Penundaan Pajak Karbon Dinilai Ciptakan Ketidakpastian bagi Industri

Ilustrasi

IKPI, Jakarta: Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menyoroti dampak negatif dari penundaan penerapan pajak karbon terhadap industri. Menurutnya, penundaan ini menciptakan ketidakpastian dalam perencanaan strategi bisnis perusahaan.

“Jika kebijakan ini dijalankan sesuai perencanaan, perusahaan akan memiliki stabilitas dan kepastian hukum dalam transisi energi,” ujar Andri pada Rabu (26/2/2025).

Andri juga menegaskan bahwa alasan ketidaksiapan industri tidak seharusnya dijadikan dalih untuk terus menunda penerapan kebijakan ini. Justru, semakin lama pajak karbon ditunda, semakin sulit bagi perusahaan untuk menyesuaikan diri dengan regulasi yang ada.

“Industri tidak akan pernah menemukan waktu yang tepat untuk pajak baru jika terus ditanya soal kesiapan. Justru semakin cepat diterapkan, semakin cepat pula perusahaan dapat menyesuaikan diri,” ujarnya.

Sejatinya lanjut Andri, pajak karbon sudah direncanakan untuk diberlakukan sejak tahun 2022, namun terus mengalami penundaan. Alasan ketidaksiapan industri dan kondisi ekonomi sering digunakan sebagai dasar penangguhan, yang akhirnya menimbulkan ketidakpastian bagi dunia usaha.

Dari sisi penerimaan negara, pajak karbon memiliki potensi yang besar. Dengan total emisi karbon Indonesia mencapai 930 juta ton CO2e per tahun, penerimaan negara bisa mencapai sekitar Rp 27,9 triliun, dengan tarif pajak karbon yang ditetapkan dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sebesar Rp 30.000 per ton CO2e.

Namun, realisasi penerimaan pajak karbon masih terbatas karena kebijakan ini baru diterapkan pada sektor tertentu, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Andri menjelaskan bahwa sistem cap and trade serta cap and tax yang diterapkan menyebabkan tidak semua emisi dikenakan pajak.

“Pada akhirnya, pajak karbon ini lebih menyerupai cukai yang bertujuan untuk menurunkan emisi, bukan sekadar menambah penerimaan negara,” jelasnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, ekonom Chatib Basri dalam acara SMBC Indonesia Economic Outlook 2025 juga menyinggung penerapan pajak karbon sebagai strategi untuk meningkatkan pendapatan negara serta mendukung program-program sosial.

Menurutnya, kebijakan ini dapat dikaitkan dengan pengenaan cukai terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM), sehingga hasil penerimaannya bisa dialokasikan untuk kepentingan sosial dan lingkungan. (alf)

id_ID