Ketum IKPI: Selamat HUT P3KPI dan Selamat Bertugas untuk Pengurus Baru 2025 – 2030

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld memberikan dukungan penuh kepada kepengurusan baru Perkumpulan Praktisi dan Profesi Konsultan Pajak Indonesia (P3KPI) masa bakti 2025–2030. Ia meyakini, organisasi tersebut mampu menjadi kekuatan baru dalam memperkuat sinergi dan profesionalitas konsultan pajak di Indonesia.

“Kami, keluarga besar IKPI, mengucapkan selamat dan sukses atas pelantikan pengurus P3KPI masa bakti 2025–2030 sekaligus peringatan hari ulang tahun ke-5 P3KPI,” ujar Vaudy, Jumat (10/10/2025).

Vaudy menilai tema yang diangkat P3KPI, “Soliditas untuk Tumbuh Bersama dan Berkelanjutan,” mencerminkan semangat yang dibutuhkan dunia perpajakan saat ini. Menurutnya, soliditas antarpraktisi menjadi fondasi penting dalam meningkatkan kompetensi dan kontribusi nyata bagi pembangunan ekonomi nasional.

“Kami percaya P3KPI akan semakin kokoh dalam membangun kolaborasi antarpraktisi, meningkatkan kompetensi, serta memberi kontribusi nyata bagi kemajuan profesi dan pembangunan ekonomi nasional,” tegasnya.

Lebih lanjut, Vaudy mengajak seluruh anggota P3KPI untuk terus meneguhkan komitmen bersama, bersatu dalam soliditas, bertumbuh dalam profesionalitas, serta berkelanjutan dalam kontribusi terhadap negeri.

“Selamat bertugas, selamat berjuang, dan selamat ulang tahun ke-5 P3KPI!” kata Vaudy. (bl)

Sinergi  DJP-PPATK-BPKP Diklaim Bisa Hasilkan Rp 18,47 Triliun

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Kolaborasi erat antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terbukti bukan sekadar seremoni. Sepanjang 2020–2025, sinergi tiga lembaga strategis itu berhasil menambah penerimaan negara hingga Rp18,47 triliun.

Capaian tersebut disampaikan dalam acara penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara DJP, PPATK, dan BPKP di Aula Cakti Buddhi Bhakti, Gedung Mar’ie Muhammad, Jakarta, Kamis (9/10). Acara ini turut dihadiri langsung oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menegaskan pentingnya kolaborasi lintas lembaga untuk memperkuat tata kelola keuangan negara.

Penandatanganan kali ini mencakup dua perjanjian utama: antara DJP dan PPATK, serta DJP dengan BPKP. Kerja sama tersebut meliputi pembentukan satuan tugas (Satgas), pertukaran data strategis, hingga asistensi penanganan perkara penting di bidang penegakan hukum pajak dan keuangan negara.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyebut langkah ini sebagai bagian dari komitmen pemerintah memperkuat integritas fiskal melalui pemanfaatan data hasil analisis keuangan dari PPATK dan hasil audit pengawasan dari BPKP.

“Dengan terjalinnya kerja sama ini, koordinasi antarinstansi diharapkan semakin solid. Tujuan akhirnya jelas: peningkatan penerimaan negara dan perlindungan sumber daya alam dapat dilakukan secara optimal serta berintegritas,” ujar Bimo, dikutip Jumat (10/10/2025).

Lebih dari sekadar menambah penerimaan pajak, pembentukan Satgas ini juga sejalan dengan strategi nasional dalam memperkuat pengawasan kawasan hutan dan menjaga kedaulatan sumber daya alam agar dikelola secara berkelanjutan.

Bimo memberikan apresiasi kepada seluruh tim dari DJP, PPATK, dan BPKP atas kontribusi nyata dalam mendukung transparansi dan akuntabilitas keuangan negara.

Ia menegaskan, kolaborasi ini bukan proyek jangka pendek, melainkan fondasi baru dalam membangun sistem keuangan negara yang tangguh, bersih, dan berpihak pada kepentingan publik.

