Wajib Pajak Bisa Jadi Pemungut Bea Meterai, Ini Kriterianya!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menetapkan ketentuan baru terkait penunjukan pihak tertentu sebagai pemungut bea meterai melalui Peraturan Dirjen Pajak No. PER-7/PJ/2025. Aturan ini memberikan pedoman tentang kriteria wajib pajak yang bisa ditunjuk sebagai pemungut bea atas dokumen-dokumen tertentu yang memiliki nilai hukum dan finansial.

Dalam beleid tersebut, disebutkan bahwa pemungut bea meterai adalah pihak yang berkewajiban memungut bea dari pihak yang terutang, menyetorkannya ke kas negara, serta melaporkan proses pemungutan dan penyetoran ke DJP.

Salah satu kategori wajib pajak yang berpeluang ditetapkan sebagai pemungut adalah mereka yang memfasilitasi penerbitan surat berharga, seperti cek dan bilyet giro. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 62 ayat (4) PER-7/PJ/2025 yang menyebut bahwa penunjukan dilakukan terhadap wajib pajak yang secara aktif terlibat dalam transaksi bernilai dokumen tinggi.

Tak hanya itu, wajib pajak yang menerbitkan atau memfasilitasi dokumen transaksi surat berharga atau kontrak berjangka dengan bentuk dan nama apa pun juga masuk dalam kriteria. Termasuk pula pihak yang rutin menerbitkan surat pernyataan, surat keterangan, serta dokumen yang mencantumkan nilai uang lebih dari Rp5 juta terutama jika volume dokumen tersebut mencapai rata-rata 1.000 lembar per bulan.

Permohonan Penetapan Bisa Lewat Coretax

Wajib pajak yang ingin ditetapkan sebagai pemungut bea meterai dapat mengajukan permohonan secara daring melalui Portal Wajib Pajak (Coretax) atau datang langsung ke kantor pajak jika akses elektronik tidak memungkinkan.

Untuk pengajuan daring, formulir permohonan harus diisi, ditandatangani secara elektronik, dan dilengkapi dengan salinan dokumen persyaratan seperti surat permohonan penetapan dan surat pernyataan kesediaan sebagai pemungut.

Sementara itu, untuk pengajuan manual di kantor pajak, dokumen disampaikan secara fisik dengan formulir yang sudah ditandatangani dan dilampiri dokumen pendukung serupa. (alf)

 

 

Pelaku Usaha Digital Bisa Pilih Jadi Pemungut PPN, Ini Ketentuannya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan ruang bagi pelaku usaha digital atau Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) untuk secara sukarela menjadi pihak lain yang berwenang memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-12/PJ/2025.

Langkah ini menjadi terobosan bagi pelaku usaha PMSE yang belum ditunjuk secara resmi, tetapi bersedia terlibat aktif dalam administrasi perpajakan. Mereka cukup mengajukan pemberitahuan melalui Portal Wajib Pajak di sistem Coretax, atau datang langsung ke kantor pelayanan pajak.

“Pemberitahuan disampaikan secara langsung ke kantor pelayanan pajak atau melalui Portal Wajib Pajak atau laman lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi DJP,” demikian tertulis dalam Pasal 5 ayat (2) aturan tersebut.

Pemberitahuan ini akan menjadi bahan evaluasi bagi DJP untuk mempertimbangkan penunjukan resmi sebagai pihak lain. Adapun format surat pemberitahuan telah diatur dalam Lampiran B PER-12/PJ/2025.

Siapa yang Dimaksud “Pihak Lain”?

Dalam beleid ini, “pihak lain” adalah entitas yang memfasilitasi atau terlibat langsung dalam transaksi digital, yang diberi mandat untuk mengelola PPN sesuai ketentuan Pasal 32A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Pihak lain ini dibedakan dalam dua kategori:

1. Pihak dalam negeri (berdomisili di Indonesia)

2. Pihak luar negeri (berdomisili di luar Indonesia)

Pelaku usaha PMSE yang telah ditetapkan sebagai pihak lain memiliki kewajiban penuh untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atas pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud serta Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar negeri di Indonesia.

