaporkan tekanan politik kepada otoritas pengawasan internal, namun belum ada indikasi apakah prosedur tersebut dijalankan dalam kasus ini. (alf)

 

 

 

 

 

PMK 15/2025: Buka Peluang Wajib Pajak Gugat Koreksi Lewat Jalur Resmi

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025 membuka ruang dialog resmi antara Wajib Pajak dan Tim Quality Assurance Pemeriksaan. Kebijakan ini tertuang dalam Pasal 19 PMK tersebut dan menjadi angin segar bagi Wajib Pajak yang merasa ada ketidaksesuaian hasil pemeriksaan.

Melalui ketentuan ini, Wajib Pajak yang tidak menyetujui seluruh atau sebagian hasil pemeriksaan pajak dapat mengajukan pembahasan ulang dengan Tim Quality Assurance.

Syaratnya, antara lain, Wajib Pajak telah menyatakan ketidaksetujuan secara tertulis dan telah melalui tahapan pembahasan akhir hasil pemeriksaan.

Tim Quality Assurance Pemeriksaan yang dibentuk oleh Direktorat Jenderal Pajak bertugas menyelesaikan perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak, khususnya terkait dasar hukum koreksi. Hasil dari pembahasan ini akan dituangkan dalam risalah resmi dan bersifat mengikat, menjadi dasar untuk menyusun berita acara akhir pemeriksaan.

Menariknya, ketentuan ini juga menetapkan tenggat waktu yang ketat yakni maksimal tiga hari kerja sejak risalah pembahasan ditandatangani untuk mengajukan permohonan pembahasan ke Tim Quality Assurance.

Namun, bila Wajib Pajak absen dalam pembahasan yang dijadwalkan, proses tetap berlanjut dan Tim akan membuat berita acara ketidakhadiran. (alf)

 

 

 

 

Penerimaan Pajak Papua Capai Rp620 Miliar Hingga Maret 2025

IKPI, Jakarta: Hingga akhir Maret 2025, total penerimaan pajak di wilayah Papua mencatat angka Rp620,42 miliar, atau sekitar 10,41 persen dari target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini. Demikian disampaikan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Papua, Papua Barat, dan Maluku, Dudi Efendi Karnawidjaya, dalam keterangan resmi, Jumat (2/5/2025).

Meski angka tersebut terlihat signifikan, realisasi bulan Maret justru menunjukkan penurunan. Tercatat, pemasukan pajak di bulan ketiga tahun ini berada di angka Rp218,84 miliar—mengalami penurunan sebesar 13,79 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Dudi menjelaskan, penurunan ini terutama disebabkan oleh kontraksi pada dua jenis pajak utama. Pajak Penghasilan (PPh) menurun hingga 19,34 persen dan hanya menyumbang 44,53 persen dari total penerimaan.

Sementara itu, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tercatat turun tajam sebesar 31,62 persen, meski masih menyumbang sekitar 40,47 persen dari total penerimaan pajak.

Adapun faktor penyebabnya tak hanya berasal dari aktivitas ekonomi, tetapi juga kebijakan administratif serta dinamika sektoral.

Tiga sektor utama yang paling mempengaruhi adalah sektor pemerintahan dan jaminan sosial, yang tumbuh karena adanya pergeseran anggaran dari tahun 2024 ke 2025; sektor perdagangan, yang melemah karena turunnya setoran dari pelaku usaha makanan dan minuman; serta sektor keuangan dan asuransi, yang ikut melemah seiring penurunan kinerja perbankan di Papua. (alf)

 

 

 

 

Pemerintah Siapkan Perpanjangan Insentif PPh Final 0,5% untuk UMKM hingga Akhir 2025

IKPI, Jakarta: Pemerintah tengah menyusun regulasi teknis guna memperpanjang masa berlaku insentif tarif Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,5% bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) hingga akhir tahun ini. Insentif ini semula dijadwalkan berakhir pada 2025 sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 yang terakhir diubah lewat PP 55 Tahun 2022.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, memastikan bahwa meskipun aturan perpanjangan masih digodok, pelaku UMKM tetap diperbolehkan menggunakan tarif PPh final 0,5% sepanjang tahun 2025.