“Sinergi ini bukan hanya tentang angka Rp18 triliun, tetapi tentang membangun kepercayaan dan memperkuat fondasi ekonomi Indonesia ke depan,” pungkasnya. (alf)

Menkeu Purbaya Bahas Kompensasi Energi Bareng Bahlil dan Dony Oskaria di Kantor DJP

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara. (Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menerima kunjungan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia serta Kepala Badan Pengaturan (BP) BUMN Dony Oskaria di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta, Jumat (10/10/2025).

Pertemuan tertutup yang berlangsung selama sekitar satu jam sejak pukul 10.00 WIB itu turut dihadiri Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara beserta jajaran. Ketiganya membahas isu panas: kompensasi energi yang nilainya mencapai triliunan rupiah.

“Kita bahas mengenai pembayaran kompensasi, kompensasi energi,” ujar Suahasil kepada wartawan usai rapat.

Menurut Suahasil, pembahasan ini merupakan tindak lanjut dari rapat sebelumnya antara Menkeu Purbaya dan Komisi XI DPR RI. Fokus utama adalah tagihan kompensasi tahun 2024 yang masih menggantung dan perlu segera diselesaikan.

“Karena ada angka 2024 yang sudah ditetapkan oleh BPK. Itu tadi sudah dilaporkan, termasuk untuk triwulan I dan triwulan II. Semuanya berkaitan dengan pembayaran kompensasi energi,” jelasnya.

Suahasil memastikan pemerintah segera menuntaskan kewajiban tersebut setelah proses verifikasi dan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) rampung.

“Untuk kompensasi triwulan II sudah diselesaikan oleh BPK, jadi bisa segera dibayarkan kepada Badan Usaha. Angkanya sudah ada, nanti disampaikan dan dibayarkan,” tegasnya.

Pembayaran kompensasi energi menjadi perhatian serius pemerintah mengingat beban subsidi dan kompensasi energi kerap menekan anggaran negara. Dengan penyelesaian tagihan 2024 dan triwulan II ini, diharapkan hubungan keuangan antara pemerintah dan badan usaha energi bisa kembali seimbang menjelang penutupan tahun anggaran. (bl)

Menkeu Purbaya: Pajak E-Commerce Baru Jalan Kalau Ekonomi Tumbuh di Atas 6 Persen

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, rencana penerapan pajak terhadap kegiatan niaga elektronik (e-commerce) belum akan diberlakukan dalam waktu dekat. Menurutnya, kebijakan tersebut baru akan dijalankan jika perekonomian nasional telah pulih sepenuhnya dan tumbuh di atas 6 persen.

“Saya bilang akan kita jalankan kalau ekonomi sudah recover. Mungkin kita sudah akan recover. Tapi belum recover fully. Let’s say ekonomi tumbuh 6 persen atau lebih, baru saya pertimbangkan,” ujar Purbaya di Jakarta, Kamis (9/10/2025).

Ia juga menegaskan bahwa keputusan untuk memulai pemungutan pajak terhadap sektor tertentu sepenuhnya berada di tangan Menteri Keuangan. “Kan menterinya saya,” ucapnya.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menyiapkan skema pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 bagi pedagang daring sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025. Namun, kebijakan itu belum diberlakukan menunggu kondisi ekonomi yang dinilai lebih siap.

Pajak tersebut bukan jenis pajak baru, melainkan penyederhanaan mekanisme administrasi agar setara dengan pelaku usaha konvensional. Bagi pedagang dengan omzet di atas Rp500 juta per tahun, tetap berlaku tarif pajak 0,5 persen, baik bersifat final maupun tidak final.

Dalam rancangan PMK itu, pemungutan dilakukan oleh platform atau lokapasar tempat pedagang bertransaksi. Tujuannya adalah mempermudah kepatuhan pajak, menyamakan perlakuan antar pelaku usaha, dan menutup celah ekonomi tersembunyi (shadow economy) yang sering terjadi di sektor digital.