Kriteria Penunjukan

DJP dapat menunjuk pelaku usaha digital sebagai pihak lain apabila memenuhi dua batasan kriteria utama:

1. Nilai transaksi atas barang atau jasa di Indonesia melebihi Rp600 juta dalam setahun atau Rp50 juta dalam sebulan.

2. Jumlah pengakses dari Indonesia mencapai lebih dari 12.000 dalam setahun atau 1.000 dalam sebulan.

Kebijakan ini menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor ekonomi digital yang terus berkembang pesat. (alf)

 

 

 

 

 

Stimulus HUT Jakarta ke-498, Pemprov DKI Beri Keringanan Pajak Hotel

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bakal memberikan keringanan pajak bagi pelaku usaha perhotelan sebagai langkah strategis menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) ke-498 Kota Jakarta.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno menyatakan bahwa keringanan tersebut diberikan dalam bentuk stimulus fiskal guna menggairahkan sektor perhotelan yang menjadi salah satu pilar penting perekonomian ibu kota.

“Dalam minggu ini kita akan memberikan stimulus dengan memberikan keringanan pajak untuk hotel,” ujar Rano saat menghadiri acara ziarah di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Selasa (17/6/2025).

Ia menjelaskan, stimulus ini merupakan bagian dari rangkaian kebijakan untuk meningkatkan daya tarik wisata dan memperbesar potensi kunjungan wisatawan ke Jakarta.

“Karena itu, setiap akhir pekan Jakarta rutin menggelar berbagai acara dan atraksi agar angka kunjungan terus meningkat,” tambahnya.

Rano meyakini bahwa meningkatnya kunjungan wisatawan akan berdampak langsung pada okupansi hotel, yang pada akhirnya turut menggerakkan roda ekonomi di berbagai sektor lainnya.

Kebijakan ini melengkapi sejumlah program Pemprov DKI lainnya seperti pemutihan pajak kendaraan bermotor serta bantuan pendidikan melalui KJP Plus dan KJMU.

Sebagai informasi, pajak hotel di Jakarta kini dikategorikan sebagai Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) sektor jasa perhotelan, dengan tarif sebesar 10 persen dari total biaya layanan. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Dengan berbagai kebijakan yang proaktif ini, Pemprov DKI berharap momen HUT Jakarta bisa menjadi titik balik pemulihan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. (alf)

 

 

DJP Atur Ulang Tata Cara Faktur Pajak Uang Muka dalam PER-11/2025, Begini Rinciannya!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali melakukan penyempurnaan administrasi perpajakan. Kali ini, pembaruan dilakukan melalui terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) Nomor PER-11/PJ/2025 yang mengatur tata cara pengisian Faktur Pajak atas transaksi yang melibatkan penerimaan uang muka, termin, atau angsuran.

Regulasi ini mempertegas ketentuan pengisian kolom “Nama Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP)” dalam faktur pajak. DJP mensyaratkan agar Pengusaha Kena Pajak (PKP) memberikan keterangan yang lebih spesifik, terutama saat terjadi pembayaran uang muka sebelum barang atau jasa diserahkan sepenuhnya.

Misalnya, dalam transaksi pembelian komputer merek ABC seharga Rp5 juta, jika pelanggan membayar uang muka sebesar Rp1 juta, maka kolom “Nama BKP dan/atau JKP” dalam faktur harus memuat informasi:

“Uang muka sebesar Rp1.000.000 untuk pembelian komputer merek ABC dengan harga jual sebesar Rp5.000.000.”

Selanjutnya, saat sisa pembayaran sebesar Rp4 juta dilunasi, faktur kedua harus mencantumkan:

“Pelunasan sebesar Rp4.000.000 untuk pembelian komputer merek ABC dengan harga jual sebesar Rp5.000.000.”

Menariknya, DJP kini juga memfasilitasi integrasi antara faktur pajak uang muka dan pelunasan melalui sistem Coretax. Sistem ini memungkinkan kedua faktur saling terhubung apabila dibuat dengan mencentang kotak “Uang Muka” saat penerimaan awal, dan “Pelunasan” saat pembayaran akhir. Pengisian nomor faktur uang muka pada faktur pelunasan juga menjadi keharusan.

