BI Tegaskan Payment ID Bukan Alat Mengintai Wajib Pajak, DJP Tetap Andalkan UU Pajak

IKPI, Jakarta: Bank Indonesia (BI) menegaskan sistem Payment ID yang tengah dikembangkan bukanlah instrumen baru bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk memburu penerimaan negara, apalagi memata-matai transaksi keuangan masyarakat. Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Dicky Kartikoyono, mengatakan DJP sudah memiliki perangkat hukum yang sangat kuat untuk mengakses kewajiban perpajakan masyarakat.

“DJP sudah punya undang-undang pajak sendiri yang powerful. Dengan itu mereka bisa mengakses seluruh kewajiban pajak. Jadi Payment ID bukan untuk mencari target pajak baru,” ujar Dicky di Jakarta, Selasa (12/8/2025).

Menurutnya, Payment ID adalah sistem tanda pengenal unik (unique identifier) untuk mengintegrasikan data granular transaksi keuangan, mulai dari pendapatan, belanja, tabungan, kartu kredit, dompet digital, hingga catatan investasi dan beban pinjaman, termasuk pinjaman online. Sistem ini juga terhubung dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK).

BI merencanakan uji coba awal pada 17 Agustus 2025 untuk satu skema penggunaan, yakni penyaluran bantuan sosial (bansos) nontunai agar tepat sasaran. Pada September, uji coba serupa akan dilaksanakan di Banyuwangi, Jawa Timur.

Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Dudi Dermawan Saputra, menambahkan bahwa pembagian data hanya dapat dilakukan atas persetujuan pemilik. Mekanismenya dapat berupa notifikasi di ponsel saat data hendak diakses oleh pihak ketiga, misalnya bank.

Dalam peta jalan BSPI 2030, Payment ID memiliki tiga fungsi utama:

• Kunci identifikasi profil pengguna sistem pembayaran.

• Kunci autentikasi transaksi.

• Kunci unik untuk menggabungkan profil individu dengan data transaksi granular.

Tujuan akhirnya adalah membangun basis data publik yang dapat memperkuat integritas transaksi dan menjadi landasan perumusan kebijakan nasional.

Bantah Isu “Mata-Mata” Transaksi Pribadi

Menanggapi kekhawatiran publik, BI memastikan Payment ID tidak akan dipakai untuk memantau aktivitas konsumsi masyarakat secara detail.

“Kami tidak akan masuk ke ruang private satu per satu. Tidak ada gunanya dan itu bisa melanggar UU Perlindungan Data Pribadi. Masa kami mau tracking siapa beli sepatu, siapa nongkrong di kafe? Itu bukan tugas BI,” tegas Dicky.

Ia menekankan, uji coba yang dilakukan justru untuk memastikan sistem ini selaras dengan regulasi perlindungan data dan tidak membuka informasi tanpa izin pemilik.

“Tolong digarisbawahi, data konsumen tidak akan dibuka tanpa persetujuan pemilik. Semua harus patuh pada undang-undang yang berlaku,” ujarnya. (alf)

 

id_ID