Kemenkeu menegaskan, fokus utama aturan ini bukan untuk meningkatkan penerimaan, melainkan untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih sederhana dan transparan di ranah ekonomi digital. (bl)

DJP Periksa 13 Pegawai “Nakal”, Dirjen Bimo: Jumlahnya Terus Berkembang

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan kembali bersih-bersih internal. Setelah resmi memecat 26 pegawai bermasalah, kini giliran 13 pegawai pajak lain yang tengah diperiksa atas dugaan pelanggaran serius.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menegaskan bahwa proses penegakan disiplin di tubuh DJP tidak berhenti di pemecatan sebelumnya. Ia memastikan langkah bersih-bersih akan terus berlanjut demi menjaga integritas lembaga.

“Masih ada 13 lagi yang kami proses. Nanti akan berkembang, jadi enggak cuma segitu,” ujar Bimo di Kantor Pusat DJP, Jakarta Selatan, Kamis (9/10/2025).

Bimo mengakui, jumlah pegawai yang diperiksa bisa saja bertambah seiring pendalaman investigasi. Namun, ia berharap ke depan seluruh aparatur pajak bisa menjalankan tugas sesuai aturan.

“Mudah-mudahan sih setop, kalau orangnya sudah baik-baik semua,” tambahnya.

Meski enggan membeberkan detail “dosa” para pegawai yang telah dipecat, Bimo membenarkan bahwa sebagian kasus berkaitan dengan pengemplangan pajak bernilai jumbo mencapai Rp60 triliun.

Langkah tegas DJP ini mendapat dukungan penuh dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang menegaskan bahwa tindakan tanpa pandang bulu ini menjadi peringatan keras bagi seluruh jajaran pajak.

“Kalau ada yang ketahuan menerima uang atau bermain-main dengan kewenangan, ya harus dipecat. Enggak ada ampun,” tegas Purbaya dalam konferensi pers di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Selasa (7/10/2025).

Ia berharap upaya bersih-bersih ini menjadi momentum pemulihan kepercayaan publik terhadap otoritas perpajakan.

“Ini bukan sekadar disiplin, tapi pesan moral bahwa pengabdian di DJP harus bebas dari praktik kotor,” pungkasnya. (alf)

DJP Ancam Sita Aset hingga Pidanakan 200 Pengemplang Pajak

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan semakin gencar memburu para penunggak pajak. Sebanyak 200 wajib pajak besar kini menjadi target utama penagihan aktif dengan total utang pajak mencapai Rp60 triliun.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menegaskan, pemerintah tidak akan ragu mengambil langkah ekstrem terhadap para pengemplang pajak yang tetap membandel. Sanksinya mencakup penyitaan aset, pemblokiran rekening, pencekalan ke luar negeri, hingga pemidanaan melalui gijzeling atau paksa badan.

“Apabila ternyata memang tidak kooperatif lagi, kami akan lakukan pencekalan juga, bahkan nanti kalau memang perlu dengan tindakan pemidanaan melalui gijzeling,” ujar Bimo, Kamis (9/10/2025).

Menurutnya, aset yang sudah disita akan dilelang apabila utang pajak tidak juga dilunasi dalam batas waktu yang ditentukan. Untuk mempercepat proses ini, DJP bekerja sama dengan berbagai lembaga seperti Kejaksaan Agung dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) guna melacak aset dan memperkuat penegakan hukum.

Meski begitu, realisasi penagihan masih jauh dari target. Dari total piutang Rp60 triliun, baru sekitar Rp7 triliun atau 11,6% yang berhasil masuk ke kas negara.

Langkah agresif ini menegaskan komitmen DJP dalam menegakkan keadilan fiskal dan menekan kebocoran penerimaan negara. Pemerintah ingin memberi sinyal kuat bahwa mengemplang pajak bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan bisa berujung pidana.

