IKPI, Jakarta: Direktur Eksekutif AEI, Gilman Pradana Nugraha, mengungkapkan betapa strategisnya peran insentif pajak dalam mendorong perusahaan melantai di bursa. Menurutnya, insentif fiskal yang diberikan pemerintah kini menjadi “magnet baru” yang mampu menarik minat perusahaan untuk melakukan Initial Public Offering (IPO). Hal itu dikatakannya dalam webinar kolaborasi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) dan Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) yang dihadiri ratusan peserta, baru-baru ini.
Dalam paparannya, Gilman menjelaskan bahwa salah satu keuntungan terbesar bagi perusahaan yang resmi berstatus Tbk adalah kesempatan memperoleh penurunan tarif PPh Badan sebesar 3%. Insentif ini diberikan kepada perusahaan yang mampu memenuhi syarat free float minimal 40 persen angka yang disebut Gilman cukup menantang namun memberikan manfaat fiskal yang sangat nyata. “Insentif ini menghemat biaya perusahaan secara langsung. Dan penghematan itu bisa dikonversi menjadi kapasitas ekspansi,” ujarnya.
Gilman menegaskan bahwa di tengah biaya permodalan yang tinggi dan tingkat suku bunga yang fluktuatif, perusahaan kini semakin melihat IPO sebagai opsi pendanaan yang lebih efisien. Tidak hanya karena potensi dana besar dari publik, tetapi juga karena adanya fasilitas perpajakan yang memperkecil beban keuangan perusahaan secara struktural. “IPO bukan sekadar membuka kepemilikan. IPO hari ini adalah strategi fiskal,” katanya.
Ia juga mengungkapkan bahwa insentif pajak tak hanya berlaku bagi perusahaan, tetapi juga bagi pendiri atau pemegang saham individu. Setelah perusahaan menjadi Tbk, founder yang menjual sahamnya dikenakan tarif pajak final hanya 0,5%. Menurut Gilman, hal ini membuat banyak perusahaan keluarga yang sebelumnya enggan membuka struktur kepemilikan kini mulai melirik pasar modal. “Banyak perusahaan besar yang masih privat karena tidak merasa perlu pendanaan. Tapi insentif pajak memberi alasan baru untuk mempertimbangkan IPO,” jelasnya.
Gilman kemudian menggambarkan besarnya potensi pasar modal saat ini. Nilai transaksi harian yang mencapai hampir Rp17 triliun, jumlah investor yang melonjak menjadi 19 juta, serta indeks yang terus mencetak rekor baru menjadi bukti bahwa minat publik terhadap pasar modal berada pada titik tertinggi. Fenomena ini menciptakan peluang besar bagi perusahaan yang ingin mengakses dana publik sekaligus menikmati insentif perpajakan.
Namun, ia mengingatkan bahwa setiap perusahaan yang ingin memperoleh manfaat fiskal harus mempersiapkan struktur tata kelola dan kepatuhan pajak dengan serius. Mulai dari kesiapan laporan keuangan yang audit-ready hingga rekonsiliasi fiskal yang tidak menyimpan risiko. “Insentif pajak hanya berlaku bagi yang siap. Perusahaan harus bersih, teratur, dan transparan,” tegasnya.
Gilman menilai bahwa setelah melewati tahun politik dan berbagai penyesuaian regulasi, tahun 2026 akan menjadi momentum bagi perusahaan yang ingin memanfaatkan insentif perpajakan dalam kerangka IPO. “Magnet IPO hari ini bukan hanya kapitalisasi pasar, tetapi juga efisiensi pajak yang semakin atraktif,” pungkasnya. (bl)