Aturan baru ini bertujuan meningkatkan ketertiban administrasi, memberikan kejelasan bagi fiskus dan wajib pajak, serta meminimalisir potensi kesalahan dalam pelaporan pajak.

Dengan demikian, PKP diimbau untuk segera menyesuaikan praktik pengisian faktur pajaknya sesuai ketentuan terbaru agar terhindar dari sanksi administratif akibat kesalahan dalam pencatatan. (alf)

 

 

Senat AS Usulkan Cabut Insentif Pajak Mobil Listrik

IKPI, Jakarta: Arah kebijakan energi dan transportasi Amerika Serikat menghadapi guncangan besar setelah Senat yang kini dikuasai Partai Republik mengusulkan Rancangan Undang-Undang Pajak dan Anggaran yang akan memangkas habis insentif untuk kendaraan listrik. Dalam proposal yang diumumkan Senin (16/6/2025) waktu setempat, insentif pajak sebesar US$7.500 untuk pembelian mobil listrik baru bakal dihapus 180 hari setelah beleid disahkan.

Tak hanya itu, insentif US$4.000 untuk pembelian mobil listrik bekas juga akan dicabut 90 hari setelah pengesahan. Insentif kendaraan listrik sewaan yang selama ini bebas dari aturan lokasi produksi pun akan dihentikan efektif per 16 Juni, kecuali kendaraan tersebut memenuhi syarat perakitan dan kandungan domestik di Amerika Utara.

Langkah drastis ini menandai pembalikan arah dari kebijakan era Presiden Joe Biden yang mendorong transisi ke kendaraan listrik sebagai bagian dari upaya pengurangan emisi dan penanggulangan krisis iklim.

Sebaliknya, pemerintahan saat ini di bawah Presiden Donald Trump tampak memilih fokus pada industri otomotif dalam negeri dan kemandirian energi.

Selain pemangkasan insentif, Senat juga mengusulkan pengecualian pajak atas bunga kredit kendaraan baru buatan AS hingga 2028, meski insentif ini akan menyusut bagi warga berpenghasilan di atas US$100.000.

Sementara di DPR, versi alternatif dari RUU tersebut menyarankan agar insentif mobil listrik tetap berlaku hingga akhir 2025 dan hingga 2026 bagi produsen dengan penjualan EV di bawah 200.000 unit.

Versi DPR juga mencakup rencana penerapan biaya tahunan baru sebesar US$250 untuk mobil listrik dan US$100 untuk kendaraan hybrid, yang akan dialokasikan untuk pembiayaan infrastruktur jalan. Insentif untuk produksi baterai kendaraan listrik pun diusulkan dihapus bertahap mulai 2028.

Pekan lalu, Presiden Trump juga menandatangani resolusi yang membatalkan rencana ambisius Negara Bagian California untuk menghentikan penjualan mobil berbahan bakar bensin pada 2035 kebijakan yang sempat diadopsi oleh 11 negara bagian lainnya yang mewakili sepertiga pasar otomotif AS. (alf)

 

Pergantian Pejabat DJP: 19 Nama Baru Ditugaskan Benahi Coretax dan Layanan Pajak

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melantik 19 pejabat baru di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jumat (13/6/2025). Dalam arahannya, Sri Mulyani menegaskan bahwa para pejabat ini memiliki tanggung jawab penting dalam menyukseskan pembenahan sistem administrasi perpajakan nasional, khususnya Coretax.

“Perbaiki sistem Coretax yang sedang kita bangun, jalankan, dan yakinkan sistem ini mampu melayani Wajib Pajak secara mudah, sekaligus memperkuat fungsi DJP dalam menghimpun penerimaan negara secara efisien, akuntabel, dan adil,” ujar Sri Mulyani saat pelantikan.

Coretax merupakan sistem inti administrasi perpajakan yang menjadi tulang punggung reformasi digital DJP. Pemerintah berharap sistem ini mampu meningkatkan kualitas layanan dan pengawasan perpajakan.