“Kami akan pastikan setiap rupiah pajak yang tertunggak bisa kembali ke kas negara,” tutup Bimo. (alf)

DJP Tegaskan Kejar Pengemplang Pajak di Semua Sektor Usaha

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memastikan tidak akan memberi ruang bagi para pengemplang pajak di seluruh sektor ekonomi. Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menegaskan praktik penunggakan pajak kini ditemukan di hampir semua bidang usaha mulai dari sektor ekstraktif, sumber daya alam, perkebunan, pertambangan, hingga jasa keuangan dan infrastruktur.

“Hampir semua sektor ya, ada sektor ekstraktif, ada sektor sumber daya alam tentu, sektor perkebunan, pertambangan, juga sektor jasa, perdagangan, dan konstruksi,” ujar Bimo di Kantor DJP, Jakarta, Kamis (9/10/2025).

Menurutnya, kondisi ini menjadi tantangan besar bagi DJP untuk memperkuat pengawasan sekaligus meningkatkan kesadaran wajib pajak di seluruh lapisan industri. Untuk menekan angka penunggakan, DJP kini memperkuat langkah penagihan aktif dan kolaborasi lintas lembaga. 

Kerja sama dijalin dengan Kejaksaan Agung, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan instansi lain dalam menelusuri aset dan mempercepat proses hukum terhadap pengemplang pajak.

“Upaya percepatan dilakukan lewat asset tracing dan penagihan aktif bersama beberapa institusi seperti Kejaksaan Agung,” jelasnya. Hasilnya, dalam waktu hanya sepekan, DJP berhasil mengamankan penerimaan hampir Rp7 triliun dari berbagai kasus besar.

Selain memperketat penagihan, Bimo menegaskan DJP juga melakukan bersih-bersih internal. Ia mengakui masih ada oknum yang bermain curang dalam proses penagihan, namun mereka langsung diberi sanksi tegas. “Kalau terbukti curang, langsung kami berhentikan, dan kerugian negara wajib dikembalikan,” ujarnya.

Pemerintah pun tak segan menggunakan langkah paling keras berupa penyanderaan (gijzeling) bagi wajib pajak bandel yang tak kooperatif meski sudah diberikan berbagai peringatan. “Apabila tidak juga kooperatif, kita akan lakukan pencekalan bahkan tindakan pemidanaan melalui gijzeling atau paksa badan,” tegas Bimo.

Dengan penegakan hukum tanpa pandang bulu dan pembersihan internal yang berkelanjutan, Bimo optimistis kepatuhan pajak nasional akan meningkat, sekaligus memperkuat penerimaan negara di tahun-tahun mendatang. (alf)

Pajak e-Commerce Dipungut Februari 2026, DJP: Sistem Sudah Siap, Tinggal Jalan!

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan pajak untuk pedagang daring atau e-commerce akan mulai dipungut pada Februari 2026. Kepastian itu disampaikan langsung oleh Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto saat ditemui di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Kamis (9/10/2025).

“(Pajak e-Commerce) Februari 2026,” ujar Bimo kepada media.

Kebijakan ini merupakan kelanjutan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang mengatur pemungutan PPh Pasal 22 sebesar 0,5% bagi pedagang yang bertransaksi melalui platform e-commerce.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sempat menunda penerapan aturan tersebut. Penundaan itu dilakukan setelah menerima masukan dari pelaku usaha yang khawatir penerapan pajak terlalu cepat di tengah pemulihan ekonomi yang belum stabil.

“Kita tunggu dulu deh, paling enggak sampai kebijakan penempatan uang pemerintah Rp200 triliun di bank, kebijakan untuk mendorong perekonomian, mulai kelihatan dampaknya. Baru kita pikirkan nanti,” kata Purbaya di kantornya, Jumat (26/9/2025).

Meski begitu, Purbaya menegaskan infrastruktur dan sistem pemungutan sudah siap 100%. Uji coba pemungutan bahkan telah dilakukan di beberapa platform besar, dengan hasil yang memuaskan.

