Wajib Pajak Bisa Jadi Pemungut Bea Meterai, Ini Kriterianya!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menetapkan ketentuan baru terkait penunjukan pihak tertentu sebagai pemungut bea meterai melalui Peraturan Dirjen Pajak No. PER-7/PJ/2025. Aturan ini memberikan pedoman tentang kriteria wajib pajak yang bisa ditunjuk sebagai pemungut bea atas dokumen-dokumen tertentu yang memiliki nilai hukum dan finansial.

Dalam beleid tersebut, disebutkan bahwa pemungut bea meterai adalah pihak yang berkewajiban memungut bea dari pihak yang terutang, menyetorkannya ke kas negara, serta melaporkan proses pemungutan dan penyetoran ke DJP.

Salah satu kategori wajib pajak yang berpeluang ditetapkan sebagai pemungut adalah mereka yang memfasilitasi penerbitan surat berharga, seperti cek dan bilyet giro. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 62 ayat (4) PER-7/PJ/2025 yang menyebut bahwa penunjukan dilakukan terhadap wajib pajak yang secara aktif terlibat dalam transaksi bernilai dokumen tinggi.

Tak hanya itu, wajib pajak yang menerbitkan atau memfasilitasi dokumen transaksi surat berharga atau kontrak berjangka dengan bentuk dan nama apa pun juga masuk dalam kriteria. Termasuk pula pihak yang rutin menerbitkan surat pernyataan, surat keterangan, serta dokumen yang mencantumkan nilai uang lebih dari Rp5 juta terutama jika volume dokumen tersebut mencapai rata-rata 1.000 lembar per bulan.

Permohonan Penetapan Bisa Lewat Coretax

Wajib pajak yang ingin ditetapkan sebagai pemungut bea meterai dapat mengajukan permohonan secara daring melalui Portal Wajib Pajak (Coretax) atau datang langsung ke kantor pajak jika akses elektronik tidak memungkinkan.

Untuk pengajuan daring, formulir permohonan harus diisi, ditandatangani secara elektronik, dan dilengkapi dengan salinan dokumen persyaratan seperti surat permohonan penetapan dan surat pernyataan kesediaan sebagai pemungut.

Sementara itu, untuk pengajuan manual di kantor pajak, dokumen disampaikan secara fisik dengan formulir yang sudah ditandatangani dan dilampiri dokumen pendukung serupa. (alf)

 

 

Pelaku Usaha Digital Bisa Pilih Jadi Pemungut PPN, Ini Ketentuannya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan ruang bagi pelaku usaha digital atau Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) untuk secara sukarela menjadi pihak lain yang berwenang memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-12/PJ/2025.

Langkah ini menjadi terobosan bagi pelaku usaha PMSE yang belum ditunjuk secara resmi, tetapi bersedia terlibat aktif dalam administrasi perpajakan. Mereka cukup mengajukan pemberitahuan melalui Portal Wajib Pajak di sistem Coretax, atau datang langsung ke kantor pelayanan pajak.

“Pemberitahuan disampaikan secara langsung ke kantor pelayanan pajak atau melalui Portal Wajib Pajak atau laman lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi DJP,” demikian tertulis dalam Pasal 5 ayat (2) aturan tersebut.

Pemberitahuan ini akan menjadi bahan evaluasi bagi DJP untuk mempertimbangkan penunjukan resmi sebagai pihak lain. Adapun format surat pemberitahuan telah diatur dalam Lampiran B PER-12/PJ/2025.

Siapa yang Dimaksud “Pihak Lain”?

Dalam beleid ini, “pihak lain” adalah entitas yang memfasilitasi atau terlibat langsung dalam transaksi digital, yang diberi mandat untuk mengelola PPN sesuai ketentuan Pasal 32A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Pihak lain ini dibedakan dalam dua kategori:

1. Pihak dalam negeri (berdomisili di Indonesia)

2. Pihak luar negeri (berdomisili di luar Indonesia)

Pelaku usaha PMSE yang telah ditetapkan sebagai pihak lain memiliki kewajiban penuh untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atas pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud serta Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar negeri di Indonesia.