Sri Mulyani juga mendorong seluruh jajaran DJP untuk terus memperkuat organisasi, tata kelola, dan sumber daya manusia—baik dari sisi struktur maupun fungsi. Menurutnya, tantangan DJP ke depan bukan hanya soal target penerimaan, tetapi juga kepercayaan publik.

Berikut daftar lengkap 19 pejabat DJP yang baru dilantik:

1. Sigit Danang Joyo – Sekretaris Direktorat Jenderal

2. Heri Kuswanto – Direktur Peraturan Perpajakan II

3. Arif Yuniar – Direktur Pemeriksaan dan Penagihan

4. Etty Rachmiyanthi – Direktur Keberatan dan Banding

5. Rosmauli – Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas

6. Belis Siswanto – Direktur Kepatuhan Internal dan Transformasi SDA

7. Neilmaldrin Noor – Direktur Intelijen Perpajakan

8. Retno Sri Sulistyani – Kepala Kanwil DJP Bengkulu dan Lampung

9. Dwi Astuti – Kepala Kanwil DJP Jakarta Selatan II

10.Aim Nursalim Saleh – Kepala Kanwil DJP Banten

11. Teguh Budiharto – Kepala Kanwil DJP Jawa Tengah II

12. Samingun – Kepala Kanwil DJP Jawa Timur I

13. Untung Supardi – Kepala Kanwil DJP Jawa Timur III

14. Hermiyana – Kepala Kanwil DJP Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara

15. Samon Jaya – Kepala Kanwil DJP Nusa Tenggara

16. Edward H. Sianipar – Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan

17. Kindy Rinaldy Syahrir – Tenaga Pengkaji Bidang Ekstensifikasi dan Intensifikasi

18. Mukhammad Faisal Artjan – Tenaga Pengkaji Bidang Pembinaan dan Penertiban SDM

19. Poltak Maruli J.L. Hutagaol – Tenaga Pengkaji Bidang Pengawasan dan Penegakan Hukum

Pelantikan ini menjadi bagian dari penguatan struktur DJP di tengah upaya modernisasi perpajakan. Dengan komposisi baru ini, diharapkan Coretax benar-benar menjadi fondasi kuat untuk sistem pajak Indonesia yang transparan, profesional, dan terpercaya. (bl)

Akuntansi Benteng Pertahanan Wajib Pajak Dalam Kasus Pemeriksaan Pajak

Literasi akuntansi di Indonesia masih tergolong rendah, sebagaimana terlihat dari pengalaman saya mengajar mata kuliah akuntansi di beberapa universitas di Jakarta. Bahkan, banyak mahasiswa jurusan akuntansi merasa bahwa disiplin ilmu ini merupakan tantangan yang berat.

Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor berikut:

1. Akuntansi membutuhkan ketelitian tinggi dan keterampilan berhitung di atas rata-rata.

2. Diperlukan daya nalar yang kuat serta kemampuan abstraksi untuk memahami standar akuntansi yang rigid.

3. Logika yang baik menjadi faktor krusial dalam penerapan konsep akuntansi dengan benar.

Tidak mengherankan bahwa untuk diterima masuk ke program studi akuntansi di universitas negeri terkemuka, seperti UI, UGM, UNDIP, UNPAD, UNAIR & UB (layer pertama) membutuhkan nilai UTBK yang tinggi, umumnya di atas 700, sehingga hanya kandidat dengan kecerdasan akademik unggul yang dapat diterima.

Terbatasnya Lulusan Akuntansi Berkualitas dan Dampaknya

Sehubungan daya tampung mahasiswa akuntansi di perguruan tinggi unggulan sangat terbatas, akibatnya jumlah lulusan relatif sedikit dan kebanyakan dari lulusan tersebut langsung direkrut oleh perusahaan besar. Akibatnya, perusahaan kecil dan menengah tidak kebagian, sehingga mereka terpaksa harus merekrut lulusan akuntansi dari universitas layer dua dan seterusnya, yang secara relatif kualitas akademiknya lebih rendah dibandingkan lulusan dari universitas layer pertama.

Konsekuensi dari keterbatasan tenaga akuntansi berkualitas antara lain:

1. Proses pencatatan keuangan yang tidak memenuhi standar, mengakibatkan laporan keuangan yang kurang kredibel dan reliabel.

