PPN Atas Jasa Kesehatan Kelas VIP dan Sekolah Internasional Apakah  Tepat?

Akhirnya Pemerintah mengumumkan efektif 1 Januari 2025 Tarif PPN tetap dinaikkan menjadi 12% sesuai dengan amanat konstitusi yaitu Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No 7 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Perdebatan yang keras di tengah masyarakat tentang penolakan kenaikan tarif PPN tersebut belum cukup mengubah pendirian Pemerintah agar membatalkan kenaikan tersebut.

Saat pengumuman kenaikan PPN tersebut, Pemerintah juga meluncurkan beberapa fasilitas perpajakan seperti : PPh 21 Ditanggung Pemerintah untuk industri padat karya khususnya bagi karyawan yang menerima penghasilan tidak lebih dari 10 juta / bulan, perpanjangan jangka waktu 1 tahun bagi UMKM dalam menghitung kewajiban perpajakannya, sedangkan untuk barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, daging ras ayam, daging sapi, dsbnya tetap dibebaskan PPN.

Adapun fasilitas non perpajakan seperti diskon 50% untuk tarif listrik dengan daya 2.200 kwh, serta bantuan beras untuk masyarakat miskin, namun perlu diketahui bahwa fasilitas tersebut dibatasi oleh waktu tertentu.

Untuk barang-barang seperti tepung terigu, gula untuk industri, dan minyakita Pemerintah memberikan fasilitas PPN DTP sebesar 1%, sehingga atas barang-barang tersebut PPN nya tetap menggunakan tarif lama yaitu 11%.

Semua fasilitas yang diberikan oleh Pemerintah khususnya bantuan beras bersifat jangka pendek, sedangkan efek kenaikan tarif PPN tersebut yang berbarengan dengan kenaikan UMR sebesar 6,5% tentunya akan mendorong kenaikan harga-harga barang (inflasi) sehingga akan meningkatkan biaya belanja / pengeluaran bagi semua lapisan masyarakat, disinyalir warga kelas bawah dan menengah akan paling terdampak atas kenaikan biaya belanja tersebut.

Banyak pihak berpendapat kenaikan PPN tersebut tidak akan berkontribusi banyak terhadap kenaikan pendapatan pajak, sebab kenaikan harga tersebut akan menggerus daya beli masyarakat, sehingga tingkat konsumsi menurun dan berefek kepada omzet perusahaan sehingga jika omzet perusahaan menurun dikuatirkan para pengusaha akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), sehingga tingkat pengangguran semakin tinggi dan kemiskinan akan meningkat.

Dalam pengumuman tersebut, Menkeu Sri Mulyani Indrawati juga sedang mempertimbangkan untuk mengenakan PPN 12% terhadap barang dan jasa yang termasuk barang mewah. Isu yang sekarang mencuat ialah, apakah rencana pengenaan PPN atas jasa pendidikan (sekolah internasional) dan jasa kesehatan (pasien rumah sakit kelas VIP ke atas) adalah langkah yang tepat dan menunjukkan prinsip keadilan ?

Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations mengajarkan dalam memungut pajak ada 4 hal yang harus diperhatikan (The Four Maxims), yang pertama Equality (sesuai dengan kemampuannya), certainty (harus pasti), convenience of payment (waktu yang tepat untuk membayar pajak, prinsip ini diterapkan dalam mekanismes witholding tax / pajak dipungut saat seseorang menerima penghasilan), economy in collection (asas efisiensi).

Kemudian Richard Musgrave dan Peggy Musgrave menyatakan sistem pajak dikatakan adil apabila setiap orang membayar pajak sesuai dengan kemampuannya, sehingga setiap orang yang mempunyai pendapatan yang sama membayar jumlah pajak yang sama (keadilan horisontal), dan orang yang mempunyai pendapatan yang lebih membayar pajak yang lebih besar (keadilan vertical), ini yang menjadi dasar kenapa tarif pajak penghasilan dikenakan secara progresif, di Indonesia sendiri tarif PPh untuk orang pribadi dikenakan mengikuti besarnya penghasilan, dari tarif terendah sebesar 5%, sampai tarif tertinggi sebesar 35%.