Kriteria Penunjukan

DJP dapat menunjuk pelaku usaha digital sebagai pihak lain apabila memenuhi dua batasan kriteria utama:

1. Nilai transaksi atas barang atau jasa di Indonesia melebihi Rp600 juta dalam setahun atau Rp50 juta dalam sebulan.

2. Jumlah pengakses dari Indonesia mencapai lebih dari 12.000 dalam setahun atau 1.000 dalam sebulan.

Kebijakan ini menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor ekonomi digital yang terus berkembang pesat. (alf)

 

 

 

 

 

Stimulus HUT Jakarta ke-498, Pemprov DKI Beri Keringanan Pajak Hotel

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bakal memberikan keringanan pajak bagi pelaku usaha perhotelan sebagai langkah strategis menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) ke-498 Kota Jakarta.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno menyatakan bahwa keringanan tersebut diberikan dalam bentuk stimulus fiskal guna menggairahkan sektor perhotelan yang menjadi salah satu pilar penting perekonomian ibu kota.

“Dalam minggu ini kita akan memberikan stimulus dengan memberikan keringanan pajak untuk hotel,” ujar Rano saat menghadiri acara ziarah di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Selasa (17/6/2025).

Ia menjelaskan, stimulus ini merupakan bagian dari rangkaian kebijakan untuk meningkatkan daya tarik wisata dan memperbesar potensi kunjungan wisatawan ke Jakarta.

“Karena itu, setiap akhir pekan Jakarta rutin menggelar berbagai acara dan atraksi agar angka kunjungan terus meningkat,” tambahnya.

Rano meyakini bahwa meningkatnya kunjungan wisatawan akan berdampak langsung pada okupansi hotel, yang pada akhirnya turut menggerakkan roda ekonomi di berbagai sektor lainnya.

Kebijakan ini melengkapi sejumlah program Pemprov DKI lainnya seperti pemutihan pajak kendaraan bermotor serta bantuan pendidikan melalui KJP Plus dan KJMU.

Sebagai informasi, pajak hotel di Jakarta kini dikategorikan sebagai Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) sektor jasa perhotelan, dengan tarif sebesar 10 persen dari total biaya layanan. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Dengan berbagai kebijakan yang proaktif ini, Pemprov DKI berharap momen HUT Jakarta bisa menjadi titik balik pemulihan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. (alf)

 

 

DJP Atur Ulang Tata Cara Faktur Pajak Uang Muka dalam PER-11/2025, Begini Rinciannya!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali melakukan penyempurnaan administrasi perpajakan. Kali ini, pembaruan dilakukan melalui terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) Nomor PER-11/PJ/2025 yang mengatur tata cara pengisian Faktur Pajak atas transaksi yang melibatkan penerimaan uang muka, termin, atau angsuran.

Regulasi ini mempertegas ketentuan pengisian kolom “Nama Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP)” dalam faktur pajak. DJP mensyaratkan agar Pengusaha Kena Pajak (PKP) memberikan keterangan yang lebih spesifik, terutama saat terjadi pembayaran uang muka sebelum barang atau jasa diserahkan sepenuhnya.

Misalnya, dalam transaksi pembelian komputer merek ABC seharga Rp5 juta, jika pelanggan membayar uang muka sebesar Rp1 juta, maka kolom “Nama BKP dan/atau JKP” dalam faktur harus memuat informasi:

“Uang muka sebesar Rp1.000.000 untuk pembelian komputer merek ABC dengan harga jual sebesar Rp5.000.000.”

Selanjutnya, saat sisa pembayaran sebesar Rp4 juta dilunasi, faktur kedua harus mencantumkan:

“Pelunasan sebesar Rp4.000.000 untuk pembelian komputer merek ABC dengan harga jual sebesar Rp5.000.000.”

Menariknya, DJP kini juga memfasilitasi integrasi antara faktur pajak uang muka dan pelunasan melalui sistem Coretax. Sistem ini memungkinkan kedua faktur saling terhubung apabila dibuat dengan mencentang kotak “Uang Muka” saat penerimaan awal, dan “Pelunasan” saat pembayaran akhir. Pengisian nomor faktur uang muka pada faktur pelunasan juga menjadi keharusan.

Aturan baru ini bertujuan meningkatkan ketertiban administrasi, memberikan kejelasan bagi fiskus dan wajib pajak, serta meminimalisir potensi kesalahan dalam pelaporan pajak.

