IKPI, Jakarta: Ekonom Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI Teuku Riefky, menyoroti pentingnya peningkatan produktivitas dan daya beli masyarakat sebagai langkah utama dalam menggenjot penerimaan pajak pada tahun 2025.
“Kalau Pemerintah belum bisa mengatasi isu produktivitas dan penurunan daya beli, saya rasa penerimaan perpajakan juga tidak akan meningkat secara drastis,” ujar Riefky kepada media di Jakarta, Rabu (8/1/2025).
Meski demikian, ia mengakui penerapan sistem Core Tax Administration System (Coretax) yang mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2024 dapat mendukung efektivitas penerimaan pajak. Namun, menurutnya, dampak maksimal hanya dapat tercapai jika aktivitas ekonomi nasional terus bertumbuh.
“Performa perpajakan dengan Coretax ini cukup membantu secara konsep. Tapi, nanti kita lihat bagaimana kebijakan pemerintah, secara struktural maupun belanja, mampu menghasilkan penerimaan dan produktivitas,” ujarnya.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan penerimaan pajak sepanjang tahun 2024 mencapai Rp1.932,4 triliun, tumbuh 3,5 persen secara tahunan dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, pertumbuhan tersebut masih terhambat akibat koreksi harga komoditas dan tekanan ekonomi lainnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, meskipun ada tekanan pada penerimaan pajak di awal tahun 2024, situasi berbalik arah pada kuartal III-2024.
Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menjelaskan, kinerja pajak yang bersifat transaksional seperti pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri, PPh 22 impor, dan PPN impor menjadi pendorong utama perubahan tersebut.
Coretax, yang diluncurkan sebagai bagian dari reformasi administrasi perpajakan, dirancang untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas. Sistem ini mampu mengotomasi layanan administrasi pajak dan menggunakan analisis data berbasis risiko untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
Sri Mulyani memperkirakan, implementasi Coretax dapat meningkatkan rasio pajak hingga 1,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Dengan rasio pajak saat ini sebesar 10,02 persen, Indonesia memiliki potensi mencapai 11,5 persen melalui optimalisasi sistem ini.
Meski demikian, Riefky menegaskan bahwa performa pajak tetap bergantung pada keberhasilan pemerintah dalam mengelola kebijakan ekonomi dan belanja negara untuk mendorong pertumbuhan produktivitas dan daya beli masyarakat. (alf)