“PP-nya sedang dalam proses, tetapi selama penyusunan itu berlangsung, pelaku UMKM tetap bisa menikmati tarif 0,5%,” ujar Febrio dalam konferensi pers di Kantor Pusat Kemenkeu, Jumat (2/5/2025).

Ia menekankan bahwa kelonggaran ini diberikan agar operasional UMKM tidak terganggu dan dapat tetap berjalan stabil di tengah tantangan ekonomi. “Kita ingin UMKM tetap bisa beraktivitas tanpa terhambat beban perpajakan yang berat,” lanjutnya.

Sementara itu, Menteri Koperasi dan UKM, Maman Abdurrahman, juga mengonfirmasi adanya kesepahaman awal dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait kelanjutan insentif pajak tersebut. “Pembicaraan teknis sudah berlangsung dan kami punya semangat yang sama untuk membantu UMKM,” ujar Maman.

Menurutnya, keberlanjutan insentif fiskal ini menjadi salah satu strategi pemerintah dalam menopang daya tahan UMKM yang saat ini masih menghadapi tekanan ekonomi. Meski begitu, ia menyebutkan bahwa detail kebijakan belum dapat diumumkan karena belum ada pertemuan resmi lanjutan dengan Kemenkeu.

Dengan diperpanjangnya masa berlaku tarif PPh final 0,5%, pelaku UMKM dapat sedikit bernafas lega di tengah ketidakpastian ekonomi global. Pemerintah pun berkomitmen untuk terus menghadirkan kebijakan yang berpihak pada sektor usaha kecil yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional. (alf)

 

Prabowo Janjikan Reformasi Pajak Berkeadilan: “Yang Gajinya Besar, Pajaknya Besar”

IKPI, Jakarta: Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya untuk mewujudkan sistem perpajakan yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Dalam pidatonya pada peringatan Hari Buruh Internasional di kawasan Monas, Jakarta, Kamis (1/5/2025), Prabowo menyatakan bahwa penegakan hukum perpajakan akan menjadi fokus utama pemerintahannya.

“Saya akan pelajari kembali sistem perpajakan kita. Kita harus pastikan undang-undang berjalan dengan benar,” kata Prabowo di hadapan ribuan buruh yang hadir.

Ia menekankan bahwa beban pajak harus disesuaikan dengan tingkat penghasilan. Menurutnya, masyarakat dengan penghasilan rendah tidak seharusnya terbebani pajak yang berat. Sebaliknya, mereka yang berpenghasilan tinggi harus menunaikan kewajiban pajak secara proporsional.

“Yang penghasilannya besar, ya bayar pajak besar. Kalau penghasilan kecil, jangan dipaksa. Kalau pun ada, cukup ringan, dibayar sedikit demi sedikit,” tegas Prabowo, yang disambut riuh peserta aksi.

Lebih lanjut, Presiden juga mengumumkan rencana pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional. Lembaga ini akan bertugas mengkaji kondisi para pekerja serta memberikan rekomendasi kepada Presiden terkait regulasi yang perlu diperbaiki demi perlindungan buruh.

“Kalau ada undang-undang atau aturan yang merugikan pekerja, dewan ini akan bantu saya meninjaunya dan kita akan perbaiki,” ujarnya.

Langkah ini dinilai sebagai bagian dari upaya membangun sistem fiskal yang tidak hanya kuat secara ekonomi, tetapi juga berpihak pada keadilan sosial. (alf)

 

Pendapatan Pajak Ekonomi Digital Tembus Rp 34,91 Triliun

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat lonjakan signifikan dalam penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital yang mencapai Rp 34,91 triliun hingga akhir Maret 2025. Angka ini menunjukkan potensi besar yang dimiliki sektor digital dalam menyumbang pemasukan negara.

Penerimaan ini berasal dari beberapa sumber, dengan kontribusi terbesar datang dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang mencapai Rp 27,48 triliun. Pemerintah telah menunjuk 211 pelaku usaha PMSE sebagai pemungut PPN, dan sebanyak 190 di antaranya telah aktif menyetor pajak sejak 2020.