2. Penguasaan standar akuntansi lemah, padahal standar akuntansi yang menjadikan laporan keuangan menjadi lebih berharga.

3. Kesalahan dalam pelaporan pajak, khususnya dalam penyusunan koreksi fiskal.

Urgensi Pembukuan Akurat dalam Pemeriksaan Pajak

Sesuai dengan Pasal 28 UU No. 28 Tahun 2007 tentang KUP, jumlah pajak terutang harus ditetapkan berdasarkan pembukuan yang sesuai dengan standar akuntansi. Jika pembukuan tidak akurat, pemeriksa pajak berhak menetapkan pajak terutang berdasarkan perhitungan sendiri, dan hal ini berpotensi meningkatkan risiko bagi wajib pajak dalam bentuk beban pajak menjadi tidak efisien, atau beban pajak tidak tepat.

Oleh karena itu, wajib pajak harus menyusun laporan keuangan sesuai standar akuntansi yang berlaku umum. Hal ini penting, untuk memastikan wajib pajak patuh terhadap regulasi perpajakan. Kepatuhan wajib pajak mengakibatkan laporan keuangan menjadi transparan, akuntabel sehingga dapat dijadikan sebagai rujukan dalam pengambilan keputusan.

Sebagai ilustrasi, dalam sebuah pemeriksaan pajak akibat adanya permohonan restitusi, sering ditemukan perbedaan total penjualan dalam laporan laba rugi dan SPT PPN. Perbedaan ini akan memicu pertanyaan dari pemeriksa pajak, karena perbedaan timbul pasti akibat adanya sesuatu hal yang tidak sesuai standar akuntansi atau peraturan perpajakan.

Melihat kondisi ini, pemeriksa pajak biasanya akan menguji dan memvaliditasi pembukuan dengan cara mengajukan pertanyaan sederhana seperti berikut ini:

1. Berapa jumlah penjualan yang sebenarnya? Apakah sesuai dengan SPT PPN atau laporan laba rugi?

2. Jika wajib pajak tidak dapat memberikan jawaban yang jelas, hal ini mengindikasikan bahwa pembukuan dan SPT ada masalah.

3. Ketidakmampuan menjelaskan perbedaan antara laporan keuangan dan SPT PPN dapat menjadi dasar bagi pemeriksa pajak untuk mempertanyakan kebenaran klaim restitusi pajak tersebut?

Situasi ini sering terjadi dalam praktik. Oleh karena itu, literasi akuntansi staf perpajakan perusahaan harus menjadi perhatian pengurus perusahaan, karena kalau tidak diperhatikan, artinya ada kesengajaan pengurus perusahaan untuk tidak bertanggungjawab terhadap aset perusahaan.

Studi Kasus: Dilema Laporan Keuangan yang Meragukan dalam Pengajuan Restitusi PPN.

Sebagai ilustrasi, PT XYZ adalah perusahaan properti yang telah terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) sejak awal berdiri tahun 2022. Dalam dua tahun pertama, PT XYZ tidak memiliki penjualan sehubungan dengan properti yang dimilikinya sedang dalam proses konstruksi, sehingga belum bisa disewakan dan konsekwensinya tidak ada penjualan dan tidak bisa menerbitkan Faktur Pajak Keluaran. Sementara itu, sejak awal berdirinya perusahaan, tetap menerima Faktur Pajak Masukan atas pengeluaran yang dibayarkan kepada kontraktornya, akibatnya terjadilah PPN lebih bayar Rp30.000.000.000,-.

Dalam kasus ini, diasumsikan bahwa proses pembukuan PT XYZ tidak disusun sesuai dengan kaidah atau standar akuntansi yang berlaku umum, misalnya tidak terdapat dokumen pengeluaran kas berupa bukti transfer, invoice dan faktur pajak terkait. Selain itu, terdapat perhitungan beban tidak berlandaskan kontrak atau berita acara penerimaan pekerjaan yang jelas, sehingga pertanggungjawaban aset perusahaan menjadi tidak jelas dan lengkap. Semua kejadian ini, diakibatkan oleh karena staff akuntansi yang bertanggungjawab menjalankan proses akuntansi tidak memahami konsekwensi logis dan hukum atas keteledorannya.