Dengan demikian, PKP diimbau untuk segera menyesuaikan praktik pengisian faktur pajaknya sesuai ketentuan terbaru agar terhindar dari sanksi administratif akibat kesalahan dalam pencatatan. (alf)

 

 

Senat AS Usulkan Cabut Insentif Pajak Mobil Listrik

IKPI, Jakarta: Arah kebijakan energi dan transportasi Amerika Serikat menghadapi guncangan besar setelah Senat yang kini dikuasai Partai Republik mengusulkan Rancangan Undang-Undang Pajak dan Anggaran yang akan memangkas habis insentif untuk kendaraan listrik. Dalam proposal yang diumumkan Senin (16/6/2025) waktu setempat, insentif pajak sebesar US$7.500 untuk pembelian mobil listrik baru bakal dihapus 180 hari setelah beleid disahkan.

Tak hanya itu, insentif US$4.000 untuk pembelian mobil listrik bekas juga akan dicabut 90 hari setelah pengesahan. Insentif kendaraan listrik sewaan yang selama ini bebas dari aturan lokasi produksi pun akan dihentikan efektif per 16 Juni, kecuali kendaraan tersebut memenuhi syarat perakitan dan kandungan domestik di Amerika Utara.

Langkah drastis ini menandai pembalikan arah dari kebijakan era Presiden Joe Biden yang mendorong transisi ke kendaraan listrik sebagai bagian dari upaya pengurangan emisi dan penanggulangan krisis iklim.

Sebaliknya, pemerintahan saat ini di bawah Presiden Donald Trump tampak memilih fokus pada industri otomotif dalam negeri dan kemandirian energi.

Selain pemangkasan insentif, Senat juga mengusulkan pengecualian pajak atas bunga kredit kendaraan baru buatan AS hingga 2028, meski insentif ini akan menyusut bagi warga berpenghasilan di atas US$100.000.

Sementara di DPR, versi alternatif dari RUU tersebut menyarankan agar insentif mobil listrik tetap berlaku hingga akhir 2025 dan hingga 2026 bagi produsen dengan penjualan EV di bawah 200.000 unit.

Versi DPR juga mencakup rencana penerapan biaya tahunan baru sebesar US$250 untuk mobil listrik dan US$100 untuk kendaraan hybrid, yang akan dialokasikan untuk pembiayaan infrastruktur jalan. Insentif untuk produksi baterai kendaraan listrik pun diusulkan dihapus bertahap mulai 2028.

Pekan lalu, Presiden Trump juga menandatangani resolusi yang membatalkan rencana ambisius Negara Bagian California untuk menghentikan penjualan mobil berbahan bakar bensin pada 2035 kebijakan yang sempat diadopsi oleh 11 negara bagian lainnya yang mewakili sepertiga pasar otomotif AS. (alf)

 

Pergantian Pejabat DJP: 19 Nama Baru Ditugaskan Benahi Coretax dan Layanan Pajak

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melantik 19 pejabat baru di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jumat (13/6/2025). Dalam arahannya, Sri Mulyani menegaskan bahwa para pejabat ini memiliki tanggung jawab penting dalam menyukseskan pembenahan sistem administrasi perpajakan nasional, khususnya Coretax.

“Perbaiki sistem Coretax yang sedang kita bangun, jalankan, dan yakinkan sistem ini mampu melayani Wajib Pajak secara mudah, sekaligus memperkuat fungsi DJP dalam menghimpun penerimaan negara secara efisien, akuntabel, dan adil,” ujar Sri Mulyani saat pelantikan.

Coretax merupakan sistem inti administrasi perpajakan yang menjadi tulang punggung reformasi digital DJP. Pemerintah berharap sistem ini mampu meningkatkan kualitas layanan dan pengawasan perpajakan.

Sri Mulyani juga mendorong seluruh jajaran DJP untuk terus memperkuat organisasi, tata kelola, dan sumber daya manusia—baik dari sisi struktur maupun fungsi. Menurutnya, tantangan DJP ke depan bukan hanya soal target penerimaan, tetapi juga kepercayaan publik.