“Sistemnya sudah siap, sudah dites, bahkan beberapa sudah bisa melakukan pemungutan. Jadi tinggal pelaksanaannya saja yang menunggu waktu,” ujarnya.

Menurutnya, pelaksanaan pajak e-commerce ini akan dilakukan ketika daya beli masyarakat sudah kembali menguat, sehingga tidak menekan aktivitas jual beli online yang saat ini menjadi salah satu motor pertumbuhan ekonomi digital.

“Kita enggak mau ganggu dulu daya beli sebelum dorongan ekonomi benar-benar masuk ke sistem perekonomian,” jelasnya.

Dengan dimulainya pungutan pajak e-commerce pada Februari 2026, pemerintah berharap ekonomi digital Indonesia bisa tumbuh lebih sehat dan berkeadilan, di mana setiap pelaku usaha memiliki kontribusi yang sama terhadap penerimaan negara. (alf)

Masih Bingung Soal NPWP Istri Terpisah? IKPI Jelaskan Tuntas!

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Banyak pasangan suami istri yang masih bingung soal aturan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) terpisah. Padahal, keputusan istri untuk memiliki NPWP sendiri tidak sekadar urusan administrasi, tetapi berdampak langsung terhadap penghitungan dan pelaporan pajak penghasilan (PPh). Hal itu dijelaskan secara rinci oleh Nadira Hudaifah, narasumber edukasi perpajakan dalam kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) secara daring pada Kamis (9/10/2025).

Menurut Nadira, secara prinsip, sistem perpajakan Indonesia menganggap penghasilan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis. Namun, istri berhak memilih untuk melaksanakan kewajiban pajaknya secara terpisah sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh).

“Istri boleh memiliki NPWP sendiri, tetapi keputusan itu membawa konsekuensi. Cara menghitung pajak, hak atas pengurangan, dan tanggung jawab pelaporan menjadi terpisah dari suami,” kata Nadira dalam pemaparannya.

Nadira menjelaskan, tarif pajak progresif menyebabkan perbedaan hasil penghitungan antara sistem penggabungan dan pemisahan penghasilan. Bila penghasilan suami dan istri relatif sama besar, pelaporan terpisah kadang membuat pajak yang harus dibayar justru lebih ringan. Namun dalam kondisi tertentu, penggabungan bisa lebih efisien.

“Tidak ada rumus mutlak. Semuanya tergantung struktur penghasilan masing-masing. Karena itu, keputusan untuk pisah NPWP sebaiknya dipertimbangkan matang, bukan ikut-ikutan,” ujarnya.

Ia juga menegaskan bahwa pajak yang lebih bayar dari salah satu pihak tidak bisa dikompensasikan dengan pajak yang kurang bayar dari pihak lainnya.

“Kalau suami lebih bayar dan istri kurang bayar, keduanya tidak bisa saling menghapuskan kewajiban. Suami tetap harus mengajukan restitusi, dan istri wajib menyetor kekurangannya,” tambah Nadira.

Selain perhitungan pajak, ada pula kewajiban administratif yang sering dilupakan. Istri yang memiliki NPWP sendiri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan setiap tahun, bahkan jika tidak lagi memiliki penghasilan.

“Selama NPWP masih aktif, kewajiban pelaporan tetap melekat. SPT nihil pun tetap harus dilaporkan sampai NPWP dicabut secara resmi oleh DJP,” tegasnya.

Untuk mencabut NPWP, istri harus mengajukan permohonan tertulis ke kantor pajak terdaftar, melampirkan KTP, Kartu Keluarga, serta surat pernyataan penggabungan penghasilan ke NPWP suami.

Dalam kesempatan tersebut, Nadira juga menyinggung sistem Coretax (Cortex) yang kini sedang diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sistem ini memungkinkan penghitungan PPh suami-istri dilakukan secara lebih transparan melalui Lampiran IV SPT Tahunan, yang menampilkan komposisi penghasilan dan status tanggungan keluarga.