Selanjutnya, ketika melihat dan menimbang jumlah PPN lebih bayar tersebut, Direktur Keuangan menghadapi dilema: dimana, jika pemeriksaan pajak kelak hanya mengakui pajak lebih bayar sebesar Rp20 miliar, dengan demikian, perusahaan akan mencatatkan kerugian Rp10 miliar. Kondisi ini pasti mengakibatkan implikasi yang sangat besar dan konsekwensinya berat terhadap Direktur Keuangan, karena mentriger adanya pertanyaan kritis dari pemegang saham perusahaan.

Untuk menghindari risiko tersebut, Direktur Keuangan biasanya akan memilih untuk tidak mengajukan restitusi yang berimplikasi terhadap pemeriksaan, melainkan akan memilih jalur dengan cara mengklaim PPN lebih bayar secara bertahap melalui pengkreditan PPN lebih bayar hingga jumlahnya mencapai Rp10 miliar.

Disinilah pembuktian bahwa, Akutansi merupakan benteng pertahanan wajib pajak dalam menghadapi pemeriksaan pajak. Dalam kasus ini, bilamana laporan keuangan yang dimiliki oleh PT XYZ reliable dan akuntabel, pasti Direktur Keuangan PT XYZ tidak ragu sedikitpun untuk melakukan restitusi PPN lebih bayar yang berimplikasi adanya pemeriksaan. Karena dengan bekal penerapan standar akuntansi yang benar, Direktur Keuangan akan berani fight mempertahakan kebenaran yang disajikan dalam laporan keuangan.

Kesimpulan: Akuntansi dan Pajak Harus Terintegrasi

Setiap pencatatan dalam pembukuan perusahaan memiliki dampak hukum dan harus dipertanggungjawabkan secara akurat. Oleh karena itu, akuntansi tidak dapat dianggap sebagai sekadar proses administrasi pencatatan transaksi yang bisa dimanipulasi sesuka hati anda.

Perusahaan harus memastikan bahwa individu yang bertanggung jawab dalam bidang akuntansi harus memiliki kompetensi teknis tinggi dan professional serta mampu mengintegrasikan aspek akuntansi dan perpajakan dalam laporan keuangan dan SPT Pajak.

Dampak Rendahnya Literasi Akuntansi terhadap Kepatuhan Pajak

Minimnya pemahaman akuntansi dapat mengakibatkan:

1. Kesalahan dalam penyusunan laporan keuangan, yang berujung pada ketidaksesuaian dengan SPT pajak.

2. Lemahnya posisi wajib pajak saat pemeriksaan, sehingga lebih mudah menerima koreksi pajak yang berpotensi merugikan.

3. Kurangnya kontrol terhadap aspek krusial yang memastikan laporan keuangan sesuai dengan regulasi dan standar akuntansi.

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Bekasi

Dr. Subur Harahap, SE, Ak, MM, CA, CMA, CFP, CPA, BKP, FPM, MT.BNSP

www.suhaconsulting.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

Perintis Reformasi Profesi Keuangan dan Pendukung Lahirnya UU Konsultan Pajak

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan kembali mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpengalaman dan berdedikasi tinggi. Dr. Erawati, S.H., K.N., M.T. saat ini resmi menjabat sebagai Direktur Pembinaan dan Pengawasan Profesi Keuangan di Direktorat Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan, Kemenkeu. Penugasan ini diumumkan langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, menandai langkah lanjutan penguatan tata kelola profesi keuangan di Indonesia.

Sosok ceria dan pembawa energi positif ini lahir di Temanggung, 1 Maret 1971, Dr. Erawati telah meniti karier panjang di Kementerian Keuangan sejak 1997. Ia dikenal sebagai birokrat andal yang konsisten memperjuangkan profesionalisme, integritas, dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara. Salah satu kontribusi terbesarnya adalah dukungan aktif terhadap ide lahirnya Undang-Undang Konsultan Pajak—sebuah tonggak penting dalam sejarah regulasi perpajakan Indonesia.