Berikut daftar lengkap 19 pejabat DJP yang baru dilantik:

1. Sigit Danang Joyo – Sekretaris Direktorat Jenderal

2. Heri Kuswanto – Direktur Peraturan Perpajakan II

3. Arif Yuniar – Direktur Pemeriksaan dan Penagihan

4. Etty Rachmiyanthi – Direktur Keberatan dan Banding

5. Rosmauli – Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas

6. Belis Siswanto – Direktur Kepatuhan Internal dan Transformasi SDA

7. Neilmaldrin Noor – Direktur Intelijen Perpajakan

8. Retno Sri Sulistyani – Kepala Kanwil DJP Bengkulu dan Lampung

9. Dwi Astuti – Kepala Kanwil DJP Jakarta Selatan II

10.Aim Nursalim Saleh – Kepala Kanwil DJP Banten

11. Teguh Budiharto – Kepala Kanwil DJP Jawa Tengah II

12. Samingun – Kepala Kanwil DJP Jawa Timur I

13. Untung Supardi – Kepala Kanwil DJP Jawa Timur III

14. Hermiyana – Kepala Kanwil DJP Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara

15. Samon Jaya – Kepala Kanwil DJP Nusa Tenggara

16. Edward H. Sianipar – Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan

17. Kindy Rinaldy Syahrir – Tenaga Pengkaji Bidang Ekstensifikasi dan Intensifikasi

18. Mukhammad Faisal Artjan – Tenaga Pengkaji Bidang Pembinaan dan Penertiban SDM

19. Poltak Maruli J.L. Hutagaol – Tenaga Pengkaji Bidang Pengawasan dan Penegakan Hukum

Pelantikan ini menjadi bagian dari penguatan struktur DJP di tengah upaya modernisasi perpajakan. Dengan komposisi baru ini, diharapkan Coretax benar-benar menjadi fondasi kuat untuk sistem pajak Indonesia yang transparan, profesional, dan terpercaya. (bl)

Lelang Aset Penunggak Pajak Digelar 25 Juni, DJP Jakarta Barat Siap Tawarkan 15 Barang Bernilai Tinggi

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali menunjukkan keseriusannya dalam menegakkan hukum perpajakan melalui aksi nyata. Kali ini, Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat akan menggelar lelang eksekusi atas aset hasil penyitaan dari para penunggak pajak, Rabu, 25 Juni 2025 mendatang. Lelang ini diselenggarakan bekerja sama dengan Kanwil Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) DKI Jakarta dan akan dilakukan secara daring melalui situs resmi lelang.go.id.

Sebanyak 15 barang bergerak dari berbagai jenis siap ditawarkan kepada publik. Mulai dari kendaraan roda dua dan roda empat, hingga alat berat dan perangkat medis, semua berasal dari delapan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Barat. Penyitaan dan lelang ini merupakan bagian dari strategi penagihan aktif utang pajak yang terus diintensifkan.

“Aset yang telah disita ditawarkan kepada publik melalui mekanisme lelang resmi negara sebagai bentuk penegakan hukum yang tegas dan terukur,” ujar DJP dalam keterangannya, Senin (15/6/2025).

Langkah ini tidak hanya bertujuan untuk memulihkan penerimaan negara, tetapi juga memberi sinyal kuat bahwa penunggakan pajak tidak akan dibiarkan. DJP ingin menegaskan komitmennya dalam meningkatkan kepatuhan dan memberikan efek jera bagi wajib pajak yang abai terhadap kewajibannya.

Lelang dilakukan secara transparan dan terbuka bagi masyarakat umum dengan sistem open bidding tanpa kehadiran fisik peserta. Penetapan pemenang dilakukan di hari yang sama.

Deretan Barang yang Akan Dilelang:

1. Toyota HILUX 2.46 DC 4X4 MT

2. Toyota Harrier 2.4 AT

3. Toyota Rush 1.5G M.T

4. Volvo XC90 2.9 T6 (2005)

5. Nissan X-Trail 2.5 ST A/T (2010)

6. Sepeda motor Honda Revo

7. Yamaha NMAX

8. Honda Vario 150 cc

9. Sepeda motor listrik Alessa

10. Honda Vario

11. Honda Beat

12. Sistem Video Integrasi Ruang Operasi

13. 5 unit Air Purifier Novaerus NV800

14. Forklift/Reach Truck

15. Truk Tronton (Tractor Head)

Ketentuan dan Mekanisme Lelang:

  1. Waktu pelaksanaan: Rabu, 25 Juni 2025 pukul 10.00–11.30 WIB
  2. Akses objek lelang: Dapat dilihat sejak pengumuman lelang
  3. Syarat peserta: Wajib memiliki akun terverifikasi di portal.lelang.go.id
  4. Jaminan lelang: Harus diterima efektif oleh KPKNL paling lambat H-1 melalui virtual account
  5. Penawaran: Dimulai dari nilai limit, dan peserta dapat mengajukan penawaran berulang
  6. Pembayaran pemenang: Pokok Lelang + Bea Lelang 3% dibayar maksimal 5 hari kerja setelah lelang

DJP mengimbau masyarakat untuk mengikuti lelang ini secara bijak dan memanfaatkan kesempatan memiliki barang bernilai dengan prosedur resmi yang sah. Selain itu, kegiatan ini menjadi pengingat bahwa kepatuhan pajak bukan sekadar kewajiban, tapi juga kontribusi nyata dalam membangun negara.

 

 

Utang Indonesia Tembus Rp7.000 Triliun, Bank Indonesia Pastikan Masih Aman

IKPI, Jakarta: Bank Indonesia (BI) mencatat posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia mencapai US$431,5 miliar atau sekitar Rp7.039,4 triliun per April 2025. Angka ini mencerminkan pertumbuhan tahunan sebesar 8,2 persen (year-on-year), meningkat dibandingkan Maret lalu yang tumbuh 6,4 persen.

Kenaikan ULN ini terutama berasal dari sektor pemerintah, dengan nilai mencapai US$208,8 miliar atau naik 10,4 persen secara tahunan. BI menjelaskan bahwa pertumbuhan utang tersebut dipengaruhi oleh penarikan pinjaman luar negeri serta meningkatnya aliran dana asing ke pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik. Hal ini menjadi sinyal positif atas kepercayaan investor global terhadap stabilitas ekonomi Indonesia, meski pasar keuangan global tengah diliputi ketidakpastian.

Dari sisi pemanfaatannya, ULN pemerintah difokuskan untuk sektor-sektor strategis. Sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial menyerap 22,3 persen dari total utang pemerintah, disusul administrasi pemerintahan dan pertahanan (18,7 persen), jasa pendidikan (16,4 persen), konstruksi (12 persen), serta transportasi dan pergudangan (8,7 persen).

Sementara itu, ULN swasta tercatat sebesar US$194,8 miliar. Meski angkanya tetap besar, ULN swasta justru mengalami kontraksi 0,6 persen (yoy), melandai dari kontraksi 1 persen pada bulan sebelumnya.

Meski total utang meningkat, BI menegaskan posisi ULN Indonesia masih dalam kategori terkendali. Hal ini dikarenakan dominasi utang berjangka panjang. Tercatat, 99,9 persen dari total ULN pemerintah dan 76,9 persen dari ULN swasta merupakan utang jangka panjang, yang dinilai lebih aman bagi ketahanan eksternal negara.

BI memastikan akan terus memantau perkembangan ULN secara cermat guna menjaga stabilitas makroekonomi dan mendukung keberlanjutan pembiayaan pembangunan nasional. (alf)

 

 

Penerimaan PPN dan PPnBM Terkoreksi 19,6%, Restitusi Jadi Penyebab Utama

IKPI, Jakarta: Hingga April 2025, penerimaan neto dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) tercatat sebesar Rp175,7 triliun. Namun, capaian tersebut mengalami kontraksi tajam sebesar 19,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Padahal, pemerintah telah menaikkan tarif PPN menjadi 12%, meskipun terbatas untuk penyerahan barang mewah. Kebijakan ini semula diharapkan menjadi pendorong tambahan bagi penerimaan pajak konsumsi, namun realisasi di lapangan belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengakui bahwa dampak dari kenaikan tarif tersebut terhadap total penerimaan PPN dan PPnBM masih dalam tahap evaluasi lebih lanjut. Pihak otoritas fiskal berhati-hati dalam membaca tren karena sejumlah faktor eksternal mempengaruhi arus masuk pajak.

Pengamat perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, turut menanggapi kondisi ini. Ia menyebut bahwa kontribusi kenaikan tarif PPN 12% terhadap barang mewah hanya menyumbang sedikit terhadap penerimaan nasional.

“Simulasi kami menunjukkan potensi tambahan penerimaan hanya sekitar Rp1,7 triliun. Pemerintah memproyeksikan hingga Rp3 triliun, tapi angka itu tetap belum cukup besar secara proporsional,” ujar Fajry, dikutip Minggu (15/6/2025).