Kembali terkait wacana pengenaan PPN atas jasa pendidikan (sekolah internasional) dan jasa kesehatan (pasien kelas vip ke atas), sejatinya PPN merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat netral, artinya netral maka pengenaan PPN dikenakan kepada siapa saja yang mengkonsumsi, tidak melihat si kaya maupun si miskin, siapapun yang menggunakan konsumsi maka akan dikenakan pajak yang sama.

Hal ini berbeda jauh dengan pajak penghasilan, pada saat seseorang berobat untuk menyembuhkan penyakitnya / keluarganya, dan dirawat di kelas vip atau vvip apakah benar pasien tersebut sedang mengkonsumsi barang/jasa mewah ??? kadang dilapangan saat seseorang memilih kamar vip atau vvip terdesak/terpaksa karena terbatasnya kelas dibawahnya bukan karena ingin mendapatkan sesuatu yang mewah, bisa juga motivasi pasien memilih kamar vip agar mempunyai waktu untuk beristirahat dengan tenang sehingga segera sembuh, sehingga timbul perdebatan apakah benar kamar vip or vvip merupakan barang/jasa mewah yang perlu dikenakan PPN ?

Sudah banyak kita dengar banyak pasien dari Indonesia yang berbondong-bondong berobat ke luar negeri utamanya singapore dan malaysia, selain karena faktor kepercayaan atas pelayanan kesehatan di Indonesia, juga karena faktor mahalnya biaya berobat di Indonesia, sehingga jika nanti dikenakan PPN sebesar 12% maka semakin mendorong orang Indonesia berobat ke luar negeri, efek jangka panjangnya rumah sakit / fasilitas kesehatan di Indonesia akan makin ditinggalkan dan kosong.

Kemudian terkait dengan wacana pengenaan PPN atas jasa pendidikan, khususnya jasa pendidikan sekolah / kelas internasional juga menjadi pertanyaan, apakah tepat kebijakan tersebut ? motivasi para orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah internasional karena mereka tidak yakin / tidak percaya atas kualitas pendidikan umumnya, sehingga mereka berinisiatif menyekolahkan anaknya ke sekolah internasional dengan harapan anak-anaknya mempunyai pendidikan yang baik, khususnya dalam bidang bahasa.

Sangat ironi jika anak-anak yang merupakan cikal bakal penerus bangsa ini harus dibatasi pendidikannya dengan pengenaan PPN, bukankah jika anak-anak ini nantinya menjadi pemimpin yang unggul baik dalam keilmuan maupun bahasanya, akan menguntungkan bagi negara ini. Tidak mungkin anak-anak kita akan mampu bersaing dengan anak-anak dari negara lain tanpa mempunyai kemampuan bahasa internasional yang baik.

Adalah tanggung jawab Pemerintah untuk bisa memberikan pendidikan yang berkualitas di seluruh wilayah Indonesia secara merata, agar tercipta generasi muda yang mempunyai pendidikan tinggi, dan kemampuan berbahasa asing yang juga baik. Jika Pemerintah telah melaksanakan kewajibannya dengan menyediakan sekolah berstandar internasional di seluruh pelosok Indonesia, maka tidak mungkin ada orang tua yang mau menyekolahkah anaknya di sekolah internasional dengan biaya mahal. Sehingga ide pengenaan PPN atas jasa pendidikan kelas internasional sepertinya kurang tepat dan mengada-ada, walaupun dengan dalih adalah wajar orang kaya harus membayar mahal pajaknya, bukankah atas kekayaan yang dimilikinya juga telah membayar pajak penghasilan dengan tarif yang lebih tinggi.

Di luar negeri banyak sekali tawaran beasiswa kepada para murid dari seluruh negara untuk memperoleh pendidikan secara gratis, namun di Indonesia bukannya mendukung pendidikan berkualitas internasional malah mengkerdilkan potensi anak-anaknya dengan wacana membenani PPN 12%. Semoga saja ide untuk mengenakan PPN atas jasa kesehatan (kelas VIP ke atas) dan jasa Pendidikan (kelas internasional) dipertimbangkan secara matang karena ide tersebut sangat kontra produktif.

Penulis  Ketua Departemen Penelitian Dan Pengkajian Kebijakan Fiskal – Ikatan Konsultan Pajak Indonesi

Pino Siddharta, S.E, S.H, M.Si

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

 

 

 

id_ID