“Melalui Coretax, DJP berupaya menyajikan pelaporan yang lebih jelas dan mudah dipahami wajib pajak. Namun beberapa fitur masih dalam tahap penyempurnaan, khususnya untuk formulir daring,” jelas Nadira.

Komitmen IKPI 

Kegiatan edukasi ini merupakan bagian dari program rutin IKPI Edukasi Perpajakan, yang digelar setiap Kamis siang secara daring dan gratis. Program ini menjadi wadah bagi masyarakat umum untuk belajar langsung dari konsultan pajak berpengalaman.

“IKPI berkomitmen membantu pemerintah meningkatkan literasi perpajakan masyarakat melalui edukasi yang mudah diakses, gratis, dan praktis,” ujar Nadira.

Melalui kegiatan ini, IKPI berharap wajib pajak semakin paham bahwa kepemilikan NPWP terpisah bagi suami dan istri bukan sekadar pilihan administratif, tetapi juga mempengaruhi kewajiban dan hak perpajakan masing-masing. (bl)

Tax Ratio dan Kapasitas Fiskal Indonesia: Analisis Teoretisatas Tantangan Reformasi Pajak di Era Menteri Purbaya

(Foto: DOK. pribadi)

Dalam literatur ekonomi publik, tax ratio sering dipandangsebagai cermin kapasitas fiskal suatu negara. Musgrave (1959) dalam Theory of Public Finance menyebutkan bahwa pajaktidak hanya berfungsi sebagai instrumen penerimaan, tetapi juga sebagai sarana distribusi dan stabilisasi. Oleh karena itu, rendahnya tax ratio sebuah negara menandakan keterbatasandalam menjalankan fungsi-fungsi dasar fiskal.

Indonesia dalam hal ini menghadapi tantangan serius. Selamalebih dari satu dekade, tax ratio Indonesia terjebak di kisaran 9–10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal, rata-rata negara ASEAN mampu mencapai 13–15 persen, sementarastandar negara maju dalam kelompok OECD melampaui 25 persen. Rendahnya angka tersebut menimbulkan konsekuensiserius: ruang fiskal terbatas, pembangunan infrastruktur tergantung pada utang, dan kemampuan menghadapi guncanganeksternal menjadi rapuh.

Fenomena ini dapat dijelaskan dengan konsep tax effort gap (Tanzi & Zee, 2000), yaitu jarak antara kapasitas optimal pemungutan pajak dan realisasi aktual. Gap yang besarmenunjukkan lemahnya instrumen kebijakan, administrasi pajak, maupun kepatuhan wajib pajak. Tax ratio Indonesia yang rendah tidak berarti basis pajak kecil, melainkan adanyakelemahan struktural dalam mengonversi potensi menjadi penerimaan negara.

Dengan dilantiknya Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, publik menaruh harapan baru. Figur ekonom yang dikenal pragmatis iniditantang untuk tidak sekadar mempertahankan status quo, melainkan menghadirkan reformasi fiskal yang berani. Tantangan utamanya bukan hanya administratif, melainkan juga politis: berhadapan dengan kepentingan industri besar, resistensi masyarakat, hingga keterbatasan institusional di DirektoratJenderal Pajak.

Dalam kerangka akademik, permasalahan tax ratio ini perludianalisis dari tiga perspektif utama: pertama, potensipenerimaan pajak yang luas tetapi belum tergali; kedua, kepatuhan wajib pajak yang masih lemah; dan ketiga, keberanian kebijakan fiskal yang menjadi faktor pembedaapakah reformasi akan substantif atau sekadar retorika. Artikel ini akan menyoroti terutama aspek potensi dan kebijakan, sebagai dua pilar yang paling menentukan keberhasilanreformasi pajak di era Purbaya.

Potensi Penerimaan Pajak

Secara teori, tax potential merujuk pada besarnya penerimaanpajak yang dapat dihimpun jika seluruh basis pajak dikenakansesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bird (2008) menekankan bahwa negara berkembang sering memiliki tax potential yang besar tetapi terhalang oleh administrasi yang lemah dan sektorinformal yang dominan. Kondisi ini sangat relevan denganIndonesia.

