IKPI, Jakarta: Target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8% pada 2030 dinilai tak bisa dilepaskan dari peran strategis kebijakan perpajakan. Di tengah ekonomi global yang masih penuh tekanan, pemerintah menempatkan pajak bukan sekadar sebagai sumber penerimaan negara, tetapi sebagai instrumen utama untuk mendorong investasi, produktivitas, dan transformasi ekonomi.
Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Roeslani menegaskan, untuk mengejar target pertumbuhan tersebut Indonesia membutuhkan investasi sekitar US$815 miliar atau setara Rp13.560 triliun–Rp13.565 triliun dalam lima tahun ke depan. Kebutuhan investasi jumbo ini, menurutnya, mustahil tercapai tanpa dukungan kebijakan fiskal dan perpajakan yang kompetitif.
Rosan, yang juga menjabat sebagai CEO Danantara Indonesia, menekankan bahwa struktur pertumbuhan ekonomi ke depan harus bergeser. Ketergantungan pada konsumsi domestik dinilai tidak lagi memadai untuk mendorong lompatan pertumbuhan hingga 8%.
“Kami mendorong reformasi fiskal dan perpajakan yang berdaya saing. Pajak harus ditempatkan sebagai instrumen insentif untuk mendorong inovasi, investasi berkualitas, serta mempercepat transisi hijau,” ujar Rosan dalam keterangan tertulisnya, Senin (15/12/2025).
Dalam konteks pajak, pemerintah mengarahkan kebijakan insentif secara lebih selektif, terutama bagi sektor-sektor yang mampu meningkatkan produktivitas nasional, mendorong alih teknologi, serta memperkuat rantai nilai industri dalam negeri. Skema pajak yang tepat sasaran diharapkan mampu menarik investasi jangka panjang, bukan sekadar modal spekulatif.
Di sisi lain, penguatan penerimaan negara juga menjadi kunci keberlanjutan fiskal. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, pengelolaan penerimaan pajak dan kepabeanan tetap dipercayakan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai di bawah koordinasi Kementerian Keuangan.
Purbaya menilai, dibanding membentuk lembaga baru, reformasi internal di DJP dan DJBC justru lebih mendesak. Fokus diarahkan pada perbaikan tata kelola, peningkatan integritas pegawai, serta optimalisasi sistem administrasi perpajakan untuk menutup celah kebocoran penerimaan.
Langkah reformasi tersebut diharapkan menciptakan keseimbangan antara fungsi pajak sebagai alat penghimpun penerimaan negara dan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Pajak yang adil, efisien, dan berdaya saing diyakini mampu menciptakan iklim usaha yang sehat sekaligus memperkuat kapasitas fiskal negara. (alf)
