DPR Sebut Tugas Berat Pemerintah Capai Rasio Pajak 2024

IKPI, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan ketidakyakinannya atas target tax ratio atau rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) yang dipasang di angka 10%-10,2% pada 2024 atau saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) lengser dari jabatannya.

Anggota Komisi XI DPR Misbakhun menyampaikan bahwa menjadi tugas berat bagi pemerintah untuk mencapai target tersebut tanpa adanya langkah baru dalam meningkatkan pendapatan pajak.

“Kalau strategi masih sama, saya yakin enggak, [target itu] berat,” ujarnya seperti dikutip Bisnis.com, Rabu (13/12/2023).

Mengacu Peraturan Presiden No. 52/2023 tentang Rencana kerja Pemerintah 2024, tax ratio ditargetkan sebesar 10%-10,2% pada 2024. Target yang dikatakan berat tersebut, bahkan telah lebih rendah dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 di angka 10,7%-12,3%.

Sementara dalam Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak 2022 yang baru terbit pada awal Desember 2023, rasio pajak 2024 hanya disasar 8,59%-9,55%.

Misbakhun melihat penggunaan teknologi yang belum optimal menjadi tantangan dalam peningkatan penerimaan yang bersumber dari pajak dan cakupan pajak.

“Pekerjaan untuk melaksanakan tax coverage kita masih terlalu banyak form dan manual. Ini masalah strategi dan aplikasi di lapangan,” tuturnya.

Menurutnya, sistem pajak tidak boleh keluar dari sistem sosial masyarakat. Bila mana masyarakat enggan untuk membayar pajak, pemerintah harus jemput bola untuk menjangkau para wajib pajak.   Hal yang kemudian juga menjadi masalah, Misbakhun melihat untuk negara dapat aktif, perlu teknologi penyederhanaan pelaporan pajak.

“Mengaktifkan peran negara harus dengan teknologi. [wajib pajak] harus dipaksa patuh dengan teknologi. Apakah saat ini pajak bisa meng-capture sistem perbankan? Kita hanya punya dapat akses manual seperti saldo, bagaimana dengan aktivitasnya? Itu yang jadi persoalan,” ungkapnya.

Meskipun pemerintah akan mengimplementasikan core tax system dan pemadanan NIK dengan NPWP, nyatanya rencana tersebut baru akan terlaksana pada 1 Juli 2024. Rencana tersebut setidaknya mundur 6 bulan dari rencana awal per 1 Januari 2024.

Dalam RPJPN 2025—2045 pemerintah bahkan mematok target tax ratio di level 18%—20%, selaras dengan estimasi Asean Development Bank (ADB) bahwa optimal tax ratio di Indonesia sebesar 18%.    Sejak 2017, tren tax ratio cenderung stagnan dan cukup berfluktuasi. Pada 2017 tax ratio sebesar 9,9%, sementara dalam outlook APBN 2023 sebesar 10%. (bl)

Implementasi NIK Jadi NPWP Mundur 1 Juli 2024

IKPI, Jakarta: Implementasi penuh Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi mundur, dari yang semula 1 Januari 2024 menjadi 1 Juli 2024.

Begitu juga dengan NPWP 16 digit bagi Wajib Pajak (WP) orang pribadi bukan penduduk, badan, dan instansi pemerintah.

Hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2023 tentang Perubahan atas PMK Nomor 112/PMK.03/2022 tentang NPWP Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah.

 

“Mempertimbangkan keputusan penyesuaian waktu implementasi Coretax Administration System (CTAS) pada pertengahan tahun 2024 dan juga setelah melakukan assessment kesiapan seluruh stakeholder terdampak, seperti ILAP (Instansi Pemerintah, Lembaga, Asosiasi, dan Pihak Ketiga Lainnnya) dan Wajib Pajak, maka kesempatan ini diberikan kepada seluruh stakeholder untuk menyiapkan sistem aplikasi terdampak sekaligus upaya pengujian dan habituasi sistem yang baru bagi Wajib Pajak,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti dalam siaran pers, seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (13/12/2023).

Dengan adanya pengaturan kembali ini, maka NPWP dengan format 15 digit (NPWP lama) masih dapat digunakan sampai dengan tanggal 30 Juni 2024. Sementara itu, NPWP format 16 digit (NPWP baru atau NIK) digunakan secara terbatas pada sistem aplikasi yang sekarang dan implementasi penuh pada sistem aplikasi yang akan datang.