UU Konsultan Pajak, Pilar Kepastian dan Integritas

Keberadaan Undang-Undang Konsultan Pajak sangat krusial untuk memberikan landasan hukum yang kuat bagi praktik profesi konsultan pajak di Indonesia. Selama ini, konsultan pajak berperan sebagai perantara (intermediaries) penting antara wajib pajak dan otoritas pajak, namun belum memiliki kerangka hukum yang komprehensif. Hal ini kerap menimbulkan celah dalam pengawasan dan potensi pelanggaran etika profesional.

Melalui UU ini, batasan kewenangan, standar kompetensi, serta mekanisme pengawasan dan sanksi terhadap konsultan pajak menjadi lebih jelas. Tidak hanya melindungi wajib pajak dari praktik jasa perpajakan yang tidak profesional, UU ini juga mendorong konsultan pajak untuk berperan lebih aktif dalam mendorong kepatuhan pajak secara sukarela.

Bagi negara, hal ini berdampak langsung pada peningkatan kualitas penerimaan pajak dan kepastian hukum.

Rekam Jejak dan Prestasi

Dr. Erawati menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum di Universitas Gadjah Mada (1995), kemudian meraih gelar Magister Teknik di Institut Teknologi Bandung (2006), dan gelar Doktor Bidang Ilmu Hukum Keuangan Negara di UGM pada 2021. Perpaduan keilmuan hukum dan teknokratis menjadikannya figur unik dalam birokrasi fiskal.

Kariernya mencakup berbagai posisi strategis di Direktorat Jenderal Anggaran, termasuk Kepala Seksi Dukungan Teknis (2007), Kepala Subdirektorat Anggaran IC (2011), serta Kepala Subdirektorat Anggaran Sektor Pertanian, Kelautan dan Kehutanan (2016).

Ia juga pernah menjabat sebagai Kepala Subdirektorat Data dan Dukungan Teknis Penyusunan APBN (2019), dan terakhir, Kepala Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (2023).

Kini, sebagai Direktur Pembinaan dan Pengawasan Profesi Keuangan, Dr. Erawati diharapkan menjadi motor penggerak dalam memperkuat tata kelola profesi strategis seperti konsultan pajak, akuntan publik, aktuaris, dan penilai. Dengan pendekatan yang integratif dan berbasis regulasi yang kuat, ia membawa harapan akan hadirnya ekosistem profesi keuangan yang kredibel, beretika, dan berpihak pada kepentingan publik. (bl)

Lelang Aset Penunggak Pajak Digelar 25 Juni, DJP Jakarta Barat Siap Tawarkan 15 Barang Bernilai Tinggi

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali menunjukkan keseriusannya dalam menegakkan hukum perpajakan melalui aksi nyata. Kali ini, Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat akan menggelar lelang eksekusi atas aset hasil penyitaan dari para penunggak pajak, Rabu, 25 Juni 2025 mendatang. Lelang ini diselenggarakan bekerja sama dengan Kanwil Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) DKI Jakarta dan akan dilakukan secara daring melalui situs resmi lelang.go.id.

Sebanyak 15 barang bergerak dari berbagai jenis siap ditawarkan kepada publik. Mulai dari kendaraan roda dua dan roda empat, hingga alat berat dan perangkat medis, semua berasal dari delapan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Barat. Penyitaan dan lelang ini merupakan bagian dari strategi penagihan aktif utang pajak yang terus diintensifkan.

“Aset yang telah disita ditawarkan kepada publik melalui mekanisme lelang resmi negara sebagai bentuk penegakan hukum yang tegas dan terukur,” ujar DJP dalam keterangannya, Senin (15/6/2025).

Langkah ini tidak hanya bertujuan untuk memulihkan penerimaan negara, tetapi juga memberi sinyal kuat bahwa penunggakan pajak tidak akan dibiarkan. DJP ingin menegaskan komitmennya dalam meningkatkan kepatuhan dan memberikan efek jera bagi wajib pajak yang abai terhadap kewajibannya.