Fajry menjelaskan bahwa faktor utama penurunan penerimaan bukan terletak pada lesunya konsumsi, melainkan ledakan klaim restitusi pajak pada awal tahun. Menurutnya, tren peningkatan restitusi PPN telah terjadi dalam dua tahun terakhir.

“Kondisinya mirip dengan tahun lalu. Saat restitusi PPN melonjak di awal tahun, penerimaan neto ikut tertekan. Ini murni karena pajak masukan yang besar, utamanya dari pembelian bahan baku,” jelasnya.

Fenomena yang disebut front loading ini terjadi ketika pelaku usaha melakukan pembelian besar-besaran bahan baku sebelum tren kenaikan harga atau ketidakpastian ekonomi. Tahun ini, ketidakpastian dipicu oleh situasi global pasca-terpilihnya Donald Trump dan memanasnya geopolitik.

Ia juga menyoroti bagaimana pengelolaan kas negara mempengaruhi pola restitusi. Di akhir 2024, beban belanja pemerintah meningkat tajam karena Pemilu dan Pilkada. Untuk menjaga likuiditas, sebagian besar restitusi ditunda pembayarannya dan baru dicairkan di awal 2025.

Meski demikian, ia tetap optimistis kondisi akan membaik seiring berjalannya waktu. “Pertumbuhan restitusi secara tahunan sudah mulai melandai. Artinya, tekanan terhadap penerimaan neto PPN dan PPnBM mulai berkurang di bulan-bulan berikutnya,” kata Fajry. (alf)

 

 

Pemkot Malang akan Kembali Berlakukan Pajak Kos 

IKPI, Jakarta: Setelah setahun kehilangan potensi pendapatan hingga Rp 8 miliar per tahun akibat pembebasan pajak kos, Pemerintah Kota Malang mulai menggodok rencana untuk kembali mengenakan pajak atas bisnis kos-kosan. Langkah ini tengah dipertimbangkan seiring pesatnya pertumbuhan rumah kos (rukos) di kota tersebut.

Pajak kos resmi ditiadakan sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), yang menghapus kategori pajak kos dari daftar pungutan daerah. Namun, perkembangan signifikan sektor kos-kosan mendorong Pemkot Malang untuk mencari celah hukum agar pungutan bisa diberlakukan kembali.

“Dua tahun terakhir ini bisnis rukos berkembang pesat, terutama di kawasan Lowokwaru. Tren rukos menawarkan fasilitas lebih lengkap dan keleluasaan bagi penghuni karena biasanya tanpa pemilik tinggal serumah,” ungkap Kepala Dinas Naker-PMPTSP Kota Malang, Arif Tri Sastyawan, dikutip Senin (16/6/2025).

Melihat geliat sektor ini, Pemkot Malang berharap pemerintah pusat dapat memberikan keringanan atau opsi kebijakan agar pajak kos bisa kembali dipungut. Menurut Arif, tingginya pertumbuhan jumlah kos menjadikan sektor ini sumber pendapatan daerah yang layak dioptimalkan.

Sementara itu, DPRD Kota Malang melalui Komisi B menyatakan tengah membahas rencana ini bersama Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda). Anggota Komisi B, Indra Permana, menilai sudah saatnya ada revisi regulasi lokal untuk mengakomodasi potensi tersebut. “Sebagai kota pendidikan, Malang harus memiliki formulasi kebijakan yang adil namun tetap produktif,” katanya.

Namun, Kepala Bapenda Kota Malang, Handi Priyanto, menegaskan bahwa pihaknya tetap mengacu pada ketentuan UU HKPD. Ia menyebutkan, selama aturan pusat belum berubah, pihaknya belum bisa melakukan pungutan pajak atas kos-kosan.

“Kami masih patuh pada regulasi yang ada. Pajak kos sebelumnya masuk kategori pajak hotel, dengan kriteria lebih dari 10 kamar dan sistem sewa bulanan,” jelasnya.

Dengan potensi penerimaan miliaran rupiah dan kondisi riil di lapangan yang mendukung, wacana pemungutan kembali pajak kos di Kota Malang kini menjadi salah satu isu strategis dalam penyusunan ulang regulasi perpajakan daerah. (alf)

 

id_ID