“Sebagai informasi, sampai dengan 7 Desember 2023, total terdapat sebanyak 59,56 juta NIK-NPWP yang dipadankan. Sebanyak 55,76 juta dipadankan oleh sistem dan 3,80 juta dipadankan oleh WP. Jumlah pemadanan tersebut mencapai 82,52% dari total Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Dwi menyampaikan apresiasi dari Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo kepada seluruh ILAP maupun perusahaan yang telah selesai melakukan penyiapan sistem aplikasi terdampak NPWP 16 Digit dan pemadanan database terkait NIK sebagai NPWP. Selanjutnya, untuk ILAP dan perusahaan yang masih berproses untuk melakukan penyesuaian sistem aplikasi terdampak dan juga pemadanan database NIK sebagai NPWP, diharapkan dapat menggunakan waktu yang tersedia dengan sebaik-baiknya.

Dalam rangka memastikan layanan perpajakan dapat berjalan dengan baik pada tahun 2024, Direktorat Jenderal Pajak menyediakan Virtual Help Desk bagi ILAP maupun Wajib Pajak yang membutuhkan bantuan terkait dengan implementasi NPWP 16 digit. Help Desk tersebut dibuka setiap hari kerja dengan alamat sebagai berikut:

Virtual Help Desk

Senin – Jumat (hari kerja)

Pukul 10.00 s.d 14.00 WIB

Meeting ID : 865 5844 8199

Passcode : Helpdesk

“Memperhatikan bahwa NIK/NPWP 16 digit merupakan identitas WP yang akan digunakan di CTAS nantinya, kami mengharapkan kerja sama yang baik dari seluruh stakeholder. Implementasi CTAS dan seluruh sistem informasi terdampak lainnya dapat berjalan dengan baik jika seluruh ILAP dan perusahaan memiliki kesiapan sistem aplikasi dan database yang sama,” tutup Dwi. (bl)

Ini Tujuan DJP Atur Pelaporan Nasabah Bersaldo Rp 1 Miliar

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengungkapkan tujuan aturan pelaporan data rekening nasabah di atas Rp 1 miliar yang berlaku saat ini. Aturan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.19 Tahun 2018.

Berdasarkan Pasal 19 ayat (4) PMK-70/PMK.03/2017 stdtd PMK-19/PMK.03/2018, Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan yang berisi informasi keuangan yang dikelolanya selama satu tahun kalender ke DJP secara otomatis.

Seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti mengatakan, pelaporan tersebut memiliki tujuan untuk menguatkan basis data perpajakan untuk mengoptimalkan pengawasan wajib pajak.

“Ini juga untuk memenuhi komitmen keikutsertaan Indonesia sebagai salah satu anggota Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes (Global Forum) 2 dalam mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis,” tegas Dwi, Selasa (12/12/2023).

Adapun batasan nilai rekening keuangan yang wajib dilaporkan oleh LJK sektor perbankan, yakni agregat saldo paling sedikit Rp1 miliar untuk rekening keuangan yang dimiliki oleh orang pribadi dan tanpa batasan saldo minimal untuk rekening keuangan yang dimiliki oleh entitas. (bl)

 

DJP Bisa Intip Rekening di Atas Rp 1 Miliar, Ini Penjelasannya

IKPI, Jakarta: Media sosial TikTok diwarnai dengan informasi yang mengungkapkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bisa mengintip rekening nasabah yang mencapai di atas Rp 1 miliar.

Salah satu akun @pakarpajak mengungkapkan bahwa jika Ditjen Pajak bisa melihat rekening masyarakat dengan batasan tertentu. Sebelumnya, batasannya mencapai Rp 200 juta, namun sejak 2018 jumlah tersebut diganti menjadi di atas Rp 1 miliar. Aturan ini diubah dalam PMK No.19 Tahun 2018.

“Saat saldo rekening bank mencapai Rp 1 miliar, bank akan melaporkan ke lembaga terkait dan akan diteruskan ke DJP, ” ungkap akun tersebut.

Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, menjelaskan bahwa aturan ini sudah lama berlaku. Pada dasarnya, papar Dwi, regulasi terkait kewajiban pelaporan informasi keuangan oleh LJK bukanlah aturan yang baru diterapkan. Ketentuan ini sudah diatur dalam PMK-70/PMK.03/2017 stdtd PMK-19/PMK.03/2018.

“Berdasarkan Pasal 19 ayat (4) PMK-70/PMK.03/2017 stdtd PMK-19/PMK.03/2018, Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan yang berisi informasi keuangan yang dikelolanya selama satu tahun kalender ke DJP secara otomatis,” kata Dwi seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Selasa (12/12/203).

Adapun batasan nilai rekening keuangan yang wajib dilaporkan oleh LJK sektor perbankan sebagai berikut:

1) agregat saldo paling sedikit Rp1 miliar untuk rekening keuangan yang dimiliki oleh orang pribadi; dan

2) tanpa batasan saldo minimal untuk rekening keuangan yang dimiliki oleh entitas.

Dwi menegaskan pelaporan tersebut memiliki tujuan untuk menguatkan basis data perpajakan untuk mengoptimalkan pengawasan wajib pajak dan memenuhi komitmen keikutsertaan Indonesia sebagai salah satu anggota Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes (Global Forum) 2 dalam mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis.

Impor Mobil Listrik Bebas Pajak Ini Syaratnya!

IKPI, Jakarta: Regulasi terkait pajak impor mobil listrik dalam keadaan utuh disebut hampir rampung. Kebijakan impor bebas pajak untuk mobil listrik completetly built up (CBU) ini akan menyasar perusahaan yang sudah tanam modal di Indonesia.

Menteri Investasi/Kepala Bada Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan draf aturan tersebut sudah selesai. Selanjutnya, bakal dilanjutkan dengan penerbitan Peraturan Presiden.

“Oke, sudah selesai (draft-nya). Mungkin Peraturan Presiden-nya tidak akan lama lagi, secara teknis sudah,” kata Bahlil seperti dikutip dari Liputan6.com, Selasa (12/12/2023).

Aturan ini nantinya akan membebaskan biaya pajak pertambahan nilai (PPN) impor mobil listrik ke Indonesia. Hanya saja, ada syarat yang mesti dipenuhi.

Produsen mobil listrik yang ingin melakukan impor perlu menanamkan investasinya di Indonesia. Misalnya dengan membangun pabrik pengembangan kendaraan listrik di Tanah Air.

“Contoh, perusahaan merek A, dia ingin memasukkan mobil ke Indonesia 3.000 unit. Kita tanya, you mau bangun enggak di Indonesia? Kalau you enggak mau bangun pabriknya, ya nggak kita kasih,” kata Bahlil.

Meski begitu, Bahlil belum bisa memastikan kapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan meneken Perpres tersebut. Tapi, menurutnya proses di kementerian terkait sudah selesai.

“Saya enggak tau (kapan aturan terbit). Tapi yang saya pahami, karena saya juga ikut melakukan itu saya rasa Kementerian teknis sudah selesai, termasuk Kementerian Investasi,” ucapnya.

Lebih lanjut, Bahlil menegaskan, jika memang produsen mobil listrik itu sudah membangun pabrik, misalnya, kuota importasi akan disesuaikan. Acuannya adalah progres pembangunan dari bentuk realisasi investasi itu.

“Kuota impornya diberikan berdasarkan progres kerjanya. Kalau progres bangun pabrik baru 20 persen, ya kita kasih kuotanya ya 20 persen. Kalau progresnya 50 persen, ya kita naik jadi 50 persen. Supaya kita tidak disiasati,” tegasnya.

Salah satu perusahaan yang sudah mendapat kuota adalah BYD. Perusahaan asal China itu mendapat jatah karena dinilai akan membangun pabrik di RI.

“BYD sudah dapat kuota, karena dia membangun pabrik,” pungkas Bahlil.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, realisasi perusahaan otomotif asal China, BYD tengah menunggu aturan insentif pajak impor mobil listrik. Aturan yang dimaksud, adalah revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 soal kendaraan listrik.

Dalam regulasi yang baru ini, nantinya investor dipersilahkan masuk ke Indonesia, dengan melakukan impor mobil listrik dalam keadaan utuh atau completely built up (CBU). Namun, ada komitmen terkait perakitan kendaraan secara lokal.