Pertama, sektor ekonomi digital. Perkembangan e-commerce, fintech, dan layanan daring lintas negara telah menciptakan transaksi bernilai ratusan miliar dolar. Namun, kontribusi sektorini terhadap pajak relatif kecil. Menurut teori fiscal innovation, sistem pajak harus mampu beradaptasi terhadap transformasistruktur ekonomi. Tantangan utamanya adalah bagaimana menarik pajak dari transaksi lintas batas yang sering kali memanfaatkan celah yurisdiksi. Pengenaan PPN digital pada platform global adalah langkah awal, tetapi masih terbatas. Ribuan merchant lokal dan pelaku UMKM digital belum masuk sistem secara optimal.

Kedua, sektor UMKM. Data Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa lebih dari 65 juta unit usaha tergolong UMKM. Namun, hanya sebagian kecil yang terdaftar sebagai wajib pajak, dan lebih sedikit lagi yang membayar pajak secara material sesuai omzet. Torgler (2007) menjelaskan bahwakepatuhan UMKM lebih banyak ditentukan oleh tax morale kepercayaan terhadap pemerintah dan persepsi keadilan ketimbang tarif pajak. Artinya, meski ada skema PPh Final 0,5 persen, kepatuhan masih rendah karena legitimasi fiskal belumsepenuhnya terbentuk.

Ketiga, sektor sumber daya alam (SDA). Indonesia adalahpengekspor utama batu bara, nikel, dan CPO. Namun, kontribusi pajak dari sektor ini sering kali tidak proporsional dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan. Praktik transfer pricing, profit shifting, dan under-invoicing masih marak. OECD melaluiinisiatif BEPS (2013) menegaskan bahwa tanpa kerja samainternasional, negara berkembang akan terus kehilangan potensi pajak dari sektor ekstraktif.

Selain itu, terdapat potensi besar dari high net worth individual (HNWI) yang belum tergali. Literasi keuangan yang rendah dan ketiadaan sistem pengawasan aset yang efektif membuat banyak kekayaan tidak tercatat dalam sistem pajak. Program tax amnesty memang sempat meningkatkan penerimaan, tetapi keberlanjutannya dipertanyakan jika tidak dibarengi dengan pengawasan aset lintas negara.

Dengan demikian, potensi penerimaan pajak Indonesia sangat besar, tetapi belum terkonversi karena kelemahan struktural dalam administrasi, pengawasan, dan legitimasi fiskal. Tanpalangkah terobosan, potensi ini akan tetap menjadi “angka di ataskertas” yang tidak memberi dampak nyata pada tax ratio.

Keberanian Menentukan Kebijakan

Literatur ekonomi politik fiskal menekankan bahwakeberhasilan reformasi perpajakan ditentukan bukan hanya oleh desain kebijakan, tetapi juga oleh political will. Mahon (2004) menegaskan bahwa reformasi pajak di negara berkembang kerapgagal karena ketidak seimbangan antara kapasitas institusionaldan keberanian politik.

Salah satu contoh konkret adalah insentif fiskal. Selama bertahun-tahun, Indonesia memberikan tax holiday dan tax allowance untuk mendorong investasi. Namun, penelitian oleh Zee, Stotsky, dan Ley (2002) menunjukkan bahwa insentif fiskaldi negara berkembang cenderung tidak efektif, bahkan mengurangi kapasitas fiskal jangka panjang. 

Di era Purbaya, keberanian kebijakan akan diuji pada keputusan untuk mengevaluasi, memangkas, atau bahkan menghapus insentifyang tidak produktif.