“Langkah ini diambil untuk menciptakan kesetaraan antara pelaku usaha digital dan konvensional,” ujar Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP dalam keterangan tertulisnya, Jumat (2/5/2025).

DJP juga mencatat penerimaan dari pajak kripto sebesar Rp 1,2 triliun, dengan dominasi PPN dalam negeri dan PPh 22 dari transaksi di platform penukaran aset kripto. Sementara itu, sektor financial technology (fintech) melalui skema peer-to-peer lending menyumbang Rp 3,28 triliun. Pendapatan ini mencakup pemotongan atas bunga pinjaman, baik dari entitas dalam maupun luar negeri.

Tak ketinggalan, pajak yang dihimpun melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) ikut berkontribusi sebesar Rp 2,94 triliun. Pajak SIPP terdiri dari kombinasi antara PPh dan PPN atas transaksi pengadaan barang dan jasa.

DJP menegaskan komitmennya untuk terus menggali potensi pajak dari aktivitas digital lainnya, seiring semakin berkembangnya teknologi dan pola konsumsi masyarakat. Pemerintah juga berencana memperluas cakupan penunjukan pelaku usaha digital luar negeri sebagai pemungut PPN. (alf)

 

Jumlah Pelaporan SPT Tahunan 2025 Capai 14,06 Juta, Naik Dibanding Tahun Lalu

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat hingga 1 Mei 2025 pukul 07.59 WIB, sebanyak 14,06 juta wajib pajak telah menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Jumlah ini menunjukkan peningkatan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Dari total tersebut, sebanyak 13 juta SPT berasal dari wajib pajak orang pribadi, sedangkan 1,06 juta SPT berasal dari wajib pajak badan.

Sebagai perbandingan, pada 30 April 2024 lalu, DJP mencatat sekitar 13,45 juta SPT Tahunan telah dilaporkan, yang terdiri dari 12,6 juta SPT orang pribadi dan 850 ribu SPT badan. Artinya, tahun ini terdapat kenaikan sebesar 610 ribu pelaporan, atau naik sekitar 4,5% secara keseluruhan.

“Kami mengapresiasi partisipasi masyarakat yang semakin meningkat dalam menyampaikan kewajiban perpajakan. Ini menunjukkan kesadaran pajak yang terus membaik,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, Jumat (2/5/2025).

DJP juga mengimbau bagi yang belum menyampaikan SPT agar tetap memenuhi kewajibannya meskipun telah melewati batas waktu, guna menghindari sanksi yang berlaku. (alf)

 

Ribuan Perusahaan Ajukan Penundaan Lapor SPT Tahunan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat sebanyak 2.477 wajib pajak badan telah mengajukan permohonan perpanjangan waktu pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Permintaan tersebut diajukan sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo, menegaskan bahwa perpanjangan waktu pelaporan memang dimungkinkan dalam regulasi perpajakan Indonesia. “Boleh, menurut undang-undang wajib pajak untuk melakukan penundaan dengan menyampaikan SPT sementara,” ujar Suryo dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (30/4/2025).

Penundaan ini bukan berarti wajib pajak terbebas dari kewajiban melapor. Suryo menjelaskan bahwa perusahaan tetap harus menyampaikan SPT sementara dan menyertakan permohonan penundaan secara resmi. Dalam dokumen sementara itu, wajib pajak juga tetap harus membayar kekurangan pajak yang terlaporkan.

Merujuk Pasal 3 ayat 4 UU KUP, perpanjangan waktu pelaporan dapat diberikan hingga dua bulan dari batas akhir pelaporan, yaitu paling lambat 30 Juni 2025. Permohonan ini diperuntukkan bagi perusahaan yang memiliki alasan kuat sehingga tidak dapat menyampaikan SPT tepat waktu.