“Kami berharap peraturannya bisa keluar bulan ini. BYD saya kira nanti kalau peraturannya sudah selesai, di Perpresnya keluar, Insya Allah akan segera,” ujar Menko Luhut di Jakarta, belum lama ini.

Tarik Investor

Hal senada juga sempat dilontarkan Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita. Ia berharap kebijakan pengenaan bea masuk atau pajak impor untuk CBU mobil listrik 0 persen bisa dikeluarkan tahun ini.

Harapan itu dipupuk lantaran pajak impor CBU mobil listrik 0 persen bakal turut mendatangkan investor-investor besar produsen mobil listrik, semisal Tesla hingga BYD.

Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan, Indonesia bakal memberi keringanan bebas pungutan bea masuk tersebut hingga 2026. Hasilnya, ia mengaku sudah ada sederetan investor besar yang siap masuk ke Tanah Air.

“Maunya tahun ini, karena kita mau secepat-cepatnya investor masuk. Karena program insentif ini kalau di negara-negara lain sampai 2025, kalau di Indonesia sampai 2026. Kita mau mereka segera masuk berbondong-bondong,” ujarnya beberapa waktu lalu. (bl)

DJP Jaktim Serahkan Tersangka Pengemplang Pajak ke Kejaksaan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan memproses hukum oknum pengemplang pajak. Kerugian negara dari upaya menghindari pembayaran pajak itu ditaksir mencapai Rp 1,5 miliar.

Hal ini dilakukan oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jakarta Timur (Jaktim) menyerahkan 1 orang tersangka pengemplang pajak beserta barang bukti yang diperoleh selama proses penyidikan kepada Kejaksaan Negeri Jakarta Timur.

“Tersangka tindak pidana perpajakan berinisial APS selaku Direktur Utama PT CAS yang diserahkan oleh Tim Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) adalah seorang pengusaha jasa alat berat tambang batu bara yang lokasi usahanya bertempat di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur,” ujar Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Kantor Wilayah DJP Jakarta Timur Sugeng Satoto dalam keterangannya, seperti dikutip dari Liputan6.com, Selasa (13/12/2023).

Dia menjelaskan, penyerahan tersangka dan barang bukti dilakukan di Kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Timur, Jl. D.I. Panjaitan By Pass No.15 Jakarta Timur setelah berkas dinyatakan lengkap (P-21) oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

Kegiatan tersebut didampingi oleh aparat kepolisian, bekerja sama dengan Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya.

Tak Setor Pajak

Tersangka melakukan tindak pidana di bidang perpajakan yaitu dengan sengaja tidak menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau pengemplang pajak yang telah dipungut dari lawan transaksinya ke kas negara atas proyek yang dikerjakan pada tahun 2019.

“Motif yang dilakukan APS diduga karena PPN yang telah dipungut tidak disetorkan dan dijadikan modal kembali untuk melakukan usahanya,” jelasnya.

Sugeng menyampaikan, akibat perbuatannya, tersangka menimbulkan kerugian negara sekurang-kurangnya sebesar Rp 1.534.693.255. Tersangka APS terancam pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali dan paling banyak 4 (empat) kali dari jumlah pajak terutang.

Tindakan yang dilakukan oleh tersangka APS melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf c dan i Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, yaitu dengan sengaja tidak meyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dan dengan sengaja tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. (bl)

Cek Apakah NPWP Anda Telah Tervalidasi dengan NIK

IKPI, Jakarta: Warga negara RI yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk melakukan validasi kartu tanda wajib pajak tersebut dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Adapun, batas akhirnya ditetapkan pada 31 Desember 2023.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengimbau seluruh layanan pajak atau kepentingan administrasi pihak lain yang mensyaratkan NPWP akan menggunakan nomor tunggal yakni NIK sebagai NPWP. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 112/PMK.03/2022.

Dalam PMK yang menjadi aturan turunan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2021 dan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021.

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengungkapkan penyebab rencana implementasi NIK sebagai NPWP mundur, dari mulanya awal 2024 menjadi pertengahan 2024. Salah satunya adalah keinginan dari pemangku kepentingan untuk penyesuaian sistem.

“Ada semacam keinginan para pihak adanya staging habituasi atau perlu familiarisasi terhadap penggunaan NIK sebagai NPWP bagi masyarakat wajib pajak,” kata Suryo saat konferensi pers, seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Senin (11/12/2023).