Lelang dilakukan secara transparan dan terbuka bagi masyarakat umum dengan sistem open bidding tanpa kehadiran fisik peserta. Penetapan pemenang dilakukan di hari yang sama.

Deretan Barang yang Akan Dilelang:

1. Toyota HILUX 2.46 DC 4X4 MT

2. Toyota Harrier 2.4 AT

3. Toyota Rush 1.5G M.T

4. Volvo XC90 2.9 T6 (2005)

5. Nissan X-Trail 2.5 ST A/T (2010)

6. Sepeda motor Honda Revo

7. Yamaha NMAX

8. Honda Vario 150 cc

9. Sepeda motor listrik Alessa

10. Honda Vario

11. Honda Beat

12. Sistem Video Integrasi Ruang Operasi

13. 5 unit Air Purifier Novaerus NV800

14. Forklift/Reach Truck

15. Truk Tronton (Tractor Head)

Ketentuan dan Mekanisme Lelang:

  1. Waktu pelaksanaan: Rabu, 25 Juni 2025 pukul 10.00–11.30 WIB
  2. Akses objek lelang: Dapat dilihat sejak pengumuman lelang
  3. Syarat peserta: Wajib memiliki akun terverifikasi di portal.lelang.go.id
  4. Jaminan lelang: Harus diterima efektif oleh KPKNL paling lambat H-1 melalui virtual account
  5. Penawaran: Dimulai dari nilai limit, dan peserta dapat mengajukan penawaran berulang
  6. Pembayaran pemenang: Pokok Lelang + Bea Lelang 3% dibayar maksimal 5 hari kerja setelah lelang

DJP mengimbau masyarakat untuk mengikuti lelang ini secara bijak dan memanfaatkan kesempatan memiliki barang bernilai dengan prosedur resmi yang sah. Selain itu, kegiatan ini menjadi pengingat bahwa kepatuhan pajak bukan sekadar kewajiban, tapi juga kontribusi nyata dalam membangun negara.

 

 

Utang Indonesia Tembus Rp7.000 Triliun, Bank Indonesia Pastikan Masih Aman

IKPI, Jakarta: Bank Indonesia (BI) mencatat posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia mencapai US$431,5 miliar atau sekitar Rp7.039,4 triliun per April 2025. Angka ini mencerminkan pertumbuhan tahunan sebesar 8,2 persen (year-on-year), meningkat dibandingkan Maret lalu yang tumbuh 6,4 persen.

Kenaikan ULN ini terutama berasal dari sektor pemerintah, dengan nilai mencapai US$208,8 miliar atau naik 10,4 persen secara tahunan. BI menjelaskan bahwa pertumbuhan utang tersebut dipengaruhi oleh penarikan pinjaman luar negeri serta meningkatnya aliran dana asing ke pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik. Hal ini menjadi sinyal positif atas kepercayaan investor global terhadap stabilitas ekonomi Indonesia, meski pasar keuangan global tengah diliputi ketidakpastian.

Dari sisi pemanfaatannya, ULN pemerintah difokuskan untuk sektor-sektor strategis. Sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial menyerap 22,3 persen dari total utang pemerintah, disusul administrasi pemerintahan dan pertahanan (18,7 persen), jasa pendidikan (16,4 persen), konstruksi (12 persen), serta transportasi dan pergudangan (8,7 persen).

Sementara itu, ULN swasta tercatat sebesar US$194,8 miliar. Meski angkanya tetap besar, ULN swasta justru mengalami kontraksi 0,6 persen (yoy), melandai dari kontraksi 1 persen pada bulan sebelumnya.

Meski total utang meningkat, BI menegaskan posisi ULN Indonesia masih dalam kategori terkendali. Hal ini dikarenakan dominasi utang berjangka panjang. Tercatat, 99,9 persen dari total ULN pemerintah dan 76,9 persen dari ULN swasta merupakan utang jangka panjang, yang dinilai lebih aman bagi ketahanan eksternal negara.

BI memastikan akan terus memantau perkembangan ULN secara cermat guna menjaga stabilitas makroekonomi dan mendukung keberlanjutan pembiayaan pembangunan nasional. (alf)

 

 

id_ID