Penerimaan Pajak dari Perusahaan Baja Melonjak 64%

Pabrik baja. (Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Penerimaan pajak Indonesia dari perusahaan baja selama Januari-Juli 2022 tercatat telah mencapai Rp 12,19 triliun. Jumlah penerimaan pajak dari perusahaan baja ini telah melonjak 64% dibandingkan penerimaan negara setahun penuh pada 2021 yang tercatat Rp 7,43 triliun.

Bahkan, bila dibandingkan 2017, penerimaan pajak hingga Juli 2022 ini tercatat tumbuh 145%. Pasalnya, pada 2017 penerimaan pajak dari perusahaan baja tercatat “hanya” Rp 4,97 triliun.

Hal tersebut diungkapkan Deputi Bidang Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto.

“Penerimaan pajak dari produsen baja paduan pada Januari-Juli 2022 bahkan lebih dari dua kali lipat dibandingkan enam tahun lalu. Jadi, pajaknya meningkat,” ungkap Seto seperti dikutip CNBC Indonesia, Selasa (08/11/2022).

Diketahui, lonjakan pajak tersebut berasal dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor Rp 7,30 triliun selama Januari-Juli 2022, naik dari 2017 Rp 2,66 triliun. Lalu, Pajak Penghasilan (PPh) Badan Rp 5,48 triliun, naik dari Rp 0,25 triliun pada 2017.

Kemudian, PPN dalam negeri Rp 2,84 triliun, naik dari Rp 1,20 triliun pada 2017, dan PPh 21 Rp 0,40 triliun, naik dari Rp 0,20 triliun pada 2017.

“Ada muncul PPh 21, PPh badan, PPN dalam negeri, PPN impor, bisa dilihat di sini meningkat semua kok. Jadi, tidak benar kalau tidak ada kontribusi pajaknya,” katanya.

Oleh karena itu, menurutnya, adanya fasilitas tax holiday pada perusahaan baja bukan berarti mengakibatkan penerimaan negara berkurang. Dia pun menegaskan, tax holiday yang diberikan kepada perusahaan baja tidak sampai 30 tahun, namun ada yang tujuh tahun, 10 tahun, hingga maksimal 15 tahun.

“Ada fasilitas tax holiday dan kita memang berikan fasilitas itu. Jumlahnya gak benar kalau 30 tahun, tergantung berapa nilai investasinya. Ada yang dapat tujuh tahun, 10 tahun, 15 tahun,” ujarnya.

Seperti diketahui, Indonesia telah menyetop keran ekspor bijih nikel pada awal 2020 lalu. Penghentian ekspor bijih ini telah berdampak positif bagi Indonesia, karena nilai tambah bisa dinikmati negara ini. Pasalnya, pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel telah menjamur.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), setidaknya 15 smelter nikel telah beroperasi hingga 2021. Namun, hingga 2024 ditargetkan akan semakin bertambah hingga mencapai 30 smelter nikel akan beroperasi.(bl)

id_ID