Jika WP tidak mengintegrasikan NIK dengan NPWP maka ada konsekuensi yang harus ditanggung, yakni bisa-bisa kesulitan mengakses seluruh layanan pajak secara digital. Ini karena pola akses layanan itu nantinya akan menggunakan NIK.

Nah, bagi wajib pajak yang ingin mengetahui apakah NIK sudah tervalidasi menjadi NPWP, anda dapat mengeceknya secara online. Berikut cara pengecekannya:

1. Akses laman https://djponline.pajak.go.id/

2. Login pada laman DJP online tersebut dengan menggunakan NIK atau nomor yang tertera di KTP

3. Jika anda berhasil login, itu artinya NIK sudah tervalidasi sebagai NPWP. Namun, jika tidak bisa login maka NIK belum tervalidasi.

4. Jika belum bisa bisa login, maka anda perlu melakukan login ulang menggunakan NPWP.

5. Setelah login berhasil, anda bisa melakukan validasi pada menu profil.

Bagi anda yang ingin mengintegrasikan NIK dengan NPWP berikut tahapan-tahapan yang dapat dilakukan agar NIK anda tervalidasi:

1. Buka laman https://djponline.pajak.go.id/ pada browser anda lalu tekan login.

2. Masukkan 15 digit NPWP, Gunakan kata sandi yang sesuai, dan masukkan kode keamanan

3. Buka menu profil, masukkan NIK sesuai KTP, cek validitas NIK, dan klik ubah profil.

4. Lalu logout/keluar dari menu profil untuk nantinya menguji keberhasilan langkah validasi.

5. Login kembali menggunakan NIK 16 digit, gunakan password yang sama, masukkan kode keamanan, dan login. Jika berhasil, maka validasi sudah selesai dilaksanakan. (bl)

Kemenkeu Kumpulkan Rp 16,24 Triliun dari Pajak Digital

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menghimpun pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 16,24 triliun dari 151 pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik (digital) per 30 November 2023. Saat ini, pemerintah telah menunjuk 163 pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik menjadi pemungut pajak pertambahan nilai.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Dwi Astuti mengatakan jumlah tersebut berasal dari Rp 731,4 miliar setoran 2020, sebesar Rp 3,90 triliun setoran 2021, sebesar Rp 5,51 triliun setoran 2022, dan sebesar Rp 6,10 triliun setoran 2023.

“Dari keseluruhan pemungut yang telah ditunjuk tersebut, 151 di antaranya telah melakukan pemungutan dan penyetoran sebesar Rp 16,24 triliun,” ujarnya dalam keterangan resmi seperti dikutip dari Republika.co.id, Senin (11/12/2023).

Adapun jumlah perdagangan melalui sistem elektronik mengalami pertambahan sebanyak dua pemungut yang baru ditunjuk pada November, yakni Aptoide, S.A. dan NortonLifeLock Singapore Pte. Ltd. Selain dua penunjukan yang dilakukan, pada ini pemerintah juga melakukan pembetulan elemen data dalam surat keputusan penunjukan atas Tencent Music Entertainment Hong Kong.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2022, pelaku usaha yang telah ditunjuk sebagai pemungut wajib memungut pajak pertambahan nilai dengan tarif 11 persen atas produk digital luar negeri yang dijualnya di Indonesia.

Selain itu, pemungut juga wajib membuat bukti pungut pajak pertambahan nilai yang dapat berupa commercial invoicebillingorder receipt, atau dokumen sejenis lainnya yang menyebutkan pemungutan pajak pertambahan nilai dan telah dilakukan pembayaran.

Ke depan, pemerintah berupaya menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha (level playing field) bagi pelaku usaha baik konvensional maupun digital, pemerintah masih akan terus menunjuk para pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik yang melakukan penjualan produk maupun pemberian layanan digital dari luar negeri kepada konsumen di Indonesia.

Kriteria pelaku usaha yang dapat ditunjuk sebagai pemungut pajak pertambahan nilai perdagangan melalui sistem elektronik yakni, nilai transaksi dengan pembeli Indonesia telah melebihi Rp 600 juta setahun atau Rp 50 juta sebulan dan/atau jumlah traffic di Indonesia telah melebihi 12 ribu setahun atau seribu dalam sebulan. (bl)

Pegawai Berdomisili di IKN Bebas Pajak

IKPI, Jakarta: Staf Ahli Menteri Keuangan Yon Arsal mengungkapkan pemerintah akan menawarkan sejumlah insentif pajak yang akan berlaku di wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN).