Langkah ini memberikan ruang bagi dunia usaha untuk memenuhi kewajiban perpajakan secara lebih fleksibel, tanpa melanggar aturan yang ada. Namun, DJP mengingatkan agar seluruh proses penundaan dilakukan secara tertib administrasi. (alf)

 

 

Sanksi Telat Lapor SPT PPN Maret 2025 Dihapus Sementara

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan kabar baik bagi para pelaku usaha dan wajib pajak. Dalam rangka mendukung transisi sistem administrasi pajak menuju core tax system, pemerintah resmi memberikan pembebasan sanksi administrasi atas keterlambatan pelaporan dan pembayaran SPT Masa PPN untuk periode Maret 2025.

Melalui akun resmi @kring_pajak, DJP menyampaikan bahwa wajib pajak masih memiliki waktu hingga 10 Mei 2025 untuk menyampaikan laporan SPT Masa PPN tanpa dikenai sanksi keterlambatan. Keputusan ini mengacu pada KEP-67/PJ/2025 dan bertujuan memberi ruang adaptasi atas penerapan sistem pajak yang baru.

“Penghapusan sanksi dilakukan dengan tidak menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP). Bila STP sudah terbit sebelum keputusan berlaku, maka sanksi akan dihapus secara jabatan,” tulis DJP dalam keterangan resminya, Rabu (30/4/2025).

Selain itu, DJP menegaskan bahwa batas akhir penyetoran PPN yang terutang untuk Masa Pajak Maret 2025 adalah 30 April 2025. Meski demikian, bagi wajib pajak yang belum sempat menyetor atau melapor tepat waktu karena kendala teknis sistem, mereka tetap mendapat perlindungan dari sanksi.

Kebijakan ini menjadi bagian dari komitmen Ditjen Pajak dalam mendampingi transformasi digital sistem perpajakan nasional, sekaligus memberikan keadilan bagi wajib pajak yang terdampak gangguan teknis. (alf)

 

 

 

Wamenkeu Klaim Penerimaan Pajak Maret 2025 Melesat

IKPI, Jakarta: Pemerintah mencatat angin segar dalam penerimaan pajak nasional. Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu mengumumkan bahwa penerimaan pajak bruto pada Maret 2025 berhasil tumbuh positif, membalik tren kontraksi yang sempat terjadi dalam dua bulan sebelumnya.

“Penerimaan di bulan Maret mengalami rebound. Ini adalah pembalikan arah yang penting, perlu digarisbawahi,” tegas Anggito dalam konferensi pers APBN Kita edisi April, Rabu (30/04/2025).

Angka penerimaan pajak bruto hingga akhir Maret tercatat mencapai Rp467 triliun, dengan pertumbuhan tahunan (year-on-year) sebesar 7,6%. Sementara itu, penerimaan neto—yakni setelah dikurangi restitusi—juga masih tumbuh positif di angka 3,5%.

Pertumbuhan ini didorong oleh kinerja sejumlah jenis pajak utama. PPh Pasal 21 tumbuh 3,3% dibanding tahun sebelumnya, didorong oleh meningkatnya pendapatan pegawai serta penurunan jumlah wajib pajak yang mengajukan kompensasi kelebihan bayar. Di sisi lain, penerimaan dari PPN dalam negeri melonjak 8%, mencerminkan daya beli masyarakat yang tetap solid.

Sektor korporasi pun memberikan kontribusi signifikan. PPh 25 dari Wajib Pajak Badan menunjukkan pertumbuhan yang sejalan dengan profitabilitas perusahaan, khususnya di sektor pertambangan dan industri pengolahan. Realisasi PPN impor pun mencatat kinerja yang sehat.

Wamenkeu Anggito menyoroti tiga sektor utama yang menjadi motor penggerak penerimaan pajak bulan ini: pertambangan, industri pengolahan, dan jasa keuangan. Pertumbuhan sektor pertambangan dipacu oleh kinerja subsektor bijih logam, sementara industri pengolahan tetap stabil seiring indeks PMI yang terus berada di zona ekspansi. Adapun sektor jasa keuangan terus menunjukkan performa jangka panjang yang solid.

“Kalau kita lihat dari data secara menyeluruh, tren kenaikannya sudah mulai terlihat. Bahkan, rata-rata penerimaan pajak di empat bulan pertama tahun ini menunjukkan kenaikan nominal yang cukup meyakinkan,” tutup Anggito. (alf)

 

 

en_US