Bank Dunia: Coretax dan TER Penyebab Turunnya Penerimaan Pajak Indonesia

IKPI. Jakarta: Bank Dunia memperingatkan potensi penurunan penerimaan pajak Indonesia pada tahun 2025, sebelum pulih secara bertahap pada 2026 dan 2027. Dalam laporan Indonesia Economic Prospects edisi Juni 2025 yang dirilis pada Senin (23/6/2025), rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) diproyeksikan hanya sebesar 9,9% pada 2025. Angka ini turun dari 10,1% pada 2024 dan 10,3% pada 2023, serta melanjutkan tren penurunan dari level 10,4% pada 2022.

Pemulihan rasio pajak baru diperkirakan terjadi pada 2026, kembali ke level 10,3%, dan meningkat tipis menjadi 10,5% pada 2027. “Pendapatan pajak pun menurun sebesar 0,6% dari PDB pada Mei 2025 dibandingkan periode yang sama tahun lalu,” tulis Bank Dunia dalam laporan rutinnya, ‘Indonesia Economic Prospects’ edisi Juni 2025, dikutip, Senin (23/6/2025).

Bank Dunia mengidentifikasi dua kategori penyebab utama penurunan ini: tekanan sementara dan tantangan struktural.

Sejumlah kebijakan baru dan kendala administratif menjadi faktor sementara yang menekan penerimaan. Salah satunya adalah implementasi Core Tax Administration System (CTAS) atau Coretax sejak Januari 2025 yang mengalami gangguan teknis pada tahap awal. Hal ini menyebabkan perpanjangan batas waktu pembayaran pajak, yang berdampak pada tertundanya penerimaan negara.

Selain itu, penerapan sistem tarif baru untuk pemotongan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh OP), atau yang dikenal sebagai tarif TER, juga berdampak pada cash flow penerimaan. Kelebihan pembayaran pada 2024 menyebabkan lonjakan pengembalian pajak (refund) di awal 2025.

Dari sisi struktural, Bank Dunia menyoroti ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap ekspor komoditas mentah. Turunnya harga komoditas global menekan basis penerimaan pajak, sekaligus menunjukkan rapuhnya kontribusi sektor manufaktur dan industri bernilai tambah tinggi dalam struktur ekonomi nasional.

Pelemahan daya beli masyarakat turut menjadi kontributor utama menurunnya kinerja penerimaan. “Permintaan domestik yang lebih rendah berdampak pada penerimaan pajak dan bukan pajak,” tulis laporan tersebut.

Bank Dunia juga mencatat sejumlah kebijakan pemerintah yang berdampak langsung terhadap potensi penerimaan negara. Salah satunya adalah penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang direncanakan pada 2025 namun belum terealisasi, sehingga potensi pendapatan tambahan yang telah diasumsikan dalam APBN gagal dikumpulkan.

Tak hanya itu, pengalihan dividen BUMN langsung ke lembaga pengelola investasi, Danantara, membuat penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor ini menyusut sekitar 0,4% dari PDB per tahun. Sebagai upaya kompensasi, pemerintah diketahui menaikkan tarif royalti tambang pada April 2025.

Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai penyesuaian, Bank Dunia menekankan perlunya perbaikan struktural dan penguatan basis pajak jangka panjang agar tidak terlalu bergantung pada fluktuasi komoditas atau kebijakan sesaat.

Dengan potensi shortfall yang membayangi, Bank Dunia menilai tahun 2025 akan menjadi ujian berat bagi kebijakan fiskal Indonesia. Konsistensi reformasi perpajakan dan optimalisasi penerimaan dari sektor bernilai tambah dipandang krusial untuk memastikan keberlanjutan fiskal di masa depan. (alf)

 

id_ID