Salah satu insentif yang akan disiapkan adalah Pajak Penghasilan (PPh) 21 Ditanggung Pemerintah (DTP). Insentif ini berlaku bagi seluruh pegawai yang berdomisili di IKN dan tidak ada batasan penghasilan, baik ASN serta pegawai swasta.

“Beberapa nantinya akan menggunakan fasilitas ditanggung pemerintah, seperti PPN DTP dan PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah,” kata dia dalam diskusi Peluang Investasi IKN, seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Senin (11/12/2023).

Insentif PPh DTP yang dijelaskan oleh Yon merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha dan Fasilitas Penanaman Modal Bagi Pelaku Usaha di Ibu Kota Nusantara (IKN).

Yon Arsal menuturkan PPh DTP tersebut adalah insentif bagi karyawan yang bekerja di IKN. menurutnya, dengan penerapan PPh DTP ini, maka pegawai bisa menikmati gajinya secara penuh.

“Jadi intinya yang pindah ke sana, bekerja di sana, berdomisili di sana PPh-nya ditanggung pemerintah, sehingga karyawan bersangkutan baik dari tingkat penghasilan manapun dapat menerima penghasilannya secara penuh,” paparnya.

Dia mengatakan kebijakan PPh DTP sebenarnya juga pernah diterapkan oleh pemerintah pada 2020 ketika pandemi Covid-19. Namun, saat itu PPh ditanggung pemerintah dibatasi untuk penghasilan maksimal Rp 200 juta per tahun.

UMKM Dapat ‘Karpet Merah’

Tak hanya ASN dan karyawan swasta, pemerintah akan membebaskan Pajak Penghasilan (PPh) untuk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang mendirikan usahanya di Ibu Kota Nusantara (IKN). Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha dan Fasilitas Penanaman Modal Bagi Pelaku Usaha di Ibu Kota Nusantara.

“PPh Final 0% untuk UMKM,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, Dwi Astuti, minggu lalu (4/11/2023).

Adapun, pembebasan PPh tersebut akan ditunjukkan kepada UMKM yang memiliki omzet di bawah Rp 50 miliar. Pembebasan pajak itu, kata dia, berlaku kepada wajib pajak orang pribadi dan badan usaha.

“Omzet di bawah Rp50 miliar tidak kena pajak dan diberikan kepada wajib orang pribadi dan badan usaha,” tambah Dwi.

Secara lebih rinci, Pasal 56 PP 12/2023 menyebutkan bahwa UMKM yang dimaksud adalah usaha yang jumlah investasinya kurang dari Rp 10 miliar dan memenuhi syarat tertentu sehingga bisa mendapatkan PPh yang bersifat final dengan tarif 0%. Omzet UMKM itu juga dibatasi hanya Rp 50 miliar.

Selain itu, Dwi mengungkapkan syarat lainnya adalah mereka harus bertempat tinggal atau berlokasi atau memiliki cabang di IKN. UMKM juga harus terdaftar sebagai wajib pajak di wilayah IKN apabila ingin mendapatkan fasilitas perpajakan tersebut. (bl)

TER Berlaku Januari 2024, Ini Simulasinya!

IKPI, Jakarta: Mulai tahun depan, pemerintah akan menerapkan tarif efektif rata-rata (TER) pada awal 2024. TER merupakan format baru penghitungan pemungutan dan pemotongan tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 Karyawan (PPh 21).

Seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Senin (11/12/2023), Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengungkapkan TER akan mulai diberlakukan pada Januari 2024. Dia berharap skema baru ini bisa berjalan dan dilaksanakan dengan baik.

Dia pun memastikan format perhitungan TER akan memberikan manfaat lebih banyak kepada para pemotong atau pemungut PPh pasal 21, sebab metode penghitungan pajak karyawannya akan lebih sederhana dan mudah.