Selain itu, ada isu perluasan basis pajak ke sektor informal. Selama ini sektor ini dianggap terlalu sensitif untuk disentuh karena melibatkan jutaan pelaku usaha kecil. Namun, literatur seperti Schneider & Enste (2000) menegaskan bahwa sektorinformal tidak bisa diabaikan. Pendekatan yang tepat bukandengan represif, tetapi dengan memberikan insentif formalitas, simplifikasi administrasi, dan integrasi dengan sistem keuangan. Jika Purbaya berani mengambil langkah ini, tax ratio bisaterdongkrak signifikan.

Isu lain yang memerlukan keberanian adalah pajak lingkungan. Stern (2007) menyebut pajak karbon sebagai instrumen vital untuk menginternalisasi eksternalitas negatif perubahan iklim. Di Indonesia, wacana pajak karbon telah muncul sejak 2021, tetapi implementasinya selalu tertunda. Alasan utamanya adalah resistensi industri dan kekhawatiran terhadap daya saing. Di titikini, Purbaya dituntut berani mengambil keputusan yang tidakpopuler demi keberlanjutan fiskal dan lingkungan.

Keberanian juga dibutuhkan untuk mendorong revisi UU KUP dan memperkuat instrumen hukum perpajakan. Tanpa kerangkahukum yang jelas, DJP akan kesulitan menindak praktik penghindaran pajak lintas yurisdiksi. Artinya, keberaniankebijakan bukan sekadar retorika, tetapi melibatkan konsistensipolitik untuk mengesahkan regulasi yang memperkuat kapasitasnegara.

Singkatnya, keberanian menentukan kebijakan akanmembedakan apakah Purbaya sekadar menjadi manajer fiskalatau pemimpin fiskal. Manajer fiskal mungkin bisa menjagastabilitas jangka pendek, tetapi hanya pemimpin fiskal yang berani mengambil risiko politik yang mampu meningkatkan tax ratio secara berkelanjutan.

Kesimpulan

Dari perspektif akademik, tax ratio Indonesia adalah refleksidari tax effort gap yang besar. Potensi penerimaan ada di mana-mana: ekonomi digital, UMKM, SDA, hingga HNWI. Namun, kelemahan administrasi, rendahnya kepatuhan, dan ketidakberanian kebijakan membuat potensi itu tidak terkonversi menjadi penerimaan.

Musgrave (1959) sudah lama menekankan bahwa pajak adalahinstrumen utama negara dalam menjalankan fungsi fiskal. Tanzi& Zee (2000) menambahkan, negara berkembang akan selalutertinggal jika tidak mampu meningkatkan tax effort. 

Dalam konteks ini, tugas Purbaya bukan hanya mengejar target angka, tetapi membangun kapasitas fiskal jangka panjang.

Jika Purbaya mampu memperluas basis pajak, menutup celah penghindaran, dan berani mengevaluasi insentif tidak produktif, tax ratio Indonesia bisa meningkat secara signifikan. Sebaliknya, jika reformasi hanya berhenti pada retorika, maka Indonesia akan terus terjebak dalam “jebakan tax ratio rendah” yang melemahkan kemandirian fiskal.

Bagi profesi konsultan pajak, tantangan ini membuka peluanguntuk memainkan peran strategis. Konsultan bukan sekadarpenyedia jasa administrasi, tetapi aktor penting dalammembangun tax compliance culture dan menjadi jembatan antara wajib pajak dan negara. Dengan dukungan profesi, reformasi pajak bisa lebih efektif dan kredibel.

Kesimpulannya, peningkatan tax ratio Indonesia bergantung pada tiga pilar: potensi yang tergali, kepatuhan yang terbangun, dan keberanian kebijakan. Tanpa kombinasi ketiganya, tax ratio akan tetap menjadi “PR abadi” fiskal Indonesia. Namun, jika era Purbaya mampu menjawab tantangan ini, maka Indonesia bisamelangkah menuju kemandirian fiskal yang lebih kokoh, berkelanjutan, dan berkeadilan.

Penulis adalah Anggota IKPI Kota Bekasi, Dosen Universitas Nasional dan Mahasiswa Doktoral Universitas Brawijaya

M. Abdul Rahman

Email: rahmanmuhammadabdul@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

id_ID