“Jadi mulai tahun depan Insyaallah kita mulai metode pemungutan PPh pasal 21 dengan tarif efektif rata-rata, yang lebih simpel, mudah, dan lebih beri kepastian bagi si pemotong ataupun pemungut PPh 21 itu,” tegas Suryo.

Adapun, format perhitungan TER akan diiringi dengan terbitnya buku tabel Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang mengacu pada Bab III Pasal 7 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Tabel itu akan memisahkan jenis status PTKP seperti Tidak Kawin, Kawin, Kawin dan Pasangan bekerja. Tabel ini juga menyusun jumlah tanggungan dengan keseluruhan digunakan simbol TK/0 – TK/3, K/0 – K/3, serta K/I/0 – K/I/3. Sedangkan nominalnya untuk TK/0 sebesar Rp 54 juta, K/0 Rp 58,5 juta, dan K/I/0 Rp 108 juta.

Patut diingat, berdasarkan UU HPP, tarif PPh orang pribadi sendiri telah ditetapkan sebanyak 5 tarif dari yang sebelumnya dalam UU PPh 4 tarif. Penambahan satu lapisan tarif dalam UU HPP untuk penghasilan tertinggi, yaitu Rp 5 miliar ke atas dikenakan tarif 35%.

Dengan demikian tarif PPh yang berlaku saat ini untuk penghasilan setahun sampai dengan Rp 60 juta sebesar 5%, di atas Rp 60 juta sampai dengan Rp 250 juta 15%, Rp 250 juta sampai Rp 500 juta 25%, Rp 500 juta sampai Rp 5 miliar 30%, dan di atas Rp 5 miliar 35%.

Adapun mekanisme penerapan dengan TER adalah TER x Penghasilan Bruto untuk masa pajak selain masa pajak terakhir. Masa pajak terakhir menggunakan tarif Pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPh, atas jumlah penghasilan bruto dikurangi biaya jabatan atau pensiun, iuran pensiun, dan PTKP.

Tarif efektif yang disebutkan di situ sudah memperhitungkan PTKP bagi setiap jenis status PTKP seperti tidak kawin, kawin, serta kawin dan pasangan bekerja dengan jumlah tanggungan yang telah atau belum dimiliki.

Simulasi TER Gaji Rp10 Juta

Untuk memahami lebih lanjut mengenai TER, berikut ini simulasi penerapan TER untuk gaji Rp 10 juta dan perhitungan potongan PPh yang lama sebagai berikut:

– Retto merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi dengan status menikah dan tanpa tanggungan. Ia bekerja sebagai pegawai tetap di PT Jaya Abadi. Retto menerima gaji sebesar Rp10.000.000,00 per bulan.

– Dengan mekanisme pemotongan PPh saat ini, maka perhitungannya sebagai berikut:

Dengan gaji Rp10.000.000 dikurangi Biaya Jabatan 5% x Rp10.000.000 yang menjadi sebesar Rp 500.000, maka penghasilan neto sebulan Retto sebesar Rp 9.500.000,00. Adapun penghasilan neto setahun menjadi 12 x Rp9.500.000,00 sehingga totalnya menjadi Rp114.000.000.

– Dengan memperhitungkan status Retto

PTKP setahun Retto yang masuk kategori kawin tanpa tanggungan atau dengan simbol tabel K/0 maka besaran pengurangan total penghasilan neto setahun dikurangi Rp 58.500.000 sehingga nominal Penghasilan Kena Pajak setahun menjadi Rp 55.500.000.

Dengan demikian total PPh Pasal 21 terutang perhitungannya menjadi 5% x Rp55.500.000 dengan hasil Rp2.775.000 dan PPh Pasal 21 per bulannya menjadi sebesar Rp2.775.000 : 12 dengan total akhir menjadi Rp231.250

– Perhitungan tarif efektif atau TER menjadi sebagai berikut:

Berdasarkan status PTKP dan jumlah penghasilan bruto, pemberi kerja menghitung PPh Pasal 21 Retto menggunakan Tarif Efektif Kategori A dengan tarif 2,25%. Dengan demikian, jumlah pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan Retto adalah:

  • Januari – November : Rp10.000.000,00 x 2,25% = Rp225.000,00/bln
  • Desember : Rp2.775.000 – (Rp225.000,00 x 11) = Rp300.000,00/bln

Adapun, selisih pemotongan sebesar Rp75.000,00. (bl)

en_US